Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4 - Apa yang Berada di Hadapan Kita

"Haru ... kamu mau kuliah kemana? Ambil jurusan apa?"

Teman sekelasnya yang duduk di belakangnya bertanya kepada Haru mengenai universitas tujuannya setelah lulus nanti. Haru mengerjapkan matanya. Ia hampir lupa dengan yang satu itu, pilihan universitas dan jurusannya.

"Kamu kan udah punya hotel Haru, ambil SBM di ITB kah?"

Seluruh sekolah memang tahu bahwa Haru mempunyai hotel. Ya, hotel milik orangtuanya, yang sengaja ayahnya berikan untuknya. Namanya Renova, seperti nama belakangnya, dan Renova juga berasal dari nama kedua orangtuanya, Reno dan Nova.

ibu kandung Haru bukanlah Sharen—ibunya yang berada di rumahnya dan membesarkannya, ibu kandungnya bernama Nova, yang meninggal ketika ia melahirkan Haru.

Sharen ibu tirinya, tetapi Haru tidak pernah merasa bahwa ia seorang anak tiri, dan ia juga amat sangat menyayangi Sharen seperti ibu kandungnya, karena Sharen pun membesarkan Haru seperti anaknya sendiri. Malahan, menurut adiknya si kembar, Sharen lebih menyayangi Haru dibanding mereka berdua. Sharen sangat memanjakan Haru, ia juga memarahi Haru memang, hanya saja tidak separah ketika memarahi Putra dan Hasya. Well, tetap saja ada perbedaan. Ibunya mungkin tak memarahinya separah memarahi Putra dan Hasya karena takut Haru merasa bahwa ia benar-benar anak tiri, padahal justru terkadang Haru ingin dimarahi seperti mereka.

Tetapi bagaimanapun juga, Haru tetap bahagia mempunyai ibu seperti Sharen. Bagaimana ya ... mungkin karena Sharen sudah bersamanya sejak Haru kecill, jadi Haru juga tidak merasa asing dengan kehadirannya. Tentu saja, ia juga tidak melupakan ibu kandungnya ... setiap hari ulang tahunnya, Haru selalu berziarah ke makam ibunya, ditemani Sharen, dan Haru juga memiliki banyak kenangan tentang ibu kandungnya. Semua foto, video, hotel, bahkan rumah.

"Hotel juga kan bukan aku yang urus, lagian aku nggak berminat masuk bisnis, kayaknya pusing gitu, liat papa aku urusin hotel sama apartemennya aja kadang pusing," kekehnya.

"Kalau gitu, kamu pasti mau satu kampus sama Jino? Atau malah satu jurusan?" tanyanya lagi.

Jino ... kampus ... jurusan ....

Haru tidak menjawab pertanyaan terakhir, ia memilih tersenyum tipis, sementara kepalanya menoleh ke sana kemari untuk menemukan Jino.


****


"Hai Agni...."

Agni mendesis ketika mendapati Khailendra Winata duduk di sebrangnya di kantin. Laki-laki itu selalu punya maksud tertentu ketika menghampiri Agni. Soal Haru lah, siapa lagi.

"Apa? mau nanyain soal Haru lagi? lama-lama ditarif juga buat informasi soal dia."

Endra tersenyum manis, sejenak senyumannya membuat Agni mengerjapkan matanya, tetapi perempuan itu mencoba menyadarkan dirinya baik-baik.

"Haru mau ke kampus mana? Jurusan apa? di sini? apa mau ke luar negeri?"

Cotton bud mana ya? Agni butuh satu bundel. Bukan untuk mengorek kupingnya, tapi untuk membungkam mulut Endra yang tidak bisa berhenti bertanya kepadanya.

"Tanya Haru lah."

"Haru mana mau jawab."

"Ya udah, nggak usah nanya."

"Tapi dia nggak akan sekampus sama Jino kan?"

"Mana gue tahu Endra!"

"Yah, gini loh Ni ... kan Jino itu keluarganya militer semua, dia pasti masuk militer juga kan?"

"Bukan urusan gue ya, Ndra."

Endra menganggukkan kepalanya. Tangannya terlipat di dadanya dan ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, "Pasti bener ... Jino masuk militer. Ahay, bagus dong ... kalau dia masuk militer, terus Runa bebas dari Jino."

"Runa?" Agni mengerutkan keningnya.

"Iya, namanya kan Haruna ... gue panggil dia Runa."

Hmm ... iyakan saja, Agni. Iyakan saja, daripada sakit hati!

"Kalau si Jino masuk militer, pulangnya susah, dia ditempatin di tempat terpencil, wih makin gede nih kesempatan buat deketin Haru. Haru kan tipe cewek yang senang menerima kasih sayang, dia pasti nggak suka kalau harus jauh-jauhan begitu. ahay! Tiba juga waktunya gue jadi pemenang."

Endra masih banyak mengoceh soal Haru, Jino, dan impiannya menjadi pasangan Haru sementara Agni sudah tidak kuat mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menghentakkan kakinya dengan keras, meninggalkan Endra dengan ocehannya, dan berjalan menuju parkiran, lebih baik pulang saja.

"Agni!" tetapi langkahnya terhenti karena suara Haru yang memanggilnya.

Agni berbalik dan ia melambaikan tangannya pada Haru.

"Hari ini nggak ninggalin aku?" sindir Agni.

Haru terkekeh, ia memeluk Agni dan berjalan seraya merangkul sahabatnya, "Kemarin-kemarin itu emang—"

"Nggak usah dijelasin. Intinya memang aku ditinggalin."

Haru mengerucutkan bibirnya, "Yah ... maafin."

"Iya, dimaafin ... Jino mana? Aku mau nebeng kalian pulang ya, mau ke rumah om Mus."

"Aku di sini ..." tiba-tiba saja Jino sudah berada di tengah-tengah mereka, memisahkan Haru dan Agni, sekarang laki-laki itu malah merangkul Haru dan menjauhkannya dari Agni.

"Ji, kamu kemana aja? aku cariin kok nggak ada?" tanya Haru.

Jino mengeratkan rangkulannya, "Aku bantuin guru isi rapot tadi," kekehnya.

Satu kebaikan Jino adalah ... membantu guru mereka mengisi rapor. Sebenarnya itu adalah tugas perempuan, hanya saja ada satu guru yang sangat suka melihat tulisan Jino dan selalu ingin Jino yang membantunya mengisi rapor.

Teladan sekali memang si Jino ini, tapi tetap saja ... itu mah hanya akal-akalan Jino untuk cari muka saja kepada gurunya.

Agni mulai mengerucutkan bibirnya mendengar Jino dan Haru berbicara berdua. Ia bergeser, mendekat pada Jino dan berkata, "Jino! Rangkul aku juga dong, biar nggak ngenes banget," pintanya.

Jino menggeleng keras, "Ogah banget Agni. Mending rangkul Haruku aja."

"Dasar cowok! Tahu aja sama yang cakep," dumel Agni.

Haru melepaskan rangkulan Jino, dan ia berjalan, mundur lalu berpindah ke sisi Agni, "Aku aja yang rangkul," katanya.

Jino mendelik, sementara Agni melemparkan senyum penuh kemenangan, "Kasian deh Jino, Harumu lebih milih aku, wleee! Nih, enak lagi jadi temen cewek, bisa megang-megang bebas," sahut Agni lagi, parahnya perempuan itu memegang pantat Haru dan menunjukkannya pada Jino.

Haru menjerit malu, sementara Jino melotot, dan Agni malah tertawa keras untuk mereka berdua.

Persahabatan mereka sesederhana ini, tetapi ikatan di dalamnya begitu kuat. Agni dan Haru pernah berjanji bahwa seorang pria tak akan bisa memisahkan mereka, dan apapun yang terjadi ... mereka juga sudah berjanji, bahwa salah satu dari mereka akan mengalah ketika mereka menyukai orang yang sama.

Yang tidak Haru ketahui, Agni sudah pernah mengalah ... membuang jauh-jauh perasaannya pada Jino, hanya untuk Haru. Itu dulu, sekarang Agni kan suka pada Endra, walaupun Endra suka kepada Haru sih.

Sedih memang, ketika orang yang kita sukai, malah menyukai orang yang begitu kita sayangi. Dunia ini memang penuh ironi.


****


"Heeeyyy! Ada Harukuuu!" Mushkin menyambut kedatangan Haru dengan begitu meriah, sementara Jino sudah memasang tatapan sengitnya.

"Om! Haruna, bukan Haruku," ralatnya.

Mushkin tertawa, "Eh Jino. Situ juga manggil Haru depan bapaknya Haruku. Inget ya, penemu Haruku yang sesungguhnya itu om! Tanya aja Haru, yang cium dia pertama kali juga om, bukan kamu. Tebak deh, kamu pasti belum pernah cium Haru kan?" tanya Mushkin lagi.

BUGH!

Satu lemparan bantal mendarat di kepala Mushkin, pria itu berteriak, ia menoleh, mendelik dan menatap istrinya dengan tatapan tak menyangka, "Yaang, ih! Kenapa lempar-lempar?"

"Ya, kamu tuh! Kenapa ngomongin ciuman depan anak SMA? Wey! Kalau si Jino beneran cium si Haru, papanya Haru bisa ngamuk. Tahu sendiri ngomelnya udah kayak kaset rusak yang nggak bisa berhenti. Lagian, anak orang kok diajarin suruh ciuman sih?"

Yang barusan berbicara itu adalah istrinya Mushkin, dan Mushkin itu adalah omnya Agni, juga sahabat Reno—ayah Haru, dan istrinya adalah sahabat Sharen—ibu Haru. Mereka saling mengenal karena hubungan orang tua Haru, pusing juga memang kalau dijelaskan. Intinya, mereka keluarga, itu saja.

"Om Mus, tante Icha, Agni capek nih pulang sekolah. Bisa kalian diam?"

Icha mendengus, ia tersenyum dan menatap Haru, "Haru, tante kasih tahu ya. Jangan pernah mau ciuman sama cowok. Kenapa? karena ciuman itu bikin ketagihan, dan apa yang bakal terjadi kalau ketagihan? Ya keenakan, setelah keenakan, kebablasan. Nah, jadi intinya ... ciuman itu mengakibatkan kebablasan, jadi kalau—"

"Cha. Aku cuman ucapin satu kata soal ciuman, lah kamu malah nerusin sampe kebablasan. Ini siapa yang sableng sebenernya?"

Jino menggaruk kepalanya, Haru memalingkan wajahnya, sementara Agni menjambak rambutnya.

"Om, tante. Agni ke sini mau main, bukan mau nonton acara ribut-ribut."

"Oke, maaf sayang. Kamu sendiri tahu kan tante kamu gimana? Yaang, bikin makanan lah buat anak-anak," ucap Mushkin tiba-tiba.

Icha menghela napasnya, "Oke, tunggu sebentar ya."

Kemudian wanita itu menghilang, sementara ketiga anak itu mulai duduk. Jino sengaja duduk di dekat Haru, ia selalu merasa terancam jika melihat Mushkin.

"Nggak boleh deket-deket begitu duduknya, Jino. Aduin juga sama bapaknya loh," ancam Mushkin.

Jino bergeser sedikit, tapi ia meraih tangan Haru dan menggenggamnya.

"Eh, nggak usah digenggam juga tangannya, nggak akan lari si Harunya."

Oke, Jino diam.

"Om, keponakan om kan aku, kenapa om merhatiin Haru sama Jino terus?" protes Agni.

Mushkin beralih kepadanya, ia duduk dan memeluk Agni dengan erat, "Nginep ya say?" tanyanya.

"Idih, om. Geli."

"Geli-geli juga kamu sayang om."

Jelas, karena Agni lebih banyak menghabiskan waktunya bersama omnya, daripada bersama orangtuanya yang sibuk karena pekerjaannya.

"Jadi selain main, kamu mau ngapain lagi?"

Dan mereka bertiga mulai membuka suara lagi, Agni yang paling antusias ... perempuan itu menceritakan soal kelulusan, dan universitas tujuan mereka. sepasang om dan keponakan itu banyak berdiskusi mengenai hal itu, sementara Haru dan Jino hanya mendengarkan dan menyahuti sesekali.

"Pokoknya jangan hukum, pusing kamu nanti hapalin pasal-pasal. Mending kamu obral barang di pasal."

"PASAR OM! PASAR!"

Dan mereka semua tertawa, yang lebih parah adalah Agni dan Mushkin, sementara Haru dan Jino, ada sesuatu yang mengganggu mereka, hingga menghentikan tawa mereka begitu cepat.


****


"Haru pulaaaang!"

Haru mengerutkan keningnya ketika ia tak mendapatkan sambutan dari ibu dan kedua adik kembarnya, mereka kemana? Tidak biasanya rumah sesepi ini.

Berjalan kembali ke luar, Haru melihat mobil ayahnya terparkir di luar rumah. Itu berarti ayahnya ada, dan ibunya juga pasti tidak kemana-mana, tetapi ... dimana mereka?

"Mama?"

Haru berjalan seraya memanggil ibunya, tapi tak ada sahutan juga. Mungkin mereka sedang berbicara berdua di dalam kamar.

Masuk ke dalam kamarnya, Haru menyimpan tasnya, membasuh wajahnya, dan mengganti bajunya, biasanya ketika rumah sepi, kucing yang berada di halaman belakang belum ada yang memberi makan. Haru berjalan ke halaman belakang rumahnya, dan ia melihat kedua orangtuanya sedang berada di sana.

Hadeuh, pantas saja tidak ada yang menyahutinya, ternyata kedua orangtuanya ada di halaman belakang, dan sepertinya mereka juga sedang berdiskusi.

Mengendap-endap adalah pilihan yang Haru buat, ia berencana untuk mengejutkan kedua orangtuanya.

"Gini loh By, aku seneng liat anak kita sama Jino, mereka bareng-bareng juga dari waktu kecil, tapi ... masa sekarang mau bareng juga?"

Haru mengerutkan keningnya. Orangtuanya sedang membicarakan dirinya dan Jino?

"Kamu paham juga Sha."

"Aku ... aku cuman makin khawatir aja By. Mereka udah terlalu dekat, dan masalahnya ... bahkan Jino panggil kita kayak panggil orangtuanya, tapi—"

"Tapi apa Sha?"

"Tapi, gimana kalau seandainya Haru sama Jino nggak berjodoh?"

Haru tersentak. Ia menelan ludahnya, kakinya mundur perlahan, tapi ia tak juga berbalik sehingga tubuhnya masih berdiam di tempat, tidak kemana-mana, sementara telinganya tetap mendengarkan.

"Oke, mereka satu sekolah bareng, SD, SMP, bahkan SMA, tapi kuliah ... walaupun bisa satu universitas, tetep a—"

"Aku berencana menguliahkan Haru di luar negeri Sha."

"By. Aku nggak setuju."

"Kalau di sini, Haru ya pasti sama Jino terus. Itu tadi kamu sendiri yang bilang, gimana kalau mereka nggak jodoh? Gimana kalau udah bareng-bareng lama, tau-taunya malah Jino sama yang lain? Kasian Sha anak kita."

"Tapi nggak luar negeri juga By. Aku nggak kasih."

"Kalau gitu, luar kota."

"By."

"Sha.."

Dan langkah kaki Haru kini berjalan mundur dengan mantap, ia berbalik dan berjalan kembali menuju kamarnya, menutup pintunya rapat-rapat, kemudian matanya tertuju pada fotonya bersama Jino yang terpajang di atas meja belajarnya.

Bagaimana pun, sebelumnya, Haru tidak pernah memikirkan ini sebelumnya.

Masa depannya, masa depan Jino.

Jalannya, dan Jalan Jino.

Lalu takdirnya, juga takdir Jino.

Tidak pernah sekalipun Haru memikirkannya. Sampai hari ini, ketika orang-orang disekitarnya mengungkit hal yang sama, mengenai masa depan mereka.



TBC



Mau ngetik dara dira tapi stuck, ngetik ini dan mulai masuk ke suasana beginian wkwkwkwk

Ngga ada yang bener wkwkwk tapi emang bener sih, gimana pun juga hidup mereka baru di mulai sekarang!

Kenapa genrenya nggak teenlit? Karena aku memulai cerita ini di akhir masa sekolah mereka.

Aku nggak suka teenlit, jujur hahaha. Bukan masanya lagi, jadi lebih suka yang romance romance gitcu deh :D

Makanya kerjaannya baper terus wkwkwk

Btw malam minggu kemarin aku dapet JACKPOT! HAHAHAHAHA

Naik go-car, dapet masnya ganteng andayyy berasa pacaran gitu dalem mobil, ditengah hujan, berdua, diantara kemacetan, diiringi radio yang sayup-sayup. UUUNNCCCHHH

FIX MULAI BESOK HARUS BERHENTI NONTON DRAMA KOREA! HAHAHAHAHA

Sayang banget masnya itu udah berbuntut :""" rupanya jalanku bertemu jodoh bukan dalam mobil~

Btw lagi nih, aku sibuk makanya kemarin gak nongol, lagi ada banyak kerjaan. Biasa ya, pejuang untuk dekor pernikahan mah begini.

Ya, belum ada calonnya juga atuh minimal udah ada biayanya, biar nggak nunggu nunggu lagi buat ngumpulin *padahal ngumpulinnya di perut wkwkwk

Oke cukuplah cuap-cuapnya, sampai jumpa next part.

Dah ... AKU SAYANG KALIAN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro