Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

0.1 : Helia, Si Gadis Tunanetra

"Kegelapan bukanlah akhir dari sebuah jalan."

°°°

"Selamat datang di Panti Asuhan Selestial!"

Margaret mengangkat roknya hingga betis, sebelum melompat turun dari atas kereta kuda. Sang kusir berbaik hati menurunkan koper milik Margaret, membiarkan wanita itu berjalan menyalami pria tua berkepala botak dengan kemeja hitam. Margaret membungkuk kecil untuk memberi salam. "Selamat pagi, Anda pasti Tuan Alistair jika saya tidak salah mengira."

Pria itu tersenyum hangat. "Ya, itu benar. Aku Alistair Wheathermate, kepala panti asuhan ini."

"Saya Margaretta Santigo. Tuan Emelle yang mengirim saya ke sini, Tuan."

"Ya, aku tahu. Mari, akan kuantar berkeliling panti asuhan."

Setelah mengambil alih koper dan berterima kasih kepada sang kusir, Margaret dan Alistair melangkah melewati gerbang tinggi berlapis perak milik panti asuhan. Panti asuhan tersebut tidak begitu luas, tetapi tak juga dapat dibilang sempit.

Ada dua bangunan yang berdiri di sana, bangunan pertama untuk tempat anak-anak belajar dan berdo'a, bangunan kedua tempat untuk dapur, ruang makan, serta dorm mereka. Di tengah antara dua gedung tersebut terdapat taman bunga dan lapangan kecil. Panti asuhan ini dikelilingi oleh hutan lebat, dan tak dipungkiri jika ada kemungkinan hewan buas berkeliaran. Itu mengapa anak-anak tidak diperbolehkan keluar dari kamar saat malam hari.

Alistair menjelaskan singkat mengenai peraturan serta apa yang harus Margaret lakukan selama berada di sini. Pria itu mengantar Margaret menuju pintu kamar khusus para suster. "Ah, aku hampir lupa," Alistari berdeham pelan, "anak-anak di sini memiliki banyak kekurangan, dan mungkin kamu akan terkejut melihatnya. Aku tidak dapat memaksamu jika kamu merasa tidak nyaman. Katakan saja padaku jika kamu ingin dikirim kembali kepada Tuan Emelle."

Margaret mengangguk. "Aku akan melakukan yang terbaik."

"Itu baru semangat. Sekarang, silakan beristirahat. Jika ada pertanyaan, kamu dapat bertanya kepada Suster Emma, dia kepala suster di sini."

"Baik, akan kuingat hal itu."

Setelah saling bertukar salam, mereka pun berpisah. Margaret memasuki kamar khusus para suster. Tepat saat dia membuka pintu, seorang wanita paruh baya telah menyambutnya. Garis wajahnya begitu tegas, diikuti dengan tatapan matanya yang tajam hingga membuat bulu kuduk Margaret berdiri beberapa saat. "Selamat pagi, Nona Margaret. Aku Emma, kepala suster di panti asuhan ini. Mulai sekarang hingga seminggu ke depan, aku yang akan memandumu. Jika ada pertanyaan atau keluhan, silakan sampaikan padaku."

"A-Ah, selamat pagi, Suster Emma. Baik, aku akan melakukan semampuku," Emma berkata dengan sungguh-sungguh.

"Baiklah, silakan letakan kopermu di sana, Ranjang di dekat jendela itu adalah milikmu."

Margaret mengikuti pandangan ke arah yang ditunjuk Emma. "Setelah ini, apa yang harus kulakukan, Suster?"

"Kamu bisa mandi dan beristirahat sebentar. Siang nanti, datanglah ke ruang makan. Tuan Alistair akan memperkenalkanmu dengan anak-anak di sini."

"Aku mengerti."

***

Margaret menatap pantulan dirinya dari cermin. Gaun hitam yang merupakan seragam suster di sini telah ia kenakan. Bahannya sangat nyaman hingga Margaret tersenyum saat memakainya. Rasanya sudah lama dia tidak memakai gaun layak seperti ini. Terakhir kali dia merasakannya, saat hari pernikahannya. Senyum sang suami kembali melesat di ingatan, dan sekarang semua itu tinggal memori yang hanya bisa dikenang. Margaret menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. "Sudahlah, lagipula semua itu sudah berlalu."

Selesai bersiap-siap, wanita itu berjalan menuju ruang makan. Tuan Alistair sudah mengajaknya berkeliling penjuru panti tadi pagi, dan semua itu sudah tercatat di dalam otaknya.

"Huh?" Kedua alis Margaret bertaut menjadi satu saat pandangannya menangkap sosok seorang gadis pirang berkepang dua berjalan di lorong sembari meraba-raba dinding. Ada apa dengannya? Apakah dia sedang sakit? Bertubi-tubi pertanyaan muncul di benaknya. Ah, tapi sepertinya itu tidak penting, karena sekarang yang perlu ia lakukan adalah membantu gadis malang itu. Margaret menghampirinya, menatap dengan pandangan penuh rasa cemas. "Nak, apa kamu baik-baik saja?"

Gadis berhenti melangkah, tetapi tangan kanannya tetap setia menyentuh dinding. "Aku baik-baik saja," jawabnya. Meski begitu, gadis itu tetap menatap lurus ke depan, tidak sedikitpun menatap Margaret. Tatapannya begitu hampa.

"Kamu yakin?" Margaret memastikan, menyentuh pundak gadis itu, "aku bisa mengantarmu kembali ke kamar jika kamu mau."

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja." Gadis itu menepis tangan Margaret. Nada bicaranya terdengar kurang senang. "Lagipula, siapa kamu? Aku belum pernah mendengar suaramu sebelumnya. Apa jangan-jangan kamu pencuri?"

"A-Ah, aku suster baru di sini. Namaku Margaret."

"Oh, begitu."

Mengingat ini hampir masuk jam makan siang, Margaret pun bertanya, "Kamu hendak menuju ruang makan, bukan?"

"Ya."

"Ingin pergi bersama?"

"Lakukan sesukamu."

Mereka berdua berjalan bersama menuju ruang makan, atau lebih tepatnya gadis pirang itu berjalan lebih dulu, sedangkan Margaret mengikuti di belakangnya. Selama perjalanan, Margaret terus menerus memperhatikan gadis tersebut. Gadis itu terus berjalan sembari meraba-raba dinding. Jelas muncul begitu banyak pertanyaan di benak Margaret.

Apa jangan-jangan ..., Margaret menebak-nebak dalam hati, tetapi dia tak mau berpikiran negatif. Maka, dia menepis jauh pemikiran tersebut.

"Hm? Aroma ini ...." Gadis itu berhenti melangkah. Dia tiba-tiba saja berbelok ke kanan, berteriak keras, "JACKSON ROUTERHEAD, KEMBALIKAN TONGKATKU!!!"

Sosok bocah lelaki berambut maroon terihat dari kejauhan. Dia menggenggam sebuah tongkat kayu tipis. Mendengar namanya terpanggil sekeras itu, Jack segera menghampiri sumber suara. "Helia, jangan berteriak seperti itu! Jika Suster Emma tahu, kita bisa dimarahi!!"

"Aku tidak peduli!" Si gadis pirang mendengkus kesal. Dia mengulurkan tangannya ke sembarang arah. "Kembalikan tongkatku! Sungguh merepotkan pergi ke mana-mana tanpa tongkat ini. Aku jadi harus meraba-raba dinding!"

"Iya, iya. Dasar bawel. Padahal aku hanya meminjamnya sebentar." Jack menyerahkan kembali tongkat kayu tersebut kepada Helia.

Tepat ketika tongkat tersebut sudah berada di genggamannya, Helia mengayunkan tongkat dengan kuat, menghantam betis Jack.

"Akh! Sakit!"

"Rasakan!" Tanpa mengacuhkan protesan Jack, Helia kembali berjalan. Kali ini, dia tidak lagi meraba-raba dinding, melainkan mengetuk-ngetuk lantai di sekitarnya menggunakan tongkat.

Jack bersungut-sungut sebal. Baru saja ia hendak mengejek Helia, namun segera ia urungkan begitu mendapati sosok Margaret tak jauh dari posisinya berdiri. Melihat tanda tanya terlihat dari raut wajah Jack, Margaret pun segera memperkenalkan diri, "Selamat siang, aku suster baru di sini. Namaku Margaretta Santigo."

"Ah, selamat siang, Suster. Apa Suster baru saja tiba di sini?"

"Ya, aku baru saja tiba tadi pagi. Kamu hendak menuju ruang makan, bukan? Mari pergi bersama--ah, gadis itu sudah berjalan jauh sekali. Kita harus cepat menyusulnya!" Margaret sedikit mengangkat roknya, kemudian berjalan menelusuri panjangnya lorong.

"Gadis itu? Apa maksudmu Helia?" Jack ikut mempercepat langkah, berjalan di samping Margaret. "Tenang saja, dia sudah hapal benar seluk beluk tempat ini. Bahkan lokasi tempat burung membuang kotoran pun dia hapal."

"Bukan itu maksudku--"

"Kita sudah sampai!" Jack berseru sembari menunjuk salah satu pintu ruangan yang terbuka lebar. Bocah itu segera berlari memasuki ruangan yang tak lain merupakan ruang makan. Harum aroma makanan tercium di sana. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang yang sudah diisi oleh anak-anak penghuni panti, termasuk Helia dan Jack.

"Jackson! Sudah kuingatkan berapa kali untuk tidak berlarian di dalam ruangan?" Emma mengomel, tangannya sibuk membawa keranjang berisi roti untuk makan siang, "Suster Margaret, tolong bantu yang lain menyiapkan sup di dapur."

"Baik!" Margaret bergegas memasuki pintu yang berada di sudut ruangan, sekat yang memisahkan dapur dengan ruang makan. Di sana, ada dua orang suster tengah sibuk menyiapkan makanan. Wanita itu segera menghampiri kedua suster itu. "Apa ada yang bisa kubantu?"

"Ah, kamu pasti suster baru itu," ucap salah seorang suster begitu melihat Margaret, tangannya sibuk mengaduk kuali berisi kaldu, "kamu bisa membantu Suster Nella memotong sayuran di sana."

Margaret berpindah posisi menuju meja lain tempat seorang wanita memotong sayuran. Dia meraih pisau yang ada di dekatnya, kemudian mulai memotong sayuran satu demi satu. Ketuk pisau yang menghantam talenan kayu terdengar memenuhi ruangan, diikuti suara letupan dari kaldu yang sudah mendidih. Tepat saat Emma datang membuka pintu, sup siap untuk disajikan.

Sup dituangkan ke mangkuk anak-anak, sedangkan sisanya disimpan di dapur untuk makan siang staff panti. Anak-anak duduk diam di kursi masing-masing, sedangkan Alistair beserta empat suster berdiri di depan meja makan, memimpin do'a.

"Anak-anakku, kita kedatangan anggota keluarga baru," Alistair membuka percakapan begitu selesai berdo'a, "perkenalkan, wanita ini akan menjadi pengurus kalian yang baru."

Margaret membungkuk pelan. "Selamat siang, namaku Margaretta Santigo. Kalian bisa memanggilku Margaret. Senang dapat bertemu dengan kalian."

"Baiklah, kalau begitu silakan mulai makan siang kalian." Alistair menoleh ke arah empat suster di sampingnya. "Tolong urus mereka dengan baik. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan."

"Jangan khawatir, Tuan. Serahkan saja pada kami." Emma menunduk sopan.

Alistair tersenyum. "Terima kasih," ucapnya, sebelum akhirnya berlalu keluar dari ruangan.

"Suster Margaret, tolong ingat nama orang-orang di panti ini dengan baik." Emma menepuk pundak Margaret. "Tidak banyak orang yang tinggal di tempat ini, jadi kuharap minggu depan kamu sudah menghapal nama-namanya. Nanti malam akan kuberikan dokumen tentang anak-anak di sini."

Margaret mengangguk mengerti.

Sebenarnya, sejak pertama kali menginjakkan kaki di ruang makan dan melihat fisik anak-anak yang duduk di sepanjang meja makan, Margaret sedikit terkejut. Sebagian besar dari mereka menderita kecacatan pada fisik mereka. Ada yang tidak memiliki lengan hingga saat makan perlu disuapi, ada pula yang hanya memiliki satu kaki. Melihat hal ini, Margaret yakin tentang perilaku aneh Helia saat berjalan di lorong tadi.

Gadis itu pasti buta.

Helia meraba-raba meja di sekitarnya dengan hati-hati. Pertama, dia mengambil sendok yang berada di sebelah kanan, kemudian menyentuh mangkuk yang ada di tengah--memastikan keberadaan mangkuk tersebut. Setelah memakan beberapa sendok sup, dia meraih segelas air di arah timur laut mangkuknya berada. Tak lupa, posisi rotinya berada di sebelah kiri. Helia sudah menghapal posisi makanannya. Ini semua ide Emma. Emma selalu meletakkan sendok, mangkuk, roti, dan gelas pada posisi yang sama tiap hari agar Helia dapat makan tanpa kesulitan.

Helia adalah anak yang keras kepala. Meski hanya kegelapan yang memenuhi pandangannya, dia tetap tidak mau dikasihani oleh siapapun.

Begitupun saat Margaret menghampirinya untuk menawarkan bantuan, Helia hanya mendesis tak suka. "Jangan ganggu aku," katanya dengan tajam.

Makan siang berakhir begitu saja. Anak-anak pergi ke lapangan untuk bermain, sedangkan kini giliran para staff panti yang makan siang.

Selagi makan siang berlangsung, Emma menjelaskan satu dua hal mengenai panti asuhan kepada Margaret. "Di panti ini hanya terdiri dari empat suster, satu kepala panti, serta satu petugas keamanan. Suster berambut hitam itu namanya Suster Nella, sedangkan yang pirang bernama Renatta. Petugas keamanan kita bernama Tuan York, si pria tua pemarah."

"Hahaha, abaikan saja perkataan terakhir Suster Emma." Nella tertawa sembari menunjuk Emma menggunakan sendoknya. "Suster Emma memiliki dendam kepada Tuan York."

"Dendam?" Margaret memiringkan kepalanya.

"Ya, waktu itu Suster Emma dimarahi habis-habisan oleh Tuan York karena lupa mengunci pintu gedung asrama," jawab Renatta, menyendok supnya dengan tenang.

"Suster Nella, Suster Renatta!" Emma berdeham keras. Kerutan tercipta di antara alisnya. "Jangan mengatakan hal yang tidak perlu kepada Suster Margaret! Dia masih baru di sini!"

"Hahaha, bilang saja jika kamu malu."

"Tolong tutup mulutmu, Suster Nella!"

Margaret tertawa pelan mendengar perdebatan singkat Emma dan Nella. Mereka terus berbincang hingga sup tandas dari mangkuk mereka. Setelah acara makan siang itu berakhir, mereka segera membersihkan peralatan dapur.

***

Helia duduk bersender di bawah pohon besar tak berdaun. Kesiur angin sejuk menyapu kulit lengannya yang tidak terbalut busana. Pergantian musim, itu mengapa daun mulai mengucapkan salam perpisahan dari sang dahan, melepaskan diri mengikuti angin. Menurut apa yang ia dengar dari teman-temannya, musim gugur didominasi oleh warna merah dan cokelat. Daun maple berhamburan di tanah sepanjang mata memandang.

Kapan terakhir kali Helia melihat wujud semua itu? Rasanya sudah lama sekali. Perang dunia kedua yang meletus beberapa tahun lalu terasa seperti neraka. Takdir dengan mudahnya mempermainkan kehidupan seseorang. Helia kehilangan dunianya. Dia kehilangan kesempatan berharga untuk melihat indahnya dunia.

Kini, Helia berteman dengan kegelapan. Hampa, tak dapat melihat apapun. Seakan hidup tak lagi ada artinya. Yang dapat Helia lakukan saat itu hanyalah meringkuk tak berdaya bersama banyak orang lainnya di bawah atap gereja inggris, berulang kali menyanyikan, "Tuhan adalah pelindung kita, jangan takut. Dia akan bersama semua melalui semua ini."

Tidak ada yang memberikan dekapan hangat untuk Helia. Tidak ada satupun orang yang ingin mendekati gadis yang berteman dengan kegelapan. Saat itu, rasanya Helia lebih baik mati bersama kedua orangtuanya saat perang terjadi. Dia ingin marah, dia ingin menyalahkan Tuhan, tetapi dia tidak bisa.

Hingga perang mereda, kehidupan yang dihantui oleh rasa takut akan kematian berakhir. Inggris dilanda kemiskinan akibat menginvestasikan 55% kekayaannya untuk perang. Hidup dalam serba kekurangan, tapi setidaknya itu terasa lebih baik. Jika bukan karena Amerika Serikat menawarkan bantuan berupa program Lend-Lease, Inggris tidak mungkin dapat bertahan.

Pertemuan Helia dengan Alistair saat sedang duduk melamun di teras gereja membawanya menuju panti asuhan ini. Saat Alistair mengulurkan tangannya, Helia pikir dia sedang bertemu dengan malaikat. Tak mungkin dia melewati kesempatan emas ini. Lagipula, Helia tidak lagi memiliki tempat untuk pulang.

Namun, tetap saja, dunia Helia masih dikelilingi kegelapan. Bahkan saat berada di tempat ini pun, tidak ada yang dapat Helia lakukan. Dia merasa tidak berguna, hanya menumpang untuk tempat bermalam dan mengisi perut.

Helia menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Suara bising yang dipenuhi gelak tawa anak-anak yang tengah bermain di lapangan membuat Helia iri. Dia juga ingin bermain bersama anak-anak lainnya, atau paling tidak, ada sesuatu yang dapat dia lakukan.

Srek.

Helia berseru, "Siapa itu?!"

"Ah, pendengaranmu memang sangat tajam, ya."

"Suara ini ...," Helia bergumam, kemudian mengembuskan napas pelan dan bersender rileks ke batang pohon, "mau apa Suster ke sini?"

"Apa tidak boleh?" Alih-alih menjawab, Margaret justru balik bertanya.

Helia mendengkus. "Lakukanlah sesukamu."

Wanita itu tersenyum, mulai beranjak duduk di dekat gadis itu. Helia sedikit menggeser posisi duduknya, hendak menjaga jarak antara dirinya dengan sang suster. Tak ingin rasa canggung menguasai suasana, Margaret berinisiatif untuk membuka percakapan, "Biasanya apa yang kamu lakukan di waktu bebas seperti ini?"

"Seperti yang Suster lihat," Helia menjawab tanpa mengubah posisinya, "tidak ada."

Untuk beberapa saat, hening melanda di antara mereka. Baik dari kedua belah pihak tidak ada yang memulai percakapan. Suara gemericik daun bersama sayup kebisingan anak-anak yang bermain di kejauhan mengisi kebisuan. Margaret memejamkan matanya beberapa saat, kemudian membuka suara, "Kamu tahu, Helia? Kegelapan bukan berarti akhir dari sebuah jalan."

Kerutan terbentuk di kening gadis itu. "Apa maksudmu, Suster?"

"Ketika hidupmu dipenuhi kegelapan, ketahuilah, sebenarnya kamu dikelilingi oleh sebuah cahaya. Kamu mungkin tidak dapat melihatnya, tetapi aku tahu kamu bisa merasakannya." Margaret menyentuh lembut pundak Helia. "Kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian, 'kan?"

Helia terdiam, pikirannya larut akan kalimat yang terlontar dari mulut Margaret. Meski Helia merasa mati rasa, tetapi sesungguhnya dia merasakan perbedaan ketika dirinya berada di tempat ini.

Hangat.

Ya, kehangatan.

Perhatian dari para suster, serta keberadaan teman-temannya membuat Helia tidak merasa kesepian, meski hanya kegelapan yang ada di pandangannya.

Ini ... aneh. Helia menundukan kepala.

"Ah, aku punya sesuatu untukmu, Helia. Jika tidak ada yang dapat kamu lakukan di waktu bebas, mungkin ini dapat membantu." Margaret menyerahkan sebuah buku yang sejak tadi berada di genggaman tangannya.

Helia meraba-raba sampul buku tersebut begitu menerimanya. "Apa ini?"

"Bukalah, dan raba isi buku tersebut."

Awalnya, Helia ragu untuk melakukannya. Yang ada di pikirannya adalah, apapun yang tertulis di sana tidak akan berguna jika buku tersebut berada pada genggamannya. Namun mendengar suara Margaret yang meminta dengan begitu lembut membuatnya tergerak untuk membuka satu atau dua halaman, kemudian meraba isinya.

Jantung Helia berdegup kencang begitu ujung-ujung jemarinya merasakan sebuah tekstur asing. Dia dapat merasakan titik-titik di atas kertas tersebut, berjejer rapi baris demi baris hingga ke dasar halaman. "Suster, buku apa ini? Kenapa aneh sekali?"

Sesuai dugaan Margaret atas reaksi Helia, wanita itu tertawa. "Helia, apa kamu pernah mendengar tentang huruf braille?"

"Huruf braille?" ulang Helia.

"Ya, huruf braille ini merupakan sejenis tulisan sentuh yang digunakan oleh tunanetra. Huruf braille ini berawal dari seorang mantan perwira artileri Napoleon, Kapten Charles Barbier seabad silam. Beliau menggunakan sandi berupa garis dan titik-titik timbul untuk mengirim pesan atau perintah rahasia tiap malam. Kemudian, huruf ini dikembangkan lagi oleh Louise Braille yang mengalami kebutaan sejak usia tiga tahun." Margaret tersenyum lembut, menatap sosok Helia yang masih terkagum-kagum dengan buku pemberiannya. "Huruf-huruf braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel braille, di mana tiap sel terdiri dari enam titik timbul yaitu tiga baris dengan dua titik pada masing-masing baris. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika dan lainnya."

"Aku baru tahu!" Helia membalik-balik halaman buku tersebut dengan semangat. Sejak ia kehilangan penglihatan, ini pertama kalinya dia merasa begitu antusias akan sesuatu.

"Jika kamu mau, aku bisa mengajarinya padamu," tawar Margaret.

"Sungguh? Suster bersedia mengajariku?"

"Ya, itu jika kamu tidak keberatan."

Kesiur angin yang berhembus lembut, hingga suara ranting kayu yang patah terinjak secara tidak sengaja tertangkap oleh indra pendengaran Helia. Gadis itu menunduk, tangannya berhenti mengusap halaman buku. "Anu Suster, kenapa setelah aku bersikap begitu dingin padamu, kamu tetap memperlakukanku seperti ini?"

"Kenapa?" Margaret menekuk kakinya, kemudian memeluk kedua lutut sembari menatap bagaskara yang bersinar terang di antara langit nirmala. Manik hazel wanita itu tampak bersinar. Terlintas sebuah kesedihan yang sangat mendalam dari caranya memandang. "Karena ... kamu sangat mirip dengan anak perempuanku."

Helia tertegun. Sebuah perasaan hangat menjalar di dalam dadanya. Perasaan familiar yang telah lama ia lupakan.

Perasaan yang disebut dengan kasih sayang.

"Suster ...," panggil gadis itu pelan. Dia menggigit bibir bagian bawahnya. Tubuhnya sedikit bergetar seakan menahan sesuatu yang hendak menyeruak keluar.

Margaret menoleh, menjawab lembut, "Ya?"

Helia mengangkat kepalanya ke arah Margaret. Kedua ujung bibir itu tertarik lebar penuh rasa syukur. "Terima kasih!"

Rambut keemasan milik Helia menari bersama angin. Senyuman manisnya bersinar lebih terang dari ribuan bintang. Siluet anak perempuan Margaret yang telah berpulang ke langit terlihat dari sosok Helia yang tengah tersenyum. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menjawab, "Sama-sama, anakku."

***TBC***

150720

Vara bisa jelaskan.

//sungkem meminta maaf.

Yosh, Vara selesai hiatus. Saatnya kembali melanjutkan cerita-cerita yang terlantar oyeah!

Selamat menikmati cerita ini. Maaf kalau membosankan //sungkem lagi.

Si yu leter mwah 🐣🐤🐥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro