20. KUA
Bismillah
***
Pagi itu langit Jakarta terlihat cerah. Berkolaborasi bersama gulungan awan yang berarak perlahan serta sinar matahari yang menghangatkan hingga menghasilkan lukisan keindahan. Semesta seakan tahu, akan ada kebahagiaan di hari itu.
Berbalut gaun silk sederhana berwarna putih dengan aplikasi payet batu mulia bernuansa biru, Anna menyetir sendiri Pajero putihnya menuju KUA. Mariam yang duduk di sampingnya masih tak berhenti geleng-geleng kepala, heran melihat ulah sahabatnya yang keras kepala.
Pengantin macam apa yang nyetir sendiri ke KUA, setelah malam sebelum hari H malah nongkrong sambil nangis-nangis di tempat kost sahabatnya. Bukan fokus pada bahagianya setelah resmi diperistri pujaan hatinya nanti, sebaliknya malah sibuk bersedih karena akan berpisah dengan sahabat terbaiknya. Yang selalu ada ketika dia membutuhkan, yang selalu siap menampung segala keluh kesah dan kesedihan, bahkan ia pula yang selalu terlihat lebih bahagia ketika dia dihampiri kebahagiaan.
“Udah nggak usah nangis, lebay banget sih kamu nih. Aku yang mau kamu tinggal dalam kejombloan aja nggak lebay, kenapa kamu yang akan pergi untuk kebahagiaan malah drama gitu.”
“Hih, kamu pasti seneng ya, nggak akan ada yang gangguin lagi kalo aku lagi bete.” Anna mengerucutkan bibirnya.
“Iya dong. Kan tugasku sebagai sahabat yang baik hati dan tidak sombong sebentar lagi akan diambil alih sama Ahmar. Aku bebas. Nggak ngadepin sahabat wagu macam kamu.” Mariam tertawa. Ada getir terselip di sana.
Parkiran KUA yang tak begitu luas membuat jarak pandang Anna lebih bebas. Ia menahan napas, saat matanya tertumbuk pada pria tampan dengan setelan pantalon dan jas warna hitam.
"Woi, sepatunya woiii." Tak sabar untuk segera menuju ke sana, Anna bahkan hampir lupa mengganti sneakers yang menempel di kakinya. Mariam setengah berlari mengambilkan sepatu sahabatnya dari bagasi.
Vanya yang baru bertemu adiknya pagi itu pun menyambut dengan gelengan kepala, “Dasar pengantin koboi,” katanya.
Namun suasana haru segera menyeruak begitu masuk ke dalam ruangan KUA tempat akad nikah akan dilangsungkan. Ronald terlihat beberapa kali mengusap mata,tak pernah menyangka akan duduk di samping penghulu sebagai wali nikah adik kesayangannya. Adik yang selama ini dimanja kakak-kakaknya, yang selalu keras kepala, yang cuek dan punya keberanian di atas rata-rata, tapi suka drama kalo ada masalah yang menimpa, sebentar lagi akan mengakhiri masa lajangnya. Untuk kemudian dibawa suaminya ke tempat nun jauh di sana.
“Saudara Ahmar Yazid Mateu, saya nikahkan dan saya kawinkan adik kandung saya Adrianna binti Tjandra Hardjono kepada engkau, dengan mas kawin logam mulia seberat 200 gram dibayar tunai,” suara Ronald terdengar bergetar, bulir bening mengalir begitu dia menyelesaikan lantunan ijab.
“Saya terima nikah dan kawinnya Adrianna binti Tjandra Hardjono dengan mas kawin tersebut, tunai.” Ahmar menjawab dengan lancar dan penuh ketenangan. Meski di saat bersamaan, ada nyeri yang terasa begitu menyakitkan, di sana, di sudut hati tempat ia menyimpan satu nama.
Ahmar memasangkan cincin pada jari manis Anna, yang kemudian mengambil tangan Ahmar dan menciumnya takzim. Dua detik berikutnya, sebuah kecupan mendarat di kening Anna. Ia tersenyum malu, ada rasa geli yang aneh menjalari.
Semua anggota keluarga yang ada di sana saling bertukar peluk dan memberi selamat pada mempelai yang berbahagia. Kecuali Latifa, fokusnya sedikit terbagi pada gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu terlihat menangis bahagia, tapi Latifa juga menemukan sesuatu yang lain, yang tersembunyi dalam kaca-kaca bening mata itu. Ia bisa membaca, ada kesedihan di sana. Mungkin kehilangan lebih tepatnya. Dan saat itu juga, Latifa tahu apa yang sebenarnya terjadi antara gadis itu, Anna dan kakaknya.
Latifa menghampiri gadis itu dan memeluknya tanpa kata. Perempuan yang beberapa menit lalu dikenalkan padanya sebagai sahabat dari kakak iparnya. Ialah Mariam. Usapan pada punggung, juga tepukan pada pundaknya membuat Mariam tahu, bahwa Latifa mengerti apa yang sebenarnya tersembunyi.
***
Siang menjelang sore, tiga mobil yang semuanya berwarna putih bergerak menuju salah satu restoran seafood di bilangan Ancol. Formasi keluarga Anna lengkap, minus papi tentu saja. Mariam pun ada diantara mereka. Restoran ini menjadi salah satu favorit keluarga Anna, terutama Vanya, yang jika mengunjungi papi mami di Jakarta tak pernah absen untuk setor muka ke sana.
Suasana pantai langsung terasa begitu mereka memasuki bangunan restoran. Ornamen yang didominasi nuansa coklat khas kayu, serta embusan angin laut yang menerpa memberi kesan seolah di atas kapal. Mereka menuju ke salah satu sudut yang sudah dipesan sebelumnya. Anna menggandeng mesra tangan Ahmar, membawanya menuju pasar ikan untuk memilih makhluk-makhluk laut nan imut sebagai menu yang akan terhidang di hadapan mereka. Sementara Mariam meminta izin untuk ke toilet. Hanya alasan, karena yang dia tuju sebenarnya adalah dermaga.
“Anna, kau tau di mana Mariam?” tanya Latifa usai menentukan makhluk laut beserta menu yang menjadi pilihannya.
“Tadi sih ijin ke toilet, tapi kalo ke sini dia selalu suka suasana di dermaga. Coba saja kau cari ke sana.” Anna menerangkan kebiasaan sahabatnya.
“Dia tidak makan?”
“Tentu saja makan, aku sudah hafal menu apa yang harus kupesan untuknya. Dia selalu makan menu yang sama setiap kali kami ke mari.”
“Ah ya ya, kalian benar-benar soulmate ya,” ujar Latifa sambil tertawa. Bergegas pergi setelah Anna menunjukkan jalan menuju ke dermaga.
“Hati-hati! Kau tak mengenal tempat ini.” Ahmar sedikit berteriak, ia mengkhawatirkan adiknya.
“Tranquilo! Kalaupun aku tak bisa menemukan jalan pulang, setidaknya nomor teleponmu masih kusimpan.” Latifa balas berteriak.
Dermaga yang terletak di area belakang restoran itu cukup panjang. Dari kejauhan, Latifa melihat Mariam yang sedang berjalan menuju ujungnya. Ia tak terburu menyusulnya, menyempatkan dulberhenti sana-sini mengabadikan suasana laut di sekelilingnya, matanya berkali mengawasi Mariam yang nyaris tiba di ujung bangunan. Sesaat berikutnya, Mariam telah duduk melengkung menatap cakrawala.
“Boleh aku duduk?” sapa Latifa tanpa basa-basi. Tangannya berpura-pura sibuk membereskan kamera, hendak memberi kesan bahwa dia tak sengaja menemukan Mariam ketika asyik mengambil foto di tempat yang sama.
“Astaghfirullah, kau mengagetkanku, Latifa. Silakan, kau tak perlu membayar untuk duduk di sini.”
“Adik sama kakak kok suka banget ngagetin orang, jangan-jangan penyakit keturunan nih,” batin Mariam. Ingatannya terseret ke belakang, saat Ahmar mengagetkannya di Brussels, lalu mengulangnya di Volendam. “Astaghfirullah, kenapa harus ingat dia lagi sih.” Ia menghela napas, terdengar berat.
“Kenapa?”
“Oh, emm enggak, enggak ada apa-apa.”
“Subhanallah, orang menghela napas aja kok ya dia tau lho kalo aku pantas dicurigai. Mukaku yang keliatan bermasalah atau dia yang terlalu peka ya?” Mariam membatin sambil menelan ludah.
“Kau hebat ya. Maravillosa! Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya? Kalau aku sudah pasti tak sanggup.”
“Kakakmu cerita apa?” Mariam tahu arah permbicaraan Latifa, dan saat ini, dia sedang tak ingin untuk berpura-pura.
“No, dia tak pernah mengatakan apapun. Sama sepertimu, dia menyimpan rapat-rapat perasaannya, juga ceritanya.” Latifa turut menatap horizon di ujung penglihatannya.
“Hemm ….”
“Aku menyimpulkan sendiri. Dulu, sekira sebulan yang lalu, Ahmar pernah bercerita, ia bertemu seseorang yang karakternya membuat ia jatuh hati padanya. Gadis itu mungil dan pendiam. Aku tak perlu penjelasan ketika bertemu denganmu, setelah sebelumnya bertemu dengan Anna.”
“By the way, terbuat dari apa hati kalian berdua?” Latifa melirik ke arah Mariam, ia terlihat mengusap ujung netra.
“Aku tak pernah mengatakan apapun tentang hal ini pada ibuku, tapi satu kejadian membuat dia membaca apa yang terjadi padaku. Dia melihatku lemah, hingga aku terpaksa mengatakan semua padanya. Lalu ibuku berkata, ‘jika yang kau lakukan benar-benar karena Allah, maka kau tidak akan selemah itu, Mariam’. Sejak saat itu, aku memilih untuk kuat. Karena aku melakukan semuanya karena Allah. Aku menyayangi Anna karena Allah. Dan aku mencinta Ah …,”
“Ah sudahlah. Semoga Allah ridho atas keputusanku. Juga memaafkan atas kelemahanku. Aku hanya manusia biasa, bukan malaikat.”
Latifa diam, matanya tetap tertuju pada horizon di depan sana. Tapi lengan kirinya meraih bahu Mariam, merangkulnya, dan menyandarkan kepalanya pada kepala Mariam. Detik berikutnya, terdengar isak pelan dari bibirnya. Gadis berdarah Catalonia itu tak tahan untuk tak menangis. Mariam diam saja, tetap memeluk lutut dengan kedua tangannya, menikmati angin yang mempermainkan ujung skirtnya.
***
Malam beranjak menua, menyisakan hening di tengah-tengah dua anak manusia. Langit Jakarta yang pekat tenggelam oleh kerlip bintang yang terserak di angkasa, juga lampu-lampu kota di bawah sana, dan yang mencahayai balkon nyaman tempat mereka menghabiskan malam bersama. Ini malam pertama mereka resmi menyandang status tuan dan nyonya.
"Sayang, hafalanku sudah sampai surah Al Fajr lho. Kamu mau dengerin nggak?" Anna membuka obrolan, ada nada bangga sekaligus gembira di sana.
"Masya Allah. Bacalah, aku ingin mendengarnya."
Lantunan kalam Allah mulai terdengar dari bibir Anna, sesekali Ahmar membetulkan hafalan istrinya yang terlantun dengan penuh semangat. Ada binar bahagia dalam setiap kerjap mata istrinya. Ia seperti menemukan telaga pada setiap huruf yang dilafalkannya. Kebahagiaan hinggap malu-malu pada keduanya.
"Anna, lo siento, Sayang. Maaf jika nanti di Granada aku mungkin tak bisa menyediakan fasilitas yang sama seperti yang orang tuamu berikan," kata Ahmar usai Anna menyelesaikan murojaahnya.
"Ssstt, kau tak perlu bicara seperti itu. Itu bukan sesuatu yang penting buatku. Sejak lahir aku telah menikmati hidup yang bergelimang kekayaan, hingga sekarang umurku 25. Jikapun setelah ini aku harus hidup dalam sederhana, bahkan seandainya dalam kekurangan sekalipun, insya Allah aku tak akan keberatan, Ahmar."
"Iam pernah cerita tentang Nabi Ayyub, yang merasa malu meminta kepada Allah agar menyembuhkan sakitnya."
"Ya Rabb, apakah sebuah keharusan bagi Anna untuk menyebut nama sahabatnya di setiap cerita yang dia sampaikan?" Hela napas keluar dari hidung mancung Ahmar.
Ketika Nabi Ayyub didera sakit yang tak kunjung sembuh, istrinya berkata, "Sekiranya Engkau memohon kesembuhan kepada Allah, pastilah Allah akan mengabulkan. Mintalah pada-Nya doa untuk kesembuhanmu, Suamiku."
Tapi Nabi Ayyub tak bersedia. Ia berkata pada istrinya, "Wahai istriku, sungguh aku malu meminta kesembuhan pada Allah, sebab Dia telah menganugerahkan kenikmatan hingga kita hidup dalam kemewahan dan harta yang berlimpah jauh lebih lama dibandingkan sakit dan kepayahan yang kita derita. Kenapa kita tidak bersabar saja atas cobaan-Nya?”
"Dan Nabi Ayyub beserta istrinya pun bertahan pada kesabarannya, hingga setiap kita mengidentikkan kisahnya sebagai teladan dalam kesabaran."
"Begitu pula aku, Ahmar. Aku ingin menjadikan Nabi Ayyub sebagai salah satu teladan untukku dalam bersabar. Aku hanya manusia biasa, ujianku tentu tak akan seberat para anbiya. Maka bimbinglah aku, agar jika Allah memberiku ujian, aku bisa melewati setiapnya dengan kesabaran dan kesyukuran. Karena Allah telah memberikan hadiah terindah untuk hidupku, yaitu Islam. Juga ..., kamu."
"Muchas gracias, Mi Amor. Aku beruntung dipilih olehmu." Anna menyandarkan kepalanya di dada Ahmar, tak peduli pada degupnya yang tak karuan.
"By the way, kenapa kau memilihku, Ahmar? Kupikir orang yang relijius sepertimu akan memilih perempuan seperti Iam. Bukan malah aku yang belum tau apa-apa tentang Islam."
"Hemm, karena kau manis, seperti es krim," jawab Ahmar sembari menghidu aroma lembut vanila yang menguar dari rambut istrinya.
"Iih, jangan becanda, aku nggak suka," rajuk Anna manja, menghadapkan wajahnya pada wajah Ahmar. Hening, hanya deburan ombak terdengar dari dada masing-masing.
"Hemm, ya. Justru itu yang membuatku menjatuhkan pilihan padamu. Kau yang belum tau banyak tentang Islam. Agar aku bisa mendampingimu, menjadi pembimbingmu menempuh jalan cahaya, menjadi seorang muslimah seutuhnya. Berharap kepada Allah, ini bisa menjadi amal jariyah yang memperberat timbangan kebaikanku kelak di akhirat." Ahmar melingkarkan tangannya ke pinggang Anna.
"Masya Allah. Terima kasih, Ahmar. Aku mencintaimu." Sebuah kecupan mendarat di pipi yang mulai dipenuhi cambang tipis-tipis.
Pelukan di pinggang Anna terasa makin erat. Detak jantung pun melaju makin cepat. Anna melingkarkan kedua tangan di leher suaminya, wajah mereka semakin dekat, dan detik berikutnya ia mendaratkan ciuman di bibir Ahmar. Dunia Ahmar seakan berhenti berputar. Untuk pertama kalinya dia merasakan sensasi yang membuat seluruh tubuhnya bergetar.
"Masya Allah, beginikah rasanya, Ya Rabb."
Ahmar tersentak sadar, lalu menyambut ciuman Anna, masih dengan gemetar. Hanya sebentar, lalu ia segera menarik dirinya.
"Ehk, ke-kenapa Ahmar? Kau t-tak suka? Ma-maafkan aku." Anna terbata, malu. Merasa terlalu agresif.
"Tentu saja aku ..., suka. Tapi jangan di sini, Sayang. Lampu Jakarta melihat kita."
Ahmar begitu saja menggendong Anna, yang dengan tangkas segera melingkarkan tangan ke leher pujaan hatinya. Lalu sekali lagi mendaratkan ciuman padanya. Berdua, mengarungi malam yang telah halal untuk dilewatkan bersama.
***
Udaaahh, sampe sini doang kok. Gausah pada nunggu adegan berikutnya yaaa 😆😆
*Pict taken from Pinterest.
***
Yeaiy... Alhamdulillah, akhirnya bisa update lagi setelah Sabtu kemarin absen karena ke(sok)sibukan.
Sebenarnya hari ini pun lagi di Jakarta. (Eh, bukan kok, bukan lagi kondangan Anna-Ahmar). Tapi tetap diusahakan update 2x, biar cepat lunas hutang apdetannya.
Demikian teman-teman. Terima kasih untuk kalian, yang sudah mampir dan baca Selepas Hidayah.
Mohon maaf, dan jangan lupa untuk selalu bahagia.
Love,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro