13. Mantan.
"Ditolak lagi lo, Mik?" Pernah, sore itu Mbak May yang duduk di tepian meja kerjanya terdengar melempar tanya saat Dara baru saja selesai membagikan beberapa salinan minutes of meeting dari agenda rapat siang mereka.
Miko yang diajak Mbak May bicara menarik sudut bibir kirinya lebih tinggi sehingga senyumannya tampak nggak simetris. Singkatnya kayak senyum kecut gitu lah. Gimana Dara bisa tahu?
Karena, ya Dara melihatnya dari meja Mas Linggar yang terletak tepat di seberang kubikel Miko.
"Nggak mau nyerah aja?" tanya Mbak May lagi. Yang sumpah Dara nggak ada niat menguping lho ya. Kebetulan di Department Sales and Marketing cuma tinggal ada Miko, Mbak May, Dara dan harusnya ada Mas Linggar sih di sana. Tapi, cowok itu tadi sambil kayak cacing kepanasan malah keburu pamit ke toilet serta udah seperempat jam ini nggak kunjung balik. Tahu deh dia menclok di mana? Mungkin doi keburu nemu gerombolan manusia buat diajaknya nge-ghibah? Apalagi belakangan di VER lagi banyak banget gosip hits. Huh, lambenya pasti syeneng itu!
Sial!
Padahal Mas Linggar nih harusnya tahu loh kalau Dara sedang diburu waktu buat nungguin laporan yang mesti pria itu bikin yang telah terus-menerus di-request secara langsung oleh Pak Rega.
"Gue nggak akan mulai kalau ditolak lima kali aja gue nyerah, May." Suara jawaban Miko—yang hanya jika Dara nggak salah info maka, anak-anak di VER suka heboh ngomongin kalau suara Miko nih nggak kalah eargasm dari punyanya Adam Levine yang Dara pikir sih, halah pret banget iyuh lebay—akhirnya mengudara.
"Jiah. Si Anjir!" Dara memerhatikannya ketika Mbak May melempar sebulatan kertas ke tubuh Miko. "Tapi, Mik serius deh. Gimana kalau lo sama Prita nggak jodoh? Gue ngerasa bersalah nih gara-gara gue yang ngenalin kalian."
Dara nggak mendengar apa-apa nyaris semenit. Dia bahkan menahan diri buat nggak melirik sebab, tadi dia sempat ketangkap basah sama Miko yang nggak tahu kenapa malah pake menoleh segala ke arahnya? Em, boleh jadi Miko sedang memastikan bahwa dia mengenali sosok Dara yang apabila pembicaraan di antara dirinya dan Mbak May tiba-tiba bocor keluar, jelas terduga utama keemberan bakal jatuh pada Dara sebagai satu-satunya orang asing di antara mereka.
Hosh!
Yang pasti dalam jeda itu Dara sih yakin Miko lagi sibuk mikir. Dengar-dengar Miko sama Prita yang berkantor di gedung sebelah emang lagi menjalin hubungan serius. Gosip soal pasangan ideal tersebut bahkan tiap minggu selalu seliweran, ada aja berita update-nya. Kayak upil dan ingus, analogi yang kerap diberikan Mas Linggar tiap kali mulai menjereng lapak ghibah. Nggak terpisahkan gitulah mereka tuh. Masih kata Mas Linggar yang mulutnya udah macem kantong Doraemon khusus info ter-hot di VER, Miko telah mengajak merit Prita hampir lima kali dan selalu berakhir ditolak!
Alasannya? Lagi-lagi kata Mas Linggar, karena mereka nggak dapat restu.
Awalnya Dara bingung. Miko cukup lumayan kok. Kendati, dia nggak tahu asal-usul keluarganya, tapi mendengar kalau orang tua Miko tinggal di Pondok Indah dan rutin ngadain barbeque party, Dara pikir keluarnya mungkin golongan upper class ibu kota—walau mungkin nggak seatas Pak Rega hehe.
Tampang? Miko punya kulit eksotis yang kayaknya bisa bikin Ario Bayu iri. Terlebih, kalau beres libur panjang. Terus, ada juga yang bilang Miko sering bolak-balik ke Pulau Pari. Tahu deh ngapain? Mungkin dia ke sana demi bisa jemuran? Who knows?
Kerjaan? Meski di VER Miko pun sama aja suka dituntut kerja bagai kuda, tapi Dara tahu bahwa Pak Rega menggelontorkan harga yang pantas untuk itu. Udah begitu, lihat dong mobil Audi merah menterengnya yang kilaunya memerangi kilau Peugeot Pak Rega! Kasarnya duit Miko pastilah banyak atau ya apa itu istilahnya, mapan?
Sifat? Em, yang kelihatan aja ya. Miko tuh naga-naganya royal abis. Sering ketangkep ngetraktir teman-teman satu divisinya di Moonbacks atau bagi-bagi berloyang-loyang pizza dari The Remi. Dara kadang bahkan mupeng dapat Bos yang kayak gitu.
Lantas, apakah seluruh kualifikasi itu belum cukup untuk menjadikannya sebagai seorang calon suami?
Oh, entahlah. Namun, jika itu Dara dan keluarga yang disodorin manusia sejenis Miko—minus mulut bak gunung erupsinya—tentu nggak ada yang perlu dipikir dua kali kan? Dara sangat suka uang, anyway.
Lagipula, pas itu Mas Linggar cuma bilang, Miko sama Prita beda.
Dara nggak tahu maksudnya karena dia memang nggak pernah sekepo itu terhadap kehidupan milik orang lain. Hingga suatu hari sewaktu Prita berkunjung ke VER, nggak sengaja Dara lihat Miko yang berdiri lama sambil menenteng tas milik perempuan itu di luar musala kantor di lantai tiga.
Ah, Dara pikir itulah alasannya. Namun ....
"Pernah denger nggak lo kalo jodoh bisa diusahakan?" Itu suara Miko yang akhirnya kembali berbicara.
"Sok bener aja lo!" tanggap Mbak May sambil mendengkus. "Tapi, beneran deh kalo akhirnya Prita nikah bukan sama elo, tapi sama orang lain gimana, Mik?"
Dari ekor matanya yang sengaja dia panjangkan, Dara dapat membidik Miko mengedik. "Kalo memang dari Pritanya sendiri maunya begitu ... ya udah."
"Terus elo?"
"Nggak bakal nikah gue."
"Masa?"
"Iris kuping gue. Tapi, gue yakin sih Prita tetep maunya pasti sama gue."
Cih!
Bolehkah Dara mengiris kuping Miko sekarang? Karena, nyatanya toh pria itu menikah kan? Sama Sandara pula!
Namun, mau sekeras apa pun dia denial atau pura-pura nggak melihat, Dara tahu kok bahwa Miko jelas serius dengan ucapannya. Laki-laki itu ... oke katakanlah Dara sok tahu, tapi menurutnya kalau bukan karena Mama, Miko mungkin memang nggak bakal menikah. Terlebih sama Sandara pula.
Ayolah. Dia belum move on—atau, malah enggak akan?
Entahlah.
Pun, setali tiga uang dengan Prita. Dara nggak tahu. Apakah perasaannya masih ada untuk Miko?
Lagi, ya siapa juga sih yang bisa cepat berpaling dari wanita seluar biasa Prita? Yang nggak cuma financial freedom—lebih dari Sandara—tapi juga penuh pesona. Ah, satu lagi keluarganya juga keren, utuh dan ... baik-baik saja.
Dara mendesah.
"Kakak! Jalannya pelan-pelan sayang," teriaknya kemudian sembari menyusul mengikuti langkah terburu Calibra yang kini sudah berhasil menghambur masuk ke gendongan Miko.
Dara bingung harus melakukan apa sehingga dia cuma menggaruk pinggir dahinya sebelum melempar satu senyum ke arah Prita yang wajahnya kayak sedang menahan mulas. Eh, ini kenapa ya?
"Hai, Sandara?" Dan, Dara memilih untuk nggak lebih lanjut memikirkannya ketika tahu-tahu Prita justru menyapanya ramah lebih dulu.
Dara memperlebar senyumnya—semoga benar-benar tampak mencapai matanya—walau demikian intonasinya justru masih agak kikuk ketika membalas, "Halo, Mbak Prita?" Dia lalu menyempatkan melirik Miko sekilas. Dan, ya ini kali kedua Dara bertemu Prita, by the way.
"Sama Rega?" Miko tahu-tahu bertanya to the point dengan mata yang nggak mengarah pada Dara, tetapi pada wajah Calibra yang rambutnya tengah coba ia benahi menggunakan jari-jarinya yang panjang.
"Iya. Lagi meeting di atas," Dara menyahut sekenanya.
"Sudah makan, Ra?" tanya Miko lagi hahahaha ngimpi. Prita lah yang barusan bertanya.
"Belum sih Mbak barusan mau antar Kakak dulu." Secara bocah itu sempat merengek minta es krim. Padahal baru aja opname lho ya. Jadi, jelas lah nggak dikasih ijin sama Papanya. Cuman, Pak Rega yang memang nggak terbiasa menolak keinginan putri kesayangannya sempat dilanda sedikit kebingungan. So, ya dia serahkanlah tugas berat menghindari makan es krim tersebut kepada Sandara.
Beruntunglah tadi penghuni meja di sebelah mereka di Liberica tertengok asyik gayem banana toast—seolah sengaja mengimingi—jadi aja Calibra ganti naksirnya dan lupa perihal es-es-an sehingga Dara pun nggak perlu putar otak buat mencari-cari ide pelipur.Niatnya, mereka bakal ke ground floor sih untuk menyambangi bakery sebelum malah tertahan di sana akibat keburu ketemu Miko dan Prita.
"Kamu kira-kira keberatan nggak kalau misalnya kita makan sama-sama bareng saya, Ra?" ujar Prita yang sejujurnya tak terlalu di luar dugaan sebab kendati nggak pernah kenal secara personal, tapi gosipnya mantan Miko ini emang berhati bak Cinderella.
Terus, sama-sama di sini tuh maksudnya tentu Dara, Prita, serta Miko kan?
Nggak buru-buru mengiyakan atau menolak, Dara diam-diam kembali melirik selintas ke arah Miko.
"Tapi, apa nggak—"
—ganggu?
Dara memutuskan menelan satu kata terakhir dalam kalimatnya.
Lagi, kenapa dia mesti merasa ngeganggu kalaupun mereka mau makan bareng? Bukannya Miko suaminya? Di mana letak ganggunya istri yang makan bareng suaminya? Iya kan?
Tapi, kamu mungkin bakal ngeganggu mantan yang mau reunian, Sist, setan dalam diri Dara berbisik sinis.
Bah!
Tapi, apa itu salah?
"Tadi, saya nggak sengaja ketemu Miko," pungkas Prita tiba-tiba tanpa diminta. "Saya lagi cari kado."
Tahu nggak? Dibanding hal lainnya, Dara paling sering lihat orang bohong. Persis ekspresi yang kerap dibikin ibunya ketika sedang mencoba berdusta agar Dara nggak cemas, ekspresi itu Dara tangkap berkelebat di wajah Prita juga barusan.
Namun, seperti dia yang tahu perihal ibunya yang berbohong, Dara hanya menyimpan fakta itu bagi dirinya sendiri.
Lagipula, nggak setiap mantan mesti musuhan kan? Prita orang baik, katanya. Dia bahkan udah hamil.
Dara menjatuhkan pandangan sekilas ke arah perut perempuan itu yang sudah membulat besar. Em, mungkin sekitar tujuh bulan? Delapan? Atau, oh, entahlah Dara nggak terlampau ngerti soal perhamilan.
Ya kali Prita mau macem-macem sama Miko wong dia sudah mau punya anak kan? Lagi, kalau mereka macem-macem emang apa peduli Dara?
"Mau makan apa, Mbak?" timpal Dara akhirnya.
"Kamu sukanya apa?"
"Em ...." Dara berpikir.
"Om, Om, Om Miko?" Yang disela begitu saja oleh Calibra yang mendadak bergeser menjadi satu-satunya pusat atensi di antara mereka.
"Hm?" Miko bergumam menanggapi.
"Perut Tante Prita besar. Kayak perut temen Mama, Tante Wulan. Isinya dedek ya, Om?"
Miko mengangguk.
"Boleh pegang enggak sih? Kakak pengen tahu. Tapi, perut Mama enggak pernah besar begitu."
Miko tersenyum. Pun, tanpa sadar Dara.
"Coba tanya Tantenya. Boleh nggak?" balas Miko santai.
Serupa air mukanya yang mendadak cerah ceria, suara menggemaskan Calibra terdengar renyah sewaktu meminta, "Tante Prita dedeknya boleh Kakak pegang?" Dan, di sisinya kepala Prita ringan terangguk.
Calibra masih dalam gendongan erat Miko saat dibawa merunduk. Dengan satu tangan yang terulur, dibantu tangan Miko yang jauh lebih panjang telapak tangan mungil Calibra lantas mendarat, menyentuh perut besar Prita.
Dara menyaksikannya ketika Calibra berjingkat tertawa. Dia pun melihat saat satu senyum tumbuh di bibir Prita persis kala tangan Calibra yang kecil pelan-pelan dibimbing oleh tangan besar milik Miko guna bergerak, mengelus lembut nyaris seluruh bagian perut itu.
Dara sontak mengerjap beberapa kali. Dia em, dia nggak mengerti mesti bereaksi bagaimana?
Ada sebuah rasa yang ganjil.
Ugh! Apa ini dia lagi peduli? Ah! Omong kosong! Dara memang berniat membuat pernikahannya dengan Miko berhasil. Tentu saja!
Dia berniat membuat Miko kembali memperoleh tawanya. Tetapi, buat bikin Miko jatuh cinta? Jujur, Dara bahkan belum pernah memikirkannya.
Toh, banyak pernikahan yang kelihatannya jalan-jalan saja kok kendati tanpa cinta. Pun, Dara hanya ingin tidak ditinggalkan. Cukup dengan Miko yang setia sesuai janji pernikahan mereka. Itu saja.
Dicintai atau mencintai itu ... entahlah. Sekarang, masih terdengar sangat kompleks.
Dara belum tahu hendak berbuat apa supaya nggak jadi nyamuk di antara mereka. Saat dari arah punggungnya suara sapaan Pak Rega yang khas tahu-tahu dengan keras mengudara.
Dara refleks berbalik badan kilat. Namun, justru dibuat menegang luar biasa sewaktu netranya yang nanar sukses menangkap dan merekognisi wujud seseorang yang kini tengah berjalan tepat di sisi Pak Rega.
Dia entah bagaimana bisa seolah didorong demi mengingat pesan-pesan yang belakangan ia terima.
+62xxxxxxxxx
Kita bakal ketemu lagi.
+62xxxxxxxxx
Tunggu saja.
Namun, dari mana orang itu bisa tahu Pak Rega? Dari semua orang yang sanggup ia datangi haruskah itu Pak Rega? Dan, kenapa orang itu datang sekarang di saat Dara belum sepenuhnya bersiap?
Dara nggak sadar satu langkahnya otomatis terayun mundur setiap kali langkah orang itu terpindai bergerak maju. Dia terus melakukan itu bahkan sampai tubuhnya menubruk tubuh Miko dan membuat Pria itu mendesis tak suka.
Dara ....
"Reg?" Suara Miko entah mengapa mulai terdengar sayup-sayup di telinga Dara.
"Yang mau gue kenalin." Suara Pak Rega apalagi. Rasanya ada dengung panjang yang menghalau. Sehingga bunyi apa pun yang terindikasi mampir ke lubang telinga Dara gegas terpental. Pun, makin parah saja ketika samar-samar dia menangkap manuver singkat bibir Pak Rega mulai merangkai nama, "Kapravda. Menantunya Tante Satika."
Dan, Dara nggak tahu mungkin karena dia belum makan atau boleh jadi gara-gara makanan terkahir yang masuk ke perutnya cuma cranberry oat scones, yang nyatanya nggak seberapa mengenyangkan sehingga dia merasa seluruh tubuhnya kini berangsur-angsur bergetar.
Uh! Suhu di telapak tangannya agaknya mendingin dengan sangat drastis seiring munculnya perubahan di kakinya yang terasa kaku dan beku.
Sesak timbul samar di tengah-tengah bagian dada Dara. Lalu, keringat yang timbul di punggungnya terasa makin menderas saat netranya yang mendadak lelah tiba-tiba menutup untuk menjemput gelap yang singgah dalam seketika.
Dara nggak yakin ke arah mana ia terjatuh. Tapi, satu yang dia tahu bukan lantai yang dia darati.
Benar.
Dara terdiam dalam rangulan erat seseorang dengan wangi tropikal yang kuat. Tetapi, siapa? Miko bukannya tadi sedang megendong Calibra kan?
***
Halo, ketemu lagi kita akhirnya 🙈🙈🙈
Gimana sehat kan? Semoga hari-hari kamu menyenangkan.
Syeneng nggak nih ketemu Si Ungu ini lagi? 😈😈😈
Itcuuu betewe Mbak Bandeng makannya makan yang bener ih jangan makanin omelan Bos melulu xixixi
Kalo kamu ada nasehat apa buat Mbak Bandeng dan Bwang Gonjreng? Kalo buat simbaak pasti update gercep yaaaa 🤣🤣🤣
Eh, iya flashback simbaak suka nggak dipakein italic loh ya dan biasanya di cerita ini kebanyakan pembukannya suka pake adegan masa lalu yaaa, teman-teman 🙊🙊🙊
Terima kasih udah menunggu dan membaca ya 💜💜💜
VP baru VER nggak tau Bwang Rega nemu di mana mungkin di saku 😑😑😑
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro