Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Pergi

Bismillah.

***

Melupakan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih sosok itu memberi arti yang mendalam, juga menggoreskan sebuah kenangan. Meski jauh dari penglihatan, dan lama tak terlibat dalam pertemuan, namun tetap saja hal tersebut sulit dilakukan.

Bagaimana jika harus melupakan, sedang sepanjang waktu harus selalu bersinggungan? Jelas dan pasti, double beban.

Itulah yang dirasakan Mariam saat ini. Sejatinya dia nyaman berada di tengah-tengah keluarga Señorita Fatima dengan segala kehangatannya. Berdekatan dengan sahabat terbaiknya, juga dengan bayi mungil yang menguasai hatinya semenjak pelukan yang pertama. Pun Latifa, serta mama, yang tetap bersikap hangat dan terbuka, meski tahu ia adalah sebuah lembar yang terselip dalam kitab cinta anak dan menantunya.

Tapi tidak dengan Ahmar. Dalam kehangatan, ia laksana bara yang memercik ke kulit Mariam. Terasa panas dan menyakitkan.

Mariam tentu tak bisa menghindar, begitu pun sebaliknya dengan Ahmar. Juga dengan perasaan yang tersimpan. Meski sekuat tenaga berusaha menekan, tetap saja sulit bagi rasa untuk menghilang tiba-tiba. Manusiawi.

***

Menginjak hari ketiga dari saat Anna meminta Mariam menjadi istri Ahmar. Ia benar-benar tak menyinggung hal itu lagi. Sama sekali. Mariam menjadi nyaman. Ia mendampingi Anna dengan gembira.

Sehari sekali ia memandikan Maira, ia juga yang mengganti popoknya setiap kali bayi lucu itu menangis karena basah atau lembab. Ia telah mahir. Mama yang mengajarinya ketika Anna masih dirawat di rumah sakit.

Mariam juga dengan senang hati mendorong stroller Maira meski hanya mondar mandir di dalam rumah, karena angin musim gugur terasa cukup dingin untuk bayi sekecil Maira. Setidaknya menurut Mariam.

Bergantian dengan mama, Latifa, juga papa Maira, mereka saling mendukung menyayangi Maira dan memberi semangat pada Anna. Walau demikian, Mariam sebisa mungkin menjaga jarak dengan Ahmar. Meminimalisir bahkan meniadakan persinggungan apapun dengannya.

Oee... Oee...

Tangis Maira terdengar. Mariam bergegas memeriksa popoknya. Kering. Maka seperti biasa, ia membawa bayi itu untuk menyusu pada mamanya.

"Ehk...." Mariam berhenti saat melihat Ahmar sedang di dalam kamar bersama Anna. Hendak berbalik, tapi mereka berdua terlanjur melihatnya.

"Ma-maaf. Aku hanya mau mengantar Maira, kelihatannya dia lapar." Bayi cantik itu berpindah ke pelukan mamanya. Mariam terburu keluar. Tak hanya menghindari Ahmar, ia juga berusaha menjaga hatinya agar tidak ambyar.

Membaca buku di ruang keluarga menjadi pilihan Mariam. Belum lama, saat ia melirik pada asal suara tatkala telinganya menangkap suara gesekan roda. Ahmar mendorong Anna, mereka berdua menuju padanya. Mariam tetap berpura-pura membaca, sungguhpun dadanya bergemuruh tak terkira.

"Iam, lagi baca buku apa sih, serius banget," ujar Anna. Nada basa-basi samar terbaca oleh Mariam. Ia sudah sangat kenal sahabatnya.

"Emm, enggak tau. Ada buku di sofa, jadi aku iseng aja buka-buka. Eh, ternyata bahasa Spanyol semua. Nggak paham aku." Anna tertawa.

"Makanya nikah sama orang Spanyol, biar tinggal di sini dan mau gak mau jadi bisa bahasanya."

"Dih, kalo cuma pengen bisa ngomong bahasa lain mah ikut kursus juga bisa, masa iya harus nikah sama orang sini segala. Mau dibawa ke mana deh ini obrolannya." Feeling Mariam mulai tak enak.

"Nggak gitu juga keles." Mencoba melempar canda agar suasana tetap enak.

"Ya tapi kalo ada kesempatan jangan dilewatkan."

"Maira tidur kah?"

"Udah deh, Iam, nggak usah mengalihkan topik."

"Bukannya obrolan kita memang nggak ada topiknya ya, An?"

"Sudah. Kumohon, jangan diteruskan. Anna, kau masih harus banyak istirahat. Ayo, kuantar kau ke kamar." Ahmar menengahi.

"Jadi kau mau membela Iam?" nada suara Anna mulai meninggi.

"Anna, maaf. Tapi tak seharusnya kau meninggikan nada suaramu pada suamimu," kata Mariam. Lalu menyesal karena tahu bahwa kalimatnya barusan hanya akan memancing emosi Anna.

"Nah kan, kalian berdua memang cocok!"

"Udah gini aja, An, sebenernya kamu mau ngomong apa? Silakan sampaikan. Aku dengerin. Kalo perlu kujawab akan aku jawab, lalu selesai," nada suara Mariam merendah.

"Nah, begitu lebih baik. Jadi aku bisa langsung menanyaimu tentang permintaanku waktu itu."

"Kau mau kan menjadi istri Ahmar?"

"Anna!" Ganti suara Ahmar yang meninggi.

"Tak apa, Ahmar," sahut Mariam.

"Apa yang kau inginkan dariku dengan menjadi istri Ahmar, Anna?"

"Karena kalian saling mencintai."

"Bukankah kau sudah dengar sendiri dari Ahmar bahwa itu dulu. Sekarang sudah tidak lagi." Sakit, kendati telah ditahan sekuat hati.

"Aku juga ingin kau di sini, bersamaku dan Maira. Karena aku membutuhkanmu, Iam."

"Aku pun senang berada di sini, dekat denganmu, dengan Maira. Tapi tak harus dengan menjadi istri Ahmar. Apalagi dia masih punya kau."

"Jadi maksudmu kamu maunya cuma kamu aja yang jadi istri Ahmar?!" Emosi mulai menguasai Anna.

"Astaghfirullah. Istighfar, An. Bukan begitu maksudku. Kau jangan salah paham." Mariam masih menjaga hatinya agar tak terbawa emosi.

"Tentu saja, maksudmu pasti begitu. Sudahlah, akui saja. Nggak usah munafik."

"Astaghfirullah. Ya Allah betapa menyakitkan tuduhan Anna. Sungguh, saya nggak seperti itu. Engkau Yang Maha Mengetahui, Ya Allah." Air mata Mariam tak lagi bisa dibendung, ia menangis, tanpa suara. Sungguh, sakitnya bahkan melebihi sakit saat mengetahui fakta tentang kedua orangtuanya.

"Anna, jaga emosimu!" Kali ini Ahmar benar-benar membentak Anna. Marah terdengar jelas di sana. Bahkan mama dan Latifa sampai turun dari kamar masing-masing mendengar ribut-ribut di ruang keluarga.

"Cukup, Anna! Aku cuma mau kau tau, aku ini sahabatmu. Walopun kita lama nggak ketemu, nggak barengan, tapi aku masih sama seperti dulu. Aku bahkan masih bisa membaca hatimu dari sorot yang terlihat matamu. Aku tau, ada ketidakikhlasan di sana. Kamu sebenernya nggak rela kalo aku dengan Ahmar kan? Aku nggak tau kenapa kamu memintaku untuk menikah dengan Ahmar. Katakan, kau hanya ingin ngetes aku kan? Mungkin juga Ahmar. Tapi kau salah, Anna. Sekalipun kami saling mencintai, cinta itu bukan lagi cinta yang ada untuk diperjuangkan."

"Tolong kau jaga dirimu baik-baik. Aku akan pergi. Aku tak mau menjadi duri bagi sahabatku sendiri. Terima kasih, Anna. Aku akan pergi. Ya, aku akan... per--gi."

Sekuat tenaga menahan perih dan air mata. Mariam menyelesaikan kalimatnya dengan susah payah, kemudian berlari ke kamar yang dia tempati. Memasukkan baju dan barang-barangnya dengan asal. Dia keluar menyeret kopernya, berhenti sejenak di pinggir box bayi Maira, memeluk dan menciumnya dengan berurai air mata. Lalu menuju pintu tanpa menoleh pada siapa-siapa.

"Harusnya aku mati saja, biar nggak jadi penghalang buat kalian berdua!" teriakan Anna terdengar hingga ke jalan. Mariam bergeming, ia tak mau jatuh lagi hanya karena melihat pada sahabatnya. Tetap menyeret kopernya, hingga terdengar satu suara.

"Mariam, kau akan pergi ke mana, Nak?" suara keibuan mama menyusup ke gendang telinga Mariam.

"Belum tau, Mama." Mariam menghentikan langkah dan berbalik ke arah mama.

"Baiklah. Kemanapun kau pergi, berhati-hatilah. Mama yakin kau bisa menjaga dirimu dengan baik. Kau bisa menghubungi aku atau Latifa kapan saja. Dan tolong, maafkan sahabatmu. Keadaan yang membuatnya demikian." Mama memeluk Mariam erat. Memang belum lama mengenal, tapi kebersamaan yang singkat itu telah cukup bagi mama untuk menganggap Mariam seperti anaknya sendiri.

Mariam mengangguk. Mengelap pipi dan basah di kedua mata belonya, lalu buru-buru menyeret kopernya. Entah ke mana.

Sementara di dalam rumah mama, Ahmar membawa Anna ke kamar tamu yang sekarang menjadi kamar mereka. Napas Anna masih tak beraturan, tersengal. Ahmar menggendong Anna, memindahkan dari kursi roda ke pembaringan.

"Sudah, sekarang lupakan semua. Kita fokus pada kesembuhanmu. Tak perlu memikirkan hal-hal yang bisa membahayakan hidupmu. Aku di sini. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," ucap Ahmar berusaha menenangkan Anna.

"Kenapa? Kenapa kau diam saja, Ahmar? Kejarlah. Jangan sampai kau menyesal."

"Tidak, Anna. Tempatku di sini, di sampingmu. Dia benar, cinta kami bukan lagi cinta yang keberadaannya adalah untuk diperjuangkan. Semua sudah selesai."

"Tapi, suaramu terdengar sedih."

"Tentu saja aku sedih, melihat kalian seperti itu. Maaf, Anna, tapi tak seharusnya kau melakukan itu. Jika kau memang tak ingin berbagi cinta, maka kau tak perlu berkata seperti itu pada sahabatmu."

"Dia punya nama, Ahmar. Bahkan menyebut namanya saja kau tak mampu. Kenapa? Kenapa, Ahmar?!"

"Ssstt, istirahatlah." Ahmar merebah di samping Anna dan memeluknya. Matanya terpejam, dalam hati bertanya, "Ke mana dia akan pergi? Mariam."

***

Assalamualaikum, pembaca Selepas Hidayah. Makin pusing gak sih baca part ini? Rada maksa juga nggak sih? Hehe, maafkan yaaa...

Part ini juga nggak sepanjang biasanya, kalo biasanya sampe 2K lebih kata, kali ini agak jauh dari 2K. Gpp ya, takut teman-teman bosan. Juga karena hari ini kebanyakan kegiatan.
Cieee curhat cieee 😁

Baiklah. Sehat selalu ya, Teman-teman. Terima kasih sudah membaca. Happy weekend dan jangan lupa bahagia.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro