77. Dua Perasaan Yang Sama
Ketika Tama melajukan mobilnya untuk meninggalkan pelataran villa itu, hampir semua orang melihat kepergian mereka di ambang pintu. Membuat bisik-bisik terdengar.
"Ya nggak salah Tama juga sih sebenarnya. Kalau ada apa-apa sama Eshika ya otomatis yang dicari duluan ya dia."
"Tapi, kan kita sama nggak tau kalau Eshika segitunya nggak bisa berenang."
Dan mendengar itu, Velly memutar tubuhnya. Tangannya bersidekap ketika berbicara dengan suara yang cukup lantang untuk ukuran cewek semungil dirinya.
"Ya ... ada gitu loh yang ngakunya suka sama Eshika, tapi hal semacam apa yang nggak bisa Eshika lakukan aja nggak tau. Herman deh. Selama ini suka yang diperhatiin apa? Jumlah jerawat di muka dia?"
Perkataan Velly membuat wajah Alex merah padam. Oh, jelas sekali dong cewek itu tengah menyindir dirinya.
"Vel ...," lirih Bima lelah. Terlihat sekali kejadian itu membuat ketua kelas itu menjadi frustrasi. "Udah dong. Kan nggak sengaja."
Velly mendelik. "Iya. Ntar kalau ditanyain Malaikat pas di kubur, bilang aja nggak sengaja," rutuk gadis itu. "Yang rencananya mau happy-happy, malah hampir ngebuat Eshika mati."
Mungkin Velly akan terus mengoceh panjang lebar, bagaimana pun juga wanita memang lebih emosional. Ingatan Eshika yang tak bernapas beberapa saat tadi masih membayang-bayang di benak Velly. Membuat ia ketakutan. Lalu, ia merasakan tangannya di genggam seseorang.
Reki menariknya.
"Kita jalan aja yuk? Nyari makan di luar."
Velly mengerjap. Tak bisa menolak ketika Reki benar-benar mengajak dirinya pergi dari sana.
*
Tama nyaris frustrasi ketika membawa mobilnya menyusuri jalan. Padat dan ia pun baru teringat bahwa libur hari terjepit itu membuat beberapa hotel dan penginapan menjadi penuh. Di sebelah, ia melihat Eshika yang tampak tidur-tidur ayam. Terlihat begitu lelah.
Lalu mata Tama menangkap ada satu hotel di ujung jalan. Membelokkan mobilnya, Tama berdoa di dalam hati agar masih ada kamar untuk mereka menginap. Setidaknya untuk malam itu.
Tama mengusap rambut Eshika. Membuat gadis itu membuka matanya. Menatap Tama dengan sayu.
"Aku lihat ke dalam bentar. Mudah-mudahan aja masih ada kamar," kata Tama.
Eshika tak membalas perkataan Tama, melainkan hanya mengangguk pelan.
Tak membuang waktu lebih lama lagi, Tama bergegas membuka sabuk pengamannya dan keluar. Setengah berlari, ia masuk. Membalas sekilas senyum satpam yang dengan sopan mempersilakannya untuk masuk. Ia melangkah langsung menuju ke resepsionis.
"Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Tama langsung bertanya. "Ada kamar kosong, Mas? Dua."
Resepsionis dengan papan nama kecil di baju seragamnya yang tertulis Faisal itu tersenyum. "Sebentar, Pak, saya cek dulu."
Tama mengangguk. Berharap dengan cemas.
Lalu Faisal mengangkat wajahnya. "Yang kosong tinggal satu kamar lagi, Pak. Dan itu pun sebenarnya cancel-an dari Traveloka. Gimana, Pak? Mau?"
"Tipe apa ya, Mas? Twin room?"
"Maaf, Pak. Ini double room."
Tama sedikit merenung.
Tipe yang nyaris sama secara harfiah, tapi tentu saja sangat berbeda kenyataannya. Membuat cowok itu meneguk ludah.
Tama mengangkat tangannya. "Sebentar ya, Mas. Saya tanyain dulu ke teman saya."
Adrian mengangguk ramah.
Sejurus kemudian Tama langsung melesat keluar.
Sial deh.
Hari gini emang sulit banget nyari hotel.
Akhir pekan, libur panjang, nyari hotel di Puncak?
Kenapa aku nggak sekalian nyari jarum di tumpukan jerami aja?
Tama menarik napas dalam-dalam.
Ya aku tau sih aku sama Eshika udah sering tidur bareng. Tapi, masalahnya kini itu di hotel. Ya ampun. Suasananya aja udah beda gini. Kalau mendadak aku hilang akal gimana coba? Lagipula, di hotel itu artinya cuma ada satu kamar mandi dan ....
Argh!
Tama mengetuk kaca pintu mobil di mana Eshika duduk. Membuat gadis itu menurunkan kacanya.
"Kenapa, Tam?"
Tama terlihat bingung ketika menjawab. "Di dalam ada kamar."
"Untung deh."
"Tapi, cuma satu kamar," lanjut Tama cepat. "Dan itu juga double room. Twin-nya kosong."
Mata Eshika mengerjap-ngerjap. "Oke. Aku nggak apa-apa."
Tama melotot. "Nggak apa-apa?"
"Lagian kita kan udah sering bobok bareng, Tam," lirih Eshika. "Aku ngantuk banget."
Glek.
Di detik selanjutnya, Tama justru tak mampu berkata apa-apa ketika melihat Eshika membuka pintu mobil. Sedikit memperbaiki letak ransel kecil yang ia peluk di depan perut, ia turun.
Tama terbengong. Melihat Eshika yang sudah duluan melangkah masuk ke dalam hotel. Lalu ia dengan segera menaikkan kaca mobil. Mengeluarkan travel bag mereka berdua dan tak lupa mengunci mobil sebelum masuk lagi ke hotel.
Di dalam Eshika sudah duduk dengan nyaman di satu sofa. Tapi, ketika ia melihat Tama melangkah mendekati resepsionis, gadis itu pun bangkit. Mengikuti Tama.
"Saya jadi pesan kamar tadi, Mas."
Faisal tampak melirik sekilas ke Tama dan Eshika. Dan kemudian melayani pesanan itu.
Ketika Tama mengeluarkan dompet dari dalam tas kecilnya, ia terlihat mengambil satu buku juga. Cowok itu menyerahkan KTP dan buku nikahnya.
Faisal tampak terkejut ketika membuka buku nikah itu. Terutama ketika tanpa dikira oleh dua cowok itu, Eshika juga menyerahkan buku nikahnya.
"Kami sudah nikah, Mas," jelas Eshika.
Faisal tersenyum. "Oh, sebenarnya nggak apa-apa sih, Bu. Di sini juga nggak mengharuskan ada buku nikah sih sebenarnya."
Tapi, Eshika dan Tama sama-sama tak ada yang mengomentari hal tersebut. Mereka hanya melihat Faisal yang melayani pemesanan mereka.
Tama melakukan pembayaran dengan satu debitnya. Dan tak lama kemudian Adrian tampak menyerahkan kartu kunci kamar mereka beserta KTP dan buku nikah keduanya.
"Kamar 709. Silakan naik lift ke lantai 7, Pak," terang Faisal ramah.
Eshika mengambil kunci itu. "Terima kasih."
"Terima kasih kembali dan selamat beristirahat."
Tama mengekori langkah Eshika. Dan mereka pun menuju ke lantai di mana ruangan mereka berada.
Diam-diam, selama perjalanan itu Tama sering kali meneguk ludahnya. Entah mengapa aura di hotel benar-benar membuat ia meremang.
Ini berasa aku kayak lagi ngapain coba. Di hotel berduaan dengan cewek.
Glek.
Seumur hidup juga aku nggak kepikiran bakal bawa cewek ke hotel di saat masih berumur delapan belas tahun.
Tama nyaris menabrak Eshika yang kemudian menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh. Ternyata mereka telah sampai di kamar mereka.
Eshika menempelkan sejenak kartu kunci di indikator dan menunggu hingga alat itu mengedipkan lampu bewarna hijau. Gadis itu mendorong pintu. Masuk.
Beberapa langkah memasuki kamar itu, Eshika membeku. Ketika Tama menghampirinya, cowok itu mengerti jelas mengapa Eshika seperti itu. Di sisi mereka, tersedia satu kamar mandi yang membuat darah menjadi berdesir seketika. Nyaris tak ada yang ditutupi oleh kaca transparan itu. Hanya ada sedikit kaca buram yang menutupi sebagian permukaan di pertengahannya. Seakan diciptakan hanya untuk menutupi privasi dadá hingga lutut.
Tama meneguk ludah.
Ini beneran ide buruk.
Ya ampun.
Berusaha mencairkan suasana, Tama menyeret travel bag itu dan lantas duduk di tepi tempat tidur. Ia meneliti keadaan lainnya.
Oke. Satu tempat tidur ukuran besar. Ini aman. Toh ia dan Eshika bisa saling tidur di tepi yang berbeda.
Astaga.
Yang kayak aku dan Eshika nggak pernah tidur di kasur yang sama aja.
Selanjutnya ada satu meja dengan dua kursi. Untuk makan, sarapan, atau sekadar menikmati pemandangan kelap-kelip di luar sana.
Televisi layar datar, satu kulkas mini, teko listrik, lemari pakaian dan yah AC.
Tama segera meraih remot AC tersebut. Menaikkan suhunya. Ia menoleh ke Eshika. Berusaha untuk memasang tampak sok polos.
Ya ampun.
Ini kenapa ia jadi teringat dengan isi chat di grup ya?
Tampang alim menipu.
"Esh .... Kamu nggak capek berdiri gitu?" tanya Tama. "Duduk. Kan ini juga bukan pertama kalinya kita bareng di kamar."
Kali ini Eshika yang meneguk ludah kuat-kuat.
Ya kali, Tam.
Aku tau kita udah sering di kamar berduaan. Tapi, ini bukan kamar rumah. Melainkan kamar hotel.
Dan kamu nggak tau?
Jantung aku udah nggak karuan rasanya.
Tapi, gadis itu mencoba untuk menguatkan hatinya. Ia melangkah. Mendekati Tama dan duduk di tepi tempat tidur juga.
Ketika ia duduk, Tama menempelkan telapak tangannya di dahi gadis itu. Meraba dan merasakan sejenak suhu tubuh gadis itu.
"Kamu nggak deman," lirih Tama. "Syukurlah."
Eshika menggeleng. "Makasih, Tam. Tadi udah nolongin aku."
"Apaan sih," kata Tama salah tingkah.
Eshika menarik napas. Tersenyum samar. Dan itu membuat Tama merasa perutnya terasa seperti bergejolak. Bagai ada sepasang tangan yang meninju dari dalam sana.
Ugh.
Tama bangkit.
"Kamu mau makan apa, Esh?" tanya Tama. Ia melihat jam tangan. Sudah hampir sembilan malam. "Aku nggak tau resto hotel masih buka atau nggak."
"Kayaknya aku mau yang hangat-hangat deh, Tam."
Mata Tama mengerjap. "Kamu nggak mau bara api kan?"
Eshika tertawa.
Sejurus kemudian Tama berdiri. "Aku coba keliling bentar deh ya. Nyari makan dan minum. Kamu istirahat aja dulu sini."
"Oke."
Dan ketika dilihatnya Tama bersiap keluar, terdengar cewek itu berseru.
"Jangan lama-lama ya, Tam."
Tama tersenyum. "Bentar kok."
Eshika mengembuskan napas panjang ketika pintu itu tertutup. Gadis itu sejenak berlari ke pintu. Melihat melalui lubang kecil dan menyadari bahwa Tama telah pergi. Membuat ia bergegas meraih travel bag miliknya.
Aku kan nggak mungkin ganti baju pas ada Tama, pikirnya seraya mengeluarkan satu piyama lengan panjang.
Bagaimana pun juga, saat itu Eshika mengenakan celana jeans. Tentu tidak nyaman bila harus tidur dengan menggunakan celan ketat seperti itu. Maka memanfaatkan ketiadaan Tama, Eshika mengganti pakaiannya. Lalu menggantung celana dan kaos yang ia kenakan tadi di lemari pakaian yang tersedia.
Eshika beranjak ke cermin. Menyisir rambut sepunggungnya yang masih terasa lembab. Sekilas gadis itu melihat ke AC yang menyala. Merasa beruntung bahwa udara menjadi lebih hangat karena benda itu. Namun, Eshika tetap mengenakan jaketnya.
Gadis itu selanjutnya memilih bersembunyi di balik selimut, menyalakan televisi, namun justru berselancar di ponselnya. Ada beberapa pesan dari Velly yang menanyakan keadaannya. Dan Eshika menjawab seadanya. Keadaannya baik-baik saja. Setelah itu Eshika segera keluar dari aplikasi Whatsapp. Mengabaikan pesan yang masuk. Karena ternyata Eshika masih sedikit syok karena kejadian tadi.
Eshika nyaris tertidur ketika kemudian ia mendengar ketukan halus di pintu. Mengecek sebentar dari lubang pintu, ia mendapati Tama yang telah pulang. Ia segera membuka pintu.
Tama masuk. Sedetik tertegun melihat Eshika yang sudah berganti pakaian. Namun, ia memaksa kakinya untuk tetap melangkah.
Cowok itu menarik napas panjang-panjang. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Eshika melihat beberapa kantong plastik yang Tama letakkan di atas meja. Ada beberapa jajanan dan makanan berat. Serta setidaknya empat botol air minum.
"Ini apa?" tanya Eshika seraya meraih satu kantong plastik yang membuat ia mengernyit. Mengeluarkan isinya. "Mangkok?"
Tama tergelak. "Esh. Ternyata untuk resto hotel itu udah tutup pemesanan, jadi kan aku belanja keluar. Gimana kita mau makan yang hangat-hangat kalau nggak ada perlengkapan makan?"
"Nggak bisa minjem ke hotel ya?" tanya Eshika geli.
Tama merenung. Merasa dirinya bodoh. "Sumpah! Aku nggak kepikiran tadi."
Tawa berderai keluar dari bibir gadis itu. Dan selagi mengulum senyum, Tama mengeluarkan dua porsi pindang daging dan menuangkannya ke dalam mangkok. Aromanya langsung membuat perut Eshika bergemuruh.
Sementara Tama menyajikan pindang itu, Eshika membuka dua porsi nasi yang dibungkus di kotak styrofoam. Mereka duduk berhadapan. Bersiap untuk menikmati makan malam itu.
"Ah! Bentar!"
Tama berdiri dari tempat duduknya. Lalu berinisiatif untuk membuka lebar hordeng yang tertutup. Membiarkan pemandangan kelap-kelip tersaji di mata mereka berdua. Lantas, cowok itu kembali duduk.
Eshika terpana melihat pemandangan itu.
"Berasa lebih enak kan kalau makannya gini?" tanya Tama tersenyum.
Kepala Eshika mengangguk. "Jadi berasa romantis."
Untuk beberapa detik mereka tertegun bersamaan. Hingga kemudian tangan Tama terangkat. Menunjuk mangkok Eshika.
"Makan yuk. Ntar nggak hangat lagi."
Maka mereka mulai menikmati makan malam mereka yang sudah lumayan terlambat itu. Nyaris jam sepuluh malam.
Bisa dikatakan bahwa tak ada yang bersuara di antara mereka selama makan. Hal itu cukup menjadi tanda bahwa keduanya merasa hal yang sama. Merasa canggung satu sama lain berada di kamar itu berduaan.
Setelah makan, Eshika dengan segera menyisihkan mangkok yang mereka gunakan ke wastafel. Membilasnya seadanya. Hanya untuk menghilangkan aroma sebelum menyebar ke seluruh ruang kamar itu. Sedang Tama kemudian membereskan sampah-sampah yang tersisa. Dan setelahnya kecanggungan semakin terasa ketika Tama mengeluarkan celana pendeknya dari travel bag.
Mata Eshika mengerjap-ngerjap melihat Tama yang membawa celana pendek itu beserta satu kaos oblong. Sudah cukup menjadi tanda bagi dirinya bahwa Tama ingin berganti pakaian.
Eshika mendehem sejenak. Lalu mengambil ponsel dan beranjak ke meja. Dengan sengaja cewek itu menarik kursi. Menghadap ke luar dan duduk.
Tama mengembuskan napas lega menyadari pemakluman Eshika. Tanpa buang waktu, cowok itu dengan segera melepas jaketnya. Menarik lepas kaos yang ia pakai dan menggantinya dengan yang lebih nyaman untuk tidur. Setelah itu tanpa basa-basi ia melepaskan ikat pinggangnya.
Eshika meneguk ludah.
Suara ikat pinggang yang terlepas itu membuat tubuhnya panas dingin. Dan sementara napasnya terasa lenyap, Eshika menyadari bagaimana saat ini ia begitu ragu bahwa akal sehatnya masih normal.
Mata Eshika menatap tak berkedip ke depan. Ke kaca jendela yang terbentang. Tapi, retina mata gadis itu bukan menatap pemandangan di luar, melainkan menatap pemandangan yang terpantul di kaca itu!
Aku ngeliat Tama ganti celana!
Glek.
Di kaca itu, terlihat Tama tampak mengeluarkan satu persatu kakinya dari lubang kaki celana jeans hitam yang ia kenakan. Melemparnya asal, Tama meraih celana pendeknya di atas tempat tidur.
Mata Eshika melotot.
Ya ... ya ... ya Tuhan.
Ini aku dosa nggak sih?
Eshika memaksa matanya untuk tertutup. Tapi, entah mengapa bayangan celana dalam Tama yang berjejer di dalam lemari justru muncul dan berjoged-joged ria di benaknya. Spontan saja membuat cewek itu justru berpikir.
Dia pake tipe briefs.
Eh?
Astaga, Esh!
"Kamu udah mau tidur belum, Esh?"
Pertanyaan Tama menyadarkan Eshika dari pikirannya. Membuat gadis itu tergagap untuk beberapa saat sebelum ia berdiri.
Ia mengangguk kaku. Melihat pakaian Tama sudah tersisih pula ke lemari pakaian.
"Iya ... iya .... Aku udah mau tidur, Tam."
Tama mengangguk. Ia beranjak memadamkan lampu utama. Menyisakan dua lampu redup di masing-masing nakas yang mengapit tempat tidur itu.
Eshika meletakkan ponselnya ke atas nakas setelah terlebih dahulu menutup kembali hordeng yang tadi terbuka. Ia lalu pelan-pelan naik ke tempat tidur. Menyelipkan tubuh di bawah selimut putih itu. Begitu pun dengan Tama.
Tapi, ketika Eshika berbaring ia melihat keanehan Tama hingga bertanya.
"Kenapa kamu tidur di pinggir banget kayak gitu, Tam?"
"Eh?"
Tama yang sudah berbaring membelakangi Eshika sontak menoleh melewati pundaknya. Mendapati Eshika yang menatapnya bingung.
"Kamu ada marah atau apa gitu ke aku, Tam?"
Mata Tama mengerjap-ngerjap. "Bukan gitu, Esh."
"Terus?"
Glek.
Tama meneguk ludah.
Kalau aku jujur aku takut kelepasan ngapa-ngapain dia malam ini, bakal memalukan nggak ya? Nyatanya ini jantung aku udah nggak kuat lagi. Ya Tuhan. Mana ada ceritanya cewek cowok berdua di situasi seperti ini yang masih bisa mikir normal?
Eshika masih menatap Tama lekat-lekat. Tanpa sadar sedikit menaikkan resleting jaket yang ia kenakan.
"Masih dingin?" tanya Tama seraya melirik ke AC. "Mau aku naikin lagi suhunya?"
Eshika menggeleng. "Nggak perlu sih, Tam. Nggak terlalu dingin lagi." Gadis itu kemudian mengambil posisi menelungkup. Bertopang dagu dengan dua siku. "Kamu beneran nggak marah sama aku kan?"
Tama kembali menggeleng. "Tidur aja, Esh. Udah malam."
"Terus kenapa kamu kayak ngejauhi aku gini?"
Pertanyaan Eshika membuat Tama tertegun.
Jelas saja Eshika berpikir seperti itu, orang malam kemaren aku masih gitu nyantainya tidur bareng dia. Eh, sekarang?
Jakun Tama naik turun ketika ia meneguk ludah. Lalu ia menguatkan hati dan dirinya. Beranjak ke tengah tempat tidur.
"Aku bukannya ngejauhi kamu," lirih Tama mendekati Eshika. "Ayoh, tidur. Biar besok kita cabut dari sini."
Eshika mengangguk. Mengambil tempat seperti biasa dan merebahkan kepalanya di atas lengan Tama. Ketika sisi wajah gadis itu menempel di dadanya, Tama memejamkan mata. Mengucapkan doa tidur dalam berbagai bahasa biar dia benar-benar bisa tertidur.
Keheningan menyelimuti mereka.
Untuk beberapa saat yang begitu lama.
Begitu lama hampir sejam sehingga membuat keduanya saling mengetahui bahwa mereka tidak ada yang tidur.
"Tam ...?"
Mata Tama membuka. Tapi, ia belum menjawab panggilan Eshika.
"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Eshika lagi.
"Ehm ... kamu tau aku belum tidur?"
Walau tak terlihat oleh Tama, tapi cowok itu bisa merasakan pergerakan tipis pipi Eshika di atas dadanya. Menandakan bahwa gadis itu tersenyum.
"Aku udah hapal bunyi jantung kamu soalnya. Kalau kamu tidur, bunyinya jadi pelan dan teratur."
Kali ini mata Tama membesar.
"Nah! Ini kedengaran lebih kencang lagi."
"Esh ...."
Eshika terkikik geli. Ia semakin menyuruk di dadá Tama sementara tangannya benar-benar melintang di perut cowok itu. Menikmati rengkuhan satu tangan Tama di pundaknya.
"Yang di kolam tadi ... makasih banget ya, Tam."
"Ssst," desis Tama. "Nggak usah dibahas lagi soal gituan."
Terdengar napas Eshika berembus. "Tadi sewaktu aku di dalam air, aku kayak ngeliat Papi loh, Tam."
Tama terdiam.
"Sekarang aku jadi kepikiran, kalau aku nggak nakal ya pasti sampai saat ini Papi bakal---"
"Ssst ... ssst ..." Tama kembali mendesis. Bahkan kali ini dengan meremas lengan atas Eshika. "Jangan buat Papi sedih ah."
Eshika kembali mengembuskan napasnya kembali. "Tadi aku malah takut kalau seandainya kamu juga gitu, Tam."
"Kan nyatanya nggak," kata Tama berusaha menceriakan nada suaranya. "Kamu lupa? Olahraga itu satu-satunya keahlian yang aku punya." Ia terkekeh sedikit. "Nyelam aja aku bisa, apalagi cuma narik kamu keluar dari kolam." Tama menundukkan sedikit wajahnya. "Kamu itu cuma pake satu tangan aja bisa kok aku angkat."
"Kayak aku yang ringan banget," kata Eshika. "Tapi, aku serius Tam. Aku nggak mau kamu sampe ngalamin hal buruk karena aku, Tam."
Tama mengusap-usap punggung Eshika. "Ya kalau gitu jangan buat hal-hal buruk biar aku nggak cemasin kamu. Lagipula yang tadi kan bukan salah kamu."
Kepala Eshika terangkat dari dadá Tama. Mendadak terpikir sesuatu. "Ngomong-ngomong, dia nggak bakal ngelaporin kamu ke guru kan?"
Mata Tama mengerjap. "Harusnya sih nggak. Lagian itu kan di luar jam sekolah. Ngapain juga dia ngelapor ke guru?"
Eshika mengangguk. "Kalau dia ngaduin kamu ke guru, aku bakal aduin dia juga. Guru-guru pasti lebih sayang sama aku ketimbang dia."
"Hahahaha." Tama spontan tertawa mendengar perkataan Eshika. "Aduh. Aku berasa dilindungi banget sekarang."
Wajah Eshika merona.
"Makasih banyak, Esh," kata Tama menggoda di sela-sela tawanya.
Eshika tau pasti bahwa wajahnya saat ini sudah memerah melebihi warna saos tomat. Tapi, melihat Tama tertawa seperti itu membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
Sementara itu, Tama berusaha untuk menghentikan tawa. Matanya telah terasa basah. Dan entah bagaimana ceritanya, mendadak saja Tama merasakan dorongan untuk melihat ponselnya yang juga ia taruh di atas nakas. Cowok itu mengerjap melihat jam di ponselnya.
23.58 WIB?
Tama kembali meletakkan ponselnya. Ia menepuk punggung Eshika dengan pelan dan berkata.
"Bentar deh, Esh. Bangun dulu."
"Eh?"
Eshika merasakan bagaimana kemudian Tama menyelinap keluar dari pelukannya. Turun dari tempat tidur. Cowok itu terlihat membuka travel bag miliknya.
Sementara melihat Tama yang sedang mencari sesuatu di sana, Eshika bangkit duduk. Merapikan sedikit rambutnya yang terurai. Lalu ketika Tama menghampiri dirinya, ia melihat bahwa cowok itu membawa satu kotak bewarna ungu muda dan berpita cantik.
Tama duduk di dekat Eshika.
"Kayaknya aku jadi yang pertama ngucapinnya deh," lirih Tama. "Selamat ulang tahun, Eshika."
Eshika tertegun. Mendengar ucapan selamat dari cowok itu dan mendapati satu kado yang diberikan untuknya. Tangannya bahkan gemetaran ketika menerima kado tersebut. Sementara itu, mata Eshika menatap pada Tama yang tersenyum padanya.
"Kamu nggak mau buka?" tanya Tama.
Eshika tersenyum. "Ya mau dong." Ia tergelak kecil. Tangannya dengan cepat menarik pita itu untuk terurai. Kemudian ia membuka kotak itu. Untuk beberapa saat ia hanya terdiam melihat benda di dalamnya.
"Kamu suka?" tanya Tama.
Eshika menyingkirkan kotak itu. Meraih isi di dalamnya yang ternyata adalah seuntai gelang.
"Aku suka," kata Eshika dengan suara tercekat dengan mata berbinar-binar.
Tatapan mata gadis itu dengan cepat meneliti gelang tersebut. Perpaduan antara satu lempengan di tengahnya dan rantai yang menjuntai di kedua sisinya dengan panjang yang berbeda. Gelang perak itu terlihat sederhana.
Tama meraihnya.
Membalikkan gelang itu dan menunjukkan satu tulisan di baliknya. Tulisan satu nama yang lebih tepatnya.
Tama.
"Ini tulisannya TAMA," kata Tama tersenyum malu. "Kalau kalau kamu nggak bisa baca tulisan ini."
Eshika terkekeh. Tapi, pandangan matanya mendadak berkabur. Ia mengelap matanya sekilas. "Aku bisa baca tulisan itu, Tam."
Maka Tama kemudian meraih tangan Eshika. Memasangkan gelang itu di tangan kiri Eshika. Seraya bibirnya berkata.
"Biar kamu selalu ngerasa aku ada di dekat kamu. Megang tangan kamu." Mata cowok itu kemudian terangkat menatap Eshika di saat tangannya menimang tangan Eshika. "Dan nggak bakal melepaskan kamu."
Eshika tercekat. "Tama ...."
"Kita lupakan alasan kenapa kita nikah ya? Karena aku benar-benar ngerasa menikahi kamu adalah hal yang paling dramatis, tapi ternyata justru menjadi hal yang aku syukuri sekarang."
"Kamu mau kita benar-benar menikah?" tanya Eshika dengan suara parau. "Kenapa?"
Untuk beberapa saat, Tama mengambil jeda. Mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab.
"Aku sayang kamu, Esh."
Mata Eshika memanas.
"I love you. I do love you. Sangat. Dan aku nggak pernah lagi ingin merasakan kemungkinan kamu nggak tau sehingga kamu bisa saja dekat dengan cowok lain," kata Tama dengan napas terengah. Ia menggeleng sekali. "Aku nggak mau."
"Astaga, Tama ..."
Lalu Tama membeku. Melihat dua aliran air mata di pipi Eshika. Tangannya gemetar mengusap air mata itu.
"Aku .... Apa ... apa aku ngomong sesuatu yang salah?"
Eshika menggeleng. "Aku udah lama nunggu banget buat dengar kata-kata itu, Tam." Tangan gadis itu mengusap air matanya lagi. Ia berusaha untuk tersenyum.
"Jadi?" tanya Tama. "Ya?"
"Ya!" jerit Eshika.
Dan Tama tak bisa menahan dirinya sendiri ketika Eshika mengatakan satu kata itu. Kedua tangannya spontan menarik tubuh Eshika ke dalam pelukannya. Memeluk gadis itu dengan begitu erat dan menyadari bahwa pelukannya dibalas dengan tak kalah eratnya oleh Eshika. Beberapa saat, mereka hanya melalui waktu dengan seperti itu. Berpelukan dan merasakan betapa bahagianya mereka berdua.
Hingga kemudian, Eshika merasakan Tama mengurai pelukan mereka. Tama menatap gadis itu lekat-lekat. Kedua tangannya bergerak. Berpindah menuju wajah Eshika. Membuat gadis itu terdiam saat tangan Tama mencari-cari di belakang lehernya.
Kedua tangan Tama dengan tangkas mencari simpul kalung tali itu. Melonggarkannya dan mengeluarkannya dari kepala Eshika. Ia mengambil cincin itu. Menyisihkan kalung talinya, Tama meraih jari Eshika. Memasangkan cincin itu di tempat yang semestinya.
Detik selanjutnya, Eshika sedikit mengangkat tubuh. Berpijak dengan kedua lututnya, ia mencari kalung milik Tama. Melakukan hal yang sama pada cincin itu. Memasangkannya di jari manis Tama.
"Untuk pertama kalinya, kita make cincin ini setelah pernikahan kita," bisik Eshika.
Tatapan keduanya beberapa saat hanya terfokus pada cincin di jari masing-masing. Hingga kemudian mereka saling mengangkat wajah dan menyadari bahwa pandangan mereka terasa bagai saling menghipnotis.
Perlahan-lahan, Eshika menyadari wajah Tama yang semakin mendekati wajahnya. Membuat jantungnya semakin berdebar-debar dengan sangat kencang.
Tama meneguk ludahnya. Bersiap menerima penolakan apa pun dari Eshika seandainya gadis itu tidak menginginkannya. Tapi, ketika satu tangannya berhasil mendarat di tekuk Eshika, tak ada penolakan yang cowok itu dapatkan. Justru ia mendapati mata Eshika yang memejam.
Satu persetujuan tak terucap untuk Tama.
Tama dengan segera semakin mendekati wajah Eshika. Matanya melihat bagaimana bibir gadis itu bergetar. Lalu, Tama menyentuhnya.
Satu sentuhan yang membuat Tama memejamkan matanya. Hanya demi ingin meresapi sensasi bibir Eshika di bibirnya.
Dan sensasi itu benar-benar melebihi semua bayangannya selama ini. Terlalu manis untuk ia katakan.
Tama menekan bibir Eshika. Merasakan bagaimana napas gadis itu membelai wajahnya. Membuat ia perlahan membuka mulutnya. Menuntaskan keinginannya untuk melumat bibir itu dalam satu ciuman dalam yang selama ini hanya mampu ia khayalkan.
Sedang Eshika merasa berbagai rasa yang tak mampu ia utarakan dengan semua kata-kata.
Mendebarkan.
Manis.
Memabukkan.
Hingga membuat tubuhnya hilang kekuatan.
Seakan ia melemah.
Tak mampu bertahan hingga pada akhirnya ia menyerah untuk terjatuh terbaring di atas kasur.
Tapi, ia tak melakukan apa pun.
Selain meremas kaos Tama seiring dengan mendalamnya buaian bibir Tama di bibirnya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro