Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9 - Hidup Baru Jino

Lima bulan setelah Haru pergi


"Taraaaa..."

Jino menunjukkan empat kuitansi yang ia lebarkan seperti kipas pada Haru yang terlihat sedang melipat bajunya dari layar. Gadis itu mengerutkan kening. Ia mendekatkan dirinya pada layar, "Itu apa JI?"

Jino mengipaskan kertasnya dengan bangga, "Ini bukti kalau aku bisa hidup mandiri di rumah ini walau tanpa uang saku dari Papa sama Mama," katanya.

Haru masih kebingungan dibuatnya tapi Jino tak menunggunya penasaran, dia langsung menjelaskannya, "Aku ngontrakin kamar-kamar di rumah aku yang kosong," sahutnya.

Keterkejutan muncul di wajah Haru. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresinya, "Serius?" tanyanya.

"Dengan uang ini, jangankan jajan. Nyusulin kamu ke Malaysia aja bisa," kata Jino.

Haru tersenyum, "Kok bisa-bisanya kepikiran sewain kamar kosong di rumah kamu sih Ji?"

Jino mengangguk, "Kemarin di kampus ada beberapa orang yang ngomel soal kost mereka, karena merasa kesempatan nggak akan dateng dua kali, jadi aku langsung tawarin mereka buat kost di rumah aku."

Wow! Benar-benar. Kenapa otak bisnis Jino berjalan sempurna begini?

"Sekalian aja ambil jurusan bisnis kalau tahu kamu punya potensi di bidang ini Ji, kemarin tuh."

"Tahu deh," kata Jino, "Sekarang udah masuk kedokteran gigi, nggak apa-apa. Anggap aja semua ini passion," katanya.

"Tapi memangnya boleh sama Mama kamu, Ji?" tanya Haru.

"Ya nggak boleh dong Haruku. Nggak boleh kalau ketahuan, kalau nggak ketahuan mah aman-aman aja, makanya untuk memastikan itu semua, aku bikin kontrak buat mereka. Syaratnya, mereka nggak boleh mengubah kamar pake apapun, nempelin stiker dan segala macem, lalu kalau suatu saat Mama sama Papa bakalan ke sini, mereka harus siap-siap pergi sebentar dengan jaminan aku cari dulu tempat penampungan, tapi tenang... aku udah dapet tepat penampungannya."

"Dimana?"

"Di kost nya Om Mushkin," sahut Jino.

Haru membuka mulutnya, tak percaya dengan apa yang diceritakan oleh Jino kepadanya. Wah. Tiba-tiba Jino punya 'usaha' dan yang lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba dia malah bekerja sama dengan Mushkin! Ya Tuhan.

"Ji, jangan ikutin cara Om Mushkin hidup tapi ya," kata Haru memperingati.

Jino tertawa, "Kemarin Tante Icha udah ingetin aku Haruku, tenang aja," katanya.

Syukurlah kalau begitu.

"Ngeri aja kalau kamu tiba-tiba pelit," sahut Haru.

Jino tergelak, "Nggak akan dong. Aku tetep jadi Jino yang jadi favoritnya Haruku," katanya.

Haru menjulurkan lidahnya, meledek Jino. Membuat Jino tertawa lagi dibuatnya.

"Omong-omong, aku besok mulai sibuk sama kegiatan di luar kampus," kata Jino.

Rasa penasaran dalam diri Haru seketika muncul, "Kamu ikut kegiatan apa?"

"Voulunteering, Haruku. Besok kita mau mulai orientasi dulu, kegiatan pertama mau ngajar anak-anak jalanan, kemungkinan waktunya sih baru sabtu-minggu aja, waktu kampus libur."

Haru benar-benar terperangah dibuatnya. Ia bertepuk tangan dengan antusias—mengapresiasi kegiatan hebat yang Jino lakukan, "Lima bulan aku di sini, nggak nyangka banget kamu udah sehebat ini Jiiii," pujinya.

Jino tersenyum malu mendengar pujian dari Haru. Ia menatap Haru penuh tekad, "Tunggu yah. Tungguin kehebatan lain yang bisa aku lakukan," katanya.

"Aku tunggu banget," tantang Haru.


****


Tujuh Bulan Setelah Haru Pergi


Haru menyelesaikan studinya lebih pagi. Ia menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama teman kampusnya. Jino sedang sibuk dengan kegiatannya, mereka bahkan hanya bisa berkabar lewat Chat saja karena Jino sibuk sekali, tapi sesekali keduanya masih bisa berbincang-bincang walau hanya lima belas menit saja—itu juga waktu yang paling lama. Tapi tidak apa-apa, Haru tidak keberatan dengan itu karena begini saja ia tetap merasakan kehadiran Jino bersamanya.

"Fans kamu nanyain terus aku," kata Agni di sebrang sana. Oh ya, selain Jino—orang yang selalu Haru hubungi tentunya adalah Agni. Sahabatnya yang satu itu selalu mengeluhkan hal yang sama ketika mereka berkomunikasi. Tentu saja fans nya Haru—Rendra. Benar-benar.

"Bilangin ke dia, aku nggak mau sama dia. Dia nyerah aja, mending sama kamu," kata Haru.

Agni mendesis. Mengatakan hal yang seperti itu memang bisa Agni lakukan, masalahnya dalam kasus yang satu ini...

"Hih! Ogah!" sahutnya dengan enggan.

Haru tersenyum, "Yang namanya perasaan, harus diungkapkan Ni. Kalau kamu suka ya bilang suka, kalau kamu nggak suka juga ya bilang aja nggak suka."

"Kamu sama Jino begitu juga?" tanyanya.

Haru memiringkan kepala, sedikit kebingungan dengan pertanyaan Agni, namun ia bisa menangkap sedikit banyak maksudnya.

"Yah, kalau aku nggak suka, aku selalu bilang kok sama Jino. Kalaupun suka, ya bilang juga."

Di sebrang sana Agni berdecak. Bukan itu yang dia maksud.

"Yah. Oke lah. Bisa jadi begitu," katanya kemudian.

"Omong-omong, kamu jadi besok weekend di sini?" tanya Agni.

Haru menggeleng, "Papa sama Mama yang kesini Ni. Soalnya aku ada tugas penting hari ini, untung aja belum beli tiket buat besok."

"Yah, nggak apa-apa lah, senggaknya masih ada alternatif dengan mereka yang ke sana," kata Agni. Haru mengangguk setuju, kemudian obrolan mereka berlanjut tentang pertemanan, tugas kuliah, barang-barang baru, bahkan sampai kabar-kabar terbaru dari teman-teman SMA mereka.


*****


Sembilan Bulan setelah Haru pergi.


"Perkenalkan. Sagit—nama lengkapnya Sagitarius."

Jino menunjukkan teman kost pertamanya—yang berbeda jurusan dengannya tapi justru malah lebih dekat dengannya.

"Halo Haruku," sapa Sagit.

Jino memukul bahunya dengan cepat begitu mendengar Sagit memanggil Haru dengan nama Haruku.

"NAMANYA HARU!" kata Jino memperingati.

"Loh maaf, saya kira namanya Haruku. Soalnya kamu selalu memanggil dia dengan nama Haruku," sahutnya.

Haru tertawa dibuatnya,"Halo, nggak apa-apa kok kalau mau manggil Haruku," katanya.

"ENAK AJA!" teriak Jino.

Haru tertawa sekali lagi.

"Saya panggil Haru saja kalau begitu. Mengerikan, takut diusir dari rumah ini," sambung Sagit.

Jino mengayunkan tinjunya sementara Sagit membuat ekspresi ketakutan.

"Ji, galak banget," kata Haru di sebrang sana.

"Oh iya, tadi siapa namanya?" sambung Haru lagi, kembali pada Sagit yang dikenalkan oleh Jino.

"Oh iya. Nama saya Sagitarius, panggilnya Sagit ya, jangan Gita," kekehnya.

"DIPIKIRNYA LUCU KALI YA," sindir Jino.

Menurut Jino memang tidak lucu, tapi Sagit dan Haru malah tertawa. Sial.

"Oke Sagit. Salam kenal ya, kalau Jino galak, bilang aku aja. Nanti aku—"

"Saya, Haruku," ralat Jino tiba-tiba.

Ekspresi Haru di layar terlihat kebingungan sehingga Jino mulai menjelaskan, tapi sebelum itu—ia mengusir Sagit dulu supaya temannya yang satu itu pergi dari kamarnya.

"Kalau ngomong ke si Sagit harus pake saya-kamu, jangan aku-kamu," jelasnya.

Haru mengangguk, "Gitu ya. Tapi memang dia ngobrolnya pake Bahasa baku Ji?" tanya Haru.

Jino mengangguk, "Aku sampe pusing Haruku, berasa ngobrol sama KBBI."

Astaga. Jino... benar-benar.

"Nggak apa-apa lah, buat nambah kosa kata. Siapa tahu abis ini kamu punya sampingan lagi. Jadi penulis."

Jino menggeleng, "Wargi kost aku ada satu orang yang penulis—oh bentar, aku kenalin juga kamu ke dia."

Jino membawa ponselnya dan berjalan mengitari rumahnya lalu mengetuk pintu hingga menampakkan seorang pria dengan rambut lurusnya yang sebahu membuka pintu, "Kenapa?" tanyanya.

"Gue mau kenalin lo sama seseorang," kata Jino.

Disebutkan 'seseorang' membuat pria itu mengerti. Pasti orang yang selalu Jino bahas, dan yang fotonya ada di kamar Jino.

"Halo, kenalin nama gue Genta," sapanya pada ponsel Jino—karena Jino tak memberikan layarnya pada Genta, dia malah menunjukkan kamera belakangnya kepada Haru. Jadi hanya Haru saja yang melihat Genta, sementara Genta tidak.

"Hai, halo Genta. Kata Jino, kamu penulis?"

Genta mengangguk, "Benar. Gue penulis—sebut aja begitu. Gue baru nerbitin novel, baru open PO. Lo mau?" tanyanya.

Di sebrang sana Haru berteriak antusias, "Mauu! Ji, beliin aku ya!" pintanya.

Jino mendesis. Ia menatap Genta penuh perhitungan, "Napa lo malah promosi buku," gerutunya.

Genta berdecak, "Mau promosi diri gue nggak bisa. Layarnya aja nggak lo kasih ke gue. Aturan kalau mau begitu mending lo pake telpon biasa aja, jangan pake video call," sahutnya.

"Bodo amat. Gue mau lihat mukanya juga," kata Jino dengan suara pelan.

Genta tertawa, "Mbak, cepetan pulang sini. Ini si Biyan kemarin ada yang deketin, namanya Ra—"

PIIP!

Jino langsung memutuskan sambungan telponnya. Ia menatap Genta dengan tajam, "Kenapa bawa-bawa dia?!" tanyanya.

Genta tertawa, "Lo kan kemarin bilang soal kalian berdua. Gue sih cuman mau memberitahukan lo atas sesuatu aja. Kalau kesimpulan gue mungkin bener, ya menurut beberapa kisah yang—"

Pletak!

Jino memukul jidat Genta dengan kencang, membuat pria itu mengaduh kesakitan.

Iniloh. Ini maksudnya Jino mengatakan pada Haru kalau temannya penulis. Karena dia selalu mengambil kesimpulan dari cerita-cerita yang pernah dia tulis saja.


****


Haru menatap ponselnya, bingung. Kenapa sambungan mereka terputus. Barusan ia mendengar Jino masih berbicara dengan temannya sementara kamarnya diketuk oleh seseorang yang ternyata pesanan makanan yang ia pesan. Saat Haru kembali, sambungan mereka malah putus.

Haru mencoba untuk menghubungi Jino lagi dan kali ini tersambung.

"Ji, aku barusan ambil makanan ke depan, balik-balik telpon kita udah keputus," katanya.

"Hah. Ya ampun. Alhamdulillah," kata Jino di sebrang sana.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa Haruku, tadi si Genta ucapin hal-hal yang nggak perlu soalnya," sahut Jino.

"Hmm, omong-omong Ji. Soal temen-temen kamu," kata Haru, "Aku seneng deh, kayaknya mereka asik banget. Denger kamu punya kegiatan voulunteer juga aku seneng, kamu jadi banyak bersosialisasi, banyak temen, banyak koneksi. wow! Good job pokoknya Ji!" sambung Haru seraya memujinya. 

Di sebrang sana Jino terkekeh, senang juga dengan pujian Haru untuknya. 

"Kamu barusan ambil makanan? Mau makan dulu?" tanya Jino kemudian. 

"Iya, aku mau makan dulu. Bentar ya, nanti abis makan kita sambung lagi," jawab Haru.

"Aku mau pergi abis ini. Kamu makan aja dulu, nanti aku kabarin kalau aku udah free lagi ya."

Mendengar ucapan Jino, Haru menurut. Ia memutuskan sambungan telpon mereka kemudian menyantap makanannya dengan lahap seraya melihat-lihat foto yang Jino kirimkan padanya hari ini.



TBC



ALHAMDULILLAH WASYUKURILAH BERSYUKUR PADAMU YA ALLAH.

Pelan-pelan aku lunasin utang aku ya semoga ajaaa semoga semoga segera lunas. Wkwkwkwk

Banyak hutang, banyak yang tertahan soalnya. Haduu.

Oke sampe sini dulu aja

Maaf ya, yang bikin lama karena file nya ilang terus dan aku harus ketik ulang lagi jadi capek bg.

Aku juga setahun terakhir merasa banyak bgt hal yang bikin berat. Gak punya motivasi, gak pengen ngapa2in, kerja juga sejalannya aja, ga bereffort lebih untuk hal-hal lain. Ini sebelumnya padahal aku kerja bagai kuda bgt. Pulang kerja, kerja lagi. Libur kerja juga kerja lagi, kerja kerja kerja aja terus sampe aku mikir "aku ngapain sih?" kayak nyiksa diri tapi buat apa, kaya juga engga. Duit tetep aja abis wkwkwk nerbener ya. Mungkin kemarin2 aku krisis identitas sebagai manusia, karyawan, atau author. Hahaha Alhamdulillah skrg aku mulai bisa nulis lagi dan produktif lagi dalam beberapa hal yeay! Mungkin karena sebagian beban udah mulai berkurang kali yaaa.

Semangat lah buat aku dan buat kita semua.

Kedepannya juga udah kebayang gimana. Tuh udah aku masukin di mulmed, kalau plot sampe akhir udah ada. Tinggal aku kembangin aja.

Wuhuy. Siap-siap aja ya.

AYO SIAPA YANG BISA NEBAK NAMA "RA" yang disebutin sama genta. KALAU KETEBAK, LANGSUNG AKU BIKIN PART SELANJUTNYA.

CLUE: 6 HURUF.

Segitu aja.

Dah.

AKU SAYANG KALIAN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro