Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Jujur.

"Ngaku deh, Ra. Lo suka kan sama Pak Rega?" Bianca salah satu Tim Desain VER yang duduk di samping Dara di warung nasi pecel pernah menodongnya di suatu siang. Nggak tahu deh kenapa dia bisa mikir begitu.

Lagi, siapa katanya? Dara? Suka ke Pak Norega?

Oh, My!

Ya, emang sih. Apa sekelihatan itu, ya?

Tapi, kayaknya bukan suka deh. Lebih ke apa ya em, gimana Dara harus menamainya?

Pak Rega tuh beda. Nggak seperti orang-orang kebanyakan yang lumrahnya Dara temui di hidupnya.

Kalau boleh jujur, Pak Rega bahkan merupakan orang pertama yang mau percaya sepenuhnya pada Dara. Di saat orang lain seolah berbondong mendorongnya jatuh, Pak Rega selalu menarik Dara supaya bisa terus bergerak maju malah lebih cepat dan lebih jauh dari orang lain.

Pak Rega nggak pernah mempermasalahkan secara terang-terangan soal kekurangan yang mungkin Dara miliki—kecuali, kalau ulah Dara di kantor udah benar-benar bikin dia migren akut.

Pak Rega yang selalu menatap dunia dengan optimisme kelewat tinggi itu entah mulai dari kapan tepatnya, mungkin sejak awal ketika kaki Dara baru menginjak VER, atau saat dia untuk pertama kalinya diajak berjabat tangan sambil disambut oleh sebaris kalimat yang entah mengapa terdengar hangat berbunyi: 'Selamat datang di VER, Sandara. Di rumah. Rumah milik kita semua.'

Oh, entahlah. Namun, Pak Rega pelan-pelan betul-betul berhasil bikin Dara jadi ikut-ikutan seoptimis itu.

Walaupun orang bilang Pak Rega banyak bacot, mau menang sendiri, ngeselin dan pedes abis—yang memang bener banget sih—tapi, dia adalah satu-satunya orang yang memperkenalkan ulang kepada Dara mengenai apa itu sesungguhnya 'kejujuran'. Bahwa sepahit-pahitnya kejujuran, dia akan selalu punya derajat yang lebih tinggi dibanding betapa pun manisnya suatu kebohongan.

Yah.

Kendati, orang-orang di sekeliling Dara sering melakukan itu dan dia sendiri pun belum mampu secara sempurna terbebas dari kebiasaannya dalam berbohong. Namun, menjumpai Pak Rega membuat Dara akhirnya sadar kalau nggak semua orang suka berbohong. Bahwa kebohongan bukanlah satu-satunya jalan keluar. Bahwa sebuah kebohongan mustahil sanggup bertahan selamanya. Bahwa hidup sesungguhnya bisa saja sederhana jika kamu mau menyederhanakan maknanya.

Kadang, Dara juga heran sih bagaimana mungkin ada orang yang begitu berani seblak-blakan itu serta serasa nggak pernah takut akan apa pun? Cih! Dia orang apa Dewa?

Anehnya, semua memanglah selalu bisa terkendali bila itu di tangan Pak Rega. Meski, ya Dara tahu kok semaksimal apa usaha yang kerap pria itu curahkan dalam setiap pencapaian yang sukses ia dapatkan.

Selain itu, Pak Rega juga kaya dan ganteng kan?

Seharusnya sih, nggak susahlah untuk menyukai pria seperti itu.

Tetapi, serius. Bukan suka kepada laki-laki. Dara suka sama Pak Rega karena, pria itu bisa memanusiakan dirinya—biarpun ya gitu sering sambil disambelin.

Lagi, udah gila kali Dara kalau sampai nekat naksir Pak Rega. Ewh! No, no, never! Hidup Bosnya tuh drama banget!

Beneran deh. Sumpah!

Nih, ya Dara pikir hidupnya udah yang paling nelangsa juga drama. Amit-amit jabang bayi deh pokoknya! Hingga suatu hari dia lihat sendiri sesinetron apa hidup Bosnya, Pak Rega.

Ugh!

Dara bahkan masih ingat hari saat dia memungut berwadah-wadah tupperware berisi makanan empat sehat lima sempurna dari dalam lubang tong sampah di lantai tiga VER, yang kemudian langsung dia serahkan pada Pak Rega sambil berseru lantang:

"Jangan pernah bilang Pak Rega kalau saya datang!" Menyalin secara sempurna teriakkan Bu Meta—istri Pak Rega—yang Dara dengar tepat sebelum perempuan itu dengan air mata yang tumpah ruah di wajahnya berlari pergi.

Sementara Pak Rega yang saat itu baru saja menyelesaikan serangkaian kegiatan photoshoot, yang di mana dengar-dengar profil lengkapnya bakalan segera mejeng di salah satu rubik majalah fashion kenamaan asal Perancis, langsung menembakkan bola matanya yang seganas peluru ke arah manik Dara.

"Terus?"

Dara bergeming.

Dia bingung.

Iyalah!

Bu Meta datang. Dia mungkin melihat sesuatu yang nggak semestinya dia lihat. Dia marah—auh, boleh jadi lebih dari sekadar marah sih sebab, dia sampai melempar serantang makanan yang dia bawa, Dara bahkan curiga kalau dia milih buat diam saja, Pak Rega bakal digugat cerai.

Ya, itu bisa saja terjadi loh ya.

Bu Meta juga udah berpesan agar Dara merahasiakan perihal kedatangannya ke VER. Yang mana Dara paham betul kalau nggak ada satu rahasia pun di muka bumi ini yang nantinya enggak menimbulkan masalah dan bahaya. Lalu, ya Bu Meta pergi. Mana sambil nangis. Entah ke mana.

Di luar itu, praktis Dara nggak tahu apa-apa. Lagi. Selain satu kesimpulan yang dia tarik secara cepat bahwa, kendati harus mengingkari permintaan Bu Meta, tapi Dara yakin dia harus berkata sejujur-jujurnya kepada Pak Rega.

Dia tahu nggak baik mencampuri urusan orang lain. Namun, dia ingat janjinya sewaktu Pak Rega memutuskan untuk memilihnya yang cuman fresh graduate dengan background serta modal yang sungguh ala kadarnya. Nggak muluk-mulut Pak Rega hanya mau Dara jadi 'orangnya', atau ya selama ini sih Dara kerap menjabarkannya sebagai 'babunya'.

Di sini yang ngasih dia gaji adalah Pak Rega, bukan Bu Meta. Jadi, udah jelas kan dia ada di blok mana? Nah, terus ... terus apaan dong ini?!

"Terus kenapa masih di sini?" Pak Rega menggeram persis singa mau tarung yang ajaibnya justru sanggup mencabik-cabik seluruh kegamangan Dara di awal.

Sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana dengan tak sabaran pria itu masih sempat berdesis dingin sekali ketika melirik Dara melalui ekor matanya yang memanjang. "Carikan saya tiket pesawat yang terbang malam ini juga. Dan, saya enggak mau tahu, bagimana pun caranya saya mau penerbangan direct!"

Oke. Bagaimana pun, ya? Ini sih jelas sekali. Biar pun Dara harus menjilat kaki seseorang, dia tetap harus mendapatkannya.

"Iya," sanggupnya toh, itu sepertinya gampang. Dara bisa saja mengusahakannya. "Tapi, tiket pesawat untuk ke mana, Pak?"

Sialnya dari wajahnya yang mendadak kaku Dara tahu, bila Pak Rega pun tidak tahu. Lalu, apa yang harus Dara lakukan?

Oke. Karena, Pak Rega minta dicarikan tiket pesawat maka, anggaplah jika Bu Meta pergi ke bandara—entah bagaimana caranya Pak Rega dapat menerkanya, bodo amat.

Bandara mana? Pasti cuma dua kemungkinan kan? Ke Halim atau Tangerang. Dara bisa pilih salah satu dari kedua bandara itu. Tapi, untuk ke mana?

Itu ... bisa jadi ke rumah Bu Meta yang ada di Solo. Atau ... oh, tolonglah, orang kabur mana kira-kira yang bakal milih destinasi semudah itu buat ditebak?! Argh! Sial!

Mana nggak mungkin juga kan Dara bisa pesan semua tiket pesawat yang memiliki jadwal terbang malam ini baik keluar atau dalam negeri? Mustahil!

Pun, sejauh dia mengenal Pak Rega, rasa-rasanya Dara belum pernah sekali pun melihat melalui mata kepalanya sendiri apabila pria super-sombong, yang kerap mengentengkan segalanya seolah dia manusia tak bercela—yang sanggup mewujudkan semua hal bak ia wakil Tuhan—itu ternyata bisa cemas.

Dara menyaksikannya. Sewaktu jari-jari Pak Rega yang panjang bergetar samar ketika dia buru-buru mengetikkan sesuatu di layar ponselnya—yang entah apa.

Dara sungguh tak menyangka jika Bosnya yang narsistik serta seakan nggak punya urat khawatir di dirinya, ternyata bisa tampak semanusiawi itu.

Akhirnya, dia bisa risau. Mana ke istrinya pula yang selama ini orang-orang selalu ribut meramal kalau hubungan keduanya nggak akan berhasil. Pak Rega sangat mencintai dirinya sendiri, serta ya Bu Zianne sih. Selebihnya, semua orang sangsi kalau orang ini bakal mampu menganggap orang lain penting di hidupnya. Namun ....

"Siapin saya private jet."

Netra Dara membola. "Gimana, Pak?"

Tak butuh jeda Pak Rega langsung melontarkan pelototannya yang lebih menyeramkan dari Chucky. "Buruan!"

Dara sontak gelagapan. Ia melirik arloji murahannya. Buset! Jam kerja udah mepet banget mau abis. Operasional charter juga pasti iya kan? Apa masih bakal keburu?

"Pak ... kalau nggak bisa?" ujar Dara.

"Saya nggak kenal apa itu istilah 'nggak bisa', Sandara," cetus Pak Rega pongah selayaknya ia yang sedia kala. "Dan, seharusnya bisa-bisa saja asal kamu nggak banyak buang waktu. Siapkan. Atau, saya perlu lakukan sendiri?" pungkas Pak Rega yang di telinga Dara tertafsir sebagai: kerjakan atau kamu saya tendang!

"Saya," tukas Dara segera. "Biar saya yang siapkan. Semua pasti beres sesuai dengan yang Bapak inginkan."

Bangsat! Beres kepalamu, gerutu dewi magang yang masih doyan ngumpat di hati Sandara.

Hish!

Tetapi, ya serupa dengan motto Pak Rega yang tanpa sadar ikut Dara adopsi bahwa nggak ada masalah yang nggak bisa terselesaikan. Semua persoalan selalu datang sepaket dengan jawabannya. Itulah mengapa ia disebut soal kan?

Jadi, walau dia eh maksdunya Pak Rega harus merogoh kocek pribadinya hingga nyaris setengah miliar—uh, Si pria super-medit bin kikir yang bahkan nggak pernah nawarin Dara snackbar yang suka ngegeletak di mejanya itu, membuang hartanya yang berharga sebanyak itu demi mengudara dalam tempo dua jam saja—Dara cukup yakin kok setali dengan dia yang nggak menyesal telah memutuskan untuk memberi tahu Pak Rega, Bosnya itu tentulah enggak merasa keberatan terhadap aksi tebar duitnya di hari itu.

Sebab, jawaban luar biasa inilah yang berhasil diperoleh.

Sandara rasa-rasanya nggak nyangka bila waktu sudah bertahun-tahun berlalu dari hari itu. Hidup Bosnya yang amat drama nan njelimet sukses menjelma menjadi satu hidup yang penuh akan suka-cita hingga menghadirkan sosok seenergik dan secakep Calibra Bhagirathi Prakostama.

Dara tengah merangkum jari-jemari mungil Calibra yang beberapa waktu kemarin sempat opname gara-gara alergi kacang di genggaman tangannya. Meninggalkan Pak Rega yang tadi tiba-tiba dihadang oleh Mas Nuga, seorang Pemred dari salah satu media tersohor tanah air, yang Dara duga sih mereka bakalan ngebahas tentang rencana launching produk baru VER sekaligus publisitasnya, atau bisa juga perihal Cévo—buktinya Pak Rega kontan tertarik—itulah mengapa mereka langsung ngadain meeting berdua di Liberica.

"Mbak Ara?" panggil Calibra yang sebelum makan siang tadi tahu-tahu diantar Bu Meta ke VER. Dalihnya sih lagi kangen Papanya. Yang kayaknya sih emang rindu banget soalnya gadis itu terus menggelendot macem lintah di tubuh besar Sang Papa, nggak mau lepas. Andai barusan dia nggak lihat seseorang di dekatnya makan banana toast terus kepincut, mereka tentulah masih akan bermain batu-gunting-kertas di pojokan cafe mungkin sampai habis jam makan siang. Mengingat Pak Rega jarang meeting dengan instan.

"Iya, Kak. Kenapa? Mau Mbak gendong?" tawar Dara yang otomatis Calibra gelengi.

"Lalu?"

"Mbak Ara pernah ke luar negeri enggak?"

Em, baru sekali sih. Pas itu kebetulan sedang ada promo tiket murah. Karena, penasaraan tiap kali dengar cerita teman-teman kantornya soal liburan ke luar negeri mereka yang kok ya menarik amat maka, Dara putuskan buat coba berangkat ke Vietnam. Kalau transitnya di Kuala Lumpur selama  3 jam yang cuma ia pakai untuk duduk di airport bisa masuk hitungan luar negeri juga berarti Dara udah dua kali. Kendati kalau dibandingkan Calibra yang masih dua setengah tahun, tapi telah malang melintang ke berbagai negara dan benua, ilmu soal luar negerinya pastilah cuma secetek selokan.

"Pernah. Kenapa gitu, Kak?" tanya Dara balik.

Calibra bergumam. "Lyon itu kayak apa ya Mbak Ara?"

Entah. Padahal hampir tiap tahun selalu ada jadwal keberangkatan dari VER ke Perancis. Namun, enggak sekali pun nama Dara ada di daftar orang-orang itu.

Kalau dari curcolan Mbak May yang waktu itu pernah nugas ke acara Paris Fashion Week sih. Katanya, Paris itu bau pesing. Nggak tahu dia ngomong begitu emang beneran atau biar Dara nggak ngiri aja gara-gara belum pernah mengendus udaranya. Pokoknya, nggak seromantis di foto yang melulu berbau menara Eiffel. Mana dia juga pernah kecopetan pula di sana. Duit dan seluruh kartu-kartu pentingnya raib. Untungnya dia berangkat bareng Miko jadinya nggak nyampe mesti dadakan ngegembel.

Kemudian, bicara mengenai Miko. Dara baru mau menjawab semi mengarang bebas atas pertanyaan Calibra yang bakal hijrah ke The Hexagon.

"Lyon itu—"

Sewaktu netranya yang menerawang jauh begitu saja menjaring wujud familier seseorang.

Seseorang yang terlalu mencolok untuk dia salah lihati.

Iyalah.

Selembar kemeja lime yang agak-agak norak, tapi trendy itu memang jebolan brand apa kalau bukan VER? Dan di luar Pak Rega, laki-laki di ibukota yang punya self-confidence setinggi gunung emang siapa coba? Lagi, Dara cuma minus nol koma lima enggak buta. Jadi, dia tahu kalau yang dia temukan memanglah sosok Jatmiko Sadewo yang tinggi besar!

Miko yang ternyata udah diam-diam mengambil kunci di mejanya yang sempat bikin Dara kalang kabut gara-gara takut kalau-kalau kunci mobil Mama hilang. Dara pikir kuncinya jatuh nggak tahu di mana? Dia bahkan sampai disemprot Pak Rega karena berantakin meja. Untunglah pas lagi bingung-bingungnya gitu ada yang mengadu padanya bahwa dia lihat Miko keluar dari basement pakai mobil Vios biru.

Dasar!

Iya. Dasar!

Dara bahkan nyaris mau muntah saat mulai membayangkan kehilangan mobil tersebut. Bikin Mama kecewa dan dimarah-marahin sama Mbah Nung. Setelah bikin kekacuan terhadap apartement Miko yang mahal itu. Gimana dia bisa menggantinya kalau mesti ngilangin mobil juga? Ginjalnya kalau dijual pun pasti nggak bakalan cukup buat ganti!

Jatmiko Keparat!

Eh?

Tapi ... siapa sih itu yang tengah berdiri di samping Miko? Dara kayak pernah lihat deh. Wait! Dia itu ....

"Tante Pritaaaaaaa!" Calibra udah terlebih dahulu melepas genggaman tangannya dan berlari sambil meneriakkan nama yang sempat melintas di benak Dara.

Iya. Benar.

Itu ... Prita. Yashinta Prita Akbar. Mantan Miko yang em ... kenapa mereka bisa berduaan, anyway?

***

Halo, kami kembali. Akhirnya penyakit kambuhan bernama males yang kadang mampir itcyuuu kabur juga 🤣🤣🤣

Bab ini serasa direm yah karena banyak ngebacot soal masa lalunya. But, setiap flashback yang simbaak tarik itu selalu untuk kebutuhan plot dan perkembangan karakter baik Dara atau Miko. DAN, WARNING CERITA INI ALURNYA LAMBAAAT BEUDDDD GAESSS WKWKWK

Karena Dara sama Miko ini sama-sama banyak nyembunyiin sesuatu so buat ngehindarin info yang numpuk mau-nggak mau beberapa cerita tentang masa lalu mereka juga clue-clue soal konfliknya udah pelan-pelan simbaak tebar dari bab pertama.

Betewe, serius deh saya happy banget bisa nulis ceritanya Dara sama Miko ini. Walaupun gaya dan cara nulis saya agak aneh di cerita ini. Tapi, beneran saya suka banget sama mereka. Hopefully, kamu bisa ketularan suka juga ya.

Yang kebetulan masih nyari Bwang Sambel Rega yang hidupnya kayak sinetron hari besok PO-nya dibuka lagi loh 🤣🤣🤣

Terima kasih udah menunggu dan membaca ya 💜💜💜

Mbak Dara masa sih kamyuuu tipenya laki sambel mercon meleduk kayak Bwang Pak Bos Medit Rega? 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro