Part 22 - Afraid
"Jalan tol yang kemarin baru diresmiin, itu kebetulan Papaku yang kerjain project-nya."
Endra menatap Januar dengan tatapan meremehkan, "Bapak lo Kuli?" tanyanya.
Januar tertawa, "Maksudnya perusahaan Papa yang kerjain," ralat Januar.
Endra mendesis, "Gue kira Bapak lo kulinya," gerutunya.
Agni menoleh ke arahnya, menatap Endra dengan tajam namun Endra malah tak menghiraukannya. Pria itu sibuk memakan makanannya.
Sekarang mereka sudah berada di restoran hotel dan sedang makan siang. Endra sebenarnya tidak mau bergabung dengan mereka, ia sudah ingin pulang sejak tadi, tapi bukankah Haru dan Agni harus ia selamatkan? Maka mau tidak mau Endra menahan dirinya di sini. Ya, lumayan juga sih makan gratis. Toh Januar yang membayarnya. Lagi pula tidak apa-apa kan, barusan Januar bilang kalau ayahnya seorang pengusaha. Kontraktor. Gila. Uangnya pasti banyak.
Sebenarnya Endra tak mau kalah, ia ingin menyombongkan profesi kedua orangtuanya juga. Ayahnya seorang hakim sementara Ibunya seorang dokter SpOg yang sudah punya klinik sendiri namun apalah daya, ia merasa masih kalah saing karena sekaya apapun ayahnya, masih bisa disuap oleh ayahnya Januar kan? Maksudnya bukan berarti ayahnya bisa disuap juga, hanya saja Endra takut Januar tiba-tiba bilang, "Hakim? Cih. Bokap gue kasih duit juga mau pasti." Weh, jangan dong. Bisa hancur martabat Endra dihadapan Haru dan Agni. Makanya, lebih baik Endra memikirkan kemungkinan ini saja daripada membayangkan Januar mengatakan hal itu kepadanya.
"BTW, ini enak," kata Januar. Menunjuk steak yang tengah ia makan.
Haru menganggukkan kepalanya, "Sausnya berhasil dibuat pada cobaan kesekian. Bener-bener nggak kehitung," sahutnya.
Januar melirik Haru yang sibuk memakan steak. Pria itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, mengusap bibir Haru yang belepotan oleh saus dan tersenyum, "Pelan-pelan makannya," katanya.
Haru tersenyum. Seperti sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Januar. Ia malah terkekeh dan melanjutkan acara makannya seperti sebelumnya sementara Agni, kakinya sudah menyenggol-nyenggol kaki Endra di bawah meja, membuat Endra menatapnya berkali-kali untuk meminta penjelasan, tapi Agni tak juga menoleh ke arahnya.
Bagaimana sih?! maksud Agni apa coba? Dia mengomentari Januar yang mengelap bibir Haru atau bagaimana? Setidaknya jelaskanlah pada Endra agar ia mengerti. Agni malah sibuk menatap Januar, tersenyum kepadanya, lalu menganggukkan kepala, dan tersenyum lagi.
"Mbak Agni. Kayaknya lo harus gue ceburin ke kolam renang biar sadar," bisik Endra.
Agni melotot ke arahnya, "Apaan sih lo!" desisnya.
Apaan. Apaan. Agni ini bagaimana sih? dia benar-benar lupa niatnya mengikuti Haru apa?
Lagian, Endra juga kan sudah menghubungi Jino. Dia kemana? Kenapa tidak muncul ketika Endra membutuhkannya?!
****
Jino melirik Ragela yang masih terisak. Dia sudah terlihat lebih tenang, tangisannya juga sudah terdengar lebih pelan dan teratur dari sebelumnya. Hal itu membuat Jino agak tenang.
"Gue mau pergi," kata Jino memecah keheningan.
Ragela mengangguk. Ia juga mau pergi.
"G—gue turun di sini aja," kata Ragela.
Jino mengangguk. Pria itu membiarkan Ragela pergi dan tak mencegahnya, ia bahkan tak meminta maaf atau mencoba menenangkan Ragela—yang membuat Ragela mencelos lagi dan lagi.
Gadis itu tersenyum tipis. Ia turun dari mobil dan berdiri menunggu Jino berlalu dari hadapannya, namun sikap Jino memang sudah sedingin itu padanya. Pria itu berlalu tanpa kata. Tak mengucapkan apapun pada Ragela hingga membuatnya menghela napas berkali-kali.
Ragela merasa belum melakukan banyak hal untuk mendapatkan Jino, tapi langkahnya malah sudah terhenti seperti ini. Sisi dalam dirinya menyadarkannya dan memintanya untuk berhenti, berperang keras dengan sisi jahat dalam dirinya yang mencoba untuk mencari celah dari kejadian ini, tapi sudah berpikir selama beberapa jam, Ragela tak menemukan celah yang tepat untuknya memperbaiki semua ini.
Ya sudah. Mungkin sudah saatnya bagi Ragela untuk benar-benar sadar bahwa Jino memang bukan untuknya.
Tapi apakah Ragela benar-benar bisa melupakannya secepat ini? Sepertinya tidak mudah.
****
"Se-happy itu jadi instruktur yoga?" tanya Januar.
Haru menganggukkan kepalanya dengan antusias. Ia tersenyum manis pada Januar. Gadis itu menunjukkan ponselnya yang menampilkan chat di grup kelasnya. Ia menceritakan testimoni para membernya yang senang mengikuti kelas Haru.
Mereka sudah berada di kamar Januar. Haru duduk di atas ranjang sementara Januar duduk di lantai, sedangkan Agni dan Endra duduk di sofa dekat jendela, memandangi mereka sejak lama.
"Gue cemburu banget Ni," bisik Endra pada Agni.
Agni menghela napas, "Gue juga cemburu. Enak banget jadi Haru, udah dapet kasih sayang orangtua, punya hotel, punya Jino, sekarang dia punya Januar juga. Gila. Cara Januar merhatiin Haru tuh bener-bener bikin gue meleleh. Ya ampun, mau banget ditatap sama Januar sambil disenyumin gitu," akunya.
Endra menyikutnya, membuat Agni melirik ke arahnya dan pria itu menatap Agni dalam-dalam kemudian tersenyum, membuat Agni menatapnya dengan ngeri.
"Lo ngapain?!" tanya Agni.
Endra terkekeh, "Kan lo pengen disenyumin gitu. Ya udah nih gue senyumin."
Deg!
Mata Agni mengerjap. Ia berdehem kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain namun Endra menyikutnya lagi dan mengulangi senyumannya hingga membuat Agni terbelalak dan berteriak, "BUKAN SAMA LO!!!"
"Ssstt! Lo berisik amat!" kata Endra.
Agni terdiam sejenak untuk mencerna kenyataan. Ya Tuhan. Apa yang Agni lakukan barusan?
Gadis itu menoleh pada Haru dan Januar yang tengah menatapnya, meminta penjelasan tentang apa yang terjadi.
"Hehe. Si Endra, biasa," katanya.
Ia bangkit dari duduknya, menarik tangan Endra secara paksa agar pria itu menurut padanya.
"K—kalian ngobrol aja dulu, gue sama Endra duluan," kata Agni pada akhirnya.
Endra menarik tangannya, tidak mau mengikuti Agni namun Agni sudah lebih dulu memelototinya hingga membuat Endra menurut. Mereka keluar dari kamar dan meninggalkan Haru berdua bersama Januar.
"Ni, lo yakin Haru ditinggal?" tanya Endra.
Agni mengangguk, "Nggak apa-apa kok. Januar kayaknya nggak akan macem-macem. Lo lihat kan sebaik apa dia memperhatikan Haru?"
Pernyataan Agni mengundang tatapan tak menyangka dari Endra, "Lo kemakan buaya banget tahu nggak. Mana ada buaya mau mangsa langsung sergap? Ya di baik-baikin dulu lah Ni. Lagian lo ngapain ngajak gue keluar? Mau keluar ya keluar sendiri aja padahal. Gue kan mau selametin Runa," kata Endra.
Mendengar kalimat Endra yang terakhir membuat Agni benar-benar tertampar. Gadis itu membuang napasnya dengan kasar. Ia menatap Endra dan berkata, "Ya udah. Sana selametin Runa lo itu. Gue mau pulang!"
Menghentakkan kakinya, Agni berjalan dengan cepat meninggalkan Endra yang kini malah menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kok gue jadi ngerasa nggak enak ditinggalin Agni begini?" gumamnya.
****
Jino memarkirkan motornya dengan sembarang. Ia sengaja mengganti mobilnya dengan motor agar bisa sampai di Renova tanpa terhalang kemacetan di sore hari. Tangannya sibuk menempelkan ponsel ke telinganya, menelpon Endra berkali-kali namun pria itu tak kunjung mengangkat telponnya hingga membuat Jino menelusuri pandangannya pada setiap penjuru hotel untuk mencari keberadaan Haru.
Sebenarnya Jino tak mengerti dengan pesan yang Endra kirimkan padanya. Lagipula siapa yang mengerti dengan kata-kata 'digondol buaya'. Buaya dari mana? Memangnya Agni dan Haru sedang berkeliling di Kebun Binatang? Kan tidak.
Tapi beberapa saat kemudian Endra mengiriminya pesan lagi, pria itu bilang kalau mereka sedang berada di Renova bersama temannya Haru. Jino sendiri tidak tahu siapa teman Haru yang Endra bicarakan, tapi kemudian Endra mengirimkan foto seorang pria tengah tertawa bersama Haru, mengusap kepala Haru, kemudian tersenyum pada Haru.
Apa-apaan!
"Jino?"
Sebuah suara membuat Jino berbalik. Ia mendapati Agni keluar dari lift dan menghampirinya.
"Loh. Ni? Haru mana?" tanyanya.
Agni menghela napas, "Haru di atas sama Januar," sahutnya.
Oh. Nama pria itu Januar?
"Di atas? Di kamar?!" tanya Jino.
Agni mengangguk, "Januar nginep di sini. Tadi kita lihat-lihat kamarnya. Haru lagi asik juga barusan cerita-cerita sama dia."
Bagian Haru bercerita kepada Januar sudah tidak terdengar lagi oleh Jino karena dia sibuk memikirkan kata 'kamar' yang Agni katakan kepadanya.
"Mereka berduaan?!"
"Ada Endra kayaknya."
"KAYAKNYA? LO NGGAK YAKIN?" teriak Jino.
Agni menatapnya tak menyangka, "Ini orang-orang kenapa sih hari ini? Kok seneng banget neriakin gue," keluhnya.
Jino menghela napas, "Y—ya soalnya. Yah aku panik lah Ni. Kamu tinggalin Haru berdua aja? Sama cowok? Di kamar Hotel?"
"Nggak berdua! Ada Endra di sana. Tadi dia bilang mau selametin Haru," kata Agni.
Jino menghela napas. Ia melihat ekspresi kesal Agni. Pasti gara-gara Endra.
"Ni, sorry banget tapi aku mau ke Haru dulu," kata Jino.
Ia menepuk pundak Agni kemudian berlari, namun Jino kembali lagi untuk menanyakan letak kamar yang Januar tempati.
"901," sahut Agni.
Jino mengangguk. Ia masuk ke dalam lift dan berdiri dengan resah. Begitu pintu lift terbuka, Jino berjalan dengan cepat. Ia bertemu dengan Endra di sana, "Mau kemana lo?" tanya Jino.
Endra menghela napas, "Mau pulang ah," katanya.
"Terus Haru?"
"Kan ada lo."
"Kan gue baru dateng Ndra! Lo tinggalin Haru berdua aja? Serius?"
Endra menggaruk kepalanya, "Barusan—"
Ucapannya terpotong karena Jino sudah lebih dulu berlari dari hadapannya.
"Ya Tuhan, gue ditinggalin lagi?" gumam Endra.
****
"Agni sama Endra tuh nggak pacaran?" tanya Januar.
Haru yang tengah memakan coklat pemberian Januar menggeleng, "Agak ribet jelasinnya," jawabnya.
Januar terkekeh, "Tapi mereka cocok," katanya.
Haru mengangguk.
"Kita juga cocok," lanjut Januar.
Sekarang Haru menatap Januar tak mengerti.
"Masa kamu nggak paham?" tanya Januar.
Haru menyimpan coklatnya. Ia meraih air minum dan meneguknya sedikit. Gadis itu menatap Januar yang terhalang oleh meja di hadapannya dalam-dalam.
"Kamu kan udah punya pacar," kata Haru.
Januar tertawa, "Udah putus, Putri."
"Ya ampun. Tapi kayaknya semalem aku lihat kamu masih post foto dia deh di instagram."
Januar menganggukkan kepalanya, "Baru putus tadi pagi," sahutnya.
Haru mengerutkan kening, "Secepet itu?"
"Iya. Soalnya aku maunya sama kamu."
Mata Haru mengerjap sementara wajahnya menatap Januar tak percaya, dan ekspresi yang Haru tunjukan membuat Januar tertawa. Pria itu menjawil hidungnya dengan gemas, "Kamu tuh cantik banget Putri kalau lagi kayak begini."
Dipuji seperti itu Haru tersenyum, "Kata Papa, aku memang cantik."
"Tapi kata aku lebih cantik dari apa yang kata Papa kamu bilang," sahut Januar.
Pria itu tersenyum manis. Ia menatap Haru dalam-dalam kemudian mendekat, membuat Haru terkejut dibuatnya. Hey. Januar mau apa?
"Januar..." panggil Haru.
Januar yang sudah mendekat kepadanya menjawab Haru dengan gumaman. Matanya tak menatap Haru, namun sibuk menatap bibir pink Haru yang sejak tadi mengundang perhatiannya.
"Apa?" tanya Januar, memastikan apa yang akan Haru katakan kepadanya. Kali ini Januar meliriknya, menatap Haru dengan kilatan matanya yang berbeda, membuat Haru mulai merasa tak nyaman.
"Ki—"
Tengtong!
Suara bel kamar Januar membuat Haru terperanjat. Cepat-cepat ia berlari menuju pintu dan membukanya.
"Loh Ji—"
"KAMU NGAPAIN DI SINI BERDUAAN SAMA LAKI-LAKI?!!!"
Teriakan Jino membuat Haru terkejut luar biasa.
"Aku ketemu—"
"Semalem aku ke rumah kamu. Dengan niat pengen menyelesaikan semuanya. Aku mau kamu tahu perasaan aku, tapi kamu bilang rumah kamu kosong. MAKANYA AKU MILIH UNTUK PULANG. AKU MENAHAN DIRI SAMPE SEGITUNYA HARU. Aku pilih pulang dan menunda unek-unek aku dibandingkan harus mengungkapkan semuanya tapi hanya berduaan di rumah kamu. Aku nggak tahu setan apa yang bakalan gangguin kita. Aku jagain kamu sebegitunya. Bener-bener sesusah itu. dan sekarang kamu malah masuk sendiri ke kandang singa? Serius?!" tanya Jino.
Sebentar. Jino harus tenang dulu agar Haru bisa berbicara. Gadis itu menatapnya untuk memastikan bahwa jino bisa tenang, namun sial. Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. Haru tahu kalau Jino marah besar. Sementara Jino belum menenangkan dirinya, Januar menghampiri mereka, pria itu berdiri di belakang Haru, benar-benar menempel dengan punggung Haru.
Jino melihatnya dan ia bahkan menangkap ketidaknyamanan Haru akibat Januar yang terlalu dekat dengannya. Haru maju, namun Januar malah mendaratkan tangannya di bahu Haru, menahan Haru agar tetap di sisinya.
Mendengus, Jino meraih tangan Haru dan menariknya, "Ikut aku!" katanya.
Haru menurut, tidak ada perlawanan dari sana. Ia menoleh pada Januar untuk berpamitan dan membiarkan Jino menarik tangannya begitu saja.
"Jino," panggil Haru ketika mereka sedang menunggu lift terbuka.
Tidak ada jawaban apapun dari Jino, dan hal itu membuat Haru menggoyangkan tangannya, "Ji..." panggilnya lagi.
"Nanti. Aku takut teriak-teriak kayak barusan," sahut Jino.
Haru menelan ludahnya. Ia memilih untuk diam dan menunggu hingga Jino berhasil menenangkan dirinya.
Lift terbuka. Tangan mereka masih berpegangan. Jino menariknya pelan, menuntun Haru untuk masuk ke dalam lift yang rupanya sudah dipenuhi oleh beberapa orang. Mereka masuk dan bersandar di belakang. Haru tidak berbicara, begitupula Jino. Namun ketika Lift mulai turun, Jino mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Haru. Pria itu mengecupnya pelan kemudian berkata, "Aku takut kamu kenapa-kenapa," gumamnya.
TBC
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Sampe skrg yang cium tangan aku ponakan aku doang hiks tapi itu juga manis bangeeeeeet sampe aku suka ketawa-ketawa. Masa aku lagi berdiri yah tiba-tiba dia ambil tangan aku terus dia cium, udah gitu dia lari, mau pulang, dasar bocah.
Ponakan yang melakukan hal itu saja sudah membuatku bahagia. Apalagi anak sendiri yah.
Ya allah gemes bgt pengen punya anak tapi punya pacar juga susah yaudah mari kita punya uang aja yang masih bisa diusahain sehari hari wkwkwkwk
Sampe sini aja dulu part ini
Seperti kata aku ya haru jino ini akan mengalami pengeditan yang ekstrim sih nantinya.
Yaudah da itumah nanti. Masih lama.
Dah.
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro