67. Pencarian
"Ngeliatin apa sih di ponsel, Tam? Serius amat. Kayak yang jadi nggak peduli lagi sama orang di sekitar," celetuk Reki seraya meletakkan jus jeruknya di atas meja sementara ia meraih kursi milik siswa lain dan duduk di depan Tama.
"Ehm ...." Tama mendehem seraya masih berfokus pada ponselnya. "Ngapain juga aku peduli sama orang sebangsa kamu? Nggak penting banget. Ya mending aku ngeliatin ponsel aku dong. Lebih bermanfaat dan nggak nambah-nambahin dosa aku aja yang pastinya."
Reki melongo. Lalu, merasa kesal. Maka akhirnya Reki merebut ponsel Tama hingga cowok itu mendelik padanya.
"Ya ampun ini anak," geram Tama seraya bangkit dari duduknya. "Bisa nggak nganggu orang nggak sih? Lagi serius juga. Bikin ulah aja bisanya. Orang udah gede juga."
Reki dengan cepat melarikan diri seraya melihat ponsel Tama. Namun, tak lama. Langkah kakinya mendadak berhenti. Tidak lagi mencoba melarikan diri dari Tama. Ia terlihat bingung. "Aku pikir berapa hari ini kamu nonton video meśum di ponsel."
Tama mendelik dan merebut ponselnya dari tangan Reki. "Sembarangan aja kalau ngomong," gerutu Tama. "Kayak yang kurang kerjaan aja aku nonton video meśum di kelas."
Cowok itu kembali menuju ke mejanya. Lalu meraih jus jeruk Reki dan meminumnya.
"Memangnya aku kayak kamu apa? Yang hobinya nonton video meśum nggak tau tempat dan waktu?"
Reki mencebik. "Itu normal, by the way. Kita udah gede masalahnya." Cowok itu cengar-cengir. "Tapi, bentar. Sebenarnya kamu ngeliatin artikel apaan sih?" tanya Reki kemudian seraya mengingat judul artikel yang tengah terbuka di ponsel Tama tadi. "Hal-hal yang disukai cewek?"
Tama mengulum senyum. Kembali berkonsentrasi dengan ponselnya.
"Yang bener? Kamu baca artikel kayak gitu?" tanya Reki tak percaya. "Oh My God."
Tadi ketika Reki berhasil merebut ponsel Tama, semula ia berpikir bahwa ponsel Tama sedang dialihkan ke laman otomatis. Tapi, ketika dilihatnya sekarang Tama dalam mode benar-benar serius membaca artikel itu, maka sudah bisa Reki pastikan. Memang Tama sendirilah yang membuka laman itu. Tama dengan keadaan sadar membuka laman itu.
Tidak bisa dipercaya.
"Emangnya kamu mau ngapain, Tam? Kayak yang kamu kurang kerjaan aja sampe baca artikel gituan." Reki geleng-geleng kepala melihat Tama yang tetap fokus dengan ponselnya. "Kalau kamu emang segitu kurang kerjaannya, mending buatin tugas aku deh. Kan kata guru-guru kamu tambah lama tambah pinter. Aku dengan senang hati ngebiarin kamu ngabisin waktu kamu yang berharga itu untuk tugas aku." Mata cowok itu melirik ponsel Tama sebelum kembali menatap temannya itu. "Dari pada buang-buang waktu buat ngeliat artikel nggak guna gitu."
Cuek, Tama kemudian kemudian menanggapi pelan perkataan Reki. "Kamu ini emang sebangsa orang sok tau banget deh." Tama mengangkat wajahnya sejenak dari layar ponsel, melihat ke Reki dan berkata. "Eshika bentar lagi ulang tahun, Ki."
Mata Reki membesar seketika. Lampu pijar di otaknya menyala. Mengerti dengan pasti alasan Tama sekarang kenapa sampai membaca artikel seperti itu.
Reki mendekati Tama.
"Jadi kamu mau ngasih dia hadiah gitu?" tanya Reki pelan.
Tama melongo. "Nggak sih. Karena bentar lagi Eshika mau ulang tahun, rencananya sih aku mau ngasih kado buat kamu!" rutuk Tama kesal.
Reki spontan tergelak terpingkal-pingkal. "Hahahaha." Tangannya memukul-mukul meja hingga membuat suara gaduh.
"Berisik ah, Ki!" keluh Tama.
"Jadi, kamu mau ngasih dia apa?"
Tama menurunkan tangannya yang memegang ponsel. Menatap Reki. "Nggak tau juga."
"Eh?" Reki menganga. "Terus apa guna berapa hari ini kamu ngeliat ponsel terus kalau sampe sekarang belum memutuskan mau ngasih dia apa?"
"Ini .... Ini lebih rumit dari yang aku perkirakan, Ki. Nggak segampang itu."
"Kalau kamu ada duit, masalah ngasih kado sebenarnya jadi hal yang gampang. Masalah terbesar saat kita mau ngasih kado itu adalah kalau kita nggak punya duit untuk beli kadonya." Reki manggut-manggut seraya mengusap dagunya dengan tampang sok serius. "Serius deh. Kali ini aku nggak bohong."
Sebenarnya yang dikatakan Reki memang benar sih secara logika, tapi tetap saja. Bukan itu hal yang diharapkan oleh Tama akan dikatakan oleh Reki.
Tama geleng-geleng kepala. "Apa menurut kamu aku kasih kado duit aja ke dia? Iya?"
"Wah! Amazing!" Reki tergelak. Bertepuk tangan di depan muka Tama.
"Iya, amazing. And I'm pretty sure she will kill me in the blink of an eye." Tama membawa satu tangannya untuk melakukan gestur memenggal lehernya sendiri. "Aku bakal tewas di tempat."
"Hahahaha. Nggak ada orang yang nolak duit loh, Tam. Apalagi kalau cewek."
Bola mata Tama berputar-putar. "Lain cerita kalau duit lamaran atau duit mas kawin gitu. Dan aku udah keburu---"
Tama langsung menutup mulutnya.
Reki mengerutkan dahinya. Matanya mengerjap-ngerjap. "Udah keburu ...?" tanya Reki. "Udah keburu?" Mata Reki melotot.
Tama meneguk ludahnya.
Mampus aku.
"Udah keburu nggak bernyawa lagi pasti kamu, Tam. Hahahaha." Reki kembali tertawa terpingkal-pingkal.
Fyuuuh.
Tama mengembuskan napas panjang. Mengusap peluh yang mendadak terbit di pelipisnya. Dan berusaha untuk ikut tertawa bersama Reki. Walau tertawa kaku.
"Ha ha ha ha. Bener banget, Ki. Yakin udah keburu nggak bernyawa lagi aku kalau sampe ngelakuin hal yang kayak gitu."
Mata Tama memejam dramatis.
Ya ampun.
Hampir banget aku kelepasan di depan Reki. Kalau sampe Reki mikir yang macam-macam, bisa mampus beneran deh aku. Yakin nggak bakal hidup di dunia nyata lagi. Bakal hidup di kenangan orang-orang saja. Hiks.
"Ehm ..."
Reki menghentikan tawanya.
"Atau gimana kalau kamu nanya aja ke Velly, Tam?" tanya Reki kemudian. "Mungkin dia tau akhir-akhir ini Eshika mau beli apa gitu."
Perkataan Reki membuat Tama turut menghentikan tawa kakunya. Bagaimana pun juga, tertawa terpaksa itu membuat pegal rahang dan wajahnya.
Tama berpikir.
Merenungkan saran Reki, tapi sebenarnya tidak bagus.
Bukannya apa. Tama langsung ingat kalau seminggu yang lewat dia sudah menyuruh Eshika berbelanja. Dan ternyata Eshika benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk memanjakan diri. Memang sih, setelah itu Tama pernah iseng untuk mengecek melalui mobile bankingnya. Sekadar untuk mengetahui sisa saldo sehingga ia bisa memutuskan untuk kembali mentransfer atau tidak. Dan ternyata ia mendapati Eshika tidak mengeluarkan banyak uang. Bahkan itu hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah. Tapi, Tama yakin semua yang gadis itu inginkan sudah ia beli. Dan menurut Tama itu tergolong sedikit mengingat betapa gilanya remaja-remaja sekarang kalau sedang belanja dengan temannya.
Maka dengan lesu Tama berkata. "Eshika itu tipe cewek yang nggak banyak maunya sih, Ki."
"Ehm ...."
"Yang dia suka itu boneka. Dan kamarnya penuh banget sama boneka. Di atas kepala tempat tidur itu penuh boneka. Seakan-akan kalau dia mau tidur, itu semua boneka harus ikut tidur bareng dia. Nah, otomatis pas kalau mau tidur itu mesti nyelip-nyelip biar nggak ketuker antara bantal sama boneka dia. Dari sini kamu bisa nyimpulkan sendiri sebanyak apa boneka dia."
Reki menatap Tama. "Segitunya kamu tau keadaan kamar Eshika?"
Mata Tama mengerjap-ngerjap.
Sialan.
Keceplos lagi deh.
Otak Tama dengan segera berputar. Memikirkan alasan lainnya.
"Bukannya apa sih, sekali dua kali aku pernah masuk ke kamar dia ..."
Nggak sekadar masuk kali. Bahkan sampe bobok bareng lagi. Hihihi.
" ... yah kadang perbaiki jendela kamar dia yang macet gitu engselnya. Jadi, Mami nelepon aku."
Ya Tuhan.
Kenapa coba aku nggak bisa nyari alasan yang lebih keren lagi?
Alasan memperbaiki engsel jendela yang macet?
Hiks.
Yang benar saja.
Tapi, setidaknya Reki terlihat mempercayai alasan itu. Ia tampak manggut-manggut. Lalu, berkata.
"Kamu mau ngasih dia boneka?" tanya Reki. "Buat temen tidur dia yang baru?"
Nah nah nah!
Tama bisa menangkap nada menggoda di suara Reki.
"Cie cie cie .... Terus tulis note: sebagai ganti aku, peluk tiap malam ya," kikik Reki geli. "Biar mimpi indah."
Sebenarnya tidak mau, tapi Tama tetap saja tertawa mendengar perkataan Reki. Tawa-tawa malu-malu kucing begitu sih.
"Kamu ini."
Reki mengangkat jari telunjuknya. "Sebenarnya itu emang ngebuat kaum kita berasa mual kan ya? Ih!" Reki bergidik. "Ngebayangin aku nulis gitu aja buat aku merinding, apalagi kalau aku sampe beneran nulisnya."
Tama tergelak. Tapi, ia menepuk pundak Reki.
"Kamu tau, Ki? Dulu aku juga mikir nggak banget deh ngegombal gitu ke cewek, tapi gimana ya ngomongnya." Tama berdecak sekali. Tersenyum. "Di situ hukum alam terjadi. Kaum kita mau dapet best service kan ya? Dari cewek cantik sampe yang ngebucin sama kita. Tapi, nggak bakal ada cewek yang ada otak mau ngebucin sama cowok yang nggak bisa nyenengin dia juga. Kalau ada cewek mau ngebucin sama cowok yang nggak bisa nyenengin dia, fix. Itu cewek pasti nggak ada otak. Itu cewek begok. Dia harusnya nyari cowok yang mau ngebahagiakan dia."
Reki mengerutkan dahi.
"Itu nggak fair, Man, kita mau dikasih perlakuan istimewa sedangkan kita nggak ngasih yang sama. Kamu beneran harus buang pikiran kayak gitu. Sesekali nulis gombalan atau rayuan or something gitu nggak bakal buat kita jadi rendah sih. Gimanapun juga, relationship itu dua orang. Harus ada timbal balik."
"Kok aku yang bingung sih?" tanya Reki menggaruk-garuk kepalanya.
Tama hanya geleng-geleng kepala. "Orang bilang pengalaman itu adalah guru yang terbaik. Jadi, aku dengan baik hati ngasih kamu pengalaman aku buat kamu belajar." Tama menarik Reki. "Manjain cewek, kamu bakal dimanjain balik. Trust me. It works."
"Eh?"
Tama bangkit dari duduknya berencana untuk keluar dari kelas sejenak. Namun, ia menyempatkan diri untuk kembali menepuk pundak Reki. "Inilah yang aku bilang kamu itu masih kecil, Ki. Ternyata otak kamu emang belum nyampe level kedewasaan aku. Mau diakui atau nggak, kita berada di level yang berbeda."
Kali ini Tama yang tertawa-tawa.
Reki mengumpat. "Sial deh!"
Tapi, ya mau bagaimana lagi ya?
Tama benar-benar belajar dari pengalaman. Ia menjahati Eshika, eh dia dijahati balik. Kemudian ia memperlakukan Eshika dengan baik, eh malah Eshika berkali lipat memperlakukan dia dengan lebih baik lagi.
Dan Tama pun dengan jelas masih ingat kejadian seminggu yang lalu. Hingga membuat Tama yakin untuk benar-benar menjadikan itu sebagai slogan hidupnya sekarang.
Manjain Eshika, biar kamu dimanjain balik, Tam.
Bukan berarti Tama pamrih untuk memperlakukan Eshika dengan baik, hanya saja ia melihat itu sebagai bonus untuknya. Ia hanya berharap Eshika bisa senang hidup bersamanya. Karena memikirkan ada cowok lain yang menyukai gadis itu tentu saja membuat ia sedikit banyak merasa khawatir. Ia bertekad untuk mempertahankan Eshika untuk tetap di sisinya.
Tapi, itulah yang justru terjadi. Ketika ia berbuat baik pada Eshika agar gadis itu nyaman bersamanya, eh malah Eshika yang terasa semakin menyenangkan dirinya. Seperti dirinya yang justru mendapatkan hal yang lebih dari yang ia harapkan.
Seraya berjalan menyusuri koridor Tama kembali mengangkat ponselnya. Pencariannya belum selesai.
Dan satu dua buah kado di hari ulang tahunnya, bukan hal yang mewah dengan apa yang aku dapatkan selama ini, kata Tama di dalam hati.
Dari makanan yang bergizi dan enak, rumah yang bersih dan nyaman, pakaian bersih dan rapi, dan dia bahkan nggak pernah ngeluh tiap aku minta tolong bantuin buat tugas.
Cowok itu menarik napas dalam-dalam.
Kalau aku nggak bisa nyenengin dia, bisa-bisa cowok lain yang nyenengin dia. Kan bisa gawat.
Ehm ....
Tapi, kalau boneka?
Tama memikirkan omongan Reki tadi.
Boneka? Ngasih Eshika boneka untuk teman dia tidur? Biar dia bisa meluk boneka sebagai pengganti aku?
Tama geleng-geleng kepala.
Fix ya. Boneka dicoret dari kandidat kado untuk Eshika.
Daripada nyuruh Eshika meluk boneka, ya mending aku aja langsung yang nongol ke kamar dia.
Tadaaa!
Eshika! Ini boneka hidup spesial edisi terbatas untuk teman tidur kamu seumur hidup.
Hahahaha.
Beberapa orang siswa yang berpapasan dengan Tama sontak melirik cowok itu horor. Tanpa ada angin atau pun hujan, eh Tama malah ketawa-ketawa seorang diri.
Lalu, seketika saja Tama terpikir sesuatu.
Senyum puas terukir di wajahnya.
Sepertinya aku tau kado yang pas untuk Eshika.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro