0. Jakarta
Bismillah..
***
Menata hati memang tak mudah, apalagi jika itu untuk membohongi sahabatmu sendiri. Meski telah direncanakan berhari, tetap saja ketika tiba waktu eksekusi, ragu datang merajai.
***
Gadis cantik berwajah oriental itu termangu di atas ayunan rotan, matanya memandang ke arah kolam renang yang membentang di bawah balkon apartemen. Gawai di tangannya berkali ditimang penuh gamang.
Menata hati memang tak mudah, apalagi jika itu untuk membohongi sahabatmu sendiri. Meski telah direncanakan berhari, tetap saja ketika tiba waktu eksekusi, ragu datang merajai.
Satu dua kali terlihat ia menghela napas panjang, seolah mencari ketenangan. Lalu jemari lentiknya bergerak lincah mencari satu nama. Rupanya dia sudah berhasil. Hatinya telah tertata untuk memulai sebuah dusta.
"Iam, cuti tahunan belum kamu ambil kan? Kita jalan-jalan ke Eropa yuk," ajakan Anna terdengar tanpa basa-basi begitu telepon tersambung.
"Dih, basa-basi dulu kek!" sahut Mariam dari seberang.
"Halah, gak perlu. Kek sama siapa aja. Cuti tahunan masih kan ya?"
"Iya, masih. Boleh juga tuh, ke Eropa."
"Musim gugur ya, biar nggak terlalu panas tapi juga belum terlalu dingin."
"Hah, dadakan amat kek nggoreng tahu bulat! Nggak terlalu mepet tuh? Ini udah hampir September lho."
"Gak masalah, kita pakai travel aja. Emang kamu mau repot-repot ngurus ini itu anu? Kerjaanmu kan gak pernah sedikit. Sok banget sih. Gaya!" Anna tertawa, ditimpali tawa Mariam dari seberang sana.
"Ah ya ya, kamu memang paling mengerti aku. Eaaa. Eh tapi ...."
"Tapi apa?"
"Boleh nggak sih kalo aku mengajukan satu syarat?"
"Apa itu?"
"Emm, kalo kita pakai travelnya yang menyediakan wisata halal gimana? Soalnya ini Eropa, mungkin akan sulit buatku cari makanan yang halal. Aku juga harus mastiin waktu ibadahku nggak terabaikan. Eh, tapi itu kalo kamu setuju ya. Kalo kamu keberatan, ya nanti kita pikir lagi deh," ungkap Mariam tentang apa yang mengganjal di benaknya.
"Aih, kalo cuma itu sih nggak masalah, Iam. Mau pakai wisata halal, wisata haram atau perpaduan keduanya semua nggak masalah buat aku," ujar Anna asal.
"Hahaha, dasar bodor," tawa renyah Mariam terdengar atas jawaban sahabatnya.
"Oke deh, siang ini aku cari info selengkap-lengkapnya dulu, pulang kerja kita ketemuan bahas ini ya. Aku siap urus semuanya, jangan kuatir, pokoknya kamu tau beres."
"Deal. See you, Boss."
"Eh tunggu,"
"Apalagi sih, nona Anna?"
"Tau beres kecuali bayarnya ya, tetep sendiri-sendiri dong."
"Haha, kirain aku tinggal cabut aja gituuu."
"Ya gak papa sih kalo kamu gak keberatan aku traktir." Anna sudah tahu Iam akan menjawab apa, sahabatnya itu tidak pernah mau merepotkan orang lain, meskipun untuk hal ini pun sebenarnya dia sama sekali tak keberatan.
"Ih, enggak lah. Aku cuma becanda aja kaleee."
"Oke deh, see you tonight, Iam."
"Yuuk." Obrolan berakhir bersama bunyi tut tut tut di gawai Anna.
Anna menghela nafas, lega. Mariam mau menerima ajakannya untuk jalan-jalan ke Eropa. Syarat apapun yang diajukan Mariam tak membuatnya keberatan, yang terpenting dia bisa melarikan diri dari perjodohan yang tak dia kehendaki.
***
Namanya Adrianna, setiap yang mengenal memanggilnya Anna. Gadis cantik berdarah Sunda-Tionghoa dari sang papi, serta Jawa-Ambon dari sang mami. Kulit putih dan mata sipit yang diwarisi dari papinya menggoreskan garis oriental yang kentara pada wajahnya, sedang maminya menurunkan rambut ikal dan tinggi badan yang di atas rata-rata. Pipinya yang seringkali bersemu merah membuat wajahnya makin unik. Tentu saja dia cantik. Kepribadiannya pun menarik. Terlahir sebagai anak bungsu di tengah keluarga multietnis dengan keyakinan yang juga bhinneka, membuat Anna tumbuh menjadi gadis yang meski manja tapi juga supel, terbuka serta punya toleransi tinggi.
Tak hanya kedua orang tuanya yang menikah dalam perbedaan, kakak-kakaknya pun demikian. Ronald, kakak pertamanya, menikah dengan seorang muslimah berdarah Minang. Sekarang kakaknya memeluk agama yang sama dengan istrinya, bahkan berproses menjadi seorang penghafal Al Quran semenjak memiliki anak kembar empat tahun yang lalu.
Vanya, kakak keduanya, menikah dengan seorang lelaki dari Pulau Dewata, dan sesuai adat yang berlaku, dia pun kini memeluk agama Hindu dengan penuh kesadaran dan penghayatan. Hanya Rendy, kakak ketiganya, yang menikah dengan sesama penganut Kristiani, bahkan istrinya pun sama-sama berdarah Tionghoa.
Melihat kebebasan yang diperoleh kakak-kakaknya, Anna pun optimis akan menjalani kehidupan yang sama. Jatuh cinta pada seseorang yang dipilihnya sendiri, lalu menikah tanpa perlu risau memikirkan suku, daerah asal ataupun agama apa yang dianut calon suaminya kelak.
Tapi harapannya buyar ketika beberapa hari lalu mami dan papinya menyampaikan rencana perjodohannya dengan Radit, anak Om Danu sahabat papinya.
"Mi, Pi, kenapa begini? Aku nggak mau. Aku ini anak bungsu, kalau semua kakakku boleh memilih jalan hidupnya sendiri, kenapa justru aku diatur-atur? Kalo sejak awal mami papi menjodohkan anak-anaknya, mungkin aku bisa menerima, tapi ini .... Ah, apapun alasannya, pokoknya aku nggak mau!"
"Anna, mami sama papi nggak ada maksud buruk menjodohkanmu dengan Radit. Dia anak baik, pendidikannya tinggi, usahanya sudah mapan, dan terutama keluarga kita dengan keluarga Radit punya hubungan yang sangat baik. Kalian pun sudah saling kenal," bujuk maminya.
"Alah, perjodohan ini kan sebenernya cuma biar papi sama Om Danu beneran jadi saudara. Kurang dekat apalagi sih persahabatan papi sampai harus mengorbankan aku. Gimana kalo gara-gara ini malah hubungan keluarga kita jadi rusak?!"
"Anna, jangan sembarangan bicara kamu!" bentak papinya. Ini bentakan pertama yang Anna dengar dari mulut papinya. Dia merasa sangat kecewa, papinya bahkan lebih tega menyakiti hatinya daripada membayangkan hubungan dengan keluarga Om Danu rusak.
Pembicaraan berujung pertengkaran dengan papi maminya beberapa waktu lalu terngiang kembali. Anna mendengkus, gusar. Rasa jengkel selalu memenuhi hatinya setiap kali mengingat kejadian itu.
Sebenarnya bukan baru kali ini dia mendengar rencana pejodohannya dengan Radit. Waktu masih kecil, tak sekali dua kali kakak-kakaknya meledeknya dengan Radit. Beranjak remaja lalu dewasa, ledekan itu mulai hilang dengan sendirinya, dan sama sekali tak pernah muncul lagi semenjak Ronald menikah.
Memang, sejak sebelum Anna menjadi penduduk dunia, sudah ada niat dari papinya untuk suatu hari nanti meningkatkan level hubungan persahabatannya dengan Om Danu menjadi saudara. Besan lebih tepatnya. Itu terjadi semenjak lahirnya Raditya Wijaya, kurang dari dua tahun sebelum Anna terlahir ke dunia. Setahun setelahnya, ketika Anna masih dalam kandungan, tercetuslah ide konyol dari papinya, kalau nanti anaknya terlahir perempuan akan dijodohkan dengan Radit.
Ya, ini ide konyol, setidaknya menurut Anna. Dia merasa menjadi korban dari ego papinya, ketika ketiga kakaknya bebas memilih pasangan hidup, sedangkan dia harus menerima nasib untuk dijodohkan. Maka dengan sekuat tenaga Anna mencoba untuk menolaknya.
***
Jakarta, 02 Oktober 2016.
Terminal 2E Bandara Soekarno Hatta masih ramai oleh hilir mudik calon penumpang pesawat, meski waktu telah lewat dari tengah malam. Anna melirik Mariam yang sedang sibuk dengan mushaf Al Quran di tangannya, matanya bergerak dari kanan ke kiri seiring bibir mungilnya yang komat-kamit membaca kitab suci.
Hari yang selalu menyesaki pikiran Anna telah tiba. Hatinya memang mulai tak sanggup menyimpan rahasia, setelah kurang lebih sebulan menyembunyikan sendiri segala rencananya.
"Maafkan aku, Iam. Aku terpaksa menyeretmu untuk menemani pelarianku. Sejauh ini, cuma kamu yang bisa meredam amarah ataupun emosiku, yang bukan tak mungkin akan terkuras di tengah perjalanan kita nanti. Maafkan aku, tak memberitahumu sejak sebelumnya tentang apa yang saat ini menjadi tujuanku. Maafkan aku, Iam."
Batin Anna berteriak, merasa bersalah pada Mariam, tapi sudah sejauh ini dan dia merasa keputusan yang dia ambil adalah yang terbaik, setidaknya untuk dirinya sendiri. Apapun yang akan terjadi ketika Mariam tahu nanti, Anna siap menghadapi. Berbekal keyakinan atas segala kesabaran, kebaikan dan kelembutan hati yang dimiliki Mariam, sahabatnya sejak masih sama-sama berseragam putih dan biru tua.
Namanya Mariam Ramadhianti Suryo, Anna memanggilnya Iam. Seorang muslimah taat, berhijab dan tak pernah tertinggal waktu salat. Gadis mungil yang selalu terlihat seperti anak SMP setiap berjalan bersisian dengan Anna. Gadis pendiam yang bijak dan selalu bisa menentramkan. Dengannya, Anna merasa nyaman dan lepas menjadi dirinya sendiri. Dengan Mariam pula, Anna merasa dipercaya dan bisa mempercayakan semua rahasianya.
Mungkin karena itu juga persahabatan mereka bertahan di tengah perbedaan yang bak bumi dengan langit. Karena bagi mereka, persahabatan tidak berdasar pada banyaknya kesamaan, ia bertahan karena kenyamanan dan kepercayaan. Meski tidak untuk kali ini.
"Yuk, An, siap-siap," ajak Mariam.
Panggilan untuk penumpang salah satu maskapai dari timur tengah telah terdengar, mereka yang akan terbang menuju Abu Dhabi bersiap dengan bawaan kabinnya masing-masing. Begitu pun Mariam, juga Anna.
"Huft, jangan salahkan kalo aku memilih jalan seperti ini."
Anna menatap layar gawainya, jemarinya bergerak mengetikkan sesuatu,
[Radit, maafkan aku. Aku tetap bertahan dengan rencanaku semula, menolak perjodohan kita. Bukan aku tak menghormatimu, tapi rasanya aku tak bisa. Dan aku tak ingin. Ah sudahlah, kau sudah tau semuanya. Pokoknya kalo ada apa-apa, tolong kau usahakan hubungan baik keluarga kita tetap terjalin seperti biasa. Terima kasih.]
Send.
Setelahnya, jemari Anna dengan lincah mematikan gawai dan menaruhnya asal di salah satu sudut ransel kabinnya. Sebaris senyum menghias wajahnya, siap menghadapi apapun yang akan terjadi terkait keputusannya, termasuk kemarahan Mariam ketika tahu apa tujuan sebenarnya dari perjalanan mereka ke Eropa.
Ya, sebentar lagi Anna akan terbang ke Paris, melarikan diri dari pertunangan yang dua hari lagi akan dilaksanakan. Bersama sahabat terbaiknya, yang untuk kali ini menyertai tanpa tahu apa-apa.
***
Alhamdulillah, masyaAllah laa quwwata illa billah.
Sungguh, syukur yang teramat sangat karena saya bisa berada di sini, melalui tulisan yang mungkin tak berarti. Yang pasti, semua berawal dari niat baik dan berharap bisa memberi manfaat meski hanya setitik.
Cerita ini mungkin akan mengalir lamban, namun dalam setiap bagian selalu diusahakan untuk menyisipkan pelajaran, walau cuma secuil seperti remahan wafer dari ratusan lebih lapisan.
*apa deh*
Juga jangan bosan, karena di akhir kebersamaan, insya Allah akan ada sesuatu, untuk kalian yang setia menunggu.
Terima kasih kepada keluarga besar SWP yang telah memberi kesempatan pada saya untuk bersama-sama menebar kebaikan lewat untaian kata.
Juga kepada semua, yang telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya.
I love you, entah berapa banyak ribu.
Semarang, 04 September 2019
Salam,
fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro