Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Welcome to Ohio (Fantasy x Dystopian)

Cerpen ini diikutsertakan dalam event swap idea dari NPC2301. Jumlah katanya pas banget 1500, nggak gantung di tengah jalan dan di-publish sampai tamat. Tidak ada visual untuk tokoh-tokohnya, jadi kamu bisa sebebasnya berimajinasi.

Happy reading🤗❤️

*****

Aku membuka mata, dan dengan segera menutupnya lagi ketika cahaya yang luar biasa silau menusuk indra penglihatanku. Sangat panas. Tidak hanya matahari yang begitu terik, tetapi suhu sekitarku pun begitu. Aku berbaring di tanah yang mengering. Angin berembus membawa butiran debu. Dengan sisa tenaga yang ada, aku menegakkan tubuh sambil mengerang.

Kutengok kanan kiri. Sunyi. Hanya terdengar embusan angin dan koakan burung gagak. Aku masih terdampar di tempat yang sangat aneh. Bagaimana tidak? Di atas kepalaku langit tidak berwarna biru cerah, melainkan jingga keabuan. Sangat suram, bahkan tidak ada awan sama sekali. Bangunan kosong yang terbuat dari besi dan bata menjulang tinggi. Mayoritas berbentuk persegi panjang. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, nyaris semua pepohonan di sini telah mati. Ya, tidak heran. Sudah nyaris dua puluh empat jam aku tidak menemukan sumber mata air.

Sepertinya nasibku akan sama seperti pepohonan itu. Mati menyedihkan karena dehidrasi.

Tubuhku lemas. Nyaris seluruh kekuatanku sudah digunakan untuk berlari di hari pertama tiba di tempat ini. Seandainya saja aku masih memiliki kemampuan sihir, sudah kuucapkan mantra untuk mengeluarkan air dari telapak tangan. Tentu saja, dengan kemampuan sihirku yang hebat, aku bisa membuat makhluk ganas bermata aneh itu lenyap menjadi abu.

Kupertajam pendengaran, syukurlah tidak ada suara raungan dari sekitar. Mahluk yang kutemui kemarin benar-benar membuatku merinding. Mereka memiliki fisik seperti para penyihir, tetapi bola mata mereka keseluruhan berwarna putih. Tubuh mereka kurus. Kulit mereka berwarna biru keabuan, seperti membusuk. Tatapan mereka kosong, dan sepertinya akal sehat pun tidak berfungsi. Mereka meraung-raung dan mengejarku tanpa alasan. Syukurlah lariku lebih gesit dari mereka.

Aku tidak mengerti. Di mana aku? Makhluk apa yang kutemui kemarin? Aku sudah membaca banyak ensiklopedia di perpustakaan akademi, tetapi tidak ada informasi tentang tempat ini. Aku juga mengetahui banyak makhluk sihir maupun mitologi, tetapi tidak familier dengan mereka.

Dewa, ke manakah kau mengirimku? Mengapa kau mengambil kemampuan sihirku?

Suara cacing di perut menginterupsiku. Aku tersenyum getir. Sudah nyaris dua puluh empat jam pula aku terdampar tanpa makanan di dunia yang bahkan pepohonannya tidak ditumbuhi buah-buahan.

Tidak. Aku tidak boleh mati seperti ini! Penduduk desa akan sangat berduka kehilangan penyihir brilian sepertiku! Dengan sisa tenaga yang ada, aku bangkit dan berdiri tegak, lalu melangkah tanpa arah. Hanya mengikuti insting, berharap menemukan apa pun yang bisa dimakan.

Aku menyeret langkah mengikuti jalanan yang keras dan panas. Kanan kiriku didominasi oleh bangunan dengan istilah aneh. Apartemen, hotel, bengkel, apa pula itu? Aku semakin yakin tempat ini bukanlah duniaku.

Aku pernah dengar tentang dunia paralel, tetapi sialnya mereka melarangku mencari tahu. Memangnya kenapa kalau usiaku belum tujuh belas tahun? Lagi pula, kecerdasanku melebihi penyihir yang sudah dinyatakan dewasa!

Ada satu bangunan yang menarik perhatianku. Tujuh ... sebelas? Bangunan macam apa yang diberi nama berdasarkan angka? Ah, tapi masa bodoh! Aku berbelok, berjalan mendekati bangunan itu.

Kutempelkan telapak tangan dan pipi ke pintu kaca lebar. Apa ini? Mengapa ada orang gila yang menjadikan kaca sebagai pintu? Mengapa tidak kayu saja? Lalu, aku menerawang ke dalam kegelapan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi aku melihat banyak benda aneh yang tersusun di atas rak besi.

Ya, bisa jadi itu benda-benda sihir yang dapat membantuku pulang!

Kutarik berkali-kali gagang pintu yang ternyata macet. Aku berhenti sebentar dan mendesah kasar. Seandainya saja aku bisa membukanya dengan sihir, jadi tidak perlu susah-susah memakai tenaga! Mau berapa kali ditarik pun, pintu tidak terbuka juga. Sekarang, kudorong pintu itu sekuat tenaga dan sialnya terbuka. Tubuhku nyaris terjerembab ke dalam kegelapan, tetapi kakiku sigap menahan berat badan.

Dengan pencahayaan seadanya aku berkeliling ruangan. Kuambil satu per satu benda aneh ini dan kuteliti. Kulihat gambar ikan di dalam tabung kecil berbahan besi. Sarden, katanya. Apakah di dunia ini ada ikan jenis baru? Ada pula tabung-tabung besi dan kemasan dengan gambar sapi. Di sana tertulis sosis dan kornet. Kuambil semua barang itu dan lanjut berkeliling.

Di salah satu rak, terdapat botol-botol berbentuk aneh. Ketika mendekat, senyumku mengembang. Kusambar salah satunya. Aku tidak pernah merasa selega ini seumur hidupku. Botol aneh transparan itu rupanya berisi air! Penyihir di dunia ini pun punya roti, tetapi dengan bentuk yang aneh.

"Akhirnya!" seruku sedikit tertahan. Kupandangi benda-benda bergambar sapi dan ikan di tanganku yang lain. "Jika penyihir di alam ini bisa menyegel air dan roti, mungkinkah mereka juga menyegel sapi dan ikan dalam tabung ini? Jika iya, aku bisa membebaskan mereka dan memakannya!" Kemudian, aku keluar dari 7-Eleven.

Namun, senyumku pudar. Sekarang, bagaimana caranya membuka segelnya tanpa sihir? Aku mengamati setiap sisi benda itu, berharap menemukan petunjuk atau celah, tetapi nihil. Kupukul-pukul tabung besi itu ke jalanan yang keras, kuinjak-injak, dan kulempar cukup keras. Segelnya tetap tidak terbuka. Aku berteriak frustrasi. Sial! Seandainya sihirku pun bisa digunakan, bisa jadi segel di dunia ini berbeda dengan yang kuketahui. Semuanya percuma.

Bulu kudukku berdiri ketika lagi-lagi mendengar raungan di kejauhan. Jantungku berdebar cepat. Pandanganku mengedar. Di satu titik di kejauhan, aku melihat kerumunan mendekat. Lima? Tidak! Bahkan mungkin sepuluh mahkluk dengan mata aneh itu! Dengan gigi yang siap menerkam, mereka berlari ke arahku.

Aku berlari sambil memeluk benda-benda sihir yang kutemukan. Lariku memang lebih cepat dari mereka, tetapi aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan.

Makhluk aneh itu semakin mendekat. Sambil berlari, aku melempar tabung ke arah mereka. "Rasakan ikan sarden ini!" teriakku.

Tabung besi itu mengenai kepala salah satunya, tetapi makhluk itu tidak roboh. Ia meraung keras dan berlari semakin cepat. Oh, bagus! Makhluk itu semakin marah!

Entah sudah berapa jauh berlari. Lututku terasa lemas. Tungkaiku bergetar hebat, dan pada akhirnya kehilangan keseimbangan ketika menyandung bebatuan. Aku terjerembap. Benda-benda sihir di tanganku berjatuhan.

Meskipun ingin melawan, tetapi aku merasa tidak berdaya. Tubuhku enggan diajak berlari lagi. Lutut dan lenganku pun terasa perih, dan kurasakan darah menerobos lapisan kulitku yang robek. Sebelum tiba di neraka ini, aku mampu melakukan apa pun. Aku lebih cerdas dari siapa pun. Semua orang menatapku tak suka. Tentu saja, mereka iri dengan penyihir muda brilian sepertiku. Namun, kini kemampuan yang kubanggakan itu telah tiada. Tidak pernah kubayangkan diriku akan berada di titik serendah ini.

Ya, mungkin inilah akhir hidupku. Maafkan diriku yang congkak ini, Dewa.

Tiba-tiba, terdengar suara yang begitu memekikkan telinga. Lagi dan lagi. Aku meringkuk sambil menutup telinga. Apa ini? Suara ledakan? Tidak. Lebih halus. Dan apa ini? Suara gemuruh juga?

Terdengar suara meraung-raung seperti kesakitan. Ketika aku mengintip dari balik lenganku, makhluk-makhluk itu berjatuhan. Seperti ada ledakan-ledakan kecil di kepala, badan, dan kaki mereka. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, semuanya roboh.

"Naik ke truk, Bocah!"

Aku mendongak ke arah sumber suara. Tidak jauh dariku, berhentilah kendaraan yang terlihat seperti gerobak besi besar, tetapi bagian depannya tertutup. Seorang wanita berdiri di atasnya, membawa benda hitam besar yang dapat mengeluarkan suara berisik. Pria gondrong di sebelahnya melompat dari truk, berjalan mendekat dan menarikku berdiri.

"Lepaskan!" Aku memberontak.

"Ikut kami atau mati jadi zombie. Pilih!" bentak pria itu.

Terdengar suara raungan dari arah belakang. Wanita di atas truk berputar, mengarahkan benda besar di tangannya ke arah kerumunan makhluk yang berlari mendekat. Dor! Dor! Dor! Roboh satu, datang tiga, begitu seterusnya. Lututku lemas. Bagaimana bisa mahluk itu terus berdatangan?

"Clea! Jonah! Mereka semakin banyak! Berhenti menembak, kita pergi sekarang!" teriak seorang pria berambut afro yang kepalanya menongol dari depan truk.

"Jonah! Bawa dia!" teriak wanita di atas truk.

Pria gondrong yang bernama Jonah itu membopongku ke truk. Dibantu Clea, aku naik ke atas. Tiba-tiba, makhluk bengis itu menarik kakiku, tetapi kepalanya ditendang oleh Jonah. Setelah lepas dari cengkeraman makhluk itu, truk melaju dengan kecepatan tinggi. Dari atas truk, aku bisa melihat kawanan mahluk itu semakin mengecil hingga menghilang ditelan jarak. Tubuhku merosot, dadaku masih berdebar cepat. Aku duduk sambil mengatur napas.

"Pakaianmu unik. Dari mana asalmu?" tanya Clea. Hei, justru pakaiannya yang unik! Clea tidak mengenakan jubah dan rompi seperti kebanyakan penyihir. Ia mengenakan kaos tanpa lengan dengan celana hitam yang agak kebesaran.

"Di mana aku?" Aku balik bertanya.

"Ohio," jawab Jonah.

"Ohio? Di mana itu?"

"Amerika?" jawab pria itu dengan alis terangkat.

Aku membuka mulut, hendak bertanya lagi, tetapi kuurungkan.

"Hei, kurasa ia bukan warga negara Amerika." Jonah menyikut Clea. "Lihatlah mata dan kulitnya. Kurasa ia orang Asia. Ia juga terlihat linglung. Seperti ... tersesat?"

Kemudian, Clea menjitak pria itu. "Kau tidak boleh menyebutkan ras seseorang langsung di depannya, Bodoh!"

Aku semakin bingung. Ohio? Amerika? Asia? Aku tidak pernah mendengarnya.

"Kau tidak digigit, kan?" tanya Jonah padaku.

Aku mengernyit. "Sori?"

"Digigit zombie?"

"Oh." Kali ini aku paham. Jadi, itulah nama makhluk bengis itu. Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak."

Lalu Jonah tersenyum. "Bagus. Karena aku akan melemparmu dari truk jika kau sudah digigit."

Sepanjang perjalanan, Clea dan Jonah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga memberiku makanan dan air. Rupanya, tempat yang bernama Ohio ini terkena wabah. Makhluk bernama zombie adalah korbannya, dan sebisa mungkin aku harus bertahan hidup tanpa berubah menjadi salah satu dari mereka. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Clea dan Jonah mengakui diri mereka sebagai manusia! Luar biasa! Kukira penyihir tanpa kemampuan hanyalah mitos.

Namun, manusia yang kutemui lebih tahu tentang dunia ini. Di malam hari, aku banyak merenungi eksistensiku. Di Ohio, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan kerikil di jalanan. Ilmu pengetahuanku tentang sihir pun tidak berguna di sini. Aku merasa kecil. Aku pasti mati jika bukan karena kebaikan hati Clea dan Jonah. Mereka memang tidak bisa menggunakan sihir, tetapi mereka punya senapan, granat, dan yang lebih penting persediaan makanan. Untuk bertahan hidup, semua itu lebih penting daripada sihir.

Sekarang aku mengerti mengapa Dewa mengirimku ke tempat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #cerpen