Retakan Baru
Sepertinya saya sudah gila. Delusi parah. Sudah tidak dapat membedakan mana yang nyata dan khayalan.
"Akhirnya kita bertemu," kata pemuda bermata emas yang sangat familier bagiku.
"A-rion?" Aku menjawab ragu, ingin meyakinkan diri kalau sosok yang sedang berdiri di depan pintu kamarku saat ini adalah Arion–tokoh utama di salah satu novel buatanku.
"Tampak terkejut, eh?" ujarnya, seperti menyindir. Ia jalan mendekat selangkah dan aku refleks mundur dua langkah.
"Aku pasti sedang bermimpi!"
"Tidak. Kau tidak bermimpi. Aku memang datang dari jauh untuk menemuimu," sanggah Arion cepat.
Aku menggeleng. "Tapi kamu tidak nyata, bagaimana bisa-"
Arion mendengkus dan duduk di tepi ranjang dengan santai, mengabaikanku yang merasa terpojok di sudut kamar. "Kenapa begitu takut?"
Aku mengernyit ketika dia bertanya dengan nada yang … bisa kukatakan biasa–maksudku, tidak ada amarah dari suaranya. "Hm … kupikir kamu akan-"
"Marah?" potongnya dan aku mengangguk.
"Tidak, aku tak akan marah kali ini."
Aku menatapnya ragu, tapi Arion tampak cuek dan melanjutkan ucapannya, "Menurutmu, apakah aku antagonis sesungguhnya?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Bukan hanya Arion yang meragukannya, aku pun begitu. Masih canggung untuk menyebut pemuda itu sebagai protagonis, tapi juga lancang rasanya jika menganggap ia sebagai penjahat sesungguhnya.
"Aku membunuh mereka semua. Freya mati karenaku, Arlan kulangkahi mayatnya, dan Grey membawa semuanya menghilang dari jangkauanku."
"Tapi kamu berhasil menghentikan kejayaan penyihir. Menstabilkan dunia," tambahku.
"Aku mencapai semua itu dengan cara memusnahkan banyak kehidupan."
"Memang benar," aku menunduk ragu.
"Apa karena hal itu kau menghukumku seperti ini?"
Saat aku menoleh ke arahnya, tatapan kami bertemu. "Anggap saja begitu."
"Hukuman yang mengerikan."
"Arion. Apa kamu membenciku karena hukuman itu?"
"Tidak juga. Hanya tak habis pikir dengan kau yang menciptakan segalanya dengan sangat mengerikan."
Aku tersenyum getir mendengarnya. Rupanya aku memang sejahat itu pada Arion. "Sepertinya waktu mampu membuatmu jadi lebih dewasa."
Tiba-tiba saja Arion berdiri. Dalam sekejan mata ia sudah berdiri tepat selangkah di hadapanku. "Mari kita sudahi basa-basinya."
"Hah?"
"Selain ingin bertemu denganmu, aku kemari juga karena merasakan energi Lucifer di tempat ini."
"Lu-cifer? Bukannya kamu menyegelnya dengaan Kristal Dayna?"
"Saat sebelum benar-benar tersegel, ia memberiku kutukan. Saat itu pula beberapa energinya terpecah dan menyebar bersama kutukan itu," jelasnya.
Oh, benar juga. "Dan itulah yang meneror kehidupan sekitar Mara dan Azazel," celetukku.
Arion mengangguk, "Harusnya semua itu hanya ada di Irlandia. Tapi aku merasakan ada retakan baru yang muncul dan ada di sini."
"Kamu … bercanda kan?!"
"Sekarang bantu aku menutup retakannya sebelum terlambat!"
Arion menarik tanganku, lalu perutku terasa diguncang hebat dan saat tersadar, kami tidak lagi di kamar, melainkan di atas gedung tinggi.
"Di mana ini? Kenapa kita di sini?" tanyaku nyaris menjerit. Tanganku mengalungkan lengannya dengan kuat. "Aku phobia ketinggian!"
"Di sana."
Aku mengikuti arah telunjuk Arion. Di atas gedung yang berada di hadapan kami, sebuah retakan berbentuk garis petir tertoreh di langit. "Gila!"
"Memang."
"Lalu bagaimana sekarang?" tanyaku.
Alih-alih menjawab, Arion malah balik bertanya, "Apa kau memang berencana menciptakan retakan baru melebihi yang seharusnya?"
Dahiku mengernyit. "Tidak. Aku tidak pernah merencanakannya."
"Meski hanya pikiran semata?"
"Benar. Aku tidak pernah berpikir untuk membuat hal itu."
Hening sejenak, lalu Arion berkata, "Kalau begitu, tutup matamu dan bayangkan skenario itu sekarang juga!"
"Ke-kenapa?"
"Karena saat ini retakan itu tidak berada di dunia yang sama denganku. Aku tidak bisa menyentuhnya. Jadi, tugasmu adalah membuatnya terhubung dengan duniaku."
Aku menelan ludah, ini membingungkan tapi juga masuk akal di saat bersamaan. Apa yang terjadi saat ini memang aneh, bagaimana bisa dunia kami terhubung, bahkan lebih buruknya ada retakan Anathema yang muncul di duniaku.
"Akan aku coba." Aku menutup mata, memikirkan kejadian tambahan ini. Lalu aku merasakan tanganku digenggam dan rasa hangat menjalar ke sekujur tubuhku.
"Benar begitu. Bagus, Seren. Lanjutkan!" gumam Arion di sampingku.
Suara ledakan terdengar sesaat setelah Arion melepas genggamannya. Begitu membuka mata, aku melihat silau cahaya di tempat retakan itu. Layaknya kembang api, ledakan dan percikan cahaya menyebar di langit malam.
"Kerja bagus!" kata Arion yang sudah berdiri di belakangku.
"Retakannya sudah tertutup?" tanyaku.
"Sudah. Semua sudah selesai."
Aku menghela napas. "Syukurlah." Arion mampu menutupnya dengan mudah bahkan tidak terlihat kelelahan sedikit pun. Kalau Azazel, pasti sudah ngos-ngosan. Penyihir terkuat memang beda.
"Dengan begitu, urusanku di sini sudah selesai," ujar Arion kemudian.
"Apa kamu akan pergi?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, sebelum pergi aku ingin meminta maaf."
"Untuk?"
"Untuk semua nasib buruk yang menimpamu."
"Tidak perlu. Takdir memang terkadang tidak memihak pada kita." Arion mengacak rambutku, lalu berbalik pergi dan lenyap begitu angin kencang bertiup dan membuatku memejamkan mata sejenak.
Aku tersenyum getir. "Jika memang aku tidak perlu minta maaf, setidaknya tolong kembalikan aku ke kamar," ujarku dengan kaki gemetar karena takut ketinggian. "Dia pasti memang dendam padaku."
Prompt: Terjebak bersama MC favorit.
Jumkat: 769 kata
Hari/tgl: Sabtu, 30 Maret 2024
Salam,
SERENADE
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro