Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cherry Blossom (Teen Fiction)

Asa Butterfield as Casey Denver

Sabrina Carpenter as Madison Cooper

*****

"Kabar bagus, kawan-kawan!"

"Band kita terpilih untuk tampil di malam prom!"

Riuh tepuk tangan mengisi ruang musik ketika Mark, bassist kami dan Madison, sang vokalis berdiri di depan dan mengumumkan sebuah berita baik. Band kami, The Equanimous, terpilih untuk tampil di acara pesta dansa bergengsi di sekolah.

Mark melingkarkan lengannya di bahu Madison, tiba-tiba saja kedua maniknya tertuju padaku. "Itu semua berkatmu, Casey! Lagu yang kau tulis sangat brilian."

"Oh, thanks!" Aku yang sedang duduk di salah satu bangku menjawab.

"Kami ingin kau kembali menulis lagu untuk prom." Madison tersenyum.

Aku membalas senyumnya dan mengangguk.

"Kita harus merayakan kemenangan ini, 'kan?" tanya Logan, drummer kami.

Mark menjentikkan jarinya. "Ide bagus! Marathon movie dan menginap di rumahmu, Logan?"

"Cool! Sebaiknya kalian bawakan camilan yang banyak, karena kita akan begadang sepanjang malam dan orang tuaku tidak akan pulang," ujar Logan.

"Aku dan Mads akan mampir ke minimarket sebelum datang ke rumahmu." Logan mengerling ke arah Madison sambil mengedip nakal.

"Deal!" seru Madison. "Kau ikut, Casey?"

Aku mengangguk antusias. "Tentu saja!"

Latihan siang ini berlangsung seperti biasa, tetapi dengan suasana yang berbeda. Kemenangan The Equanimous tentu saja menambah semangat kami dalam bermusik. Prom diadakan sekitar dua bulan lagi, waktu yang cukup untuk berlatih.

Madison, kami biasa memanggilnya Mads, kembali mengalihkan perhatianku. Gadis pirang dengan suara soprano itu menyanyikan bagiannya dengan sempurna. Tidak jarang aku mencuri pandang ke arahnya sambil memetik gitar elektrikku. Sebagai anak band, tentu saja penampilannya jauh dari kesan anggun. Tidak pernah memakai high heels atau rok pendek, gadis itu lebih nyaman dengan skinny jeans dan t-shirt. Converse Chuck Taylor High berwarna putih gading dengan tali sepatu merah muda melengkapi penampilan imutnya. Madison sesekali mengenakan sabrina top atau blouse, tetapi tidak pernah lupa memasangkan kedua fashion item itu dengan sneakers kesayangannya.

Tiba-tiba, Madison menangkap pandanganku. Ketika ia melempar senyum, dengan gugup aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

Karena sepanjang lagu perhatianku hanya terfokus padanya, latihan siang ini terasa lebih cepat. Tak terasa semburat jingga sudah tampak di langit Brooklyn, waktunya untuk mengakhiri sesi latihan dan pulang. Sambil merapikan gitar elektrikku, lagi-lagi atensiku tertuju pada Madison dan Mark yang sedang bersenda gurau.

Kedua insan itu tertawa bersama-sama. Tidak jarang Madison memukul lengan Mark dengan lembut karena lelucon konyol yang dibuat oleh pemuda bertubuh atletis itu. Begitu pula dengan Mark, ia tidak segan-segan menyentuh surai pirang bergelombang milik gadis itu di tengah percakapan. Siapa pun yang melihat mereka, pasti setuju bahwa keduanya sangat serasi.

Logan sudah pulang terlebih dahulu dengan mobil Audi-nya, sedangkan Madison dan Mark menghilang di persimpangan koridor. Padahal, kami keluar dari dalam ruang musik bersama-sama, tetapi kedua sejoli itu asyik dengan diri mereka masing-masing.

*****

Beberapa minggu berlalu, tidak ada latihan band hari ini. Aku membuka pintu coffee shop di depan sekolah, kedua kakiku melangkah dengan sendirinya ke depan kasir. Tanpa perlu menghabiskan waktu untuk berpikir, aku selalu memesan jenis kopi yang sama.

"Caramel macchiato," ucapku pada kasir.

Karyawan coffee shop mulai memproses minumanku. Tiba-tiba saja, aku merasakan kehadiran seseorang di samping kananku. Aroma cherry blossom memenuhi indra penciumanku.

"Hai, Casey."

Karena merasa familier dengan aromanya, dengan spontan aku menoleh ke arah kanan.

"Hai, Mads," jawabku.

Tentu saja aku tahu kalau Madison Cooper sedang berdiri di sampingku. Aku tidak mengenal gadis lain dengan parfum beraroma cherry blossom selain dirinya. Kali ini, gadis itu menguncir rambutnya menjadi model ekor kuda dengan sisa rambut yang sedikit menutupi telinganya. Sangat manis!

"Green tea latte." Kini gilirannya berbicara pada kasir.

"Um, sedang apa kau di sini?" tanyaku.

"Bercocok tanam." Gadis itu bergeming sesaat, kemudian terkekeh. "Tentu saja membeli minuman!"

"A-aku tahu. Maksudku, kau sendirian? Di mana Mark?" tanyaku gugup.

"Kami tidak pulang bersama hari ini." Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum kembali padaku. "Mau cari tempat duduk?"

Aku mengerjap beberapa kali. "Tempat duduk?"

Tidak menjawab, gadis itu sudah pergi meninggalkanku dan berjalan menuju salah satu meja di samping jendela, dengan cepat aku menyusulnya.

Kami duduk berhadapan, saling melempar tatapan sebelum kembali terhanyut dalam pikiran masing-masing. Keheningan panjang meliputi kami hingga pelayan meletakkan dua gelas minuman di atas meja.

"Kupikir kau akan pesan sesuatu seperti espresso atau sejenisnya." Aku membuka percakapan.

"Aku suka green tea latte, apakah itu aneh?" tanya gadis itu sambil menyeruput minumannya.

"T-tidak. Aku hanya penasaran."

Gadis bersurai pirang itu meletakkan gelasnya di atas meja. "Lambungku bermasalah dengan kafein, dadaku juga selalu berdebar-debar setiap kali meminum kopi."

"Oh, begitu," ucapku cepat.

"Menyebalkan, bukan? Di saat remaja lain bisa memesan ice coffee setiap harinya, tetapi tubuhku tampaknya tidak suka dengan ide itu."

"Kurasa itu bukan hal yang aneh. Menjadi berbeda itu ... unik."

Madison menyeringai. "Kau berpikir begitu?"

"Yeah. Lagipula, apa kerennya kopi? Itu hanya minuman!"

Gadis itu tertawa mendengar respon dariku, rona merah tipis tampak di kedua pipinya. Iris hazel-nya tertuju pada gelas caramel macchiato-ku.

"Tapi kau mampir ke tempat ini setiap hari dan selalu membeli kopi," ujarnya.

"Aku melakukan ini bukan untuk mengikuti tren. Untuk menulis lagu sepanjang malam, aku butuh asupan kafein," terangku.

"Oh ya? Ngomong-ngomong, sudah sampai mana lagu yang kau tulis?"

Aku membuka ransel dan mengambil binder berwarna hitam dari dalam sana. Karena kurang berhati-hati, beberapa lembar kertas musik terjatuh dari sana.

"Ups!" seruku.

Aku dan Madison merunduk, bersama-sama mengambil kertas-kertas musikku yang berserakan di lantai. Tanpa sengaja, kami mengambil lembaran yang sama. Hal itu membuatku semakin gugup, dengan spontan aku menegakkan tubuh, tetapi lupa dengan posisiku yang masih berada di bawah meja. Alhasil, kepalaku mengenai permukaan bawah meja, menghasilkan bunyi yang cukup keras.

"Ouch!" Aku meringis.

Madison tertawa. Gadis itu kembali menegakkan tubuhnya, lalu membantu merapikan lembaran musikku yang berceceran. Perasaan maluku semakin menjadi-jadi, aku bahkan tidak sanggup untuk menatapnya. Kehangatan menjalar di kedua pipiku.

"Kau lucu, Casey," celetuknya.

"Apa?"

"Kau lucu."

*****

Temukan kelanjutan kisah Madison dan Casey di antologi cerpen yang berjudul 'Dear, You!'

Penulis: writingdt_

Penerbit: Setia_Media

Genre: Teen Fiction

Tema: Secret Admirer

Blurb

Ketika rasa sudah kehilangan bahasa dan suara, maka akan ada hati yang diam-diam mencintai.

Hei, kamu ... yang sepertinya sudah lelah berjalan, kemarilah. Duduk sebentar dan dengarkan, "Mulai dari sini, akan ada segelintir dari manusia-manusia yang mencintai, tetapi perasaannya disembunyikan oleh ketidakmampuan."

Ia adalah bentuk dari kebimbangan. Yang hanya bisa berteman dengan malam dan kegelapan, sedang kamu seterang cahaya yang diidam-idamkan. Semesta, catatlah di dalam buku kenanganmu. Karena saat ini, akan ada satu manusia yang jatuh lagi. Untuk cinta dan rahasia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #cerpen