Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

69. Pilihan

"Tapi, itu tadi sebenarnya berisiko banget loh, Tam," kata Eshika seraya tertawa-tawa. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin.

Dan mendengar perkataan Eshika, Tama juga mau tak mau ikut tertawa bersamanya. Cowok itu mengambil dua gelas bening dengan kedua tangannya. Menyodorkan keduanya pada Eshika.

"Emang sih," katanya seraya membiarkan Eshika mengisi kedua gelas itu sebelum memasukkan kembali botol itu ke dalam kulkas.

Eshika mengambil satu dari gelas itu. Beranjak ke meja makan dan duduk. Tama mengikuti. Duduk di hadapannya.

Setelah meneguk minumnya beberapa tegukan, Tama berkata. "Tapi, aku nggak nyangka aja sih kamu bisa ngomong kayak gitu di depan kelas." Tama meletakkan gelasnya. Bertopang dagu dengan kedua tangan. Menatap Eshika. "Beneran di luar prediksi aku."

Eshika terlihat merona. Pelan-pelan meletakkan gelas itu di meja pula. "Soalnya gimana ya, Tam. Aku memang nggak mau juga bareng Alex."

Ah ...

Andai omongan ini bisa aku rekam, udah aku rekam dong. Terus aku kirim ke Alex. Via Whatsapp, Gmail, Ig, Fb ... kalau perlu, aku masukin juga ke flashdisk dan aku suruh kurir buat ngirim ke rumah Alex. Biar dia tau kan pilihan Eshika itu gimana.

Lalu, helaan napas Eshika terdengar menyadarkan Tama dari idenya itu.

"Apalagi setelah kejadian di bioskop itu." Eshika bergidik. "Aku nggak mau deket-deket sama cowok kayak gitu lagi."

Tama menyentuh sedikit rambutnya yang bertengger di atas dahinya. Sedikit lengket karena keringat. Tapi, ia tersenyum miring seraya berkata.

"Emang wajar banget kamu nolak cowok semacam itu, Esh."

Hahahaha.

"Tapi," kata Eshika. "Aku nggak nyangka juga sih kalau akhirnya Reki mau bawa mobil sendiri."

Tama sedikit manyun. "Itu anak sebenarnya sedikit alergi AC mobil. Hahahaha. Aku malah khawatir. Jangan-jangan ntar dia mabuk lagi di jalan."

"Eh?" Eshika melotot. "Kalau gitu, Velly gawat dong kalau bareng Reki."

Eh, Tama ingin sekali rasanya menepuk mulutnya sendiri karena suka sekali terlepas bicara seperti itu. Dengan cepat Tama menggeleng, berusaha memberikan klarifikasi.

"Udah. Nggak perlu dikhawatirin. Kan yang mabuk biasanya nggak mabuk kalau lagi bawa mobil. Lagipula, mana ada ceritanya jalan ke Puncak pake acara mabuk?" Tama berusaha meyakinkan. "Anggap aja ini terapi biar Reki bisa memulihkan alerginya."

Eshika manggut-manggut.

"Oh iya, Esh. Cuma mau ngingatkan kamu aja sih. Ntar jangan lupa telepon Mami. Kabarin kalau kita mau ke Puncak. Eh, atau biar aku aja deh yang ngabari," ujar Tama kemudian setelah berpikir singkat. "Terus, Mama kemaren sih pesan ke aku. Mama nyuruh kita buat mampir dulu ke rumah sebelum pergi ke Puncak."

"Ehm ... nginap atau mampir bentaran doang, Tam?"

Tama mengusap-usap dagunya. "Menurut kamu?" tanya balik Tama. Lalu, mendadak saja Tama geleng-geleng kepala. "Kita mampir bentar aja, Esh. Nggak usah nginap."

Bukannya apa. Tapi, Tama takut kejadian beberapa waktu yang lalu ketika ia dan Eshika menginap terulang kembali. Tama tidak mau mengalaminya lagi. Setiap ia mendekati Eshika pasti akan dilihat lain oleh ibunya sendiri. Jadi, daripada bermasalah lagi maka Tama memutuskan untuk menghindari calon masalah. Itu lebih bijaksana.

Sedangkan Eshika, ia sendiri merasa tidak ada yang perlu diperdebatkan juga soal itu. Ia melihat tidak ada untung rugi juga sih sebenarnya.

Dan sejurus kemudian, seraya meminum air minumnya lagi Eshika melihat jam tangannya. Menyadari bahwa hari telah beranjak sore. Dan ia menyadari bahwa mereka berdua belum makan siang lantaran pulang terlambat akibat diskusi soal Puncak tadi.

"Tam, buat makan siang dan malam, kita delivery aja ya?" tanyanya kemudian. "Ini udah sore soalnya."

Tama melihat Eshika beberapa saat. Menyadari sesuatu. "Ehm? Udah berapa hari ini kayaknya kita delivery terus kan, Esh?" Tama terlihat mengingat-ingat. "Perasaan iya deh."

"Ehm ..."

"Kenapa?" tanya Tama. "Kamu lagi malas masak atau gimana?"

Raut wajah Eshika terlihat salah tingkah dan tidak enak.

"Atau kamu lagi nggak enak badan?" tanya Tama menerka. "Soalnya aku perhatiin di bawah kelopak mata kamu kayak yang hitam gitu."

Mata Eshika mengerjap-ngerjap.

"Kamu insomnia? Jadi berasa demam?"

Eshika menggeleng. "Nggak sih. Cuma ... cuma ..." Ia menarik napas. "Emang lagi kumat aja malasnya."

Jawaban Eshika membuat Tama manggut-manggut. Ia mengerti. Tau betul kalau memang terkadang manusia tiba-tiba datang malasnya.

"Ya udah. Kalau kamu malas, biar aku aja yang masak," kata Tama kemudian.

"Eh?" Eshika menganga. "Kamu yang masak?"

"Ya cuma masak buat kita berdua, apa repotnya sih? Lagian kayak yang pertama kali ini aja aku masakin kamu makanan."

"Hehehehe. Iya juga sih ya." Eshika terkekeh pelan. "Oke. Kalau gitu aku ke kamar dulu ya, Tam."

Tama mengangguk. "Ntar kalau udah masak, biar aku panggil."

Sepeninggal Eshika ke kamarnya, Tama pun juga sebenarnya turut ke kamarnya terlebih dahulu. Berganti pakaian dan baru mulai kegiatan masaknya di dapur.

Cowok itu memilih memasak makanan yang sederhana. Ia menemukan ada seikat kangkung yang masih segar, maka ia pun memasak cah kangkung saos tiram. Dan sebagai lauk, Tama hanya menggoreng sepapan tempe dan udang dengan baluran tepung goreng. Tak butuh waktu lama, mungkin hanya sekitar tiga puluh menit, dua jenis masakan itu telah tersaji di atas meja makan.

Tama mencuci tangannya di wastafel terlebih dahulu. Mengelapnya hingga kering sebelum beranjak menuju ke kamar Eshika.

Tangan cowok itu meraih daun pintu. Menekannya dan mendorong, tapi pintu tidak terbuka. Tama mengernyit.

Tumben-tumbenan ini Eshika main ngunci pintu.

Mata Tama membesar.

Apa dia nyadar kalau aku sering ngerasa pengen nerkam dia? Makanya dia jaga-jaga buat ngunci pintu?

Tama menggelengkan kepalanya sekali. Membuang jauh pemikiran itu dari kepalanya.

Nggak mungkin ah.

Maka Tama pun mengangkat tangannya. Mengetuk pelan pintu tersebut.

"Esh ...," panggilnya. "Yuk makan. Aku udah selesai masaknya."

Beberapa saat, Tama berdiri di depan pintu kamar Eshika. Hanya mendengar suara sedikit grasak-grusuk dari kamar gadis itu sebelum akhirnya pintu itu terbuka.

"Kamu belum ganti pakaian?" tanya Tama melihat Eshika yang muncul masih mengenakan seragamnya.

Eshika menunduk. Melirih pelan. "Oh ... ini tadi ...." Ia tersenyum. "Aku tadi ngantuk, jadi ketiduran bentar. Hehehehe."

Dengan tubuhnya yang tinggi. Tama tinggal melarikan pandangannya melewati atas kepala Eshika. Menatap tempat tidur Eshika. Yang rapi, tak terlihat seperti baru saja habis ditiduri oleh seseorang. Bahkan di bantal pun tak ada jejak bekas kepala.

Eshika mendadak salah tingkah. Kedua tangannya kemudian maju. Mendorong dada Tama untuk keluar beranjak dari sana. Hingga membuat tubuh Tama kemudian berputar otomatis. Membiarkan Eshika ganti mendorong punggungnya.

"Ayo makan .... Aku udah lapar," kata gadis itu tetap mendorong Tama. "Kamu masak kangkung ya?"

Melalui bahunya, Tama melirik. "Kecium ya sampe kamar?"

"Iya dong. Jadi makin lapar aku."

Tama tersenyum. "Semoga aja malam ini hujan biar kangkungnya bisa bekerja lebih maksimal."

"Maksud kamu?" tanya Eshika ketika mereka sama-sama sampai di dapur.

"Biar bisa tidur nyenyak."

Dan mereka berdua tertawa.

*

Ada satu hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan, mengapa cowok terkadang suka sekali bersiul-siul saat buáng air kecil? Walaupun tidak semua cowok melakukannya, tapi sepertinya Tama adalah salah satu cowok yang melakukannya. Seperti saat itu.

Cowok itu bersiul-siul seraya memperbaiki keadaan celananya. Beranjak menuju wastafel dan mencuci tangan menggunakan sabun cair yang tersedia. Dan ia tersenyum melihat pantulan wajahnya yang tengah tersenyum. Sama-sama tersenyum.

Mungkin efek bahagia akhir-akhir ini benar-benar membuat cowok itu tak mampu lagi menahan senyumnya yang setiap saat selalu berkembang. Tapi, sejurus kemudian senyum Tama menghilang. Ketika dengan cermin di depan wajahnya juga ia melihat seseorang yang baru keluar dari bilik toilet.

Alex tampak menatap Tama dari pantulan cermin itu. Sementara Tama, sedetik ia tau bahwa ada Alex maka detik itu pula ia lebih memilih melihat tangannya yang berbusa.

"Aku sebenarnya nggak mau banget ngomong kayak gini sama kamu, Tam."

Gerakan tangan Tama yang sedang mencuci tangannya satu sama lain itu terhenti beberapa detik. Meyakinkan diri bahwa saat itu Alex tengah bicara padanya.

Enteng, Tama menjawab. "Kalau gitu ya jangan. Repot amat jadi cowok."

Tama membilas tangannya. Memutar kran dan sedikit memercikkan sisa-sisa air di tangannya. Ia baru saja akan berbalik dan pergi, tapi Alex justru menahan pundaknya.

"Tapi, aku memang harus ngomong."

Tama mengembuskan napas sekali. "Apa?"

"Kamu itu nyadar diri dong. Nggak pantas sama sekali buat Eshika."

Tama mengusap pelipisnya sekilas. Lalu, ia melirik ke tangan Alex yang masih menahan pundaknya.

"Kamu udah cuci tangan belum sih?" tanyanya. "Please. Aku harap cuma omongan kamu aja yang menjijikkan, tangan kamu jangan."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro