Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Milano

Bismillah

***

Malam merayap lamban, seakan memberi kesempatan Anna untuk menikmati kebahagiaan. Barang bawaan yang hampir tiga kali lipat dari waktu berangkat tak membuat dia kesulitan mencarikan tempat. Dua koper baru sudah tersedia, lengkap dengan isi dompet untuk membayar kelebihan bagasinya. Pun dengan senyum yang terlukis di wajah Anna, kuantitasnya meningkat tiga kali lipat dari sebelum-sebelumnya.

"Buat apa coba barang segitu banyak? Apa iya mau kamu bagi-bagi semua? Ckckck. Sebentar lagi kamu jadi istri, tinggal jauh dari keluarga, jangan boros-boros. Lagian kamu belum tau juga gimana papi mamimu nanti pas tau keyakinan kamu sekarang sudah beda dengan mereka. Ya kalo mereka menerima dengan baik-baik saja. Kalo enggak gimana? Kalo mereka cabut semua fasilitas yang selama ini kamu nikmati, gimana? Mulai belajar nabung deh. Oke?"

"Iya, Ibu Mariam yang bawel." Anna menjulurkan lidah meledek Mariam.

"By the way, kok kamu tau sih yang kupikirin. Aku tuh sebenernya kuatir, gimana kalo papi mami nggak terima dengan keislamanku, trus aku nggak diakui sebagai anaknya. Kalo cuma fasilitas dicabut sih insya Allah aku masih bisa bertahan hidup. Tapi kalo nggak diakuin anak, Ya Allah, aku kuat nggak ya?" Raut wajah yang tadinya ceria meredup berganti mendung dan netra menguyup.

"Nggak usah berprasangka terlalu jauh, percayalah, Allah Maha Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang. Dia pula yang berkuasa membolak-balikkan hati. Daripada tersita untuk hal-hal yang belum tentu terjadi, lebih baik manfaatkan waktumu untuk berdoa, memohon segala kebaikan untukmu, juga untuk keluargamu." Nasehat Mariam untuk sahabat yang teramat disayanginya.

"Siap, Komandan. Aku mau telpon Bang Ronald ah, mau curhat tentang kekuatiranku, sekalian ngabarin kalo aku dilamar sama pujaan hati. Apakah ini yang dinamakan rezeki anak solehah?"

"Dih, pede banget yess. Udah ah, aku turun dulu ya, An. Pengen minum panas-panas nih," pamit Mariam. Sebenarnya, bukan kehangatan yang dia cari, dia hanya sedang ingin sendiri.

"Berani sendiri? Ntar kecantol bule gimana?"

"Halah, emang elooo?!" Menyambar satu kartu pembuka pintu, Mariam segera beringsut keluar.

Derap kaki Mariam terdengar di lorong lantai lima yang sepi. Ditekannya panah ke bawah pada sisi pintu lift yang segera terbuka kurang dari empat detik setelahnya.

"Lho, Mbak Mariam mau ke mana? Kok sendirian aja. Mbak Anna mana?" Di dalam lift, Pak Yon dan Bu Yon menyambutnya dengan tanya.

"Eh, ini mau nyari coklat panas. Anna mah sibuk packing, bawaannya seabreg gitu." mereka bertiga tertawa.

"Nah, Bapak Ibu mau kemana ini?" Mariam balik bertanya.

"Mau ke bawah, ada teman lama Bapak yang tinggal di sini dan ngajak ketemuan. Nongkrong bareng kami aja yuk, sambil nunggu," ajak Bu Yon antusias. Ketulusan terpancar di matanya.

"Alhamdulillah, jadi ada temannya saya," ujar Mariam sambil tertawa.

Bertiga berbincang di area restoran dengan tiga cangkir yang kesemuanya menguarkan aroma cokelat.

"Assalamualaikum. Boleh saya bergabung di sini?"

"Astaghfirullah, kenapa juga bule ini pake datang segala. Ujian banget ini sih."

Ahmar datang usai meminta pihak hotel menyediakan breakfast dalam box karena esok pagi mereka akan check out di jam-jam orang Eropa masih hanyut dalam mimpi. Ia hendak mencari sesuatu untuk menghangatkan badan, hingga tak sengaja melihat mereka bertiga dan memutuskan untuk bergabung dalam satu meja.

Sepertinya Allah sedang ingin menguji kekuatan hati Mariam. Hanya berselang tak sampai sepuluh menit setelah Ahmar ikut meramaikan obrolan, teman lama Pak Yon datang. Mau tidak mau mereka pun ditinggalkan berdua, meski hanya berjarak beberapa meja dari tempat Pak Yon duduk sekarang. Kali ini bukan setan yang menjadi pihak ketiga diantara mereka, melainkan kecanggungan yang begitu kentara, meski mereka berdua mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Emm, maafkan aku, Mariam." Ahmar mencoba mencairkan kebekuan.

"Tidak, Ahmar. Aku yang seharusnya meminta maaf," balas Mariam lirih.

"Kau pasti berpikir, kenapa aku bisa secepat itu mengambil keputusan."

"Ti-tidak. Aku yakin, kau telah melibatkan Allah dalam mengambil keputusan."

"Kau tau? Sebenarnya setelah obrolan kita di Brussels sore itu, sejak malam itu pula aku selalu memohon petunjuk kepada Allah. Kau memang hadir, tapi entah mengapa kau selalu ada di belakang Anna. Dengan senyum yang seolah kau tujukan utk kami berdua." Ahmar bercerita tanpa diminta, dan terus bercerita.

"Sayangnya, ilmu dan imanku yang dangkal membuat petunjuk itu tak sampai sebagai dasar amal.
Qodarullah wa masyaa-a fa'ala.
Aku baru benar-benar tersadar setelah mendapat jawaban darimu.
Allah sedang ingin menegurku sebagai manusia. Terkadang petunjuk itu datang dengan terang benderang, tetapi kita tak mampu membacanya. Bukan sebab tak bisa, tapi seringkali karena dikaburkan oleh kepentingan kita, oleh keinginan kita. Pada akhirnya, petunjuk itu kita artikan justru sekedar sebagai pembenaran untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya menjadi keinginan."

"Aku manusia biasa, Mariam. Yang masih dikuasai nafsu dan kepentingan. Hingga ketika petunjuk itu datang, aku mengartikannya sesuai kemauan. Lisanku berucap bahwa aku bertawakal, padahal sebenarnya hatiku tau, dan kemudian menyangkal."

"Maka ketika aku menerima jawabanmu, lalu saranmu untuk menikah dengan sahabatmu. Saat itu tak ada lagi keraguan bagiku. Aku sekali lagi melibatkan Allah, memohon kekuatan untuk menjalankan petunjuk yang telah Dia berikan, bahkan dari sejak awal aku memintanya."

"Sungguh, aku bersyukur dipertemukan denganmu. Kamu menyadarkanku tentang banyak hal. Maka tanpa ragu, terjadilah, kupinang Anna dengan hamdalah."

"Hah? Gak salah denger nih? Apa iya bukunya Mohammad Fauzil Adhim sampe ke Spanyol? Yang bener aja." pikiran Mariam merusak suasana yang sedari tadi sendu mendayu. Dia meringis, dibalik upaya menyembunyikan tangis.

"Terima kasih, Ahmar. Tak mengapa, aku bahagia."

"Emm, aku pamit dulu, takut besok kesiangan." Mariam berniat undur diri.

"Biar aku antar."

"Tidak usah, Ahmar. Terima kasih banyak. Assalamualaikum." Mariam beranjak tergesa.

"Waalaikumussalam." Ahmar menunggu Mariam hingga agak jauh. Lalu bergegas bangkit menyusul Mariam.

"Tolong jangan ikuti aku, Ahmar." Mereka berdua berdiri di depan pintu lift yang sama.

"Tidak. Aku kan juga perlu istirahat, Mariam. Di lantai lima."

"Duh, Mariam, bikin malu aja. Makanya jangan suka ge-er. " rutuk Mariam dalam hati. Malu.

Lagi-lagi kebisuan melanda hingga lift terbuka di lantai lima. Ahmar berjalan di belakang Mariam tanpa saling bicara sampai Mariam tiba di kamarnya. Dan ia terus berjalan hingga beberapa kamar setelahnya. Usai meyakinkan bahwa Mariam telah menutup pintunya, ia buru-buru balik kanan dan menuju lift untuk ke kamarnya di lantai tiga.

***

Usai salat subuh, Anna menyempatkan diri menghafal surat-surat pendek bersama Mariam. Lidahnya sudah mulai fasih melafalkan tiga surat andalan yang oleh sebagian saudara sebangsa setanah air beken dengan sebutan triqul.

"Iam, terima kasih ya. Jangan pernah berhenti nemenin dan ngajarin aku ya." Pelukan Anna mendarat di tubuh mungil Mariam. Hangat, sehangat hati dan mata mereka.

Anna menyeret kedua kopernya setelah melipat mukena Mariam yang dikenakannya dan memastikan tak ada satu pun benda tertinggal di kamar hotel. Mariam membantu menghandle satu lagi koper sahabatnya. Berdua menuju lobi untuk kemudian meluncur ke Milan Malpensa Airport bersama rombongan yang akan kembali ke tanah air. Meski Eropa begitu cantik dan memberi kegembiraan yang tak sedikit, tetap saja tanah air adalah tempat terindah untuk kembali dan rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang.

"Emm, Assalamualaikum, Calon Suami," sapa Anna saat bertemu Ahmar untuk pertama kali setelah lamaran yang tak diduganya sama sekali.

"Eh sial, ngomong apa sih aku nih?! Mulut kok ya gak bisa diajak kerja sama." Anna mengumpat dalam batin, sifat ceplas ceplosnya kadang suka bikin ciut hati. Tersipu, pipinya memerah tanpa kompromi. Sedang yang disapa tertawa geli.

"Aish, nggak usah genit gitu ngapa?!" bisik Mariam. Cubitan kecil mendarat di pinggang Anna.

"Waalaikumussalam. Sudah ikhlas pulang, Anna? Eh, maksudku sudah siap pulang?" Pertanyaan Ahmar membuat pipi Anna makin mirip kepiting rebus. Mungkin memang pertanyaan pertama salah kata, meski lebih terdengar seperti disengaja. Setidaknya demikian di telinga Mariam. Diam-diam ia melipir, menjauh dari adegan yang mendadak membikin nyeri.

"Allah, tolong saya. Tolong jadikan saya seorang dengan tawakal yang maksimal. Bukan seorang yang lisannya berucap tawakal, sedang hatinya mati-matian menyangkal."

Indra penglihatnya mencuri pandang pada sahabatnya dan calon suami sahabatnya. Mereka sedang asyik berbincang, entah membicarakan apa.

"Mungkin mereka sedang mengucapkan salam perpisahan, atau mungkin sedang membahas tentang rencana masa depan, atau juga sedang bicara tentang pernikahan."

"Ih, kenapa aku jadi kepo begini sih?! Memang ya, kalo hati udah ikut campur, yang terlihat mudah nyatanya nggak bisa diukur. Begitu pun merelakan, kupikir kebahagiaan sahabatku sudah cukup untuk memberiku kekuatan, ternyata aku tak cukup tepat memperkirakan. Astaghfirullah."

"Iam. Iam, sini!" panggilan Anna menyadarkan Mariam dari lamunan tersebab kekepoan yang haqiqi. Ia telah siap dengan bawaannya, begitu pun teman segrup yang lainnya.

"Oke, aku udah siap kok," sahut Mariam. Sembunyi-sembunyi, tangannya tampak menyeka kedua mata, sebelum akhirnya menuntun koper di kanan kirinya.

"Iam, Ahmar mau bicara sama kamu. Mau nitip pesan. Entah apa, tapi paling-paling mau nitip jagain aku."

"Hih, tetep ya pedemu tuh mbleber kemana-mana!" Anna tertawa mendengar sahutan Mariam.

"Duh, apa lagi sih bule ini? Cobaan banget deh, tinggal selangkah lagi kok ya pake nitip pesan segala. Ini mah berpotensi menambah panjang daftar kenangan. Kuatkan, Ya Allah." Mariam menggerutu dalam hati. Gerutuan yang ditutup dengan doa.

Sejujurnya Mariam ingin menolak, tapi ia takut Anna justru curiga. Jadi terpaksa ia berlagak bahwa semua baik-baik saja.

"Mariam, maafkan aku."

"Sudah? Cuma itu saja?"

"Jaga dirimu baik-baik."

"Nah kaaan nah kaaan, apa kubilang? Tahan, Mariam tahaaann!"

Tapi tidak semudah itu, Esperanza. Bulir bening itu pun meluncur satu per satu dengan tidak sopannya.

"Insya Allah. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Suara keduanya bersahutan lirih, seakan saling menumpahkan perih.

Mariam melangkah menuju gerbang check in. Semua teman seperjalanannya sukacita menyampaikan salam perpisahan pada tour guide mereka. Tapi tidak dengan Mariam, dia berjalan lencang, tanpa menoleh lagi ke belakang.

***

Mariam baru saja mengenakan sabuk pengaman setelah menemukan posisi yang dirasa nyaman. Anna yang duduk di seat sebelahnya bahkan sudah asyik mendengarkan musik. Lalu, sesaat sebelum Anna mematikan ponselnya, Mariam tak sengaja mencuri baca pesan di aplikasi whatsapp dari layar gawai yang digenggam sahabatnya.

[Assalamualaikum, Adrianna.
How are you? Apakah kau sudah pulang ke tanah airmu?
Malik Evard.]

***

Hai hai hai,
Alhamdulillah, akhirnya update juga setelah seharian berkutat dengan duo bocils yang kompakan sakit. Sakit kok kompakan. Hehe..

Walaupun ngetik dan ngeditnya sambil mencuri waktu, yang penting tidak berdusta pada guru. Malu dong pada semut merah. Eh, apa deh?

Trus itu si Malik ngapain deh nongol lagi di mari? Minta ditenggelamkan kayanya yak?

Ah, baiklah. Mohon dimaafkan kalo ceritanya rada ngalor ngidul seiring fokus yang juga kaditu kadieu. Semoga teman-teman pembaca tetap terhibur ya.

Happy Weekend.

Love,
fitrieamaliya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro