Part 1 - Begin
Every day every night everywhere
Now our contact increases
Now, you and I begin
(TVXQ - Begin)
-
"Papa Reno! Assalamualaikum..."
Reno mendelik tajam pada anak kelas 3 SMA yang tinggal menunggu hari kelulusannya masuk ke rumah dan duduk begitu saja di kursi meja makannya.
"Waalaikumsalam... Jino, udah makan belum?" tanya Sharen.
Reno beralih, mendelik pada istrinya yang malah menjawab salam Jino dan menawari anak itu makan.
"Udah dong mama Sha..."
Setelah papa Reno, sekarang mama Sha, pagi Reno tak pernah damai lagi sejak anak ini mendatangi rumahnya beberapa tahun terakhir. Tidak, sepertinya setiap hari dalam sepanjang tahun. Menyebalkan!
"Haruku mana mama Sha?" tanya Jino lagi.
Sekali lagi Reno mendelik tajam padanya. "Haruna! Bukan Haruku! Enak aja kamu. Rusak nama anak orang aja, nggak tahu apa saya kasih nama dia pake do'a?" protes Reno.
Jino tidak menjawabnya, malah tersenyum seraya menunjukkan gigi-giginya—yang sialnya rapi sekali—padahal dulu Jino ompong. Reno tidak menyangka ompong membuat anak itu menjadi tampan di masa remajanya.
"Jino! Udah dateng lagi?" dan suara riang milik Haru yang kini tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik meramaikan ruang tamu.
"Kak Haru! tungguin Hasya ih! Jahaaat! Kok Hasya ditinggalin, ini kuncirannya lepasin!" ada Hasya yang mengejar-ngejarnya di belakang sementara Putra berjalan dengan santai menuju kursi dan duduk di samping Jino, "Haloo bang Jino!" sapanya.
"Halo Putra bangsa!"
Nah, ini nih ... satu lagi hal yang membuat Reno ingin menendang Jino sampai ke Madura. Setelah nama anak pertamanya diganti menjadi Haruku, nama anak laki-lakinya juga dia ganti menjadi Putra Bangsa. Sejak kapan Reno mendirikan sekolah di rumahnya?
"Sekali lagi kamu ganti nama anak saya, saya botakin kepala kamu."
"Papa Reno jahat ah sama Jino."
"Dih! Anak iniiiii!!!"
"Eh, kok malah ribut-ribut sih. Udah ah, sini sarapan dulu." Sharen menengahi keributan kecil itu sementara Haru mencium pipi ayahnya, "Haru sarapan di luar ya pa? udah janji mau makan bubur sama Jino."
Aish! Jino saja terus! Lama-lama Reno kirim juga si Jino ini ke Mars.
"Kamu! Punya rumah kan? sarapan di rumah dong! Jangan bawa-bawa anak orang sarapan di luar," tunjuk Reno pada Jino. Haru tertawa bersama Sharen sementara Jino malah terkekeh, "Papa Reno... papa Reno juga pasti gitu dulu sama mama Sha, iya nggak mama Sha?"
"Iya Jino!"
Lah, istrinya malah menyetujui ucapan Jino.
"Sha... kamu kok—"
"Udah lah by! Haru mau sarapan di luar, nggak apa-apa kok."
"Nggak apa-apa gimana sih Sha? Lagian mereka ngapain sih masih masuk sekolah? Kan tinggal nunggu kelulusan. Kamu nih Jino, bilang aja pengen ajak Haru keluar terus."
Haru tersenyum lagi, "Papa ih kebiasaan, suudzon terus sama Jino."
Jino menganggukkan kepalanya dengan ekspresinya yang seolah-olah ia sangat sedih dan Reno benar-benar muak karenanya.
Lama-lama ia pasang inframerah juga di tubuh Haru, supaya jika Jino mendekati Haru, anak itu akan tersetrum, sampai gosong kalau perlu. Nah, itu juga kalau bisa, masalahnya kan nggak bisa!
"Ya udah berangkat gih. Jangan banyak makan pedes ya sayang?" ucap Sharen, Haru menganggukkan kepalanya.
"Siap mama!"
Haru berjalan menuju Sharen dan mencium pipinya, kemudian Reno, dan kedua adiknya setelah itu ia berpamitan untuk berangkat ke sekolah.
"Dah papa Reno!" Ucap Jino lagi. Membuat Reno meraih apel dan siap-siap untuk melemparinya. Untung saja Haru segera mendorongnya dan membawanya keluar.
"Jino! Suka gitu, kasian papa... kamu jailin terus."
Jino tertawa, "Abisnya asik, godain papa kamu."
"Papa ngamuk baru tahu rasa loh!"
"Tapi, selama sebelas tahun kita kenal, belum pernah tuh papa kamu ngamuk sama aku."
"Mungkin belum, papa aku kalau ngamuk serem tahu.."
Seraya berbicara, mereka berjalan dan masuk ke dalam mobil Haru.
Bukan Jino yang mengantar Haru ke sekolah, tapi Haru yang memberikan tumpangan untuk Jino. Hanya saja, Jino yang menyetir. Karena Haru tidak diperbolehkan menyetir sementara kado ulang tahunnya yang ke 17 adalah sebuah mobil. Jadi, entah siapa yang keliru di sini.
Mereka sampai di tukang bubur tujuan mereka, sementara jam masih menunjukkan pukul 07.05 pagi, jam sekolah bebas, mereka bisa datang terlambat karena sebenarnya memang mereka tidak mempunyai kegiatan belajar apapun di sekolah.
"Mang! Yang biasa ya!" seru Jino.
Keduanya mengambil tempat paling pojok, tempat favorit mereka. Haru duduk di kursi, sementara Jino duduk nongkrong di trotoar jalan, menurut Jino... posisi duduk itu adalah posisi ternikmat yang pernah ada, sementara Haru yang 'wanita' sekali, lebih memilih duduk di kursi dan membiarkan Jino di sebelahnya.
Ada dua jenis manusia ketika mereka memakan bubur. Satu; orang yang mengaduk buburnya hingga menjadi satu. Dua; orang yang sangat menghargai keselarasan sebuah susunan bubur dan memakan bubur tanpa mengaduknya. Haru orang yang pertama, sementara Jino kedua.
Menurut Jino, memakan bubur itu akan terasa lebih enak kalau tidak mengaduknya, karena saat kita memakannya, kita akan merasakan cakwe, bawang, kacang, seledri, dan suir ayam tanpa mengganggu rasa masing-masing. Sementara kalau diaduk, rasanya sudah tidak bisa dijelaskan lagi.
Haru memberikan kerupuknya pada Jino sementara Jino memberikan ayamnya pada Haru. Haru tidak suka kerupuk, karena katanya kerupuk itu tidak jelas terasa di perut, sementara Jino tidak suka ayam karena ia memang alergi ayam.
"Ji, cepet makanya ya? kayaknya Agni minta dijemput deh, dia chat aku nih...."
Haru sibuk dengan ponselnya sementara Jino mengerucutkan bibirnya, "Kamu kok selalu mau sih kalau si Agni minta jemput? Jauh tahu Haruku... harus muter balik kita."
"Abisnya, dia nggak ada yang anter."
"Naik ojek bisa kali."
"Kamu juga naik ojek aja besok kalau kamu nggak mau jemput Agni."
Jino menghentikan acara makannya, "Jahat ya si sayang ini... kalau aku naik ojek, kamu pergi sama siapa? Bisa gitu bawa mobil sendiri?"
Haru terkekeh, "Naik ojek juga, bareng kamu... kan kamu tukang ojeknya Ji."
Jino tertawa, ia mencubit pipi Haru dengan gemas, "Dah, abisin dulu bubur kamu yang nggak jelas rasanya itu!"
*****
Selera musik Jino adalah selera seorang anak laki-laki yang paling aneh menurut Haru. karena untuk anak seusianya, Jino lebih suka memutarkan sebuah instrumen untuk mereka dengarkan di dalam mobil. Jino tidak suka musik-musik band Indie atau Rock, lebih suka instrumental dari beberapa lagu yang terasa seperti musik karaoke untuk Haru karena Haru akan mengisi instrumen itu dengan suaranya.
Ketika Haru bertanya kenapa Jino suka instrumennya saja, Jino malah menjawab, "Kan ada kamu yang bisa nyanyiin buat aku. Aku cukup siapin musik, kamu siapin suara. Nyanyi deh!"
Apa banget, kan?
"Nggak mau nyanyi?" Jino menoleh ke arahnya ketika intro musik berakhir dan Haru tak juga bernyanyi.
"Nggak mau, suaranya lagi nggak enak."
"Buat aku, suara si sayang ini paling enak tahu."
"Bubur kali ya, Ji. Enak."
"Bubur enak, tapi senyuman kamu lebih enak, Haru."
Idih, mulai lagi si Jino ini. Haru tertawa, "Coba bilang begitu di depan papa aku, Ji. Abis kamu."
"Sudah bisa dipastikan, papa kamu bakal lempar aku panci sambil teriak 'Kamu pikir anak saya makanan apa? susah-susah besarin dia, kamu bilang enak, kayak makanan aja!'"
Keduanya tertawa membayangkan ekspresi Reno dan suara ketusnya untuk Jino hingga mereka akhirnya sampai di rumah Agni.
Jino membunyikan klakson dan sosok Agni yang masih memakai rol rambut di poninya berlari dan masuk ke dalam mobil, menggerutu hal ini dan itu, berbicara panjang lebar mengenai rambutnya yang bagus sebelah dan susah sekali diatur.
"Makanya, Ni. Punya rambut nggak usah di macem-macemin. Nih, kayak Haruku... rambutnya diurai aja, cantik."
Suara Jino membuat Haru tertawa sementara Agni memutar matanya, "Harumu itu memang udah dari sananya cantik Nonoo..."
"Kamu juga kan cantik Agni."
"Iya, cantik. Tapi nggak secantik kamu. Udah, deh. Jalan sekarang bisa?"
Meskipun kesal dengan perintah Agni, Jino tetap mengemudikan mobil dan membawa mereka bertiga ke sekolah. Sepanjang perjalanan, Haru dan Jino sibuk tertawa dan bercerita ini itu dengan Agni yang hanya menimpali mereka sesekali.
Kalau sudah begini, setiap paginya memang Agni seperti naik ambulance yang memisahkan pengemudi dan penumpangnya. Tapi sebenarnya yang paling menyebalkan adalah, Agni selalu merasa bahwa ia bagaikan pengharum mobil di dalam mobilnya Haru. Pedih, Tuhan...
*****
Jino duduk di samping Haru, meletakkan kepalanya di atas meja—mengikuti Haru sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Haru yang mengerucutkan bibirnya sementara Jino tersenyum dengan sangat lebar.
"Hai."
"Hai... makan Ji?"
"Nggak ah, liat si sayang juga udah kenyang."
"Hmmm..."
"Kamu nggak makan?"
"Nggak mau...."
"Kenapa?"
Haru kembali mengerucutkan bibirnya, "Perut aku sakit," keluhnya. Tangannya meremas perutnya dengan keras sementara Jino menghela napasnya. Pasti Haru sedang kedatangan tamu bulanannya, karena Haru selalu kesakitan setiap bulannya. Dua tahun yang lalu ketika mereka baru masuk SMA dan sedang menjalani masa orientasi, Haru sempat pingsan karena tamu bulanannya, dan Jino ingat betapa paniknya dia kala itu.
"Si bulan nggak pernah bisa woles gitu ya kalau bertamu ke kamu? Emang dasar ya, dimana–mana tamu itu nyebelin. Tamu kan dalam bahasa sunda itu semah, nah semah itu ngahesekeun anu boga imah, yaitu nyusahin yang punya rumah. Iya nggak Haru?"
Haru hanya tersenyum, iyakan saja ucapan Jino, nanti juga berhenti.
"Mau pulang sekarang nggak? Kan kita bebas," kekeh Jino.
Haru menjitak kepalanya, "Mau kamu Ji, kita pulang sekarang. Nanti aja sih, Agni kan masih bantuin guru di kantor, masa dia kita tinggalin."
"Dia bisa pulang sendiri, dari pada kamu di sini sakit gitu, mau nunggu pingsan dulu baru pulang? Terus kalau kamu pingsan, nanti papa kamu ngamuk, dan teriak-teriak 'JINO! KAMU APAIN ANAK SAYA SAMPE PINGSAN BEGITU?'"
Mendengar cara Jino mencontohkan ayahnya membuat Haru tertawa dengan keras. Sejak dulu memang ayahnya dan Jino itu seperti air dan minyak, tidak pernah bisa bersatu. Ayahnya yang menurut ibunya adalah seorang pengidap Daughter complex sementara Jino, menurut Agni seorang Haru complex. Padahal mereka cocok, tapi malah tidak akur ... dasar.
"Ji, mau jalan-jalan ..."
Mata Jino melebar, "Nonton ... atau Karaoke?"
"Nonton," kekeh Haru.
Jino terkekeh, "Berdua aja ya?"
Haru hendak mengerucutkan bibirnya, tapi kemudian ia malah tersenyum, "Oke, berdua."
TBC
Bismillahirrohmanirrohim....
HAHAHAHAHAHAHAHAHA
Aku sadar sih ya nimbun cerita lama-lama nggak baik, malah ga lancar nanti idenya. Lagian biasanya aku riset sambil jalan sih, ini mah aku malah ga riset2 wkwkwk
Lagian biasanya juga tanpa rencana, nggak tahu kenapa yang ini pengen dirancang sedemikian rupa aja hahahaaha
Kita coba liat ya, kemana dibawanya cerita ini :D
Agak degdegan sih soalnya cerita ini paling di antisipasi gitu sama kalian hahaha
Semoga seperti cerita emak bapaknya ya, disukai wkwkwk aamiin.
Semoga menikmati sayang-sayangkuuu :*
TADINYA AKU MAU NGETIK LANGSUNG BANYAK, TAPI AKU BUTUH KOMENTAR KALIAN WKWKWK
Okeydeh buat pengenalan segini dulu aja...
Haru sudah besar ya, berarti papa Reno sudah tua :""))
Covernya aku suka tau wkwk makasih faridhafar sayangkuuh :*
Daah ...
Sampai jumpa di part duanya ya :D
Dara dira masih mentok akunya wkwkwk
Yaudin...
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro