21. Bandara
Bismillah.
***
Saat kita dilanda cinta, seringkali segala sesuatu berlalu tanpa terasa. Begitu pula Anna, dua pekan berlalu sejak pernikahannya dengan Ahmar, selama itu pula ia disibukkan oleh segala sesuatu yang menjadi persyaratan untuknya mengikuti Ahmar tinggal di Spanyol. Mulai dari melegalisir buku nikah di tiga kementrian berbeda, lalu diterjemahkan dalam bahasa Spanyol sebagai syarat mendaftarkan pernikahan hingga mendapatkan Libro de Familia. Setelahnya baru Anna bisa mengurus visa untuk mengunjungi negara suaminya. Setelah di sana nanti, barulah ia mengajukan izin tinggal.
Anna menjalani semua prosesnya dengan gembira, sungguh berbeda dengan saat mengurus persiapan pernikahannya beberapa waktu lalu. Tentu saja, sebab kali ini ia mengurus segalanya ditemani kekasih hatinya. Ahmar.
Pada akhirnya, saat yang ditunggu tiba jua. Dalam hitungan menit, Anna akan terbang meninggalkan keluarga yang dicintai, sahabat, serta teman-teman dan segala sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya. Bahagia? Tentu saja. Meski ada pula kesedihan yang menyapa. Sejujurnya ia berharap untuk melihat papi sebelum meninggalkan negeri.
"Mi, tolong sampaikan maaf Anna ke Papi ya. Dan sampaikan juga, bahwa Anna sayang sama Papi," pesan Anna pada maminya.
"Iya. Dan maafkan papimu juga. Begitulah cinta, kadang bikin seseorang jadi kaya anak kecil." Sebaris senyum tergaris di wajah mami. Senyum yang meneduhkan dan akan selalu Anna rindukan.
"Insya Allah aku akan whatsapp Papi setiap hari, agar tau keadaanku di sana. Meskipun emggak dijawab." Anna menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hendak tumpah. Ahmar merangkul pinggang istrinya, mengecup puncak kepalanya agar ia kesedihannya sedikit berkurang.
"Udah, nggak usah pada lebay gini kenapa sih?" Rendy, kakak ketiga Anna, menengahi. Sejujurnya ia sendiri sedang berusaha menepis sedih. Ia paling tak suka dengan sesuatu bernama perpisahan.
Keluarga itu bergegas menyelesaikan episode sedih dari sebuah perpisahan.
"Iam, aku ...." Dan pada Mariam lah tangis Anna justru tak mampu ditahan. Pecah berderai. Ia bahkan tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Berpelukan sedemikian lama.
"Sudah, kalian hanya terpisah jarak. Insya Allah masih bisa ngobrol dan berkomunikasi setiap saat." Usapan lembut di punggungnya membuat Anna melepaskan peluk pada sahabatnya. Menangkup kedua pipi Mariam, lalu memeluknya sekali lagi.
Saat yang sama, kedua mata Mariam tak sengaja bersitatap dengan kedua netra Ahmar. Ia menelan ludah, segera mengalihkan pandang. Begitu pun Ahmar, ia tak kuat melihat mata gadis itu, karena tahu ada lara tersembunyi di sana.
Kaki jenjang Anna hampir saja melewati garis pintu bandara yang hanya boleh dilalui calon penumpang pesawat, ketika indra pendengarnya menangkap sebuah panggilan.
"Anna!" seru suara itu. Suara berat nan berwibawa yang teramat dikenalnya.
"Apakah aku bermimpi?" batin Anna. Ia menghentikan langkah, mencoba meyakinkan apa yang baru saja didengar.
"Anna! Tunggu, Nak!"
Ia membalikkan badan, lalu berlari menuju sumber suara yang sedang berlari menuju ke arahnya. Papi. Tangis kembali tertumpah.
Papi memeluk putri kesayangannya erat. Bahunya terguncang hebat.
"Maafkan Papi, Nak. Pergilah. Papi merestuimu. Papi ikhlas dengan semua yang menjadi pilihanmu. Pergilah, meski sekarang kami tak lagi menjadi tempatmu kembali." Papi memeluk Anna lama, menciumi puncak kepalanya dengan segala ingatan tentang gadis kecilnya yang sudah tak lagi di bawah tanggungjawabnya.
"Ahmar, kumohon jagalah Anna. Aku melepaskannya untukmu bukan dengan sukarela, kecuali satu, ia harus bahagia!" pesan papi sembari memeluk menantu bungsunya. Sebelum benar-benar melepaskan sang putri kesayangan ke balik pintu kaca sebagabatas terakhir kebersamaan mereka.
***
Sekira satu jam meninggalkan tanah Doha hendak menuju bumi Iberia. Anna mematikan musik di gawainya, lalu mencabut earphone yang menyumpal kedua telinganya.
"Kenapa, kau bosan?" duga Ahmar melihat apa yang dilakukan istrinya.
"No mi querido. Aku hanya keinget sama Iam."
"Sudahlah, tak perlu risau, kau kan cuma jauh secara jarak saja. Jaman sudah canggih, kau tetap bisa ngobrol dan dekat dengannya."
"Bukan tentang itu sih, aku cuma teringat bagaimana sikapnya terhadap musik."
"Maksudmu?" Ahmar mengernyit, memunculkan lipatan diantara kedua mata dan alisnya. Anna gemas melihatnya, diciumnya sekilas pria yang duduk di sebelah kirinya.
"Dia nggak suka dengerin musik. Hampir nggak pernah malah. Cuma lagu-lagu tertentu saja, yang menurutnya bisa mengingatkan pada Allah setiap kali dia merasa sedih atau jatuh."
"Kenapa katanya? Apa menurut dia musik itu haram?"
"Emm, enggak juga sih. Kan aku bilang cuma lagu-lagu tertentu saja. Dia masih dengerin musik kok, cuma jarang aja. Katanya musik bisa menjatuhkan peradaban. Hahaha, kadang anak itu memang suka lebay."
"Musik? Menjatuhkan peradaban? Apakah ini ada hubungannya dengan Andalusia?" tebak Ahmar, mendadak diliputi penasaran.
"Ya ya, kau benar. Itu yang pernah dia ceritakan. Katanya salah satu penyebab jatuhnya Andalusia adalah karena anak mudanya telah dilenakan oleh musik, syair dan semacamnya, yang awalnya dibawa oleh seniman dari Iran. Eh, atau Irak ya? Aku lupa. Namanya kalo nggak salah Zainab. Eh, atau Zairab. Ah siapa sih, aku payah soal sejarah. Aku cuma ingat huruf depannya Z lah pokoknya." Anna menyerah pada ingatannya tentang sejarah.
"Ziryab?"
"Nah, iya ituuu." Anna memekik mendengar Ahmar menyebutkan nama yang gagal dia ingat.
"Ssstt, jangan berisik, Señora." Ahmar membekap mulut Anna. Mereka berdua cekikikan.
"Iya, maksudku itu. Ziryab," bisik Anna nyaris tak terdengar.
"Ya nggak begitu juga, aku jadi nggak dengar." Lagi-lagi mereka tertawa. Dan lagi-lagi Anna mencuri cium pipi Ahmar. Dia benar-benar jatuh cinta.
"Betapa dia memang tau banyak tentang Andalusia, salah satu yang membuatku mengaguminya. Allah, tolong jaga niatku agar tetap lurus, hanya karena-Mu." batin Ahmar, ketika bayangan Mariam melintas di benaknya. Dilingkarkannya tangan ke pinggang Anna, sekuat tenaga mengalihkan ingatan.
"Siapa Ziryab? Kau kenal?"
"Tentu saja tidak, kan aku hidup jaman sekarang, dia hidup berabad lalu. Bagaimana aku mau kenalan sama dia?" Ahmar sok serius.
"Iih, nyebelin." Anna memukul bahu Ahmar, yang dipukul tertawa kecil.
"Iya iya, insya Allah aku tau. Dia seorang seniman dari Baghdad, Irak. Kabarnya dia kalah bersaing dengan Ibrahim Al Mushily, gurunya, dan itu membuatnya terusir dari Baghdad. Lalu dia memilih Andalusia sebagai tujuan kepergiannya. Entah kenapa penguasa Andalusia masa itu mengizinkan Ziryab untuk masuk ke majelis ilmu dan memasukkan syair serta dendang yang kemudian melenakan. Konon ia juga yang pertama kali membagi makanan menjadi tiga bagian yaitu appetizer, main course, dessert. Juga membagi fashion berdasarkan empat musim yaitu summer, autumn, winter dan spring. Intinya, dia mengajarkan tentang gaya hidup hedonis."
"Oh gitu ya. Dan gara-gara itu juga trus kaum muda Andalusia jadi terlena dan tak lagi tertarik dengan ilmu pengetahuan dan agama?"
"Ya bisa dibilang demikian. Yang jelas terjadi pergeseran yang cukup jauh dari kebiasaan sebelumnya. Tapi jangan dibayangkan itu terjadi dalam 10-20 tahun, melainkan hingga 200 tahunan."
"Hah, lama banget ya." Mata Anna membelalak, tapi tak lantas membuatnya jadi lebar, Ahmar terkekeh melihatnya. Ditatapnya dalam-dalam netra itu, lalu mencubit kecil hidung Anna penuh sayang.
"Eh, kamu tau nggak lagu-lagu yang paling dia suka?" Anna membahas lagi tentang Mariam, Ahmar mulai gentar. Saat sedang berusaha membuang ingatan, istrinya malah membahas seperti tak ingin dihentikan.
"Ssstt sudah, kita tidur saja. Ingat, kita harus bugar sesampainya di Granada."
"Memangnya mau ada acara apa?"
"Kita belum malam pertama," bisik Ahmar di telinga Anna.
"Maksudmu?" Anna tak paham.
"Maksudku kita belum malam pertama di Granada, jadi kita harus mengulang suasana yang sama seperti malam pertama kita di Jakarta." Jawaban Ahmar membuat Anna mendadak merasakan geli di perutnya. Rupanya kupu-kupu sedang beterbangan di sana. Dia makin jatuh cinta, dan sekali lagi mencium pria bule di sampingnya, kali ini di bibirnya, dan tak sekilas. Aih, dasar pengantin baru. Ahmar sendiri tak keberatan karena memang yang dilakukan Anna tak dilarang oleh agama, mereka sudah sah sebagai pasangan halal.
"Jadi kau mau tau nggak lagu kesukaan Iam?"
Ahmar kembali merapal istighfar dalam hati, lalu menghela napas sebelum kembali bicara, "Pasti lagu-lagu rohani. Shalawat nabi. Atau Maher Zain mungkin?"
"Ya itu diantaranya. Tapi tak semua yang di playlistnya lagu rohani juga sih. Dia suka Letto."
"Apa itu Letto?"
"Itu nama salah satu grup band di Indonesia."
"Oh ya? Kukira itu bahasa Italia." Mereka berdua tertawa.
"Coba dengar, ini lagu paling Iam suka. Judulnya Memiliki Kehilangan. Kata Iam lagu ini selalu mengingatkan dia untuk nggak memegang segala sesuatu dengan erat. Bahwa segala yang kita miliki sejatinya hanya titipan dari Yang Kuasa. Kalo kita merasa semua yang kita punya adalah milik kita, semata karena usaha kita, nanti kalo diambil lagi sama Yang Punya kita jadi kehilangan berlebihan. Nggak ikhlas. Susah move on." Anna menceritakan panjang lebar, lalu tangannya terulur memasangkan earphone ke telinga Ahmar yang tak sanggup menolak. Yang bisa dia lakukan berikutnya adalah mendengarkan lagu yang diputar Anna dari gawainya. Lagu-lagu yang sengaja dia unduh untuk didengarkan setiap kali disapa rindu akan sahabatnya.
Entah sudah tiga atau empat kali Noe melantunkan lagu yang sama saat Ahmar menoleh ke sisi kanannya. Memandang istrinya yang mulai terserang kantuk. Gadis itu seperti roller coaster, baru saja bersemangat memaksa-maksa, tiba-tiba ngantuk tanpa butuh banyak usaha.
Tak mampu melepasnya walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa masih memilikinya
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
Ahmar menghela napas, mencerna kata demi kata yang menyapa indra dengarnya. Suudzon sempat terlintas di dirinya, bahwa Anna sengaja menyindir lewat lagu yang sedang memenuhi gendang telinganya.
Sementara di bawah sana, di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, seorang gadis mungil sedang mendengarkan lagu yang sama. Mencoba menguatkan diri atas kepergian sahabatnya menuju tempat yang begitu diimpikannya. Bersama seorang pria, yang sesungguhnya telah menghuni ruang istimewa di sudut hatinya.
***
Alhamdulillah.
Niat update 2x hari ini akhirnya terlaksana. Di atas kereta pula, yang berjalan dari Jakarta menuju tempat di mana rumah dan keseharianku berada. Eaaa...
Terima kasih kalian yang sudah membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejakmu dbawah situ.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro