Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

65. Efek Cinta

Napasnya terasa sedikit tertahan ketika Tama memeluk dirinya, namun mendadak terasa bebas kembali. Tepat ketika Tama benar-benar menarik dirinya. Mengurai pelukan yang ia berikan pada Eshika.

Sejenak Eshika terpana melihat wajah semringah Tama di hadapannya. Walau baru bangun tidur, tetap saja. Tama benar-benar membuat ia terpesona. Dan Tama masih tersenyum di hadapannya.

Eshika menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan.

"Tam ...," lirihnya pelan.

"Iya?"

Eshika lantas merasa geli. Hingga membuat Tama bingung.

"Eh? Kenapa?"

"Aduh ...." Eshika menarik napas lagi sebelum menatap Tama lucu. "Aku tadi nggak minta peluk kok."

"Eh?" Dahi Tama mengernyit. "Nggak minta peluk gimana ceritanya? Orang jelas-jelas kamu tadi merentangkan tangan gitu."

"Hahahahaha." Eshika tertawa. "Sebenarnya, tadi itu aku mau menghadang kamu biar kamu nggak bisa ngambil roti di island."

Wajah Tama membeku.

"Eh, malah kamu ngiranya aku mau minta peluk." Eshika menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mencegah tawanya yang ingin semakin meledak.

Sontak saja perkataan Eshika yang satu itu membuat warna merah menjalari wajah Tama. Membuat ia mengelam malu.

"Yang bener?" tanya Tama salah tingkah.

"Hahahaha."

Eshika mengusap matanya yang basah. Air mata tanpa disadari terbit karena dirinya yang tertawa terbahak-bahak.

Aduh!

Tama malu sekali.

Tapi, ketika Tama bermaksud untuk memutar tubuh dan melarikan diri ke kamarnya, eh mendadak saja Eshika meraih tangan Tama.

Gadis itu maju.

Menengadahkan wajah demi bisa menatap mata Tama.

Lantas, di luar dugaan, Eshika justru memeluk Tama untuk beberapa saat lamanya. Membuat Tama membeku jiwa raga. Terutama ketika didengarnya Eshika berkata di atas dadanya.

"Kalau kamu mau peluk aku, ya peluk aja. Nggak perlu nunggu sampe aku ngomong."

Tama tersenyum lebar.

Kedua tangannya yang sempat terjuntai di sisi tubuh, seketika mendadak kekuatannya kembali. Bergerak dan kedua tangan itu balas memeluk Eshika. Mengusap punggung gadis itu berulang kali.

Entah berapa lama mereka seperti itu.

Di dapur, saling berpelukan.

Dan saling merasa bahwa pagi itu benar-benar awal yang sempurna.

*

Bu Hilda melihat buku tugas yang telah terkumpul di atas meja. Ia tampak melihat satu per satu tugas tersebut. Merasa aneh dan sangsi, guru Bahasa Indonesia itu menurunkan kacamatanya. Tampak menatap Tama yang tengah mengerjakan tugas, lalu kembali melihat tugas yang telah Tama kumpulkan.

"Tama."

Tama sontak mengangkat wajahnya. "Iya, Bu?"

"Sebenarnya saya akhir-akhir ini memang sering mendengar guru-guru membicarakan kamu di ruang guru."

Wiiih!

Kelas mendadak langsung riuh. Semuanya menyoraki Tama. Membuat cowok itu bingung dan heran.

"Tapi, yaaah." Bu Hilda mengembuskan napas panjang sebelum lanjut berkata. "Kamu kan memang sering jadi bahan pembicaraan guru-guru."

"Hahahaha."

Dalam hati Tama mengumpat.

Ini ada masalah apa sih? Perasaan akhir-akhir ini aku nggak buat masalah deh. Tapi, kenapa mendadak aku dipermalukan di depan kelas gini?

"Bahkan bukan hanya jadi bahan pembicaraan guru-guru saja sebenarnya. Tukang kantin aja sering membicarakan kamu."

Kelas kembali tergelak.

Hanya Eshika dan Tama yang tidak tertawa. Bahkan Reki yang jelas-jelas berada di sebelah Tama pun terpingkal-pingkal parah karenanya. Membuat Tama mendelik pada Reki.

Memang cari mati ini anak. Awas aja ntar pas balik ya. Aku kubur beneran di semak-semak.

"Tapi ...."

Suara Bu Hilda kembali membuat Tama menoleh ke depan.

"Setelah tamat kamu mau kuliah di mana?"

Tama mengerjap-ngerjap. Bingung dengan pertanyaan itu. "Belum kepikiran, Bu."

Bu Hilda menarik napas. "Akhir-akhir ini guru memang sering membicarakan kamu. Pada heran dengan kemajuan kamu di kelas. Tugas tepat waktu mengumpulkannya dan mengerjakannya pun nggak asal-asalan."

Kali ini tidak ada gelak tawa di kelas. Semua terbengong.

Hanya ada dua orang yang terlihat tersenyum kecil.

Tama mengulum senyum.

"Makasih, Bu."

"Tugas bedah novelnya juga bagus. Ditulis rapi, runtun, dan kamu terlihat bisa mengambil poin-poin penting di ceritanya," lanjut Bu Hilda. "Seperti kamu benar-benar membaca novel itu."

"Wah! Jelas dong, Bu," kata Tama, setengah membanggakan dirinya dan setengah lagi tidak terima dengan maksud tersirat di kalimat itu. "Novel itu beneran saya baca, Bu. Saya baca seharian, Bu. Sumpah. Mana ngebacanya penuh perjuangan lagi."

Aduh!

Tama teringat bagaimana ia sekuat tenaga menjaga fokus membaca di saat ada kepala Eshika di atas pahanya.

"Ya sudah, lanjutkan tugas kalian," kata Bu Hilda pada seisi kelas. Namun, tak urung Bu Hilda tersenyum, seraya menggumam pelan. "Seharusnya kamu belajar yang bener dari dulu, Tam."

Namun, gumaman itu masih cukup keras untuk terdengar di telinga Tama. Hingga cowok itu pun sengaja berucap.

"Dulu belajar nggak pernah menjadi hal yang semenyenangkan ini, Bu."

Dan di depan, pura-pura tidak mendengar, Eshika berusaha untuk menahan senyumnya. Berupaya untuk fokus dengan tugas miliknya sendiri.

*

Ketika Eshika dan Velly pergi ke kantin saat jam istirahat, sayup-sayup telinga Eshika mendengar bisik-bisik yang membawa nama Tama.

"Emang sih. Tama akhir-akhir ini kayak beda banget."

"Entah sejak kapan, tapi dia kayak yang berubah gitu."

"Biasanya kan dia suka tuh ngumpul bareng anak basket atau anak futsal. Tapi, kini jangankan gabung lagi, eh ngeliat mereka latian bentar aja udah nggak."

"Nah, itulah masalahnya. Emang sih anak kelas 12 udah nggak disuruh aktif ekskul lagi buat fokus ke ujian kan. Tapi, ya nggak kayak gini juga kali."

"Padahal dulu-dulu Tama masih sering kok main pas ekskul. Kini aja udah nggak lagi."

"Makanya itu kan banyak junior cewek yang pada keluar dari ekskul basket akhir-akhir ini."

"Iya. Percuma. Mereka nggak bisa ngeliatin Tama juga."

Eshika duduk di satu meja kosong.

Ternyata cewek-cewek pada masuk basket cuma gara-gara mau ngeliatin Tama toh. Ehm ... kalau ada futsal cewek, pasti bakal tambah banyak cewek yang berusaha tepe-tepe ke Tama.

"Sekarang emang sih keliatan dia lebih fokus ke pelajaran."

"Mungkin karena bentar lagi mau tamat kali ya?"

"Jadi dia yang ya kayak mau belajar gitu. Biar lulus."

"Tapi, nggak sampe segitunya kali. Bahkan setipe Bu Hilda yang cerewet saja bisa muji dia di kelas."

Eshika sedikit mengibaskan rambutnya.

Ya iya dong Tama sampe dipuji. Orang Tama ngerjain tugas itu bareng aku juga. Ya jadi semangatlah dia buat tugas. Emangnya kayak kalian? Yang bisanya cuma buat Tama keluyuran ngabisin waktu percuma aja.

Gerutuan Eshika di dalam hati buyar ketika Velly telah datang dengan dua porsi siomay ke meja mereka. Memberikannya seporsi pada Eshika dan ia mulai menikmati miliknya sendiri.

Dengan mulut menggembung, Velly berkata. "Berasa beda sekarang kalau orang lagi ngomongi Tama. Kayaknya gosip Tama yang terakhir itu pas kejadian kamu, dia, dan Laura yang sampe dipanggil ke BK deh. Habis itu dia nggak pernah buat ulah lagi."

"Ehm?" Eshika menyuap siomay ke dalam mulutnya.

"Kalau dulu orang ngomongi Tama itu pasti: Gila! Tama kemaren ditembak Melati. Eh? Dia udah mutusin Mawar? Astaga. Aku pikir dia bakalan langgeng dengan Kenanga."

Eshika melongo. Kenapa kayak berita korban pemerkosaán sih nama inisialnya?

"Tapi, sekarang? Tugas Tama bagus. Tepat waktu." Kedua bahu Velly naik sekilas. "Berasa bukan Tama aja."

Eshika geleng-geleng kepala. "Itu yang orang bilang, cinta itu menjadikan orang lebih baik."

"Uhuuukkk!"

Velly langsung meraih gelas minumnya. Meneguk airnya sebanyak mungkin untuk mendorong siomay yang menyangkut di pangkal tenggorokannya.

Eshika sampai menyodorkan tisu karena gadis itu terbatuk-batuk parah setelahnya.

"Kamu nggak apa-apa, Vel?"

Velly menatap horor. Garpu di tangannya terangkat. "Harusnya aku yang nanya gitu, Esh. Kamu nggak apa-apa kan?"

"Eh?"

"Kamu nggak mendadak gila kan?"

Eshika tertawa.

"Seumur-umur, aku belum pernah dengar kamu ngomong kayak yang tadi itu." Velly melanjutkan menikmati siomaynya. "Okelah. Cinta emang menjadikan orang lebih baik, tapi kadang ada juga cinta yang ngebuat orang jadi aneh kayak kamu."

Eshika hanya mencibir.

"Lagipula," kata Velly dengan mata menyipit. "Kayak yang yakin banget kalau perubahan Tama akhir-akhir ini karena kamu."

Eshika terkekeh pelan mendengar godaan Velly.

Aduh, Vel. Ya pasti dong aku yakin banget. Gimana coba ngomongnya. Aku tuh ya yang sering ngajak dia ngerjain tugas bareng abis makan malam. Bahkan pas baca novel tugas Bahasa itu kan aku baring di paha dia. Sengaja banget biar dia nggak kepikiran buat beranjak sebelum selesai baca.

Velly yang melihat Eshika tersenyum-senyum tak jelas hanya bisa bergidik ngeri.

Astaga.

Emang parah kalau orang yang nggak pernah jatuh cinta mendadak jatuh cinta.

Sekali jatuh cinta, pasti jadi gila kayak Eshika ini.

Ckckckck.

Parah parah.

Dan sebenarnya, tidak hanya Velly yang merasakan hal tersebut. Kejadian serupa juga terjadi di kelas saat itu. Ketika para siswa kebanyakan memadati kantin, ada beberapa siswa lainnya yang justru hanya memilih untuk berdiam diri di kelas.

Ada yang nggak beres ini mah sama Tama. Beneran ada yang nggak beres. Dan kemungkinannya cuma ada dua: otak dia mulai geser atau kejiwaan dia mulai terganggu.

Reki mengusap-usap dagunya.

Atau mungkin karena Tama mendadak memaksa otak dia untuk belajar, sampe akhirnya jiwanya terguncang?

Wah!

Segini bahayanya efek belajar buat Tama.

"Ckckckck."

Reki geleng-geleng kepala seraya berdecak kecil. Masih setia mengamati Tama yang sedari tadi mengulum senyum tanpa henti dan sesekali terlihat mengusap pipi kanannya. Sesuatu melintas di benaknya.

"Tunggu bentar deh."

Tama bengong ketika melihat Reki menarik wajahnya.

"Kamu lagi sakit gigi, Tam?" tanya Reki seraya melihat pipi Tama.

"Sakit gigi?"

"Itu dari tadi megang pipi mulu," kata Reki. "Sakit gigi? Tapi, nggak bengkak sih."

Tama tergelak.

"Makanya, rajin sikat gigi. Jangan kerjaan mandangin gebetan mulu."

Tawa Tama tambah terbahak-bahak. Ia menepuk punggung Reki. "Udah. Anak kecil nggak usah sok ngajarin orang besar."

"Ckckckck. Orang besar?" Reki geleng-geleng kepala. "Dengar, kayaknya kamu makin lama emang agak mulai semakin nggak waras deh."

"Suka-suka kamu aja deh, Ki," kata Tama cuek. Tak ingin menanggapi perkataan Reki.

"Dengar, Tam. Masalahnya bukan apa ya? Masalahnya adalah kamu itu temen aku. Kalau kamu sampe gila, ntar aku ikut ketularan gila gimana?"

Tama meradang. Dan berusaha menarik tangan Reki. Tapi, Reki keburu menyelamatkan diri. Tertawa-tawa keluar dari kelas.

Berniat untuk tidak melepaskan sahabatnya itu, Tama pun bangkit. Berjalan keluar dan di ambang pintu ia justru bertemu dengan Alex yang saat itu ingin masuk ke dalam kelas.

Sontak saja kedua cowok itu menghentikan langkah kaki masing-masing. Reki yang berdiri tak jauh dari sana membeku.

Sial.

Kenapa mendadak kayak ada vampir dan manusia srigala mau berantem gini?

Reki melihat ke langit yang mendadak mendung.

Aduh.

Mengapa jadi dramatis sekali?

Seolah alam sedang mendukung saja perkelahian dua orang cowok itu.

Reki terkesiap.

Mereka nggak bakal berantem beneran kan ya?

Nggak mungkin.

Tama kan baru aja dipuji Bu Hilda, ya masa langsung dipanggil guru BK?

Tapi, kekhawatiran Reki tidak terjadi.

Karena pada kenyataannya Tama dan Alex hanya saling pandang dengan sorot yang tajam. Seolah ingin mengukur kekuatan masing-masing.

Lantas, Alex bergerak terlebih dahulu.

Melangkah ingin masuk. Dan dengan sengaja menabrakkan tubuhnya pada tubuh Tama. Hingga cowok itu sedikit tersentak ke belakang.

Reki melotot.

Aku pikir Tama udah yang paling nggak waras. Eh, ternyata ada yang lebih sinting lagi. Dia ngapain nantangin Tama kayak gitu? Dia nggak tau Tama itu atlet semua cabang olahraga?

Dan Reki sudah bersiap untuk menahan Tama seandainya cowok itu mendadak ingin menghajar Alex. Tapi, Reki kecele. Tama tidak mengejar Alex. Justru beranjak pada Reki. Dan dengan percaya dirinya dia berkata.

"See? Ngeliat dia kayak gitu, udah bisa dipastikan kalau Eshika jauh lebih milih aku ketimbang dia."

Reki melongo. Atau mungkin Tama ini memang sudah melebihi kata gila?

"Dia nggak bakalan nyolot gitu kalau Eshika lebih milih dia ketimbang aku," kata Tama santai. "Dan yah, memang begitulah kenyataannya."

Lalu, Tama meninggalkan Reki. Berjalan ke koridor. Berniat untuk ke toilet seraya bersiul-siul selama perjalanannya.

Ehm ....

Mau kamu ngapain juga, Lex, hasilnya udah keliatan jelas. Eshika itu udah jadi milik aku. Mau kamu jungkir balik kayak gimana juga ya kamu nggak akan pernah ngedapetin dia.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro