Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

74. Kesiangan

Ketika kesadaran telah membuat Tama terbangun dari tidurnya, cowok itu menyadari bahwa pagi itu sepertinya ada yang berbeda dengan ingatan terakhirnya sebelum tidur malam tadi. Dan hal yang berbeda itu justru membuat ia merasa begitu senang. Yah, bisa dipastikan bahwa itu adalah hal yang berkaitan dengan Eshika.

Walaupun baru bangun tidur, Tama masih ingat betul deh bagaimana keadaan mereka malam tadi. Eshika membelakangi dirinya sementara ia berusaha untuk menahan tangannya untuk tidak benar-benar memeluk gadis itu dari belakang. Entah mengapa, tapi Tama pikir memeluk gadis itu dari belakang agak sedikit berbahaya bagi pertahanan dirinya. Alarm peringatan sudah menyala di benaknya. Maka dari itulah Tama menahan diri. Mencoba untuk hanya mendaratkan tangannya di lengan atas Eshika. Hanya itu.

Tapi, hal yang berbeda terjadi di pagi itu.

Sewaktu Tama membuka mata, retina matanya serta merta menangkap tampilan langit-langit kamar Eshika. Lalu ia tersenyum saat menurunkan pandangannya dan menemukan bagaimana justru Eshika yang saat itu kembali memeluk dirinya. Seperti biasanya.

Tama mengulum senyum.

Malam tadi kayaknya ada yang nggak terima kalau aku apa-apain deh. Tapi, ini eh ... kok malah dia sendiri ternyata yang ngapa-ngapain aku. Hihihi.

Tangan Tama naik. Membelai-belai kepala Eshika dengan lembut. Menikmati beban wajah gadis itu di dadanya. Termasuk dengan tangannya yang melintang di perut Tama. Seakan tidak ingin kehilangan cowok itu selama tidurnya.

Untuk beberapa saat, Tama benar-benar menikmati hal itu, hingga kemudian tanpa sadar matanya melihat ke jam dinding. Mengerjap-ngerjap. Mendapati jam yang menunjukkan jam delapan lewat lima menit.

Be-be-bentar deh.

Kemaren itu sepakatnya mau ngumpul di sekolah jam berapa ya? Jam delapan pagi atau jam delapan malam?

Tama menurunkan pandangannya. Melihat Eshika yang terlihat begitu nyenyak menikmati tidurnya.

Beberapa menit kemudian, Tama dengan perlahan berusaha melepaskan diri dari gadis itu. Tama berusaha dengan pelan sekali saat memastikan Eshika beranjak dari tubuhnya tanpa mengganggu tidurnya.

Tama bangkit dari tempat tidur. Dengan cepat bergegas ke kamarnya dan meraih ponselnya. Langsung membuka setumpuk notifikasi yang memenuhi ponselnya.

[ Tam? ]

[ Tama? ]

[ Esh .... ]

[ Eshika? ]

[ Halo? ]

[ Ada orang di sana? ]

[ Masih bernyawa kan? Hahahaha. ]

[ Ini anak berdua di mana sih? ]

[ Nggak nyasar jalan ke sekolah kan ya? ]

[ Atau mereka berdua langsung ke Puncak? ]

[ Oiiii .... ]

[ Tam??? ]

[ Tama nggak lagi ngebunuh Eshika terus dikubur gitu kan ya? ]

[ Tam, kalau kamu nggak jadi pergi ya udah. Biar Eshika aku yang jemput. ]

Bangun tidur langsung aja ada pebinor nyari masalah ya. Bakal aku hajar juga nih cowok.

Tama menggeram.

Dengan cepat ia mengetik di grup chat tersebut.

[ Sorry baru ngabarin. ]

[ Tadi ada something trouble gitu. ]

[ Aku sama Eshika nyusul aja ke Puncaknya. ]

[ Kami berangkat ntar siang.]

[ Tolong shareloc aja ya. ]

Tama baru saja akan meletakkan kembali ponsel itu, tapi keburu ada pesan lagi masuk. Dan tentu saja itu dari Alex.

[ Alex ]

[ Trouble apa? ]

[ Kalau nggak bisa menjamin, mending Eshika sama aku aja. ]

Tama baru akan membalas, namun sudah ada yang mendahului.

[ Bima. ]

[ Loh, Lex. Mobil kamu udah full empat orang lagi. ]

[ Alex. ]

[ Masuk Eshika masih muat kok. ]

[ Bima. ]

[ Tapi, tetap aja nggak nyaman kali, Lex. ]

[ Alex. ]

[ Ya udah. Kalau gitu Rima bisa pindah ke mobil Reki. ]

[ Kan dia cuma bawa Velly. ]

[ Reki. ]

[ Sembarangan nyuruh-nyuruh orang kamu, Lex. ]

[ Jadi cowok itu kalau bukan kemaluan ya omongan yang dipegang. ]

[ Kemaren udah fix mau bawa Rima eh malah ngelempar ke orang. ]

[ Kamu pikir gitu buat Eshika senang? ]

[ Yang ada dia malah nggak enak sama Rima kali. ]

[ Heri. ]

[ Astaga, Ki. ]

[ Omongan kamu itu. Hahahaha. Ini grup semua anak. ]

[ Bukan grup cowok aja. ]

[ Parah ini Reki. ]

[ Hahahaha. ]

[ Sejak kapan coba ada pepatah kayak gitu, Ki? ]

[ Btw. Kalian sering bahas soal gituan ya di grup cowok? ]

[ Dasar otak mesum semua. ]

[ Itu artinya kami normal coba. ]

[ Tau orang yang nggak punya ketertarikan seksual? ]

[ Termasuk sindrom, Guys. ]

[ Kelainan. ]

Tama hanya tergelak melihat kegaduhan itu. Dan lantas dengan penuh kesengajaan ia justru menarik kursi dan duduk seraya melihat pertikaian di grup chat tersebut. Tanpa sadar ia menyemangati Reki.

"Hayo, Ki. Hajar, Ki. Hahahaha."

[ Vel ..., hati-hati kamu sama Reki ya? ]

[ Hahahaha. ]

[ Reki itu tampang alimnya cuma menipu. ]

[ Lagian kan dia sohib sama Tama. ]

Tama mengernyit.

Eh? Kenapa malah aku yang dibawa-bawa? Berasa aku yang kayak gimana gitu di mata mereka.

[ Sebelas dua belas dong Reki sama Tama. ]

[ Isi otaknya mah bisa dipastikan sama. ]

Tama melotot.

Enak aja ya mereka kalau ngomong.

[ Sok jaga jarak tiga puluh sentimeter di jok motor itu cuma jebakan penarik simpatik cewek aja. ]

[ Aslinya mah nggak gitu. ]

[ Reki. ]

[ Lagian ya itu Alex. ]

[ Ngotak nggak nyuruh cewek asal pindah-pindah aja? ]

[ Ya sebumi nusantara juga tau kalau kamu suka Eshika. ]

[ Tapi, nggak gini juga kali. ]

[ Alex. ]

[ Eh, Ki. Nggak usah nyolot kali ya. ]

[ Nyantai aja. ]

[ Reki. ]

[ Kamu tu, Lex. Nggak usah nyuruh-nyuruh orang kali ya. ]

[ Santai aja. ]

[ Berasa Tuan Besar gitu makanya mau sok nyuruh-nyuruh?]

[ Alex. ]

[ Eh. Yang nyuruh-nyuruh siapa? ]

[ Aku juga minta tolong. ]

[ Reki. ]

[ Panjat dulu deh. ]

[ Ada kata tolong? ]

[ Ini nih yang aku bilang. ]

[ Mending megang kemaluan aja kamu, Lex. Omongan kamu benar-benar nggak bisa dipegang. ]

[ Ya elah. Balik lagi ke sonoh. ]

[ Hahahaha.]

[ Lagian kamu sih, Lex. ]

[ Reki malah diajak bedebat. ]

[ Lomba debat tahun lalu dari tingkat kelurahan sampe provinsi kan dia sabet semua. ]

[ Reki. ]

[ Nah loh. Denger tuh. ]

[ Semacam mantan Ketos aja nggak ingat siapa tukang debat tahun lalu. ]

Tama memegang perutnya. Matanya sudah berair-air. Ia tertawa tidak berhenti-henti melihat balasan demi balasan yang Reki tulis di grup itu.

[ Bima. ]

[ Sabar oi sabar. ]

[ Semuanya nggak usah pake urat. ]

[ Yuhu. Telor aja sih enak. ]

[ Tapi, katanya yang tahu juga enak kok. ]

[ Masa? ]

[ Hahahaha.]

[ Reki. ]

[ Lagian ya. Mikir pake hukum phitagoras atau persamaan Newton juga nggak ketemu ini. ]

[ Logic nya di mana? Malah nyuruh Rima yang semobil sama aku? ]

[ Masuk akal kalau dia nyuruh Eshika yang semobil sama aku. ]

[ Orang Velly ada sama aku kok. ]

[ Alex. ]

[ Fine. Kalau gitu ya udah. Eshika sama kamu aja perginya, Ki.]

[ Jemput Eshika kini. ]

[ Reki. ]

[ Ogah. Kan kemaren juga udah dibilang aku mau berduaan sama Velly. ]

Tama mengulum senyum.

Bakal aku kasih dua set pakaian, Ki. Aman aja, Ki. Hahahaha.

[ Cie cie cie. ]

[ Ini Velly dari tadi kenapa nggak muncul coba di grup? ]

[ Aku ngeliat dari sini kok. ]

[ Itu Velly kayaknya lagi mukul-mukul manja si Reki.]

Tama menarik napas dalam-dalam. Menghentikan rasa gelinya. Ia memutuskan bahwa saat ini dia harus mendamaikan situasi.

[ Sorry ya buat heboh gini. ]

[ Tapi, ini ada urusan keluarga bentar si Eshika sama Maminya. Mendadak gitu. ]

[ Jadi, ya nggak bisa ditunda. ]

[ Tapi, tenang aja. ]

[ Untuk semua FANS aku dan Eshika, kami tetap bakal datang kok. ]

Tak butuh waktu lama. Grup penuh dengan makian untuk rasa percaya diri Tama yang sudah melewati batas itu. Membuat Tama tergelak-gelak. Cowok itu lantas meletakkan ponselnya di meja sementara dirinya beranjak untuk mencuci muka.

*

Kedua kelopak mata Eshika bergerak-gerak. Mengerjap beberapa kali. Lalu perlahan ia membuka matanya. Terbangun dari tidurnya.

Eshika melenguh seraya menarik kedua tangannya ke arah yang berbeda. Sedikit ingin merenggangkan tubuhnya.

Terdengar helaan puas gadis itu.

"Aku tidur nyenyak banget," ujarnya tersenyum. "Kayak nggak pernah tidur aja. Hihihi. Mana berasa lama lagi."

Lalu, mata Eshika melihat ke jam dinding. Membuat ia mengucek kedua matanya berulang kali. Matanya membesar. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Melongo untuk beberapa saat.

Aku berasa tidur lama banget atau memang tidur aku lama banget?

Glek.

"Jam satu siang?" tanya gadis itu histeris.

Sontak Eshika langsung bangkit dari tidurnya. Menuju ke jam itu dan melihat lagi.

"Mungkin baterainya abis kali ya?"

Dan untuk itu Eshika kemudian beranjak ke ponselnya. Sayang, ternyata ponselnya padam. Terburu-buru Eshika menyambungkannya dengan kabel pengisi daya.

Eshika kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar.

"Tam .... Tam .... Tama .... Kamu di mana, Tam?"

Eshika mencari-cari dan kemudian ia mendengar suara.

"Aku di sini, Esh. Lagi nonton."

Eshika dengan segera pergi ke ruang menonton. "Tama ...."

Gadis itu mendapati Tama tengah terbaring di sofa dengan santai. Tampak santai menikmati tayangan televisi dengan setoples keripik singkong rasa original.

Tama melihat Eshika dengan senyum terkembang. Tepat ketika gadis itu menghampiri Tama. Duduk di dekat perut Tama.

"Tam .... Ini udah jam satu siang ya?" tanya Eshika.

Tama melirik sekilas melihat jam dinding. Dipikir-pikir, sepertinya Tama meletakkan jam dinding di setiap ruangan, kecuali dapur dan kamar mandi.

Cowok itu mengangguk. "Iya. Kenapa?" tanya Tama seraya bangkit. "Kamu udah laper? Kita makan yuk. Tadi aku udah order bakso sih. Biar tinggal dihangatin bentar."

Eshika terlihat meringis. "Tam ..., kita nggak jadi ke Puncak? Anak-anak udah berangkat ke Puncak?"

"Udah. Mereka udah berangkat pagi tadi."

Eshika meraih tangan Tama. "Terus kita nggak pergi, Tam?" tanya Eshika.

"Kamu segitunya ya mau pergi ke Puncak? Kenapa? Gara-gara mau ke Villa Alex?"

Mulut Eshika manyun. "Kalau nggak ke Puncak, kamu nggak bisa make syal aku, Tam."

"Hahahaha. Segitunya kamu nyuruh aku pake syal. Eh, tapi jangan sampe berdoa biar mendadak Jakarta hujan lebat ya. Bisa gawat kalau banjir."

Tama mengulurkan tangannya. Merapikan rambut Eshika yang berantakan karena baru bangun tidur.

"Tam ..., aku serius."

Rasa geli semakin kuat menjalari perut Tama tatkala ia melihat Eshika semakin panik dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tenang. Aku tadi udah ngomong kok di grup. Aku bilang kita berangkatnya belakangan karena kamu dan Mami ada sedikit urusan gitu."

Dahi Eshika mengernyit. "Berarti kita jadi pergi?"

"Ya jadilah," kata Tama. "Kayak yang baru pertama kali ini aja jalan ke Puncak." Tama mencibir. "Lagipula, kalau pun kita nggak bisa pergi sekarang, ya kapan-kapan kita pergi berduaan aja kok."

Mata bening Eshika mengerjap-ngerjap. "Pergi berduaan aja?"

"Ya. Ehm ... biar sekalian kamu anggap bulan madu juga."

Ups.

Keceplos lagi deh.

Wajah Eshika memerah.

"Ehm .... Eh, maksud aku." Tama menggaruk kepalanya. "Maksud aku ... gimana kalau kita makan sekarang, Esh?"

"Eh?" Eshika tergugu.

Bukannya tadi lagi bahas bulan madu ya?

Tama bangkit dari duduknya.

"Aku hangetin dulu baksonya."

Sedetik Eshika hanya bisa melongo melihat Tama yang pergi meninggalkan dirinya seorang diri di ruang menonton itu. Eshika memutuskan untuk memadamkan televisi, menutup rapat toples, merapikan bantal sofa, dan lalu beranjak. Menyusul Tama ke dapur tepat ketika hidungnya mencium aroma yang begitu lezat.

Ia berseru. "Tam!"

"Apa?"

"Aku lapar."

Tama tergelak.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro