Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Selir Sang Senja

༶•┈┈⛧┈♛ ♛┈⛧┈┈•༶

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐛𝐢𝐫𝐭𝐡𝐝𝐚𝐲, 𝐀𝐤𝐚𝐬𝐡𝐢 𝐒𝐞𝐢𝐣𝐮𝐮𝐫𝐨!!

20/12/2021

༶•┈┈⛧┈♛ ♛┈⛧┈┈•༶

"Argh!"

Badanku terhentak. Begitu terbangun aku sudah mendapati diriku terjatuh dari kasur. Mimpiku buruk sekali.

"Sei? Kau sedang apa? Mimpi buruk lagi, ya?"

Aku mengangguk lemah sebagai jawaban.

Itu Cintaku, Sayangku. Batu berlian yang paling ku jaga selama hidupku. Kami sudah tinggal bersama selama enam bulan.

Tangan maeran tergerak merangkul tengkuk ku yang menggigil walau dipenuhi peluh. Aku suka sentuhannya. Hangat. Rasanya seperti hidup kembali.

"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja, Sei. Hari ini adalah hari ulang tahunmu. Semua pasti akan berjalan sesuai keinginanmu, dan mimpi burukmu akan berhenti datang padamu," katanya lembut sambil mengecup kedua kelopak mataku dan mengusap lengan atasku.

Aku selalu suka perlakuannya. Hanya dia yang bisa meredakan efek samping mimpi burukku. Aku juga suka senyumannya. Senyumannya selalu merekah cerah mengingatkanku pada mentari senja di hari aku mengajaknya berkencan pertama kali.

Rasanya senja di hari itu hanya akan jadi milikku dan Maeran.

Aku benar-benar bersyukur di usiaku sekarang aku menemukan wanita sebaik, sepengertian dirinya. Ulang tahun pertamaku setelah hadirnya gadis cantik ini di hidupku selalu ku nanti-nanti. Sungguh, kehadirannya benar serupa pelangi ribuan rupa jika dibandingkan dengan hidupku yang monoton dan cenderung menyiksa ini.

Tuntutan hidup dari Ayahku benar-benar tidak ada habisnya. Setelah berhasil melampaui semua orang, aku terus ditekan untuk bisa melampaui diriku sendiri.

Memangnya aku tahu batas mana yang merupakan milikku sendiri? Selama ini aku 'kan selalu mengejar batas orang lain untuk kulampaui.

Frustasi. Batas kemampuan diri sendiri saja tidak tahu, payah sekali aku ini. Pantas saja aku selalu kurang di mata Ayah.

Kehidupan akademikku tidak jauh dari belajar jauh melewati tengah malam dan berusaha keras menjadi kesayangan guru-guru di sekolah. Benar-benar membosankan dan kaku. 

Tapi, aku sangat bersyukur bahwa Ayahku masih memperbolehkanku memiliki satu hobi. Bermain basket. Rekan setimku sangat kooperatif, rasanya karena aura kepemimpinanku selalu menguar di manapun dan kapanpun. Tapi, mereka benar-benar orang yang sangat baik. 

Hal kedua yang aku syukuri tentu saja adalah kehadiran Sayangku. Sudah berapa kali aku bilang kalau aku sangat menyayanginya? Ah, sudahlah. Itu tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak akan pernah berhenti mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya! Selalu!

Aku jadi ingat sesuatu. Terakhir kali aku pernah bertengkar dengannya adalah ketika aku melihatnya sedang keluar dari toko kue yang ada di tengah kota. Aku melihatnya sedang berbicara dengan sangat akrab dengan penjaga toko kue. Kala itu masih senja, wajah cantiknya jelas terpapar sinar oranye matahari. Maeran banyak tertawa, banyak tergelak. Bahunya sering terguncang karena tertawa lepas. Ia terlihat begitu cantik dengan semburat lembayung menghiasi wajahnya, tapi aku tak suka melihatnya.

Amarahku memuncak. Dia 'kan sudah punya aku? Kenapa pula harus bercengkrama dengan orang lain?

Langkah kakiku terburu-buru menghampiri toko itu. Pas sekali dengannya yang sudah menyelesaikan urusannya, dan sedang keluar melalui pintu depan toko.

Anehnya, melihatku yang berjalan mendekat ke arahnya ia justru menyembunyikan kotak yang ia bawa di belakang punggungnya.

"S-Sei?" ini adalah caranya berbicara ketika ia ketakutan. Aku hapal sekali.

"Sedang apa kamu di sini?" tanyaku dingin. Ia bahkan tidak berpamitan padaku via pesan. Maksudnya bagaimana?

"Bukan apa-apa, kok! Bagaimana kalau kita pulang? Salju sudah mulai turun dan udaranya jadi dingin sekali," lagaknya memeluk diri sendiri dengan satu tangannya yang menganggur. Maeran bahkan masih berusaha menyembunyikan kotak itu di balik punggungnya. 

Aku benci orang yang suka berbohong. Aku benci orang yang keras kepala. Aku paling benci orang yang bersikeras bahwa mereka tidak berbohong.

Aku benar-benar benci orang yang menghalangi kehendakku. Apapun keinginanku, harus bisa aku penuhi. Aku sudah lahir dengan didikan seperti, dan itu akan terus melekat pada diriku. 

"Aku tanya kamu sedang apa? Tidak usah mengalihkan pembicaraan! Aku tidak suka dibohongi!" bentakku dengan suara keras. Raut wajahnya berubah total, pucat dan panik seperti sehabis melihat hantu. Bentakanku pasti berhasil meruntuhkan keras kepalanya. 

Aku harus mendapatkan jawaban dari Gadisku sesegera mungkin, bagaimana pun caranya.

"Seijuuro, dengar. Aku akan ceritakan semuanya. Jangan marah dulu, oke? Aku tidak bermaksud membohongimu, sama sekali! Yang penting, sekarang kita harus mencari tempat yang hangat, rasanya benar-benar dingin-"

Mau mengalihkan pembicaraan lagi? Kesabaranku habis. Aku mendorong tubuh kurus Sayangku yang tingginya hampir menyamaiku ini.

"Argh!"

Gadisku tersungkur di tanah. Kepalanya terjatuh duluan dan mengenai batu yang cukup tajam. Kotak yang susah payah ia sembunyikan akhirnya terpental tak jauh dari tubuhnya yang sudah tergeletak di tanah yang cukup basah karena udara lembap.

Bagai tersingkap udara panas yang muncul mendadak, kesadaranku kembali. Melihat darah yang mulai mengucur dari kepala gadis itu membangkitkan bulu kudukku, panik tidak tahu bagaimana harus bertindak. 

Resah. Keringatku mengalir deras membelah dingin hawa bulan Desember. Tidak masuk akal aku bisa berkeringat sebanyak itu. Tapi nyatanya, kerah kemejaku pun mulai tidak tegak terkena cucuran keringatku.

Ponselku sudah berada di dalam genggamanku. Bisakah aku menggunakan pengetahuan biologiku? Bisakah aku menggunakan pengetahuan P3K yang kudapat selama bermain basket? Apa yang sudah aku lakukan? Bagaimana caranya menghentikan pendarahan di kepala Maeran? Apakah Maeran merasa sangat sakit? Apa yang sudah aku lakukan? Nomor berapa yang harus kuttekan untuk menghubungi ambulans? Apa yang sudah aku lakukan? Siapa yang bisa kuhubungi saat Maeran dalam keadaan seperti ini? Apa yang sudah aku lakukan? Haruskah aku menelepon sekretaris Ayah untuk meminta bantuan? Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku laku-

"S-Sei..." tanpa sadar mendengarnya membuatku menjatuhkan ponsel.

Sayangku barusan berbicara? Atau itu juga bagian dari pikiranku sendiri?

"Sei... Sei..."

Tidak! Itu benar-benar Sayangku yang barusan berbicara! 

"Sei..."

"Cintaku... Aku di sini... Aku di sini," kataku sambil perlahan mendekat. Aku tidak berani menggerakkan kepalanya. Aku benar-benar takut kalau nantinya yang kulakukan justru akan memperparah pendarahan dan lukanya. Aku hanya ingin Maeran selamat. Aku ingin minta maaf padanya. Aku ingin minta penjelasan pada Sayangku. Aku hanya ingin Cintaku selamat. Aku ingin minta maaf padanya. Aku ingin minta penjelasan pada Sayangku. Aku hanya ingin Cintaku selamat. Aku ingin minta maaf pa-

Tangan yang bergetar penuh darah itu kini tergeletak lemah di atas pangkuanku, menyadarkanku dari lamunan yang lagi-lagi menyerang.

Gadis kesayangan Seijuuro itu menangis sesenggukkan. Air matanya berkilau terkena sinar oranye mentari senja. Menangis pun masih saja cantik. Tapi aku tidak mau melihatnya bersimbah darah seperti ini. Aku hanya ingin Maeran selamat. Aku ingin minta maaf pada Maeran. Aku ingin minta penjelasan pada Maeran. Aku hanya ingin Maeran sel-

"S-Sei..."

Ah! Lagi-lagi aku melamun. Gadisku... Cintaku! Ponselku! Aku harus memanggil ambulans atau setidaknya seseorang dengan mobil agar bisa membawanya dengan mobil! Gadisku-

"Selamat ulang tahun, Sei. Walau belum waktunya, ya. Haha,"

Bodoh. Kenapa malah tertawa? Ah, air mataku mengalir begitu saja. kenapa juga ia harus mengucapkan ulang tahun sekarang?

"Tadinya aku mau memberi kejutan dengan membeli kue untuk kurayakan esok hari dengan Sei. Tapi kau malah salah pah-"

Jantungku terhenti sejenak. Ulang tahun? Kejutan?

Mataku beralih cepat ke kotak yang suadh tergeletak tak berbentuk. Ku buka perlahan penutupnya, ada coklat tipis bertuliskan "HBD SEI! ILY!" yang sudah patah terbagi dua. Kue strawberry cheesecake dengan warna dominasi merah yang ada di dalamnya pun sudah remuk, tercerai berai tingkatannya.

Air mataku mengalir semakin deras. 

Aku sebodoh ini?

Tanganku gemetar berusaha menangkup pipi Maeran yang mulai memucat. Dingin sekali. Biasanya pipi ini terasa sangat hangat. Aku suka sekali mengusapnya tanpa alasan.

"S-Sei..." 

Aku mengangguk lemah. Lututku sudah mati rasa sejak tadi. Pendarahan Maeran semakin parah, tidak habis darah keluar dari kepalanya.

"Sayang... Aku... Sei... Sayang... Sei..."

Tangisku bertambah payah. Tidak peduli aku meraung-raung walau sedang berada di pinggir jalan yang semakin sore semakin ramai lalu lalang orang. 

Orang-orang pun semakin ramai berkerumun di sekitar kami. Darahnya sudah mengalir kemana-mana, nadinya mulai menipis. Sesak. Kulihat dari tempatku bersimpuh ada seorang warga sedang menelepon nomor darurat yang ada di tiang listrik beberapa meter dari lokasinya. Sesak sekali. Perlahan mulai terdengar sirine mendekat. Sesak. Tiga orang polisi lokal menunggangi sepeda mulai mendekat sembari berkomunikasi melalui walkie talkie. Sesak. Sesak sekali. Pusing. Matahari di langit perlahan menghilang dari penglihatanku. Sinar oranye yang menghangatkan sudah pergi. Sesak. Sesak sekali. Pusing. Pusing sekali. Cintaku, jangan pergi. Senja juga jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendirian lagi. Kalian tega bersenang-senang berdua? Menjadikan aku benar-benar sendiri? Tega? Sesak. Sesak sekali. Pusing. Pusing sekali. Aku tidak tahan.

"Argh!"

Badanku terhentak. Begitu terbangun aku sudah mendapati diriku terjatuh dari kasur. Mimpiku buruk sekali.

Hening. 

Terbangun di ruangan serba putih berukuran jauh lebih sempit daripada kamarku yang seharusnya.

Kasur yang aku tidur tipis sekali. Seprainya kasar. Bantalnya juga sangat keras. Begitu mendudukan badan langsung dihadapkan dengan pintu besi berwarna putih dengan jendela jeruji. 

Membosankan sekali keseluruhan tampilan kamar ini. Nyaman juga tidak. Beda sekali dengan yang kupunya di unitku dan Gadisku. 

Gadisku?

"Argh!"

Badanku terhentak. Begitu terbangun aku sudah mendapati diriku terjatuh dari kasur. Mimpiku buruk sekali.

"Ini sudah sore. Bangunlah sekarang juga atau kau tidak akan mendapatkan jatah makan malam!" hardik seseorang berbadan tinggi dari balik pintu.

Aku mengusap keringat di tengkukku dengan malas. Biasanya Cintaku yang akan menenangkanku jika aku bermimpi buruk.

Cintaku?

"Argh!"

Badanku terhentak. Begitu terbangun aku sudah mendapati diriku terjatuh dari kasur. Mimpiku buruk sekali.

Hari sudah sore, tapi mataharinya masih bersinar terang. Lembayung senja yang entah bagaimana rasanya menyesakkan.

"Ugh," air mataku tiba-tiba keluar. Lelah sekali rasanya menangis tiba-tiba tanpa tahu sebabnya. Semakin kulihat lamat-lamat sinar oranye yang terproyeksi di dinding putih bersih, semakin deras air mataku. Semakin sakit kepalaku. Semakin kosong pikiranku.

Sayangku?

"Sayangku..."

Tangisanku mengeras.

"Sayang..."

"Kukira kau, aku, dan senja adalah satu. Kukira kita memiliki senja bersama. Tapi kenapa aku diasingkan sendirian? Tanpamu senja tak pernah sama. Kenapa kalian pergi tanpa aku?"

"Ini sudah sore. Berhenti menangis atau kau tidak akan mendapatkan jatah makan malam!" hardik seseorang berbadan tinggi dari balik pintu.

Apa ini? De ja vu? Ah, kenapa segini menyakitkan?

Aku melangkah ke arah pintu, bersiap untuk makan malam. 

Tersenyum kecut, kutatap nanar jendela berukuran setengah badan denagn lapis jeruji yang tebal membelah sinar mentari senja yang masuk ke sel ku.

"Terima kasih, senja. Sudah sempat menjadikan aku raja dan Gadisku jadi ratunya. Meski kini kau merebut ratuku, dan menggeser posisiku yang semula raja, aku tetap berterima kasih,"

De ja vu semenyakitkan apa pun aku tak masalah. Asal Seijuuro yang jadi raja, dan Gadisnya ratunya, de ja vu seumur hidup pun akan aku lalui dengan bahagia.

"Hei kamar nomor 0025, yang berambut merah! Jangan berulah merepotkan psikolog jaga lagi seperti kemarin, ya! Awas, kau!" suara galak itu menjauh dari telinga Seijuuro.

"Apa pasien kamar itu kumat lagi?" susul suara lain. 

Yang ditanya terdengar menghela napas kasar.

"Aku belum pernah menjaga pasien alzheimer separah kamar 0025. Usianya pun terbilang masih muda."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro