
32. Karena Kamu, Bahagiaku
Bismillah.
** *
Warning!! 3,5K+
Part terakhir, jadi agak panjang gpp yaaa.
Berharap teman-teman bisa menikmati, sebelum akhirnya benar-benar berpisah dengan "Selepas Hidayah"
***
Sepertiga malam bergeser perlahan, gemintang yang berserak pun mulai undur diri dari peredaran. Telah tiba waktu di mana salat itu lebih baik daripada tidur. Waktu ketika para pemburu fajar berbaris, mengharapkan yang lebih dari sekadar dunia dan seisinya.
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat fajar (salat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)
Anna membuka mata, senyumnya mengembang begitu menemukan Maira yang pulas di sampingnya, juga papanya yang sedang berdiri khusyuk menghadap Sang Maha.
Diteguknya air putih yang selalu ada di sisi tempat tidur, kemudian membasuh muka dengan tissu basah. Setelah merasa bersih dan segar, dikecupinya Maira dengan penuh sayang sembari menunggu Ahmar menyelesaikan salatnya.
"Sayang, bisakah kau pindahkan Maira ke boxnya? Aku ingin bicara," pinta Anna usai Ahmar melipat sajadah.
Ahmar mengiyakan. Ia mendekat dan mengulurkan tangannya untuk dikecup Anna, lalu mengecup kening, pipi dan bibirnya dengan sayang. Barulah memindahkan Maira yang masih pulas ke dalam boxnya.
Mereka duduk bersama, bersiap untuk bicara. Anna menyandarkan punggung pada tempat tidur, sedang Ahmar duduk memeluk lutut menghadapnya.
"Bagaimana?" tanya Anna membuka obrolan.
"Apanya, Sayang?"
"Iam."
"Anna, kau dengar sendiri kan Juan sudah melamarnya." Mencoba menjaga intonasi agar terlihat baik-baik saja, tapi sebetulnya tidak. Anna tahu itu.
"Tapi aku yakin Iam tak akan menerimanya."
"Bagaimana jika ternyata dia menerimanya?" Ahmar mengacak rambutnya sendiri, mulai terlihat kacau.
"Percayalah padaku, Sayang. Aku mengenal Iam dengan baik." Hanya helaan napas yang keluar dari Ahmar.
"Kau sudah mencoba meminta petunjuk pada Allah kan?"
"Hemm."
"Kau kenapa, Sayang? Bukankah biasanya kau yang mengajarkanku untuk kuat, untuk tak menyerah, juga untuk meminta petunjuk hanya kepada-Nya?"
"Aku... aku, maafkan aku, Anna."
"Tak apa, Ahmar. Jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja. Apapun itu, aku siap mendengarnya." Ahmar terlihat berbeda dari biasanya. Baru kali ini ia tampak lemah. Dan baru kali ini Anna merasa memiliki kesempatan untuk menguatkan suaminya.
"Aku... Emm, sejujurnya aku takut, Anna. Aku takut petunjuk yang kudapat tak mengarah kepadanya. Aku... Aku takut, Anna. Aku takut kehilangan dia. Aku takut kehilangan Mariam. Maaf. Maafkan aku Anna. Maafkan jika aku menyakiti hatimu."
Kali ini Ahmar benar-benar jatuh. Ia merasa menjadi laki-laki yang lemah. Tak mampu menjaga perasaan istrinya. Ia terpaksa, karena bagaimanapun juga ia hanya manusia biasa. Ada kalanya hatinya tak mampu menahan perasaannya sendiri. Ia menangis.
Anna meraih Ahmar dan menarik ke pelukannya. Membiarkan lelakinya menumpahkan tangis di sana, seperti anak kecil kehilangan sesuatu yang sangat disayanginya. Anna turut menangis, terharu. Di satu sisi ia bahagia, karena ia bisa berperan menjadi istri yang menenangkan bagi suaminya. Di sisi lain ia sedih, mengingat bagaimana selama ini Ahmar menahan sendiri semua rasa yang menyesaki dadanya.
"Kau tau, Sayang? Semalam kau menguatkan aku, mengingatkanku agar kembali kepada Allah, menyadarkanku untuk menyerahkan segala sesuatu hanya kepada-Nya. Kau juga yang menggendongku, membantuku berwudhu, bahkan menemaniku hingga usai, meski aku tak menyadarinya. Dan kau benar, aku merasa lega. Merasa beban hidupku jauh lebih ringan.
"Sayang, kau ingat apa yang kemarin hendak kupinta pada Allah? Aku meminta pada-Nya agar menjadikan Iam sahabat yang selalu ada bersamaku. Bersama kita. Aku tau, Sayang, kau masih menyimpan namanya di sudut terdalam hatimu. Untuk itulah aku memintamu menikah dengannya.
"Apakah aku tidak cemburu? Tentu saja cemburu itu ada, apalagi Iam masih ada di antara kita. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha saja masih menyimpan cemburunya untuk bunda Khadijah yang bahkan telah tiada. Tapi keberadaan cemburu itu tak berarti menjadikan aku tak bahagia kan? Justru sebaliknya.
"Aku memang menginginkannya, Sayang. Aku ingin Iam yang membantuku memenuhi kewajiban yang tak lagi bisa kulakukan untukmu. Dia mencintaimu, begitu pun sebaliknya. Kalian akan melakukannya dengan cinta.
"Dia juga yang akan bersama kita membesarkan Maira. Aku mengenalnya dengan baik. Sifatnya, akhlaknya, ilmunya. Ia akan menjadi ibu yang baik untuk Maira. Bersamanya, kita akan membesarkan anak-anak yang kelak menjadi muttaqina 'imama, pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.
"Ia juga sahabatku, yang terbaik yang pernah kumiliki sepanjang hidupku. Satu dua kali pasti akan ada cemburu diantara kami. Tapi terlepas dari itu, dialah yang paling mengerti dan memahami aku. Keberadaannya akan sangat berarti bagiku, mungkin juga bagi kesehatanku.
"Kumohon, Sayang. Menikahlah dengan Iam. Aku bukan hanya akan baik-baik saja, tapi aku akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Percayalah.
"Kau pernah mengatakan padaku, bahwa tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu yang terjadi pasti sudah direncanakan oleh-Nya, dan pasti ada pesan yang ingin Dia sampaikan melalui kejadian yang kita alami. Termasuk pertemuanku dengan seorang ibu di taman mezquita. Kau ingat kan, Sayang?"
Ahmar sejenak melepas peluknya, ia mengangguk. Netranya berucap terima kasih yang tak habis pada istrinya. Lantas kembali membenamkan wajah di pelukan Anna.
"Bersiaplah, Sayang. Aku akan mendampingimu melamar Mariam. Sekarang juga!"
Tak butuh waktu lama untuk bersiap, termasuk memandikan dan menyusui Maira. Pasangan Eropa-Asia itu segera keluar menuju ruang makan. Mereka menjumpai mama sendirian di sana.
"Apakah Juan dan Mariam belum turun, Mama?" tanya Ahmar sambil mencium kedua pipi mamanya.
"Aku tak menemukan mereka. Hanya menemukan botol minuman milik Juan di sebelah sofa ruang baca," terang mama perlahan.
"Astaghfirullah. Ya Rabb, ke mana mereka berdua?" Ahmar menyugar rambut. Ia mendadak merasa resah dan marah.
"Tenang, Sayang. Kita cari Iam di masjid. Siapa tau ia ada di sana? Biasanya ia mencari ketenangan dengan mendekat pada-Nya jika sedang dihadapkan pada dilema."
"Bagaimana kalo dia...."
"Melarikan diri dengan Juan? Tak usah berprasangka buruk, Sayang. Aku mengenalnya, dia belum berubah." Anna seolah tahu apa yang ada di benak Ahmar.
"Baiklah, kita cari dia sekarang!"
***
Mirador San Nicolas berada di puncak tertinggi kawasan Albayzin. Konon di tempat inilah titik terbaik memandang istana Alhambra, utamanya di kala senja, ketika cahaya keemasan dari istana nan megah berpadu dengan langit syafaq yang indah.
Di sanalah Mariam pagi itu berada. Meski sebenarnya melenceng dari tujuannya semula yang hendak menuju taman masjid Granada. Ia berniat memandang Alhambra, sebelum mungkin akan benar-benar pulang, meninggalkan Granada dengan segala keindahannya.
Perjumpaan tak sengaja dengan Juan di labirin bebatuan Albayzin membawanya bergeser beberapa puluh meter dari rencananya semula. Entah kenapa, pada Juan ia bisa begitu percaya bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Dan kini, ia duduk berdampingan di salah satu bangku semen Mirador San Nicolas. Menatap Alhambra yang terhampar di depan netranya, didampingi pria tampan yang semalam dengan tiba-tiba melamarnya.
"Kenapa kau memandang Alhambra seperti itu?" Juan bertanya. Aroma alkohol tercium dari napasnya.
"Kau minum alkohol ya?"
"Apa salahnya? Itu biasa bagiku. Aku membutuhkan kehangatan, juga ketenangan."
"Kehangatan dan ketenangan macam apa yang bisa kau dapatkan dari sesuatu yang tak baik begitu?" Mariam mengernyit bertanya dengan sedikit ngegas.
"Emm, entahlah."
"Menikahlah! Seorang istri yang mencintaimu dengan tulus akan memberikan kehangatan dan ketenangan yang kau butuhkan." Juan tertawa mendengar saran Mariam.
"Kan aku sudah memintamu semalam. Tinggal menunggu jawaban darimu saja kan?"
"Juan, kenapa kau melakukan itu?"
"Melakukan apa?
"Memintaku menikah denganmu."
Kembali terdengar tawa, "Karena kupikir tak akan sulit untuk jatuh cinta padamu, Mariam."
"Itu tak berarti kau jatuh cinta padaku kan?"
"Tentu saja, Mariam. Kau tak bodoh untuk bisa mengambil kesimpulan atas apa yang kukatakan. Aku tau, tak ada ruang hatimu yang tersisa untukku, mungkin juga untuk laki-laki selain aku. Sepupuku masih memenuhi seluruh sudutnya di sana."
"Aku juga tau, tak ada cinta untukku di hatimu, Juan. Kau mungkin hanya iba atas beban yang membuatku bimbang."
"Tapi aku yakin, mencintaimu bukanlah sesuatu yang sulit untukku, Mariam."
"Seperti halnya aku yakin, mencintaimu akan menjadi sesuatu yang sulit untukku, Juan."
"Dasar gadis keras kepala! Kau tak pernah mau kalah ya." Tawa berderai lagi dari Juan. Ia terlihat makin tampan.
"Terima kasih sudah menawarkan kebaikan untukku, Juan. Aku lega mengetahui bahwa kau tak benar-benar serius dengan ucapanmu."
"Kau tau, Mariam? Sebenarnya aku tak pernah serius berkomitmen karena aku tak siap sakit hati. Tapi kalian, kau, Anna dan Ahmar, menyadarkan aku bahwa sakit hati atau tidak sesungguhnya tergantung dari sudut pandang dan bagaimana hati kita berdamai dengan keadaan."
"Mungkin kau takut sakit hati, karena kau terbiasa menyakiti hati."
"Dasar gadis cerewet yang sok tau!"
"Tapi terima kasih, Juan. Aku lega mengetahui perasaanmu yg sesungguhnya."
"So...."
"So what?"
"Apakah ini berarti kau menolakku, Mariam?"
"Menurutmu?"
"Hahaha, ya... tentu saja. Seharusnya tak perlu kutanyakan lagi." Tak ada gurat kecewa di wajah Juan. Biasa saja.
"Lagipula, buat apa kau mengorbankan dirimu untukku?"
"Tak apa, Mariam. Sebenarnya aku senang bersamamu, ada teman untuk beradu argumen. Kau selalu membuatku tertawa dengan keras kepalamu itu. Kalo soal cinta, itu gampang lah."
Mariam ganti tertawa, "Dasar playboy. Tentu saja, buatmu mencintai dan melupakan mungkin semudah mengangkat jemuran. Lagipula, kau ini mau menikah atau mengajak lomba debat?" Mereka berdua tertawa.
"Jadi benar kan? Kau pasti tak mau ya? Ya ya ya, aku tau, kau begitu mencintai sepupuku. Tapi menurutku, dia memang sangat ideal untuk dicintai orang sepertimu. Kalian sama."
"Mencintai tidak harus karena sama kan?"
"Apa itu berarti kau mau menikah denganku?"
"Hih, ge-er. Hati-hati, Juan, sepertinya kau mulai kehilangan kecerdasanmu. Lagipula, kenapa topik kita kembali ke sini lagi sih?" Perkataan Mariam membuat mereka berdua tertawa untuk kesekiankalinya.
"By the way, apakah kau pernah merasa mencintai seseorang sampai mendalam, Juan? Mungkin tak pernah ya? Atau bahkan mungkin kau tak pernah tau rasanya cemburu, juga patah hati?"
"Emm, sejujurnya semua yang kau sebutkan benar. Kan sudah kubilang, aku tak mau serius berkomitmen karena aku belum siap merasakan sakit hati. Tapi satu hal, aku tak pernah menyakiti hati perempuan. Kalopun aku sudah bosan, atau aku jatuh cinta lagi pada yang lain, aku akan mengatakan baik-baik pada perempuanku, dan mempersilakan dia mengambil keputusan yang dia suka. Pantang bagiku membuat kekasihku pergi dengan kemarahan dan sakit hati. Kadang mereka lebih memilih untuk membiarkanku jatuh cinta lagi, asal tak pergi darinya."
"Gila kau! Mana mungkin ada perempuan yang seperti itu?" Mariam gemas. Hatinya super geregetan mendengar penjelasan Juan.
"Apa bedanya dengan memiliki istri lebih dari satu?"
"Gila ni orang, bener-bener bikin emosi!" jerit batin Mariam.
"Ya jelas beda lah! Kalo kau menjalin hubungan dengan ikatan yang jelas yaitu pernikahan, kau tidak akan semudah itu mengumbar kata perpisahan, atau bahkan bosan. Duh, kasar sekali." Untuk kesekiankalinya Mariam ngegas.
"Makanya, kau menikahlah denganku."
Mariam kembali membatin, "Orang satu ini kenapa sih ngulang-ngulang bahas ini mulu. Ngeri amat nikah sama dia. Iya kalo berubah, kalo enggak? Hiiiy."
"Maafkan aku, Juan. Aku tak bisa. Kau tak mencintaiku, begitu pun aku padamu. Mungkin memang mudah bagimu untuk nantinya mencintaiku, tapi bisa jadi kau akan mudah pula bosan, lalu pergi dariku dan melupakanku."
"Kalo aku bilang aku jatuh cinta padamu, apa kau percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya. Bukankah memang mudah bagimu untuk jatuh cinta? Semudah kau meninggalkan lalu melupakan hanya karena kau sudah bosan atau menemukan yang baru lagi. Sekali lagi maafkan aku, Juan. Aku tau pasti kau orang yang baik. Tapi aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri kalau kau akan mencintaiku seperti....."
"Seperti Ahmar mencintaimu?"
Hening. Mariam tak menjawab. Juan meliriknya, melihatnya mengusap pipi dengan segera. Gadis itu menangis, tanpa suara.
"Kau benar. Aku yang tak pernah berpikir sejauh itu saat jatuh cinta. Meski aku yakin bisa dengan mudah mencintaimu, sejujurnya aku sendiri memang belum yakin tentang bertahan dengan satu orang sepanjang sisa hidupku."
"Jadi, alasan apakah yang membuatmu dengan mudahnya melamarku?"
"Oh, eh, k-kalo itu, emm anu...." Juan mendadak gugup. Sebaliknya, Mariam justru tertawa.
"Kau kenapa jadi gugup begitu? Sungguh, kau kalo begitu bukannya seperti Don Juan, malah spt kucing kecemplung air. Orang Jawa bilang, gelagepan." Mariam terpingkal-pingkal. Rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa, dan pagi itu ia bisa merasai lagi tertawa selepas itu. Mariam bahkan tak peduli pada tiga empat orang yang mulai berlalu lalang di sekitar mereka.
"Damn! Perempuan-perempuan di luaran sana antri memperebutkan aku, perempuan ini malah menyamakan aku dengan kucing kecemplung air," benak Juan sedikit jengkel.
"Sudah puas tertawanya? Atau masih mau menertawaiku lagi?"
"Maaf, Juan. Maafkan aku. Dan terima kasih, rasanya aku sudah lama tak tertawa selepas ini." Tawa Mariam mereda melihat wajah Juan yang serius. Entah dia marah, tersinggung atau..., tapi sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu.
"Kau tau, sejujurnya aku... aku cemburu pada Ahmar. Ia bisa mencintai sedalam dan sekuat itu, ia juga bisa mendapatkan cintanya jika dia mau. Tapi dia memilih untuk tetap bertahan bersama istrinya yang sudah tak berdaya. Dia memang pantas mendapatkan cinta yg tak biasa, bahkan dari dua perempuan sekaligus.
"Dari sejak kami kecil, aku selalu lebih baik dari dia, semuanya. Olah raga, kecerdasan, ketangkasan, ketampanan... Semua! Kecuali satu hal, sikap. Sopan santun dan rasa hormatnya pada orang lain memang terbaik dalam keluarga besar kami. Dia jauh meninggalkan aku, bahkan kami semua sepupunya. Saat abuela atau abuelo, dan tia serta tio kami membutuhkan bantuan, dia yang pertama datang. Saat kami berebut mainan, dia yang menjadi penengah dan meredakan keributan. Saat orang-orang tua membagi apapun, dia selalu di urutan belakang. Saat kami semua ingin menang, dia selalu mengalah. Dan dia hampir tak pernah marah separah apapun kesakitan yang ia terima. Bisa dibilang, semua yang bernama kebaikan dia yang mengambilnya.
"Kau tau, setiap kali ada orang yg memuji atau mengagumiku, kemudian Ahmar datang, pasti pandangan mereka beralih padanya. Entah, tapi memang keberadaannya terasa memberi kesejukan, aku sendiri merasakan itu." Ada cemburu tertangkap di mata Juan.
"Aku tak tau cerita masa kecilnya, tapi aku mengerti bahwa dia mempunyai kebaikan yang luar biasa. Kau tau, Juan? Dalam dilema cinta yang melibatkan kami bertiga, jika ada yang paling menderita, dialah orangnya. Ia harus belajar sekuat tenaga untuk mencintai, sekaligus melupakan. Padahal hampir setiap hari pula ia harus selalu mendengar cerita tentang aku, orang yang seharusnya ia lupakan. Tapi dia bertahan. Karena dia tau, bagi Anna berbicara tentangku adalah kebahagiaan, cara untuk membunuh kerinduan. Entah terbuat dari apa hati sepupumu itu."
"Ya, itulah kenapa aku cemburu padanya. Maka ketika melihat matanya yang mengatakan bahwa dia begitu takut kehilanganmu, aku segera melamarmu. Kupikir ia akan marah. Tapi lagi-lagi aku salah. Dia selalu berhasil menekan dan menyembunyikan rasa marah, bagaimanapun sesaknya.
"Akhlak. Dalam keyakinan kami, itu yang dinamakan akhlak, Juan. Dia selalu menjaga dirinya agar berbuat hanya hal-hal yang baik. Dan berdamai dengan hatinya agar bisa menerima segala sesuatu tanpa menyakiti hatinya sendiri."
"Apa itu ak-akhl...."
"Akhlak. A-K-H-L-A-K." Mariam mengejanya untuk Juan.
"Akh-lak?! Adakah panduannya untuk itu?"
"Tentu saja ada. Namanya Al Quran dan Sunnah. Tapi panduan itu hanya untuk orang yang mengimani dan meyakininya saja. Nabi kami yang memberikan teladan tentang akhlak terbaik. Ya, nabi kami, yang mungkin tak diakui dalam keyakinanmu."
"Hemm.. bagaimana caranya agar aku bisa ikut menggunakan panduan itu?" tanya Juan menunjukkan ketertarikan.
"Syaratnya hanya satu, Juan. Islam."
"Tak bolehkah aku mempelajarinya dulu? Setelahnya, jika aku merasa itu sesuai dengan apa yang kucari, baru aku akan memenuhi syaratnya?" Wajar, jika Juan seolah dihinggapi keraguan.
"Tentu saja boleh. Kau bisa datang ke mezquita di Madrid. Sepupumu pun punya kemampuan untuk mengajari dan membimbingmu tentang itu. Insya Allah."
"Sepupuku punya nama, Mariam!"
"Hemm."
"By the way, bagaimana jika seandainya aku benar jatuh cinta padamu, Mariam?"
"Ah, kan baru seandainya. Kenyataannya tidak kan? Jadi tak perlu kau pikirkan atau berandai-andai," jawab Mariam sambil tertawa.
"Bukan tidak, tapi belum."
"Ya sudah, mumpung belum, kau tidak usah jatuh cinta kepadaku saja. Karena aku juga tak akan membalasnya!"
"Dasar keras kepala!" Berdua tertawa. Lagi.
"Emm, kalo begitu, apakah kau akan berkata ya jika Ahmar yang memintamu menjadi istrinya?"
"Ehk.. Itu, emm, aku... anu...." Kali ini giliran Mariam yang gugup. Juan terkekeh, merasa menang.
"Kau seperti kucing kecemplung air!" ledek Juan. Wajah Mariam memanas, malu.
"Jadi benar, kau akan menerimanya jika dia memintamu menjadi istrinya?" cecar Juan lagi.
"Aku, emm aku... Sayangnya ia tak pernah memintaku... la--gi, Juan? Kesempatan yang pernah dia berikan padaku sudah kuberikan pada Anna." Mariam tertawa getir.
"Jika demikian, ijinkan aku melamarmu untuknya, Mariam. Maukah kau berjanji padaku untuk menikah dengan Ahmar?"
"Heh, memangnya aku siapamu harus berjanji padamu? Enak saja!" Kembali mereka berdua tertawa.
"Baiklah, Mariam. Biar aku yang menyampaikan padanya."
"Tidak Juan! Bagiku sudah cukup untuk menyebut namanya dalam doa-doaku. Itu saja."
"Kau berdoa agar dia menikahimu?!" sahut Juan.
"Hush. Tentu saja tidak. Aku meminta agar Allah, Tuhanku, selalu melimpahi kebahagiaan untuknya. Itu sudah cukup bagiku, Juan. Tak perlu kau katakan apapun padanya."
"Kalo begitu, andai dia benar-benar tak pernah memintamu, apakah kau mau menikah denganku?"
"Juaaann! Hentikan atau akan pergi meninggalkanmu!" ancam Mariam. Gemas. Juan tertawa. Lagi!
"Apa begini cara dia menggoyahkan hati perempuan-perempuan di luaran sana? Pantes aja mereka lama-lama tak kuat hati." Mariam tertawa dalam hati.
"Baiklah, Nona, aku akan berhenti membahas itu lagi. Tapi... jika aku tak mengatakannya pada Ahmar, mungkin dia tak akan pernah memintamu untuk...,"
"Mariam...,"
Suara itu..., mereka berdua sama-sama mengenalnya dengan baik. Mariam dan Juan berpandangan dengan wajah dipenuhi pertanyaan yang sama. Detik berikutnya, mereka menoleh ke belakang, meyakinkan diri bahwa yang mereka dengar benar adanya.
"Ijinkan aku untuk memintamu menjadi istriku, Mariam. Aku tak tau bagaimana cara mengatakannya, aku hanya tau jika aku tak mau kehilanganmu untuk yang kedua kalinya." Ahmar tak mampu menyembunyikan getar pada suaranya.
Anna menggenggam erat tangan Ahmar, memberikan kekuatan dan meyakinkan suaminya bahwa ia baik-baik saja.
Mariam hanya diam, badannya gemetaran. Sekuat tenaga menahan tangis tapi tak berhasil, matanya tak lagi cukup menampung air yang berjejalan mencari jalan keluar. Hendak bicara pun tak terdengar suara apa-apa, hanya bibirnya yang terbuka.
Sungguh ia tak pernah menyangka, pria yang di setiap sepertiga malam ia sebut namanya, ia mintakan pada Allah kebahagiaan atasnya, detik ini berdiri di hadapannya dan memintanya untuk menjadi istrinya. Meski 'hanya' yang kedua.
"Aku mewakilinya untuk mengatakan YA! Itu yang dia tunggu darimu, Ahmar!" seru Juan dengan mantap.
"Juan," bisik Mariam. Juan menatap mata Mariam, ia mengangguk. Mariam melakukan hal yang sama, pada Ahmar.
"Mariam, Tuhanmu mendengar doamu untuknya. Dan Dia mewujudkannya. Kamu, Mariam. Kamulah kebahagiaannya," ucap Juan penuh bijaksana.
"Selamat, Ahmar. Kau pantas mendapatkannya." Juan memeluk erat sepupunya, yang diam-diam mengusap kedua sudut matanya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Iam. Kemarilah. Peluklah aku, Iam," pinta Anna pada sahabatnya.
***
Tak hendak berlama-lama, Ahmar menikahi Mariam sore itu juga. Bukan pernikahan secara hukum negara, hanya secara agama. Mariam tak mengapa, karena yang terpenting baginya adalah sah di hadapan Sang Maha Cinta.
Mengenakan gamis warna hitam dipadu khimar lebar broken white bersulam bunga, Mariam duduk di samping Anna. Mereka bergenggaman tangan dengan erat. Mariam menunduk, tak mampu meredam gemuruh di dadanya.
Qodarullah, Bang Ronald bersama Uni Aisya datang sesaat setelah mereka pulang dari Mirador San Nicolas. Berniat memberi kejutan, yang akhirnya berbalik mengejutkan bagi Bang Ronald. Pada akhirnya, sore itu dialah yang duduk di hadapan Ahmar, menjadi wali untuk sahabat adiknya yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri.
"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka Mariam Ramadhianti Suryo binti Imam Wahyudi 'alal mahri Al Quran al kariim haalan." Bang Ronald mengucap ijab dengan suara bergetar.
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyut taufiq." Tenang namun tegas, Ahmar melafalkan qobul dalam satu tarikan napas.
Seluruh yang hadir mengucap syukur. Anna mengantarkan Mariam menuju Ahmar. Tersenyum, dan menepuk tangan sahabatnya dengan lembut. Bulir bening membasahi netra keduanya.
Mariam menyambut tangan Ahmar yang terulur, mencium punggung tangan suaminya dengan takzim. Detik berikutnya Ahmar mengecup kening gadis itu, lalu menariknya dalam pelukan yang teramat erat. Ia menangis, Mariam menangis. Pun yang ada di sana, semua dilanda haru.
Mama memeluk keduanya, disusul Latifa, lalu Uni Aisya. Terakhir Anna, yang membawa serta Maira.
Ahmar berlutut di hadapan Anna, mengecup kedua tangannya, lalu menggenggamnya erat. Mariam menggendong Maira duduk di samping Ahmar.
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih untuk kebesaran hatimu menerima Mariam dan aku." Anna melepas genggaman Ahmar, menangkup kedua pipi lelakinya, dan mengecup lembut keningnya.
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia memiliki kalian bertiga," ujar Anna lembut. Lantas menarik Mariam, bertiga berpelukan penuh bahagia dan keharuan.
Setiap yang hadir memberi selamat pada Ahmar dan Mariam, juga Anna. Juan muncul di akhir barisan, memeluk Ahmar erat, dan memberi selamat pada ketiganya.
"Ahmar, ajari aku tentang panduan hidupmu. Aku menemukan ketenangan di sini, diantara kau dan saudara-saudara seimanmu," ujar Juan mantap.
Takbir berkumandang dari para muslim yang ada di sana. Mama Ahmar menangis, memeluk dan menciumi Juan penuh keharuan.
"Terima kasih, Tia Fatima. Terima kasih untuk selalu melimpahi aku dengan cinta, meski kita berbeda." Juan mencium tangan bibinya.
***
Sang pengantin baru pulang berdua, bukan dengan mobil mewah berhias bunga, melainkan berjalan kaki saja. Menyusuri Albayzin di sore hari. Tanpa kata, hanya ada bahagia.
Berhenti di tepi rio Darro, Mariam menyandarkan tubuh mungilnya ke jembatan batu, bertumpu pada kedua siku, menatap gemericik air yang mengalir tenang berdamping hijau rerumputan. Ahmar mengambil posisi yang sama di samping perempuan yang setahun belakangan mencoba dilupakannya.
"Mariam, kau ingat? Kita pernah melewati hal yang serupa ini di Venesia. Berdiri di tepian kanal, menyandar pada jembatan, dan menatap air yang mengalir di bawah sana."
"Tentu saja aku ingat. Aku bahkan masih ingat semua yang kau katakan. Tak hanya saat di Venesia, tapi juga saat di Brussels. Kau pernah berjanji padaku..., "
"Suatu hari nanti, kau harus menginjakkan kaki ke Granada, juga sepanjang Andalusia. Dan aku, harus aku yang memandumu di sana!" sahut Ahmar sama persis dengan yang dikatakannya sekira setahun kemarin. Senyum yang tergaris dikelilingi cambang tipis membuat wajahnya semakin tampan.
"Kau masih ingat?" Mariam memekik takjub.
"Aku mengingatnya dengan baik. Meski aku tak pernah lagi membayangkan, itu akan menjadi kenyataan."
"Benarkah ini kenyataan? Aku masih merasa ini seperti mimpi."
"Apa kau ingin aku mencubitmu, Mariam?" goda Ahmar.
"Tidak perlu, Ahmar. Bawa saja aku menyusuri Andalusia bersamamu." Mariam merajuk malu-malu.
"Tentu saja, aku akan membawamu menyusuri setiap sudut bumi-Nya ini. Kita akan mulai dari tempat yang pasti akan kau suka. Kau siap kan, yaa zawjatii?" Mariam tersipu mendengar panggilan Ahmar baru saja. Ia mengangguk, bahagia.
Melangkah perlahan meninggalkan tepian rio Darro, dengan malu-malu Ahmar mengambil jemari Mariam, menautkan pada jemarinya. Mereka bergandengan erat, dengan hati yang sama-sama menghangat.
"Apakah kau bahagia, Mariam?"
"Emm, aku tak menemukan kata selain itu."
"Meski kau hanya menjadi, maaf, yang kedua?"
"Tak mengapa, yaa zawjii. Aku tetap bahagia. Karena kamu, bahagiaku."
***
Alhamdulillah.
Tibalah kita di part terakhir "Selepas Hidayah".
Gimana gimana? Adakah yang sebel dengan endingnya? Hehe..
Maafkan lahir dan batin yaaa.
Plis, ambil baiknya lupakan buruknya. Semoga bisa memberi manfaat untuk teman-teman yang sudah membaca.
InsyaAllah masih ada satu kali kesempatan untuk update lagi.
Mau diisi apa nih? Extra part, cast, cerita di balik tulisan ini, atau tanya jawab? Eaaa, emangnya arteeesss pake tanya jawab. Haha..
Baiklah. Terima kasih banyak untuk teman-teman semua. Yang setia mengikuti, yang setia 'bersedekah' vote dan komen, yang hanya baca, atau juga yg nyasar ke lapak ini.
Mohon maaf atas segala salah.
Terima kasih.
All the best for all of you.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro