Peterpan
Teman sekamarku adalah Peterpan.
Layaknya cerita dongeng, dia tampan dan penuh keajaiban, tapi juga nakal. Menertawakanku yang semakin beranjak dewasa adalah hobinya beberapa minggu belakangan. Semua bermula sejak aku berkata, 'Aku ingin menjadi wanita dewasa yang baik'.
Aku masuk dengan sebuah bantingan pada pintu dan tangan gemetar yang memutar kunci. Bukan sedang marah tapi takut dikejar 'malaikat maut'. Hari ini sial sekali, siapa sangka kalau Papa minum lebih sore dari biasanya. Bahkan matahari belum terbenam.
"Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanyanya. Wajah elok dengan mata hijau seperti laut dalam itu menenangkanku. Suaranya bagai lantunan ombak, berisik tapi juga menegarkan.
"Mereka bertengkar lagi," gumamku, memalingkan wajah dari tatapannya yang memerangkap.
"Inilah alasan kenapa aku benci orang dewasa," gerutunya. "Makanya, kau juga pasti tidak mau menjadi dewasa, kan?"
Aku menggeleng tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya. "Aku ... malah ingin segera dewasa dan keluar dari tempat ini."
"Kau ingin menjadi dewasa?" lelaki seusiaku itu terbahak, memegangi perutnya dan berguling di tempat tidur. Aku mendengkus gusar, dia menyebalkan. Akan tetapi, dia berhenti tertawa dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku refleks mundur dan terhenyak ke belakang.
"Kenapa tiba-tiba, sih!" keluhku.
"Merryn, kau yakin mau menjadi dewasa? Bisa saja kau akan berlaku seperti orangtuamu. Kasar. Tidak bertanggung jawab, terlilit hutang tapi tak mampu membayar. Bukannya bekerja malah berjudi dan membeli minuman keras, ujung-ujungnya merusak hidup anak-anak tidak berdosa. Memikirkanmu akan menjadi seperti itu membuatku merinding!" cercanya, memperlihatkan ekspresi jijik yang entah bagaimana berhasil membuat sudut bibirku tertarik, lalu tertawa.
"Aku tahu sulitnya punya orangtua seperti itu, mana mungkin aku akan berlaku sama!" sergahku sambil mengibaskan tangan dan berdiri. "Aku ... akan menjadi dewasa yang baik."
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Ryn."
Aku mengabaikan ucapan terakhir Peter, kepalaku menoleh ke arah cermin satu-satunya di kamar itu. Ada wajahku yang lebam di sana, begitu buruk dan menyedihkan. Hari ini Papa menampar dengan sangat keras, kupingku sampai dibuat berdengung beberapa saat, untung saja tidak tuli.
Peter berdiri di sampingku, sama-sama menatap bayangan di cermin. Tinggi kami sama, usia pun serupa, tapi keadaan kami begitu berbeda. Dia anak laki-laki yang penuh binar di matanya sementara aku anak perempuan lusuh penuh lebam dan luka yang telah mengering. Menyedihkan jika bersanding seperti ini.
"Kau tak mau membuang impianmu itu?" tanya Peter, berbisik tepat di samping telingaku.
"Jika kubuang, lalu harus bagaimana lagi aku akan hidup?"
Peter hanya mengulas senyum dan membuat jarak. "Akan kujawab jika saatnya tiba, Ryn! Sekarang mandilah lalu kita makan malam!"
Itulah janjinya padaku, tapi hingga dua tahun berlalu, ia tidak pernah mengatakan apa pun. Aku juga akhirnya lupa dan menjalani hidup seperti biasanya-hidup yang bobrok.
***
"Kau tak mau memberi selamat padaku?" tanyaku setelah memasuki kamar dan melihat Peter sedang berbaring di ranjang dengan kaki terangkat ke dinding.
"Tidak."
Aku tersungut. Padahal aku baru saja lulus dari Senior High School. Mengucapkan 'selamat' saja tidak. Apa itu yang disebut sebagai sahabat?
"Merryn!" teriakan Papa dari luar menyentakku. Aku menaruh tas tergesa-gesa dan bergegas ke luar. Menemui Papa yang baru saja kembali entah dari mana.
"Ada apa, Pa?"
"Kau sudah lulus, kan?"
Aku mengangguk cepat, senyum terulas entah mengapa. Namun, kembali pudar kala Papa menarik tanganku dengan kasar. "Ini saatnya kau bekerja dan membantu keuangan keluarga!"
"Tapi kita mau ke mana, Pa?"
Tidak ada jawaban. Aku terus diseret melewati gang kecil rumah kami hingga, tiba di jalan besar. Ada sebuah mobil hitam mengkilat yang menanti di seberang jalan. Papa menarikku untuk mendekatinya.
"Mulai sekarang, kau bekerjalah dengan orang yang ada di dalam mobil itu!" bisik Papa sebelum kami benar-benar mendekat.
Pintu mobil terbuka, seorang lelaki tua berbadan tambun keluar, tersenyum ke arahku. Papa melepas genggamannya, mendorongku untuk lebih dekat pada lelaki beraroma asap itu.
"Cantik juga."
"Tentu saja. Dia anakku, kau harus membayar mahal untuk ini!"
Aku berbalik memanggil Papa, tapi sekuat apa pun teriakan yang keluar tidak ada yang berhasil sampai ke telinganya. Tubuhku ditarik masuk ke dalam mobil dan membawaku pergi ke antah berantah. Namun, kuyakinkan pada kalian, tujuanku kali ini adalah neraka.
***
Aku berenang dalam kubang pekat kemelaratan.
Aku tahu bahwa hari ini pesta yang dinanti telah datang. Sebuah gaun hitam mengembang mencapai halaman tandus di luar sana. Tanganku meremasnya, ingin mencabik dan membakar. Rasanya menyebalkan. Seperti hendak meledak, kuseka air mata yang kental dan terasa berbulir seperti pasir.
Ketika tersadar, aku merasakan terpaan angin yang begitu kencang. Mataku yang sayu dan memiliki lingkar hitam seperti panda langsung menyipit, mencoba menghindar dari terik. Kakiku melangkah meninggalkan gaun yang teronggok menyedihkan.
Pasir, deburan ombak, dan raungan ikan paus membuatku terpesona. Aku berlari terjun ke dalam samudra tidak berdasar. Menghempas dalam ketiadaan dan berpikir bahwa ini adalah awalnya. Akan tetapi, aku lupa bahwa dunia tidak sebaik itu dalam menimang buah hati dalam peraduan.
Ketika lautan telah mengering, akhirnya aku terbangun dari mimpi buruk. Tanganku meraih selimut yang telah tertumpuk di bawah kaki, tidak lagi menutupi. Keringat berbulir sebiji jagung, setetes langsung menyatu dengan air mata yang entah sejak kapan telah menganak sungai.
"Peter ... aku harus bagaimana?" Aku terduduk di depan cermin, memandang pada tubuh kotor berlumpur. Satu jam yang lalu aku kembali dari neraka dengan perasaan hancur bagai obak yang pecah terhantam karang.
Sepasang mata hijau memerangkapku dari pantulan bayang-bayang. "Kau mau ikut ke Neverland bersamaku?" bisiknya. Suaranya membuat tubuhku bergetar dan jatuh ke dalam tangis yang tak berkesudahan. Seperti nostalgia padahal baru beberapa jam yang lalu kami masih berbincang tentang kelulusanku.
"Merryn, ayo ikut bersamaku!" Peter yang semula memeluk, kini membuat jarak dan meninggalkanku. Rasa panik takut ditinggalkan membuatku ikut berdiri meski tubuh rasanya begitu berat.
Mata kelamku melirik jendela yang terbuka, menampilkan malam yang disinari purnama sempurna. Peter sudah berdiri di depan sana dan memanjat ke luar. Aku lari mendekat, takut dia jatuh ke bawah dan pergi.
Namun, alih-alih terjatuh ia malah berdiri di luar jendela apartemen kumuh lantai lima itu. Tangannya terulur seolah mengajak berdansa di atas awan. Pendengaranku pun menangkap musik secara samar dari kejauhan.
"Ayo. Menjadi dewasa itu mengerikan, Ryn!" ajaknya dengan senyuman hangat seperti biasa.
Aku meraih tangannya dengan begitu anggun. aku telah terjerat tanpa pernah sadar akan jeratan itu. Tubuhku perlahan terangkat, berpijak pada jendela yang menghadap semesta. Dapat kulihat mata hijaunya yang menenggelamkan.
Kedekatan ini pula membuatku menyadari hal lain, Peter telah tumbuh lebih tinggi dariku.
"Kau bilang tidak suka menjadi dewasa. Tapi lihat sekarang, kau mulai tumbuh menjadi seorang pria!" ejekku, berderai air mata.
Dia tidak menjawab, bahkan senyuman itu memudar. Membuatku ikut terdiam. Bukan karena takut atau segan mengejek, tapi telah terpikat pada suaranya. Seperti rasa sayang kepada seseorang yang telah lama hilang.
Aku gugup tapi tidak akan pernah bisa membuat jarak darinya. Kakiku tidak lagi menapak. Melayang dan berpijak pada kehampaan.
"Merryn, terima kasih telah membiarkanku menjadi teman sekamarmu," bisiknya lembut.
"Aku yang harus berterima kasih. Kau mau menemaniku yang tidak memiliki apa-apa ini."
Peter menggeleng. Setetes air mata mengaliri pipinya yang putih, melewati rahangnya yang tegas. "Kupikir kau tak akan pernah membuang cita-cita itu dan kita tak perlu membuat perpisahan secepat ini."
"Kau yang membujukku, kan?" Aku tertawa dan dia hanya diam. Kami seperti sahabat yang lama tak bertemu. Canggung.
Peterpan yang telah menjadi dewasa itu menarikku dengan satu sentakan dan aku berjengit.
Waktu terasa begitu lambat. Masih dapat terlihat dia berdiri dengan tatapan menunduk ke mataku yang perlahan menjauh darinya. Tubuhku melayang jatuh dan dia masih di atas sana. Ingin sekali aku berteriak meminta tolong; mengulurkan tangan, tapi tatapannya yang tidak akan pernah bisa kumengerti, mencegah semua itu.
Oh, tidak. Peter. Tiba-tiba banyak pertanyaan mulai terlintas seperti, "Sebenarnya ... kau itu apa?"
✨ Serenade - Januari - Fantaser ✨
Prompt : Tentang aku dan teman sekamar
Syarat : Min. 300 kata (1249 kata)
Publish : Selasa, 17 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro