Part 12 - Sebuah Pertanyaan
"Papa tuh masih nggak ngerti sama kamu yang mau cari sampingan jadi instruktur yoga. Oke. Memang sempet ikutan pelatihan sih, tapi Papa kira nggak akan seserius ini? Papa kira kamu sama Agni join buat bikin toko roti atau apapun itu? Kenapa jadi beneran ada studio yoganya?"
Haru sudah memberitahukan rencananya bersama Agni pada ayahnya sejak jauh-jauh hari, ia bahkan menyerahkan proposal bisnis untuk dipelajari oleh ayahnya—kalau-kalau ayahnya meragukan Haru, tapi respon ayahnya memang seperti apa yang ia sangka sebelumnya, pasti kebingungan dengan tujuan Haru yang tiba-tiba mengubah haluannya menjadi instruktur yoga—padahal sejak kuliah juga Haru selalu menjelaskan keinginannya yang satu ini sih.
"Papa, Yoga itu kan memusatkan seluruh pikiran supaya bisa mengendalikan panca indera. Artinya, kita itu harus berkonsentrasi penuh dan mengontrol panca indera kita supaya bisa menciptakan keselarasan Pa, keseimbangan antara jiwa, pikiran, dan tubuh. Itu kan bagus buat diri kita."
"Iya, oke, bagus buat diri kita. Tapi kan—kamu nggak harus mendedikasikan diri di dunia Yoga gitu sayang, dulu waktu kamu kecil, Papa kira kamu mau jadi penyanyi, ternyata malah kuliah jurusan kuliner. Lah tapi sekarang ... malah jadi instruktur Yoga, kan Papa jadi aneh sendiri."
"Aduh By, anak lagi makan kok diceramahin sih," Sharen memperingati. Haru tersenyum, akhirnya pembelanya datang juga.
"Abisnya Sha, aku kan cuman bingung aja. Haru udah dikasih hotel, dia bisa kerja di sana kembangin pastry nya, kok malah jadi instruktur Yoga sih?"
Justru itulah alasan utama Haru memilih menjadi instruktur Yoga. Karena ayahnya selalu membicarakan mengenai hotel miliknya dan Haru tidak suka hal itu, aneh saja kalau ia bekerja di hotel yang tiba-tiba menjadi miliknya. Lagi pula, ia tetap mengamalkan ilmu yang dia pelajari, Haru tetap akan menjadi pastry chef . Karena café milik Agni akan menyediakan berbagai macam pastry yang Haru buat. Hanya saja, terkadang jalan pikiran orangtua berbeda dengan anaknya. Haru mengerti, ayahnya ingin ia fokus dengan apa yang digelutinya, kuliah pastry, jadi seorang patissier dan mengembangkan kemampuannya untuk membuat pastry di hotelnya terkenal, mungkin memang itu visi ayahnya, yang jelas berbeda dengannya. Tapi sejujurnya, waktu Haru mengikuti pelatihan untuk instruktur yoga pun, Haru sudah memikirkannya matang-matang. Haru berpikir, kegiatan apa yang cocok untuknya selain chef pastry? Dan siapa sangka, yang Haru temukan adalah yoga.
"Yoga itu menghilangkan stress Pa, coba deh Papa yoga sana biar nggak stress mulu," sahut Hasya.
Haru tertawa, adiknya yang satu itu memang selalu bisa membuat ayahnya skak mat,seperti sekarang.
"Udah siang nih, Haru udah janjian sama Agni, mau meeting gitu deh kalau bahasa kerennya," kekeh Haru.
Reno mengusap wajahnya, "Nggak nyangka, anak Papa udah tahu meeting itu apa. Dulu biasanya duduk-duduk doang ikut dengerin," katanya.
"Yah, kan Haru udah besar Pa sekarang. Udah dong, Papa jangan cemberut. Anaknya mau merintis usaha loh Pa, dukung yuk!" pinta Haru yang akhirnya membuat ayahnya tersenyum kepadanya, "Ya udah. Suka-suka kamu aja. Kalau ada yang bikin kamu nggak paham dan kesulitan, orang pertama yang harus kamu hubungi adalah?"
"Bang Jino!" sahut Putra tiba-tiba. Ia mendapatkan serangan langsung dari ayahnya—sebuah tatapan maut.
Semua orang tertawa, tak terkecuali Haru.
"Papa dong," jawab Haru pada akhirnya—memunculkan sebuah senyuman di wajah ayahnya.
"Udah ya, Haru mau pergi dulu!"
Mencium pipi ayah dan ibunya, Haru lanjut dengan melambaikan tangan pada kedua adik kembarnya dan keluar dari rumah.
****
Haru duduk di hadapan Agni yang baru saja menutup telpon. Gadis itu terlihat berantakan, katanya semalaman kurang tidur karena sibuk membuat segala jenis konsep untuk rencana mereka. Agni akan membuat café, menunya sudah ada, tapi desain dan segala macamnya masih belum ada yang cocok untuknya.
"Desain minta bantuan tante aku aja deh Ni," sahut Haru.
"Tante Alena ya?" tanya Agni. Haru mengangguk. Walaupun sudah lama hidup sebagai ibu rumah tangga, tantenya yang satu itu masih mengerjakan desain interior kalau ada permintaan, semua desain nya juga cocok kalau Haru lihat-lihat.
"Nanti tante Icha marah nggak ya, kalau masalah marketing nya aku tanya Om Mushkin, terus masalah desain aku tanya Tante Lena. Kita kan harus meeting bareng-bareng berarti?"
Diungkit seperti itu Haru tertawa, "Tante Icha aman deh kayaknya, Om Muda yang nggak akan aman," sahutnya.
Agni menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Kalau gitu marketingnya Papa kamu aja?" tanyanya.
Haru menolak dengan keras usulan Agni, "Ujung-ujungnya Papa bakal saranin cafenya dipindah ke hotel. Nggak Ni. Aku yakin banget kalau Papa nggak akan bisa objektif," katanya.
Agni mengangguk setuju. Benar juga. Keinginan ayahnya Haru adalah Haru mengelola hotel yang sudah diwariskan kepadanya, jadi bagaimana pun juga ayahnya akan mencari kesempatan untuk mewujudkannya bukan?
"Kalau gitu kita atur meeting nya pisah-pisah deh," kata Agni pada akhirnya.
"Ngapain pisah-pisah. Kan ada aku yang bisa jadi marketing." Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Agni menoleh dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Muak dengan Endra yang tiba-tiba datang dan bergabung dengan mereka sementara Haru menggelengkan kepala. Dasar Endra.
"Aku punya sertifikasi social digital marketing loh Agni. Punya sertifikat resminya," ucap Endra.
Agni mencibir. Ia tahu selicik apa Khailendra. Pria itu pasti sudah mendengar kalau Agni dan Haru selalu membicarakan tentang 'usaha mereka' lewat telpon sewaktu Haru masih di Malaysia dan ia pasti sengaja mengambil sertifikasi itu untuk mendekati Haru kan?
"Udah paling bener lo jadi pengacara aja sana! Kuliah lagi yang bener!" pinta Agni.
Endra menjulurkan lidahnya, meledek Agni,"Ngomong ama kaca Ni! Lo juga bukannya jadi pengacara, malah mau buka café. Sama apa? Studio foto? Padahal motret juga baru hobi kan? Gaya banget mau jadi fotografer utama."
Bugh! Bantal sofa yang berada di dekatnya meluncur tepat di kepala Endra.
"Enak aja lo bilang! Siapa juga yang mau jadi fotografer ha?! Orang Kak Satya kok yang jadi fotografer. Dia katanya mau bikin studio, ya udah gue tawarin aja ke dia. Ribet banget lo jadi orang."
Satya? Endra mengerutkan keningnya. Ah! Ya. Ia baru ingat. Kalau tidak salah Satya-satya itu yang selalu jadi bagian dokumentasi di kegiatan himpunan mereka, dia sudah alumni sih tetapi masih aktif, katanya selalu hadir untuk menambah portofolio fotonya. Tidak tahu juga kenal dengan Agni dari mana. Oh, sepertinya sih Agni suka pada Satya, pikirnya.
"Bagus dong, lo sama Satya, gue sama Runa," kekeh Endra.
Agni mendesis, tak suka. Sementara Haru menggeleng, "Aku nggak mau Endra," katanya dengan senyuman yang sangat manis—terlalu manis untuk dijadikan sebuah penolakan.
*****
Jino tersenyum melihat isi chat Haru yang mengabarkan kegiatannya pada Jino hari ini. Sama seperti Haru yang sedang bersiap-siap, Jino juga melakukan hal serupa. Besok dia sudah mulai menjadi Koas dan Jino sudah dapat dua orang pasien yang ia dapatkan dengan susah payah—semoga saja lancar. Pasiennya tidak berubah pikiran dan jadwal dosennya pas. Semoga persiapannya tidak sia-sia Tuhan.
"Byan, kamu udah dapet pasien?"
Menoleh, Jino mendapati teman sekampusnya menghampirinya dan menyerahkan satu botol minuman kepadanya. Dia mengambilnya dan menegaknya perlahan.
"Udah. Besok udah bisa mulai, bareng sama yang lain."
"Mantep banget! Aku besok ikut ya! Please! Mau lihat kamu jadi Koas di hari pertama," pintanya.
Jino mengerutkan keningnya, "Kamu bukannya ambil jadwal rabu?"
"Iya. Tapi nggak apa-apa, aku dateng ya besok. Mau lihat kamu."
"Ya, terserah sih Ra," kata Jino yang dijawab oleh teriakan penuh antusias oleh Rara.
"BTW. Hari ini kamu pulang sendiri? Aku boleh nebeng nggak?" pintanya kemudian. Jino melirik ponselnya, ia sudah berjanji akan menjemput Haru tadi.
"Sorry, aku udah ada janji," tolaknya pada akhirnya.
Jino menyimpan botol minumnya kemudian bangkit dari duduknya. Pria itu berkata, "Makasih ya Ra, minumannya."
Kemudian ia pergi tanpa menoleh sama sekali, meninggalkan Rara yang kini menatapnya dengan pedih.
"Ya ampun Ra, Ra. Mau sampe kapan sih lo?" sahut seseorang yang berada di sana.
****
Endra sudah duduk di tempat yang sama selama satu jam penuh, mengamati Haru yang sejak tadi sibuk berdiskusi dengan Agni. Sebenarnya kehadirannya di sini tak diinginkan sih, terbukti dengan jauhnya jarak mereka dan dinginnya suasana diantara mereka. Hanya Agni saja yang diberikan kehangatan oleh Haru melalui obrolannya, Endra tidak. Tapi, yah tidak apa-apa sih. Namanya juga usaha.
"BTW nih ya, BTW. Aku boleh nanya nggak Runa?" tanya Endra—memecahkan keheningan diantara dirinya dan seluruh ruangan.
"Nggak," jawab Haru dengan halus. Wow! Haru ini benar-benar luar biasa. Dia selalu konsisten. Bahkan jawabannya pada Endra masih sama walaupun beberapa tahun sudah berlalu.
"Ya nggak apa-apa aku nggak akan minta izin, mau langsung nanya aja," timpal Endra.
Haru tak menghiraukannya, begitu pula Agni.
"Ini pertanyaan penting sih..." Endra sengaja menggantungkan ucapannya. Ia menatap Agni dan Haru yang masih sibuk kemudian menganggukkan kepala, seolah mendapatkan kesimpulan atas pertanyaan yang bahkan belum ia ajukan.
"Runa, kamu nggak punya pacar di Malaysia?"
Gerakan tangan Haru yang sedang menulis dengan pulpennya terhenti begitu mendengar ucapan Endra. Gadis itu menatap Endra. Ini kali pertama seseorang menanyakan hal ini kepadanya. Pacar? Orang Malaysia?
"Pasti pernah punya dong. Masa sih cewek secantik kamu nggak ada yang mau? Minimal ngeceng lah. Pasti ada yang deketin kamu kan?" desak Endra.
Haru memiringkan kepalanya untuk berpikir dalam-dalam, mengingat empat tahun waktunya di Malaysia.
Menggelengkan kepalanya, Haru menatap Endra dan berkata, "Aku sibuk belajar."
"Bhah. Masa iya?"
"Serius!" kata Haru. Ia menyimpan pulpennya, kini posisi duduknya lebih santai. Ia bahkan menghadap ke arah Endra—membuat Endra tersenyum dengan senang sementara Agni yang memperhatikannya mencibir ke arahnya.
"Aku ngejar Sembilan bulan buat belajar dan praktek. Kalau ada free time aku pake buat yoga atau olahraga lain sih, kadang liburan sama siapapun yang nengok aku ke Malay. Abis itu aku lanjut S1, sambil seriusin yoga. Supaya dapet sertifikat instruktur, aku ngejar 500 jam praktek. Sibuk banget, ketemu temen-temen kampus juga ya kalau ada waktu aja," sambungnya.
Endra menggelengkan kepalanya, tak menyangka dengan apa yang didengarnya barusan. Tapi omong-omong, Haru tak sedikitpun membahas tentang Jino. Maksudnya begini, kalau Haru tidak berpacaran dengan orang Malaysia atau teman kampusnya, Haru kan bisa menjawab kalau ia bersama Jino. Benar kan? Tapi kenyataannya... Haru tidak menjawab apa-apa. Itu berarti...
Endra tak bisa menahan senyumnya hingga Agni yang memperhatikannya melempar bantal ke arahnya, "Ngapain lo senyam-senyum! Sampe kiamat juga lo nggak akan punya kesempatan!" hardiknya.
Endra menatapnya penuh perhitungan sementara Haru malah tersenyum memperhatikan mereka.
"Tapi BTW lagi nih," kata Endra. Kembali menggantungkan ucapannya.
"Si Jino nggak punya pacar emangnya?"
Pertanyaan dari Endra menciptakan keheningan yang luar biasa diantara mereka. Agni sibuk melotot ke arahnya sementara Haru... gadis itu terdiam. Ia terlihat tengah memikirkan sesuatu. Dengan serius.
TBC
SI ENDRA NAMBAH NAMBAHIN BEBAN PIKIRAN AJA WKWKWKWKWKWK
Rara. Nama panjangnya RARATEUL WKWKWKWKWK (ararateul Bahasa sunda dari gatel)
Promosi ah sekali lagi yang mau baca cerita baru aku, udah banyak part nya. judulnya pernikahan impian :) wkwkwkwkwkwkwk geuleuh bgt emang judulnya.
Btw ini ngakak banget tahu part ini. Jadi aku udah ngetik kan ya part 12, terus aku langsung ngetik juga part 13, nah aku ngetiknya di file yang sama. Part 13 udah beres, aku baru ngeh lah jangan jangan sebelumnya aku save, bukan save as. PANIK DONG. Akhirnya aku cek si file aku yang part 12 YA ALLAH BENERAN GA ADA. KEHAPUS GARA-GARA AKU SAVE. Gila, udah mikir. Males bgt kalau harus ngetik ulang. Panik panik pokoknya. Untungnya aku bisa mikir cepet sih kemarin, aku cek history undo... ALHAMDULILLAH YA ALLAH MASIH ADA. NANGIS WKWKWKWKWKWKWK
Nih file nya sampe aku save ulang, takut bgt ilang wkwkwkwk
Trauma sama kehilangan file yang sebelumnya sampe bertahun tahun hahahahaha
Karena udah ada yaudah aku post hari ini, biar cepet tamat (lah)
Part 13 nya juga udah ada. Akan aku post besok.
Part 14 masih setengahnya, belom aku beresin karena hari ini aku mau ke rumah sakit. Mamaku sakit, mau kontrol. Do'ain ya ders semoga mamaku cepet sembuh :) gak parah sih, berobat jalan, tapi kan lebih bagus kalau sehat yaaa.
Oke segitu aja.
Dah.
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro