Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Dendam.

Hampir lima menit lalu Dara tadinya masih mengiris-ngiris satu papan tempe yang kata Mama sih bakal digoreng buat bikin orem-orem, sebelum akhirnya terpaksa diusir gara-gara Mama keburu berhasil memindai penampakan satu plaster yang menempel, menutupi bekas suntikan infus yang padahal udah coba Dara sembunyikan dengan terus membelakangi ibu mertuanya.

Namun, ya Mama Asmita jelas nggak senaif ibunya. Beberapa kali siasat white lies Dara justru selalunya terjun di jurang kegagalan. Maka, daripada kekeuh membantu di dapur dan malah berpotensi mambuat kasus soal infus tersebut merembet ke mana-mana, Dara pun mengalah—menuruti titahan Mama untuk segera beristirahat, kendati di rumah sakit Dara udah ngaso nyampe gempor.

Meninggalkan dapur, Dara berniat duduk sejenak di sofa ruang keluarga eh, tahu-tahu udah ada Mbah Nung di sana. Yang ... em, kapan kira-kira Simbah pulang? Kayaknya pas Dara datang tadi beliau belum ada kelihatan di rumah deh?

Dara sontak celingak-celinguk tak tentu arah.

Duh, dia bingung! Jelas!

Haruskah dia tetap berjalan menghampiri dan ikut-ikutan duduk? Atau, mending langsung ngeluyur ke kamar aja? Tapi, di kamar kan ada Miko, serta setelah melalui perjalanan yang penuh drama lantaran Miko yang ujug-ujug pengen combro sehingga mereka mesti putar-puter di nyaris seluruh pelosok jalanan Bintaro demi nyari tuh tukang gorengan yang ternyata nggak semua penjaja nyediain combro—sekaligus apa yang telah terjadi seharian ini, khususnya tadi saat di rumah sakit—Dara sih nggak yakin kalau dia pengen menjebakkan diri buat sekamar sama Miko.

Namun, jika dia memilih bergabung duduk bareng Mbah Nung yang sekarang sedang manggut-manggut sambil nontonin tayangan breaking news petang, kalau seandainya ntar Dara ditanya macam-macam bagaimana?

Oke. Beberapa hari ini Dara bisa lolos karena, kebetulan Simbah lagi nginep di tempat Pakde Kuncoro. Akan tetapi, hari ini tentu nggak ada celah tersisa. Gimana bila tiba-tiba beliau mulai ngebahas soal apartment Miko yang kebakar gara-gara bandengnya Dara?!

Hish!

Apa mending dia balik ke dapur aja? Lebih baik Dara berdiri di belakang punggung Mama sampai jam makan malam tiba, meski nggak ngapa-ngapain daripada dia diam di sana kan?

Ya, betul betul!

Dara baru mengangkat satu tumitnya sewaktu suara Mbah Nung yang super-tegas nan nyelekit keburu menghentikan semua niatnya dengan menukas lugas, "Nggak usah ke dapur! Ntar malah bikin kebakaran juga di sini. Mau tinggal di mana lagi coba nanti Asmita sama Miko?"

Dara refleks menjapit bibir bawahnya keras dengan gigi seri. Tuh kan!

Iya sih Dara memang salah. Masih berani berkeliaran di rumah Mama dengan kepala terangkat itu ... mungkin dapat dianggap keterlaluan—utamanya boleh jadi bagi Simbah. Cuman ....

"Asmita dari umur 7 tahun bahkan sudah mampu bikin gudeg sendiri. Padahal dia cewek satu-satunya. Ndak manja. Jago masak, jago berkebun. Paling penting, dia ndak pernah tuh bikin kebakaran," sindirnya.

"Miko sejak kuliah sudah sering ambil kerja sambilan. Walaupun orang tuanya jelas mampu, dia ndak pernah mau nyusahin. Umur baru 24 saja dia sudah sanggup beli apartemen pakai uang hasil kerja kerasnya sendiri. Susah-susah ngumpulin duit bertahun-tahun, sudah dibikin bagus-bagus eh, sekarang malah jadi abu," lanjut Mbah Nung membuat Dara semakin merasa nggak enak hati.

"Maula memang gagal melulu jadi PNS. Tapi, dia otaknya ndak sebodoh itu lho ya. Dia ini mampu ngelakuin semua kerjaan rumah dengan baik karena, Asmita mendidiknya dengan benar. Ndak tahu deh tuh gimana cara orang tua ngedidik anaknya yang bisa-bisanya teledor banget sampai bikin rumah orang kebakaran!"

Tangan Dara yang sedari awal menggantung di sisi tubuhnya nggak bisa dia tahan untuk tak mengepal.

Dara ... ah, mungkin memang betul bahwa ibunya boleh jadi nggak mendidiknya sebaik Mama Asmita dalam mendidik Miko atau Maula selama ini. Semenjak Dara belum bisa bicara dan berjalan—atau, bahkan dari Dara masih dalam kandungan—satu hal yang praktis dia tahu adalah nggak ada satu hari pun di mana ibu nggak sibuk cari nafkah.

Sangat sulit bertahan bagi perempuan semuda ibu dulu—terlebih dia bahkan membawa serta Dara. Jangankan mengerti bagaimana caranya mendidik anak, ibu juga mungkin nggak tahu bagaimana cara mendidik dirinya sendiri—mengingat sebelia apa beliau ketika itu.

Dara pun sesungguhnya nggak sesuka itu kok kepada ibunya, tapi tetap saja ibu merupakan satu-satunya keluarga yang Dara miliki. Orang yang agaknya bakal menjadi orang terakhir yang berkeinginan meninggalkan Dara sebab, selamanya mereka adalah keluarga.

Dan, oke, katakanlah, Dara nggak becus, tetapi itu sebenarnya bukan karena didikan orang tuanya yang gagal. Keenggak sempurnan apa pun yang timbul di dirinya, sumbernya hanyalah pribadinya. Nggak perlu dikaitkan dengan orang lain. Karena, dirinya mutlak merupakan tanggung jawabnya sepenuhnya.

Cuma, masa sih Dara harus mengkonfrontasi Mbah Nung secara terang-terangan?

Mustahil kan?

Jadi, dia biarkanlah saja mulutnya tetap rapat tertutup dan lebih memilih untuk menghela napasnya kian intens melalui hidung, ketika perempuan sepuh itu lagi-lagi berkicau, "Diam saja. Kalau memang ndak mampu melakukan sesuatu dengan benar, setidaknya janganlah menghambat orang lain untuk menyelesaikan apa yang mereka kerjakan. Jangan meribetkan atau merepotkan orang lain!"

Lalu, beliau bangkit dari atas sofa yang lantas meninggalkan jejak mengkerut tepat pada permukaan kulit yang barusan beliau duduki. Sekaligus, meninggalkan Dara yang rasanya kembali dihantam pening.

Ugh!

Jika begini keadaannya apakah dia bisa ikut makan malam hari ini? Rasanya dia cuma bakal bikin suasana canggung kan?

Sial.

***

Di sudut kamarnya—oke, maksudnya kamar Miko—yang sliding door-nya sengaja ia buka lebar-lebar, Dara menengadah ke angkasa. Seumpama bisa, ia tentulah udah menubrukkan wajahnya ke atas langit sana yang malam ini tampak sibuk menjereng segulung mendung yang menggantung.

Merasai setiap sapuan angin yang mampir guna menampar-nampar tiap jengkal tubuhnya, Dara mendesah bak orang habis tercekik satu kali lagi.

Makan malam telah berakhir sejak dua jam lalu. Sesuai dugaan, itu berlangsung dengan sangat awkward sebab Mbak Nung seolah tak sekali pun kehabisan akal buat mengungkit secara gila-gilaan mengenai kesalahan Dara. Beliau baru mau berhenti ketika Mama menyelanya untuk mengobrolan soal saudara di Malang yang dalam waktu dekat rencananya akan segara menggelar hajatan.

Sementara, Miko? Jangan tanya Miko deh. Selain cuman diam saja di sepanjang sesi makan malam—atau, hanya jika Dara boleh mengganti namanya maka itu lebih seperti ajang menguliti bobroknya Dara sih—pria itu juga belum ada tanda-tanda balik ke kamar. Terakhir Dara lihat Miko duduk di atas stool mini bar sambil menghadapi laptop juga secangkir kopi. Mungkin ada kerjaan yang mesti dia kerjaan?

Entahlah.

Lagi, ngomong-ngomong soal kerjaan, Dara lantas membuka e-calendar di tablet yang sedari tadi di dekapnya. Sial! Gara-gara ijin sakit setengah hari, kerjaannya pasti otomatis numpuk dan terbengkalai.

Salah satunya ya ini. Perempuan bergaun tidur tersebut bahkan harus cepat-cepat beralih demi menggulir antrean panjang beberapa e-mail masuk yang pending response. Namun, matanya kontan berhenti di e-mail dengan perihal putusnya kerja sama yang melibatkan salah satu vendor karangan bunga.

Vendor karangan bunga? Sesuatu yang nggak urgent-urgent banget sih mengingat sebetulnya Pak Rega tuh paling malas kalau mesti sok-sok kirim-kirim kembang atas nama VER. Namun, kan tahulah business is business. Relasi dan peres itu penting!

Dan, bicara tentang peres ....

Dara spontan membuka ulang tab e-calendar yang telah dia organize secara akurat dan rinci—bak kamus—untuk kemudian menemukan penampakan potret satu tanggal dibubuhi warna khusus karena, setelah ia baca keterangannya maka, untuk acara besok Dara seharusnya udah memesan bunga dari tadi pagi!

Oh, Gosh! Besok hari ulang tahun Mika Karya yang ke-90! Gimana Dara bisa lupa begini?!

Okelah kalau itu perusahaan rekanan lain, mungkin nggak akan terlalu jadi masalah. Tetapi, ini Mika Karya yang belakangan kondisi hubungannya dengan VER sedang kembali agak memanas. Sial!

Pak Rega bahkan telah lebih dari sekali bilang jika momen ini akan dia gunakan untuk memperbaiki hubungan. Kenapa Dara nggak bisa mengingatnya lebih awal?!

Buru-buru mengecek jam, Dara mengerang begitu melihat bahwa malam udah merangkak mencapai jam 10 lebih 5. Jam operasional toko bunga kebanyakan pasti udah beres kan? Mana nggak lagi punya vendor yang dapat diandalkan pula!

Gimana caranya Dara bisa dapat bunganya dengan tepat waktu kalau begini? Please, bagaimana pun caranya besok pagi karangan bunga dari VER harus udah mejeng di halaman gedung Mika Karya. Iya, hanya jika Dara nggak ingin disemprot nyampe budek oleh Rega maka, dia memang wajib mewujudkannya.

Dara berupaya men-search beberapa florist di ibu kota melalui laman pencarian. Tapi, rata-rata telah tutup dari jam 5 sore.

For heaven's sake, ini Jakarta masa sih nggak ada sebiji pun flowers shop yang buka 24 jam? Mustahil banget nggak sih?! Apa ini gara-gara Dara emang lagi ketiban sial aja?

Dara baru hendak men-scroll hasil yang tertampil di laman pencarian makin ke bawah sewaktu pintu kamarnya terdengar berderit terbuka.

Melemparkan kepala ke arah belakang secara kilat, Dara menemukan Miko masuk sambil menguap.

"Ngapain buka jendela?" todong laki-laki itu cepat. Tak lupa matanya yang tadi terjaring mengantuk kini malah aktif memicingi Dara dengan galak.

Dih!

Sayangnya, Dara nggak ada waktu untuk meladeninya adu bacot. Jadi, dia berniat guna menutupnya saja sesuai keinginan Miko. Namun, lagi-lagi lidah tajam Miko yang kerap keterlaluan jahatnya kembali menuding, "Buruan deh tutup banyak nyamuk!" Iya. Iya ih, Dara tahu kok. "Dan, kamu kenapa malah masih melek? Mau begadang? Biar sakit lagi?" sambungnya dengan nada yang luar biasa sinis.

Oh, God!

Dara bergegas menutup sliding door berikut tirainya sebelum dengan sabar menyahuti, "Nggak kok, Bang."

"Terus?"

Haruskah Dara katakan apa masalahnya? Memangnya kalaupun dia beberkan, Miko bakal bantu?

"Bang?" Dara memanggil pelan. Rasanya, dia memang perlu mencoba kan? Entah sekecil apa pun potensi keberhasilannya.

"Apa?" Setidaknya Miko tetap sudi menanggapi sembari tangannya sibuk memegang remot air conditioner.

"Abang ada kenalan florist nggak?" Akhirnya Dara to the point bertanya.

"Kenapa?"

"Mika Karya besok ulang tahun. Aku harusnya pesan karangan bunga buat dikirim ke acara mereka tadi pagi, tapi lupa."

Miko berdecak kasar, persis yang Dara terka. Pria itu bahkan terus saja bungkam, nggak memberikan jawaban apa-apa terlebih nama toko bunga yang saat ini tengah amat Dara butuhkan.

Dara nyaris menyerah untuk sok-sokan mau mengandalkan pertolongan dari Miko—yang di empat bulan ini jarang banget berlaku baik maupun sok baik terhadapnya.

Oh, lihat saja! Pria itu justru telah menarik selimutnya di salah satu sisi ranjang. Bersiap molor!

Dara baru saja mau menuruti setan batinnya untuk lirih-lirih mengumpat, tat kala dari arah ranjang suara tegas Miko tiba-tiba mengudara, membelah sepinya malam, "Coba pakai saja La-Mona. Mereka open 24 hours kok. Saya biasa pakai mereka kalau butuh bunga untuk Prita."

Please! Bodo amat dengan kata-kata 'untuk Prita'. Dara anggap dia nggak pernah mendengarnya. Yang paling utama untuk sekarang adalah mengetikkan nama florist yang Miko sebut barusan di mesin pencari untuk dapatkan kontaknya.

Langkah Dara menuju sisi ranjang yang masih kosong terasa lebih ringan ketika google menghadirkan alamat media sosial La-Mona di daftar paling atas. Huuuh, finally!

Rekahan senyum Dara yang hari ini terendap jauh di dasar bibirnya nyaris mencuat ke permukaan, dia hampir-hampir bersorak karena bakal bisa tidur dengan nyenyak. Namun, belum-belum senyumnya sukses mengembang bokongnya yang sedikit saja dapat mendarat di kasur malah terasa seperti ditahan oleh sesuatu.

Sesuatu yang ....

Dara melirik ke arah belakang, tepatnya ke bokongnya, yang saat ini tengah ditahan oleh ... BUSEEEEETTTT ITU KAKI MIKOOOO?!

Netra Dara sedang melotot-melototnya saat Miko yang kakinya begitu jahanam menyentuh kawasan suci bokong kanannya tahu-tahu berujar singkat nan judes, "Ngapain?"

"Hah? Em, tidur kan?" jawab Dara dengan agak tergeragap.

Miko menuding letak sofa di pojok ruangan melalui telunjuk panjang miliknya. "Di situ," katanya. "Saya nggak mau kasur saya bau gosong," sindirnya yang sontak bikin Dara ingat kalau pria itu belum balas dendam. Dan, mungkin ini adalah awal mulanya dalam memulai sebuah peperangan.

***

Hai, kami kembali 😭😭😭

Gercep kan eyke seminggu ajijah liburnya 🤣🙊😈

Gimana udah siap bertemu sama balas dendamnya Bwang Mikooh yang lambenya udah judes sedari bocil? Betewe, bocil Bwang Mikoh sama Bwang Sambel Mercon bisa kamu temuin di Karyakarsa loh eaaak /teteup yes marketing S7nya jalan/ 🤣🤣🤣

Adegan apa yang paling kamu tunggu muncul di cerita ini kira-kira?

Terima kasih udah menunggu dan membaca 💜💜💜

Masih terpantau belum make baju gonjreng ah Bwang Mikohnya 😈😭🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro