Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Bermain.

"Nggak main?"

Dara yang sedang duduk di dingklik sambil menghadap timbangkan bebek yang beberapa waktu lalu baru aja dipake nimbang terigu oleh Sang Ibu pun sontak mendongak. Di depannya, ia menemukan satu sosok bocah laki-laki berkacamata yang andai benda itu dilepas maka, akan tampak jelas kantung mata tebal nan membandel membayang di area sekitaran bawah mata kecilnya.

Usut punya usut itu gara-gara hobinya main PS dan Hape yang em, sebenarnya Dara kecil nggak terlalu tahu sih yang kayak apa itu gerangan main PS dan Hape? Pokoknya, Ibunya kerap mewanti-wanti kalau Dara nggak boleh sampai kepengen ikut main gituan! Bahaya. Boleh jadi bukan karena kantung matanya sih, tapi lebih ke untuk dompet Ibunya? Oh, entahlah.

"Nggak ada yang mau aku gabung main," ungkap Dara yang jari-jarinya sok sibuk mencimiti bekas-bekas terigu yang tak sengaja tercecar di lantai.

"Kenapa?"

Karena, Dara nggak gablek alat masak-masak? Beberapa gerombolan anak-anak cewek yang suka bikin geng di dekat toko lagi hobi main Koki-Kokian. Mereka suka membawa wajan-wajan kecil, pisau-pisau plastik, bahkan sampai kompor-komporan juga dari rumah mereka, yang jelas-jelas Dara nggak punya. Dan, mereka agaknya keberatan buat minjemin. Jadi ya ....

Dara mengedikkan bahu. Lalu, menoleh ke arah tumpukan barang-barang jualan; karung beras, drum minyak curah, keranjang telur, serta semua bahan sembako yang tersedia di toko kelontong besar milik Cik Erika—dunianya, atau ya seenggaknya merupakan tempat yang rasanya nggak bakal menolaknya sih kendati Dara selalu datang tanpa alat masak-masak, atau seperangkat alat mainan lainnya.

"Nggak papa," ujar bocah perempuan itu. "Aku bisa kok main di sini aja sama tepung terigu." Kemudian, deretan giginya yang ompong tengah begitu aja terjereng macam bilah gorden yang ditarik.

"Jangan!" Alis Dara yang tak seberapa lebat spontan bertaut mendengar larangan tersebut. Tapi, nggak lama. Sebab, bocah lelaki di depannya cepat-cepat menyambung bicara, "Kalau kamu main-mainin tepung terigunya ntar Mama aku marah dagangannya diacak-acak! Ayok?"

Dara menggaruk-garuk dagunya yang nggak gatal. "Ke mana?"

"Main."

"PS? Aku nggak bisa eh, maksudnya aku nggak tau PS itu apa? Jadi aku nggak bisa maininnya." Dara menggeleng-gelengkan kepalanya keras.

"Hadeh, ndeso! Udah deh. Ayok!"

Bergegas dipaksa berdiri dari dingklik-nya, lengan kurus Dara lantas ditarik. Kaki-kaki pendeknya berderap terburu mengikuti langkah bocah di depannya yang terus meluncur lebar-lebar—hampir-hampir berlari—hingga tiba di pekarangan sempit di samping toko.

Di dekat sepeda-sepeda buntut milik karyawan toko yang terparkir, di bawah pohon jambu air yang baru pentil, Galaliel—atau, selama ini Dara lebih akrab menyapanya dengan sebutan Ko Iyel—tahu-tahu langsung berjongkok untuk menggambar satu lingkaran besar menggunakan lingsiran potongan ranting pohon jambu yang berhasil ia temukan.

Dia lalu meletakkan banyak sekali gundu yang dia kantungi di dalam saku ke tengah-tengah lingkaran itu. Kemudian, menyerahkan satu kelereng dengan motif garis-garis berwarna ungu kepada Dara.

Dara nggak langsung mengambilnya. Dia justru memelototi wajah Ko Iyel yang beberapa jengkal lebih tinggi darinya.

"Aku nggak punya barbie dan nggak bisa main barbie juga! Nggak punya alat masak-masak juga. Kamu bisa main setinan?" ucap Ko Iyel seolah tahu apa gerangan kegamangan yang sedang Dara kecil geluti.

Dara refleks menggeleng.

"Aku bisa. Aku bakal ajarin kamu."

"Terus?"

"Apa?"

"Kalau udah bisa. Nanti gimana?"

"Nanti setiap kali kalau kamu mau main, bilang aja ke aku!"

"Ngapain?"

Bocah lelaki itu mendengkus. "Nanti aku temenin mainlah!"

"Kenapa setinan? Kenapa nggak PS?"

"Karena, kalau PS pake listrik. Kalau gundu aku nyolong punyanya Titi."

"Jadi?"

"Jadi, Mama nggak bakalan marah. Karena, aku sama kamu nggak buang-buang listrik dan duit!"

Dara membulatkan mulutnya.

Begitulah. Sesederhana itu Dara menemukan Ko Iyel. Satu-satunya teman sepermainannya, atau ya sepermainan gundunya? Sebab toh setelah itu pun Ko Iyel benar-benar cuma mau ngajakin Dara main gundu doang. Dulu.

Lalu, sekarang ....

"So, after all these times, tumben ngajakin main?" Sosok berkacamata yang masih aja punya kantung mata duduk di seberang Dara. Bedanya mereka nggak lagi menghadapi kotak setinan seperti puluhan tahun lalu, tapi meja café bersama dua buah gelas berisi es timun selasih di atasnya.

Dara meringis. Sebetulnya, agak nggak enak juga sih. Kayaknya dia nih sering banget deh nyari-nyari Ko Iyel kalau lagi susah doang. Ya minta dicariin kos-kosan murah meriah lah, ya pernah juga pas waktu uangnya cekak, Dara bahkan nyampe ditraktir makan 3 kali sehari sama Ko Iyel selama seminggu penuh sambil nunggu gajinya turun. Terus, hari ini tiba-tiba aja setelah cukup lama nggak saling kontekan, ujug-ujug Dara malah sok pake ngehubugin buat ngajakin makan siang bareng?

Giliran happy aja jarang rasanya Dara ngelibatin Ko Iyel. Eh, tapi tunggu deh! Emang Dara udah pernah happy, ya?

Lebih dari siapa pun harusnya Ko Iyel juga tahu sih jika Dara dan hidupnya udah kayak dikutuk buat jadi amat patetis!

Menghela napasnya kasar, Dara menantap lekat-lekat sesosok laki-laki berkemeja putih yang duduk sambil bertopang kaki di depannya.

Dia sempat menimbang dalam diam mestikah dia utarakan aja alasan sesungguhnya dari ajakan lunch barengnya siang ini? Mengingat Ko Iyel sendiri pastilah nggak akan percaya bila Dara beralibi cuma pengen makan bareng pria itu karena udah lama nggak ketemu?

Come on! Di luar Mama Asmita, Ko Iyel adalah orang pertama—sempat menjadi satu-satunya orang bahkan—yang di depannya, kebohongan Dara bisa dengan gampangnya diprematurkan. Entah itu memang kebetulan berkaitan dengan profesi pria itu sehingga dia menjadi begitu ahli untuk mengulik semua makna di balik tiap ekspresi, atau memang sejak dulu, tanpa Dara sadari dia hanya bisa percaya sama Ko Iyel? Oh, entahlah.

Dara mengembuskan napas sengkilnya sekali lagi, sebelum dengan seluruh keberanian yang ia panggil paksa dari dasar jiwanya, ia pun gegas merayu lidah kelunya untuk lamat-lamat mengaku, "A-ara ketemu."

Netra Ko Iyel tampak mengedar singkat, mungkin ia coba berpikir? Dara nggak yakin.

Yang jelas dibanding menebak, ia justru memilih bertanya pendek, "Who?"

Mengalihkan keterpakuannya dari pandangan Ko Iyel yang terlihat mulai lebih intens menelisik, Dara sepersekian detik menggelincirkan sorotnya yang bak orang bingung ke arah jari-jarinya yang kembali gemetar di atas pangkuan.

Meremat erat-erat kesemua jarinya yang kini juga berkeringat, Dara lagi-lagi secara lurus-lurus memandang Ko Iyel bersama bibirnya yang lantas melolosi, "Dia."

Di balik kacamatanya netra Ko Iyel melebar. Pun, daripada bagaimana bisa, lelaki itu memilih untuk bertanya, "Di mana?" Karena, seharusnya jarak orang itu dan Dara sangat jauh. Biarpun, dia sempat memperkirakan jika tahun ini boleh jadi orang itu bakal berhasil kembali. Namun, bukankah ini kelewat mudah?

Memerhatikan Dara yang diam aja, Ko Iyel memutuskan lanjut bertanya pelan, "Perlu diresepin obat?"

Kali ini, Dara langsung menggeleng walau agak ragu. "Nggak. Aku bisa atasin kok. Cuma aku butuh cerita jadi nemuin Ko Iyel." Ya, sebelum segalanya menjelma sebagai gunungan batu yang pada akhirnya seperti waktu itu—kesulitan untuk Dara runtuhkan. Maka, nggak seperti keledai yang bisa aja jatuh ke dalam lubang yang sama, Dara memilih untuk mengangkat senjatanya lebih awal. Sebab, peperangan yang ia hadapi baik itu dulu atau sekarang, rasanya bakal sama beratnya.

"Ra?" Ko Iyel memanggil.

Dara yang tengah memutar-mutar sedotan di gelasnya dengan gerakan yang sama sekali tak konstan, untuk ke sekian kalinya mendongak demi membalas tatapan bercita rasa menguatkan yang tak lupa Ko Iyel tebarkan.

"Kamu kesulitan tidur?" Pria itu, Galaliel tiba-tiba menebak.

"Itu ...." Semalam Dara bisa tidur sih—tepatnya, setelah dia sukses memastikan jika La-Mona bakal mengirim bunga dari VER ke Mika Karya pokoknya ya sepagi mungkinlah. Entah efek kelewat lelah atau emang pengaruh obat dari rumah sakit berkat ia mampir ke IGD-nya? Tetapi, nggak seperti bertahun lalu di mana dia baru bisa merem saat udah menelan alprazolam. Itu pun nggak pernah nyenyak. Dia selalu bermimpi. Tapi, semalam ....

"Aneh deh, Ko," ujar Dara.

"Kenapa?"

"Aku bisa tidur. Kalau aku pikir-pikir, aku beberapa bulan ini nggak pernah mimpi lagi dan nggak minum obat lagi."

Ya, kenapa Dara baru menyadari hal ini sekarang, ya? Obat yang sempat Ko Iyel resepkan saat terakhir mereka bertemu di Amera Mind Care—salah satu cabang Amera klinik di mana biasanya pria itu praktik, di samping mengajar tentu aja—beberapa saat sebelum hari pernikahan Dara, udah nggak lagi tersisa di tasnya. Sejak itu, Dara jelas nggak pernah minta resep lagi. Terus ini ....

"Mungkin karena Miko?" celetuk Ko Iyel yang sontak Dara decihi.

Oh, ya iyalah. Jujur aja nih ya, Dara bukanlah tipikal manusia yang percaya bahwa kebahagian miliknya terletak di tangan manusia lainnya. Nggak. Actually, khusus untuk kebahagian miliknya dia sangsi sih ada manusia yang bisa seberpengaruh itu terhadap kadar ke-happy-an manusia lainnya. Sebab, jika memang benar bisa seampuh itu, semestinya dia udah bahagia kan? Sampai hari ini udah begitu banyak manusia yang berhasil dia jumpai—sayangnya, nggak satu pun di antara mereka sanggup menguliti secuil aja hidup tragisnya.

"Udah bulan madu belum kamu?" Ko Iyel mendadak berbelok sangat tajam.

Dara meresponsnya sambil memutar bola matanya bosan. Please deh!

"Jangan tak," pungkas pria itu lagi bak menjawab sendiri pertanyaannya di awal.

"Kenapa?" kejar Dara, nggak sepenuhnya peduli sih.

"Nggak kebayang. Terakhir kamu kan masih mainan gundu."

"Ya jangan dibayangin!" Dara memberengut.

Ko Iyel sendiri cuma mengedik. "Tadinya aku mau ngajak merit kamu tahu."

"Halah! Semua cewek di Randusari juga pasti tadinya mau kamu diajakin merit."

"Kok tahu?"

"Tahulah. Kan kamu selalu ngomong tiap jadian sama putus sama cewek. Hampir semua anak perawan orang di Randusari pernah jadian sama kamu," tuding Dara.

"Ah, aku seterbuka itu ya sama kamu?"

"Nggak nyadar?"

"Sadar sih. Kenapa kamu nggak begitu juga?"

"Hah?"

Mengurai lipatan lengannya di depan dada, Ko Iyel sedikit menjorokan tubuhnya supaya sedikit lebih dekat dengan Dara di hadapannya, persis sebelum ia dengan extra kehati-hatian berupaya mengujar, "Kamu udah cerita sama suamimu?"

Dara refleks terdiam. Dia paham cerita apa yang Ko Iyel pertanyakan. Sesungguhnya, dia pernah meniatkannya. Dia mungkin memang harusnya telah terlebih dahulu mencobanya. Seenggaknya, sebelum orang itu datang. Namun, Dara selalu ragu-ragu, takut, lalu hilang waktu. Sekarang, rasanya udah sangat terlambat. Jika pun ia nekat cerita ....

Dara mendesah. "Belum." Kepalanya bergeleng. "Gimana kalau aku dikira bohong? Kayak waktu itu, semua orang ngira aku bohong kan? Aku—"

"Tapi, aku tahu kamu jujur," gunting Ko Iyel. Ada ketegasan serta pengertian di balik nada suaranya. "Dengar, Ra! You can count on me. Always." Pria itu menjeda hanya untuk menemukan sorot mata Dara yang belum juga mampu terentas dari resah. "Sama seperti yang selalu aku bilang, 'orang baik punya masa lalu, orang jahat punya masa depan'. Setiap orang punya masanya sendiri. Kamu juga punya masa kamu sendiri. Kalau orang lain menolak ngasih kamu kesempatan, seenggaknya kamu harus jadi orang pertama yang percaya kalau diri kamu worth it atas semua kesempatan yang ada. Hm?"

Dara mengerjap-ngerjapkan matanya yang mendadak terasa memerih. Dan, seolah kemasukan guyuran asap aja ketika Ko Iyel menyambung tenang, "Ntar aku bersaksi di depan Miko deh. Kalau perlu pake kitab suci juga kalau dia emang seenggak percayaan itu!"

Dara sontak tersenyum ringkih. "Emang Ko Iyel sekarang suka ke gereja?"

"Nggak sih."

Perempuan itu mendengkus. "Baca-baca alkitab?"

"Nggak juga," jujurnya, huh dasar! "Ya udahlah. Habisin tuh es timun kamu. Katanya, habis ini mau makan nasi padang yang di kantin Amera kan? Nggak dikasih makan apa gimana sih sebenernya sama suamimu itu? Kurusan tahu!"

"Nggak kayak Ko Iyel yah? Yang dikit-dikit dikasih makan sama gebetan yang di tiap persimpangan ada jadinya tembeman deh," balas Dara telak.

"Berisik. Aku nyuruh makan, bukan komen!"

Lalu, perempuan itu mencebik sok asyik. Kendati nyebelin, tapi Galaliel cukup lega sih. Seenggaknya, Dara udah nggak sekelabu tadi saat mereka baru bertemu muka setelah sekian lama udah nggak lagi saling jumpa.

Lagi, Galaliel pikir ketika perempuan itu memutuskan untuk menikah, dia ....

"Ra?" sela Ko Iyel tiba-tiba ketika Dara nyaris menandaskan es timun dalam gelasnya.

"Hm?"

"Sebenernya, aku masih nggak ngerti. Kenapa sih kamu mesti buru-buru menikah begitu? Sama orang yang bahkan nggak pernah kamu kenal baik pula?"

"Justru itu kan."

Ko Iyel melejitkan satu alis tebalnya. Sedang, di hadapannya Dara menarik sudut-sudut bibirnya dengan sangat aneh. Membentuk senyum, tetapi bukan senormalnya senyum orang kebanyakan. Senyum Dara ... entahlah, mungkin karena Ko Iyel mengenalnya dengan cukup baik dan lama, sehingga di matanya tampak selalu ada ruang kosong yang sangat luas—saking luasnya ia nyaris tak dapat mengukurnya—di setiap satu senyum yang Dara ulas.

Maka ....

"Karena, kalau dia kenal aku dengan baik dia pasti bakal mikir seribu kali buat ngajak aku nikah. Iya kan?" Sewaktu Dara menjawabnya demikian, Galaliel hanya sanggup mendesah lelah.

Sebab, ya setelah bertahun-tahun berlalu pun Dara agaknya masih tetap beranggapan begitu. Dan, naga-naganya nggak seorang pun mampu mengubah itu. Karena, sepertinya Dara sendiri toh memang nggak sekali pun mau menerima hadirnya perubahan dalam bentuk apa pun itu.

Dia layaknya terjebak di kotak kaca, yang biar pun ia tahu dia bisa aja keluar untuk menyambut setiap kesempatan yang berseliweran. Dia terus memilih diam, bertahan di dalam sana. Kenapa?

Karena lagi-lagi jauh di dasar hatinya, dia masih merasa kerdil dan rendah. Padahal, jelas-jelas dia bukanlah tersangka utama.

Augh! Betapa mengerikannya dunia ini dalam bekerja.

Sialnya, dari sekian banyak orang, mengapa harus Dara sih yang dipilih untuk bermain jadi korbannya?

***

Halo, akhirnya kami kembali setelah menginjak 400 votes 😳😳😳

Walau nggak pernah bilang, sebenernya akyu punya target tersendiri, Cintah 🙊🙊🙊

Udah bisalah ya menebak rahasia Dara? Cukup mainstream sebetulnya. Siapa di antara Dara sama Mikoh yang bakal kena anu duluan nanti? Sekali lagi, cerita ini alurnya lambat dan panjang ya, Cintah 🙈🙈🙈

Dan, cerita ini konfliknya juga sangat gado-gado beud bitiwi, keknya nyaris semua konflik mainstream yang kamyu cari bakal ikutan nyelip di sini deh 😈😈😈

Bab depan dari sisi Bwang Mikoooh Gonjreng eaaak. Butuh jeda berapa hari nih? Sehari? Seminggu? Sebulan? Tentukan pilihanmu. Wkwkwk

Terima kasih udah menunggu dan membaca 💜💜💜

Ko Iyel numpang lewat. Alhamdulillah udah tydack hobi rebahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro