Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Membunuh Malin Kundang

Tiga Pria Berinisial SB, HD, dan RF Ditemukan Tewas Di Pematangan Sawah, Diduga kasus Pembunuhan karena Balas Dendam.

Tiga pemuda SB (32), HD (28), RF (22), asal Gunung Talang, ditemukan meninggal dunia di pematangan Sawah Sayang, Talang Tangah, Sumbar. Korban ditemukan dalam kondisi tewas karena kehabisan darah akibat tusukan. Diduga terjadi perkelahian sebelum korban dibunuh, dilihat dari bekas memar di tubuh korban.

Kasus pembunuhan ini diduga sebagai aksi balas dendam pemuda CW (20), sebab korban adalah buronan tersangka pemerkosaan dan pembunuhan satu bulan yang lalu terhadap seorang gadis berinisial FA (14), yang merupakan adik CW.

Ketiga korban ditemukan oleh seorang petani yang ke sawah di pagi hari untuk menyabit. Hingga saat ini kepolisian masih mengumpulkan bukti s lebih lanjut dan mencari keberadaan CW guna memberi kesaksian atas tuduhan pembunuhan tersebut.

****

Candra menutup peramban yang menampilkan berita penemuan mayat di ponsel, lantas beranjak dari kedai kopi langganannya itu. Jaket lusuh yang terlihat penuh dan berat disandangnya melewati trotoar kecil menuju ujung jalan untuk menaiki sebuah bus mini jurusan Batusangkar-Padang.

Saat hendak menaiki bus mini tersebut, dua orang berjaket kulit warna hitam mendekatinya. Dari perawakan mereka, Candra sudah curiga kalau itu adalah polisi. Ia memutar arah dan mempercepat langkah, menyeberangi jalan.

Dua orang yang diduga polisi itu mengikutinya dan dalam sekejap, terjadi aksi kejar-kejaran. Candra menabrak beberapa orang yang dilewatinya, sesekali melompati lubang di trotoar dan tidak sengaja menyenggol meja pedagang kaki lima.

Merasa hampir tertangkap, ia kembali menyeberang, tapi sebuah motor menabraknya hingga terjatuh ke pinggir jalan. Jantungnya berdegup kencang, rasa sakit dari hantaman bagian depan motor di perutnya entah mengapa tidak terasa, membuatnya lekas berdiri dan berusaha lari, tapi tiba-tiba penglihatannya mengabur seperti TV rusak, napasnya tercekat, dan semua menjadi gelap. Ia berusaha membuka mata yang begitu berat. Jika pingsan, lalu tertangkap, maka berakhirlah sudah.
Ketika berhasil membuka mata, Candra terperangah dengan napas yang tidak beraturan. Ia segera duduk untuk lanjut kabur tetapi sebuah pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya.

"Yuang, kok alah jago, balahan kayu nan di belakang rumah, dih. Amak ka batanak!" (Yuang, kalau sudah bangun, belah kayu yang ada di belakang rumah, ya. Mama mau memasak nasi!)

Candra reflek mengangguk dengan wajah bingung dan pintu kembali ditutup. Ia memeriksa sekitar, sebuah kamar berdinding kayu yang beberapa bagiannya sudah berlubang dimakan ngengat, ia tidak tahu itu di kamar siapa. Tempat tidur kapuk yang ditidurinya juga terasa sangat asing.

Seharusnya ia sedang di tengah jalan dan terluka, lekas ia memeriksa tubuhnya dan tidak ada luka atau rasa sakit dari memar dan semacamnya. Bergegas ia berdiri dan berjalan menuju pintu ke luar. Namun, saat melewati cermin kecil di dinding, ia berhenti dan mundur untuk mematut diri. Di saat itulah Candra menyadari sesuatu yang paling aneh, bayangan di cermin itu bukanlah wajahnya melainkan wajah lelaki asing bermata cekung dengan rambut hitam yang bagian ujungnya menguning karena rusak.

"Siapa?" tanya Candra pada bayangannya. Ia menepuk wajahnya dan sakit, itu artinya bukan mimpi.

Tidak berpikir lebih lama, Candra segera keluar dari rumah kayu sederhana dan ia langsung disambut suara deburan ombak di kejauhan dan aroma laut yang memenuhi penciuman.

"Ini di mana?" tanya Candra. Belum lengkap kebingungannya, beberapa orang di ujung jalan tergesa melewatinya.

"Si Malin alah pulang." (Si Malin sudah pulang."

"Alah jadi juragan paja tu. Alah bakapa sorang." (Dia sudah menjadi saudagar. Sudah punya kapal pribadi.)

Ucapan dari orang yang lewat membuat kening Candra mengernyit. "Malin?" gumamnya. Nama yang tidak asing. Ia pun mengikuti rombongan yang berjalan menuju pesisir pantai. Sudah banyak orang berkumpul di sana, menyambut sekoci yang mengantar orang-orang dari kapal besar mewah yang berlabuh tak jauh dari pantai.

"Malin. Malin!" Panggilan dengan suara penuh bergetar penuh haru mengalihkan perhatiannya. Seorang wanita tua mengenakan kebawa jaman dulu yang terbuat dari jarik dan kain yang melilit rambutnya seperti songkok, berjalan tergopoh menuju satu sekoci yang tak jauh dari tempat Candra berdiri.

"Malin, iko amak, Nak ...!" (Malin, ini mama, Nak) ujar wanita itu sekali lagi sambil meraih tangan seorang pemuda berpakaian kemeja cokelat.

Alih-alih membalas genggaman di tangannya, pemuda berparas tampan itu menyentak tangannya dan mendorong sang wanita tua. "Amak den alah mati. Jan ngaku-ngaku lai. Ndak mungkin Amak den malaraik." (Ibuku sudah mati. Jangan mengaku-ngaku. Tidak mungkin Ibuku melarat sepertimu).

Orang-orang yang semula ikut bergembira menyambutnya, langsung terdiam. Begitu juga dengan Candra, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi juga merasa familier dengan adegan di hadapannya. "Malin ... kundang?" lirihnya.

"Benar. Dia Malin Kundang." Seseorang di belakangnya berkata secara tiba-tiba. Candra nyaris terlonjak dan menoleh.

"Kamu siapa?"

Alih-alih menjawab, lelaki berjenggot putih dengan pakaian ala pencak silat berwarna hitam yang menyapanya barusan melanjutkan perkataannya. "Kamu sedang berada di zaman Malin Kundang. Jika ingin kembali, maka tunggulah hingga Malin mencapai ajalnya."

Candra hendak berucap tapi keributan mengalihkan perhatiannya. Wanita tua yang tadi ditolak oleh Malin, tersungkur di sebelah kakinya. Ia refleks membantu wanita itu berdiri dan menatap jengkel pada Malin yang melengos pergi seolah tidak melakukan apa pun.

Wanita tua itu menangis dan membuat Candra teringat pada mendiang ibunya. Ia yang begitu ingin berbakti malah tidak pernah diberi kesempatan karena beliau meninggal sangat cepat, ketika Candra masih berusia 12 tahun.

"Kacang lupo jo kiloknyo. Anak durhako si Malin Kundang tu mah!" (Kacang yang lupa pada kulitnya. Malin Kundang si anak durhaka) kata orang-orang di sekitar, merutuki pemuda yang sudah berjalan jauh memasuki desa bersama seorang wanita cantik berpakaian terusan lembut berwarna merah muda.

"Namo paja tu Malin Kundang?" (Nama dia Malin Kundang?) tanya Candra pada seorang wanita paruh baya yang ikut membantu menopang wanita tua untuk berdiri.

"Iyo. Anak Mak Rubayah. Sadualah urang masih ingek jo paja tu mah. Bisa lo nyo ndak mangaku." (Iya. Anak Bu Rubayah. Semua orang masih ingat padanya. Bisa-bisanya dia tidak mengaku.)

Candra meneguk ludah dan terdiam. Ia berusaha mencari lelaki yang tadi mengajaknya bicara tapi tidak terlihat. Jika memang benar yang barusan adalah Malin Kundang, berarti ia benar-benar masuk ke dalam sebuah dongeng.

"Mana mungkin." Ia menggeleng, lalu beranjak pergi. Tatapannya menyapu penjuru pantai. Tempat itu berbeda dengan Pantai Air Manis yang ia tahu. Langkahnya berjalan cepat menuju bukit di belakang pemukiman. Harusnya di sana ada jalan menuju ke Teluk Bayur. Candra masih ingat jalannya, dulu ia pernah ke Pantai Air Manis melewati perbukitan itu.

Benar saja. Candra menemukan anak tangga sederhana dari coran semen kasar menuju ke atas. Tanpa pikir panjang, ia naik ke atas, lalu menurun dan mendaki lagi. Perjalan yang sangat panjang, sesuai dengan apa yang ada dalam ingatannya, hingga akhirnya ia sampai di seberang bukit—pelabuhan Teluk Bayur.

"Sungguh?" Candra tertegun. Ia benar-benar berada di Desa Air Manis. Berarti apa yang dikatakan lelaki tadi juga benar, jika ingin kembali ke dunia nyata, ia harus menunggu Malin mencapai ajalnya, dalam artian lain, menunggu Malin Kundang menjadi batu.

****

Seharian itu Candra hanya mengikuti Bu Rubayah yang terus saja berusaha menyadarkan anak yang dirindukannya. Ia ingin segera kembali sebab adiknya tidak punya siapa-siapa. Gadis itu juga sedang dilanda depresi dan tidak akan bertahan hidup sendirian. Candra harus kembali, melarikan diri dari polisi, dan mencari persembunyian bersama sang adik. Ia tidak bisa berlama-lama. Jika seandainya apa yang dialaminya saat ini hanya halusinasi karena koma pun, ia tetap harus segera bangun.

"Sudah kubilang, pergi dariku!" bentak Malin. Wajahnya memerah, tidak menyembunyikan rasa risih dan jijik dari rautnya. "Tanganmu kotor."

Bu Rubayah lekas mengelap tangannya yang berkeriput ke kain jarik kusam yang dikenakannya sambil berderai air mata. Lalu, ia kembali berusaha menggenggam tangan sang anak dan sekali lagi disentak, lalu didorong. Tidak hanya itu, Malin menyuruh bawahannya untuk menyeret pergi Bu Rubayah.

"Ngotot sekali," sinis wanita yang sedari awal selalu bergelayut di lengan Malin.

"Orang miskin memang seperti itu. Berlagak kenal agar dapat uang," cecar Malin lalu pergi.

"Sekaya apa bangsat satu itu hingga bisa melupakan ibu kandungnya sendiri?" sinis Candra di kejauhan. Ia meludah dan lanjut mengikuti Malin.

"Anak ndak tau diuntuang, Ang!" (Kamu anak yang tidak tahu diuntung) sembur orang-orang yang dilewatinya.

"Durhako, Ang Malin!" (Durhaka kamu, Malin).

"Takah manggadangan anak harimau. Lah gadang e, awak nan dimakannyo." (Seperti membesarkan anak harimau. Sudah besar, kita yang dimakannya).

Segala cercaan yang menyertai langkahnya membuat Malin menggeram marah. Wajahnya semakin merah dan akhirnya berbalik pergi sambil menyumpahi semua orang. Ia membatalkan keinginannya untuk melakukan kontrak perdagangan dengan Desa Air Manis dan kembali ke kapal.

Bu Rubayah yang tahu, langsung mengejar dan memohon untuk menahannya, tetapi Malin memukul wanita tua itu hingga jatuh dan pingsan. Hal tersebut mengundang kemarahan dari seorang pria berkumis tebal. Ia lari menerjang tapi dihalangi tiga orang bawahan Malin. Melihatnya, warga yang lain ikut mengerubungi dan terjadi bentrokan, atau yang lebih tepat, Malin dikeroyok.

Istri Malin menjerit histeris saat seseorang berhasil menusuk leher Malin dengan pisau hingga ia jatuh tersungkur. Langit seketika mendung, panas terik berubah menjadi gelap karena awan hitam yang tiba-tiba menutupi langit.

Candra menarik napas dalam dan membuat jarak. Ia memandangi Malin yang tidak lagi bergerak. Seharusnya setelah ini ia akan kembali ke tempat asalnya, tapi sayangnya tidak terjadi apa-apa meski warga desa sudah memastikan kalau Malin meninggal dunia.

"Sial. Kalau begini, mana bisa dia menjadi batu," gumam Candra, panik.

Warga desa mulai tersadar dan agaknya panik karena telah membunuh seseorang. Mereka berencana menguburnya diam-diam untuk menghilangkan jejak, sementara istri dan bawahan Malin ditangkap.

"Tunggu!" cegah Candra. Ia berdiri di tengah-tengah, diam sejenak untuk memperhatikan raut semua orang, lalu berucap, "bagaimana kalau kita jadikan ini sebagai pelajaran untuk anak cucu?"

"Apa maksudmu?" tanya seorang warga berbadan kurus dengan rambut ikal kusam.

"Dia adalah anak durhaka. Bagaimana kalau kita semen dia agar menyerupai batu, lalu katakan pada semua orang bahwa Malin Kundang si anak durhaka dikutuk oleh ibunya," usul Candra kemudian.

Awalnya hening. Semua orang saling menatap dan berpikir. Mereka jelas ragu dengan ide gila tersebut. Maka Candra kembali berucap, "dengan begini, generasi selanjutnya akan takut menjadi anak durhaka. Bukankah itu akan bermanfaat?"

Satu orang mengangguk dan membenarkan. Lalu yang lain ikut menyetujui. Candra tersenyum puas dan rencana segera mereka eksekusi. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bu Rubayah yang masih pingsan.

"Sekalian saja jadikan antek-anteknya sebagai batu!" usul seseorang. Hal itu membuat istri dan lima orang pengikut Malin panik.

"Terserah kalian saja," jawab Candra pelan. "Tapi pastikan dulu Malin menjadi batu!" Ia tidak peduli dengan yang lain asalkan Malin segera dikutuk dan ia dapat kembali pulang.

Semua warga gotong royong, Malin dibuat bersujud dan dilapisi semen hingga menyerupai orang yang dikutuk menjadi batu, Candra mendekat dan berdiri di depannya. Ia tersenyum puas. Pose patung itu sudah persis dengan apa yang ia ingat selama ini.

"Bagus. Sekarang tinggal simpan semua rahasia ini dan katakan kalau Malin Kundang dikutuk menjadi—" belum selesai Candra berucap, sebuah ombak besar datang dan menerjangnya. Ia berusaha naik ke permukaan karena hampir kehabisan napas, tenaganya nyaris habis tapi ia belum mau mati. Candra terus menggapai dan akhirnya dapat bernapas dan membuka mata.

"Dia sudah bangun!" ujar seorang perawat.

Prompt: Tiba-tiba isekai ke dalam dongeng/cerita rakyat (min. 500 kata)
Jumkat: 1805 kata
Tanggal: Rabu, 30 Agustus 2023

Salam,
Serenade

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro