Part 24 - Pacaran
Morning pacar
Haru tersenyum lebar seraya menatap pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Kakinya bergerak-gerak di atas kasurnya sementara wajahnya memanas dan tersipu. Ya Tuhan. Baru satu baris pesan begini saja Haru sudah merasa senang tak karuan. Luar biasa.
Semalam, ketika Haru sudah memeluk Jino ketika mereka berada di motor, keduanya tidak berbicara banyak. Bahkan Haru berlari kecil menuju rumahnya dan hanya melambaikan tangannya pada Jino begitu sampai—saking malunya, dan pagi ini... pesan yang masuk dari Jino adalah interaksi pertama mereka.
Interaksi pertama setelah mereka berpacaran.
Pacar.
Sekarang Jino adalah pacarnya. Orang yang sedang...
"Aaah, nggak mau bayangin," kata Haru dengan manja. Ia menggelengkan kepala. Mencoba mengusir pikiran-pikiran menyenangkan dari dalam benaknya.
"Kak Haru kenapa?" tanya seseorang secara tiba-tiba.
Haru mengerjap. Ia menoleh dan mendapati Hasya sedang berada di daun pintunya, menatapnya dengan kebingungan karena sejak tadi tingkah kakaknya seperti orang yang mendapatkan hadiah, padahal sebenarnya jelas sekali kalau ekspresi Haru terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta.
"Hah? Nggak apa-apa kok. Kenapa Hasya?" tanyanya.
"Nggak apa-apa juga, aku tadi disuruh Mama buat cek Kakak, udah bangun apa belum. Ternyata udah, tapi masih rebahan."
"Kenapa? Mama butuh bantuan?" tanya Haru.
Hasya menggeleng, "Kepo aja kayaknya," sahutnya.
Haru tersenyum mendengar jawaban adiknya.
"Aku mau tidur lagi. Nanti kalau Kakak ke bawah, bilangin Mama kalau aku abis begadang soalnya malem ada tugas banyak banget," ucapnya.
Haru mengangguk, "Oke. Kamu tidur lagi aja, nanti Kakak bilangin."
Mengangguk, Hasya berlalu dari hadapannya sementara Haru teralihkan karena ponselnya berdering. Ia melihat satu pesan lagi masuk ke dalam ponselnya.
Dari Januar.
Ya Tuhan. Sampai lupa kalau kemarin Haru meninggalkan Januar begitu saja.
*****
"Selamat Pagi."
Reno yang sedang membaca laporan dari tab nya seraya menyesap kopinya di taman belakang rumahnya terkejut dengan sapaan formal yang menyapa telinganya. Ia menoleh dan mendapati Jino berdiri di sampingnya dengan membawa bungkusan kresek hitam di tangannya.
"Ngapain kamu? Mau numpang sarapan ya?" tanyanya dengan judes.
Jino tersenyum penuh ketenangan, "Mau memperkenalkan diri secara resmi, Om."
Kening Reno mengkerut dalam. Om? Tumben sekali Jino memanggilnya Om.
Reno memperhatikan Jino baik-baik, ekspresi kebingungan terlihat sangat jelas di wajahnya, apalagi melihat penampilan Jino yang luar biasa berbeda hari ini. Anak itu memakai setelan jas berwarna hitam, persis seperti orang yang mau wawancara pekerjaan.
"Memperkenalkan diri apaan sih. Kamu pagi-pagi udah nggak jelas banget!" gerutu Reno.
"Boleh duduk?" tanya Jino. Ia menunjuk kursi kosong di hadapan Reno, bahkan Jino menunjuknya dengan lengan kiri yang menopang lengan kanannya, benar-benar sopan sekali anak ini. Apa yang terjadi kepadanya?
"Duduk aja. Masuk rumah ini aja nyelonong kan?"
"Oh, tentu tidak Om. Tadi menunggu Mama Sha ngebuka pintunya."
Bibir Reno terangkat sedikit, "Manggil saya Om, tapi manggil Sharen masih Mama Sha. Gimana sih?!" protesnya.
Jino tersenyum, alih-alih tertawa dan meledeknya habis-habisan seperti biasanya.
"Kamu kenapa sih? Kok saya jadi takut!" kata Reno.
Jino duduk di sebrangnya dan menaruh bawaannya di atas meja, "Ini bawaan saya Om. Silakan di nikmati."
Reno melirik bungkusan yang Jino taruh di atas meja. Ia mengambilnya dan melihat isinya.
"Martabak?" tanyanya.
Jino mengangguk, "Tukang martabak jualannya siang ke malem Om, jadi hari ini saya bawanya martabak pasar aja. Tapi nggak apa-apa, yang ini lebih enak, apa lagi martabak ketan, wih mantep pokoknya."
"Ngapain kamu bawain saya martabak?" tanya Reno.
Jino tersenyum, menatap Reno kemudian terkekeh, "Katanya orang-orang kalau ngapel ke rumah pacarnya harus bawa martabak buat orang tuanya," sahutnya.
"Oh, gitu," sahut Reno. Ia menganggukkan kepalanya, tapi sedetik kemudian Reno menyadari ada sesuatu yang aneh di sini.
Sebentar.
Apa tadi katanya?
Bawa makanan saat ngapel?
Ngapel ke rumah pacar?
"APA? NGAPEL?!!!" teriaknya tiba-tiba. Suaranya meninggi. Ia bahkan berdiri dengan seketika. Matanya menatap Jino dengan tajam sementara Jino malah terkekeh—yang justru membuat Reno merasa kesal. Bagaimana ya, rasanya seperti Jino menunjukkan kepadanya bahwa ia sudah menang sementara Reno kalah. Wah. Enak saja!
"Perkenalkan Om, saya Abyan Jino Wiratama. Biasa dipanggil Jino kalau sama Haru, tapi dipanggil Byan kalau sama keluarga dan temen-temen di kampus. Dan ya, saya pacarnya Haru."
Jino mengulurkan tangannya pada Reno, mengajaknya bersalaman seraya mengucapkan semua perkataannya dengan penuh kebanggaan sementara Reno. Pria itu menatap Jino dengan kesal, alih-alih menyalaminya, Reno malah menepuk telapak tangan Jino dengan keras, membuat Jino tertawa dengan kencang sementara Reno... ya Tuhan. Kenapa ia merasa kesal sekali?!
****
"Asik euy udah jadian," kata Putra.
"Ih, Mama seneng banget dengernya. Kalian baik-baik yaa," ucap Sharen.
Pasangan Ibu dan anak itu heboh sekali menyambut kabar Haru dan Jino yang kini berpacaran, sementara Reno—kekesalan masih menggunduk di dalam hatinya. Ia bahkan mengunyah sarapannya dengan cepat.
"BERISIK! Kita kan lagi makan," katanya memperingati.
Putra tertawa dengan keras, "Papa penyakitnya kambuh lagi."
"Papa Reno santuy atuh Pa," kata Jino.
Reno mengacungkan sendoknya ke udara, "Santuy-santuy! Nggak sopan dasar!" katanya.
"Ih, nggak sopan apa. Kan tadi aku udah memperkenalkan diri secara resmi. Bawa martabak pula, nih setelan juga udah bagus," ujar Jino.
Sharen tertawa kecil, "Jino. Saking rapinya setelan kamu, Tante sampe kaget tadi. Aduh kok kamu kayak pengantin mau ijab."
"Ijab-ijab! Pacarana juga baru satu hari udah mikirin ijab!" teriak Reno.
Di rumah yang damai ini, semua orang berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja karena mereka tengah berkumpul di satu meja tetapi Reno—suaranya meninggi dan terdengar keras, nyaris berteriak hingga seantero rumah bahkan bisa mendengar suaranya.
"By, ya ampun," kata Sharen.
Haru diam saja sejak tadi, ia tak kuat menahan tawanya soalnya.
"Ya nggak apa-apa atuh Papa Reno, jadi manusia mah harus visioner," kata Jino.
"Visioner, visioner. Kamu tuh berani-beraninya macarin anak orang tanpa bilang orangtuanya!" kata Reno.
"Lah. By! Ya ampun, dimana-mana kalau pacarana ya bilang ke orangnya aja langsung, kenapa malah bilang ke orangtuanya? Itu mah ngelamar," kata Sharen.
Reno menggeleng, "Sama aja! Dia harusnya minta izin dulu!"
Haru menggelengkan kepalanya, "Memangnya kalau Jino minta izin sama Papa buat macarin Haru, Papa mau izinin?"
"Ya nggak lah! Ngada-ngada!" kata Reno.
Semua orang tertawa dengan keras, kecuali Reno yang kini kembali mengunyah makanannya dengan kesal.
"Saya dulu mau deketin Sharen tuh deketin Ibunya dulu! Izin dulu sama Ibunya," omel Reno.
Jino menatapnya ngeri, "Papa Reno mah bikin orang serba salah. Kalau aku deketin Mama Sha, pasti dimarahin. Lah langsung ke anaknya juga dimarahin. Masa aku harus pacarin Papa Reno sih?!"
"Waaaah. Mulutnya nggak pernah disambelin ya waktu kecil?" tanya Reno.
Semua orang kembali tertawa, memojokkan Reno dan membuatnya semakin kesal. Sial.
****
"Tunggu. Jangan keluar dulu."
Jino keluar dari mobilnya lebih dulu, ia memutari bagian depan mobilnya lalu berjalan untuk membuka pintu dan mempersilakan Haru untuk keluar dari mobilnya, membuat Haru terkekeh kecil karenanya.
"Ji, ya ampun," katanya.
Jino tersenyum, ia memegang pintu mobil seraya menatap Haru dengan senyuman lebarnya. Senang sekali melihat Haru hari ini. Ya Tuhan.
"Ayo," kata Jino. Ia mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh tangan Haru. Mereka berjalan seraya bergandengan tangan dengan ekspresi malu di wajah masing-masing. Sepanjang perjalanan, Haru dan Jino juga berpegangan tangan di dalam mobil, mereka saling menahan senyuman hingga keduanya bertatapan dan tertawa—menertawakan tingkah mereka yang sangat menggelikan. Ya Tuhan! Dasar sindrom jatuh cinta!
Keduanya masuk ke dalam café seraya bercanda sepanjang perjalanan mereka membuat Agni yang memperhatikan keduanya mengerutkan kening.
"Tumben banget gandingan?" tanyanya.
Haru terkekeh sementara Jino, ia melepaskan tangannya dan menggantinya dengan merangkul bahu Haru, "Officially dating!" katanya dengan bangga pada Agni.
Agni menatap mereka tak menyangka, "Serius?"
Haru mengangguk seraya tersipu.
"CIEEEEE Akhirnyaaaa pacaran juga, selamat ya! Semoga kalian dijauhkan dari uler sama buaya," kekeh Agni.
Haru tersenyum, "Kalau ada uler sama buaya, nggak apa-apa kok. Punya kamu yang bisa jadi pawang," kekeh Haru.
"Mana ada, Haruku. Kemarin Endra bilang kalau Agni aja mau digondol buaya," katanya.
Haru lupa dengan kalimat terakhir yang Jino ucapkan karena fokusnya sekarang adalah pada panggilan Haruku yang kembali ia dengar setelah sekian lama! Ya Tuhan!
"Kok senyam-senyum gitu?" tanya Jino.
Haru terkekeh, "Udah lama nggak denger kamu panggil Haruku," sahutnya.
Jino tertawa, "Terus pas sekarang denger, seneng yah?"
Haru menganggukkan kepalanya dengan cara yang menggemaskan, membuat Jino melempar senyuman bodoh ke arahnya sementara Agni yang memperhatikan keduanya menggelengkan kepala.
"Emang yang awkward dari temen jadi pacar tuh di tv tv doang kayaknya. Mereka nggak ada awkward-awkward nya," gumamnya.
"Tapi... yah, mereka mah temenan juga rasa pacaran. Suasana mah sama, status doang yang beda," sambung Agni lagi.
Ia sibuk berbicara dengan dirinya sendiri karena Haru dan Jino sedang berada dalam dunia mereka sendiri juga.
TBC
Ya Allah... pengen pacaran. Tapi ketika Allah memberikan pilihan untuk pacaran atau kekayaan, aku akan memilih kekayaan WKWKWKWK Setidaknya untuk sekarang wkwkwkwk
Soalnya kadang pengen pengen tapi dihadapkan pada situasi begitu yah malah ga bener karena belom fokus dan belom niat niat banget juga Heuheu
Oke hari ini aku update setelah sebulan apa dua bulan yah?
Agak hectic sih memang dan belom mood lanjut ini.
Hari ini jadwal ngetik strange marriage tapi aku ga mood jadi mending ngetik ini aja wkwkwk
Ga aku edit. Langsung aku post. Kalau ada typo bilang ya.
Selamat hari minggu semuanya!
Dah. Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro