Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

64. Bertukar Hadiah

"Praaanggg!!!"

Tangan Tama yang memegang piring dan spons terasa mendadak kehilangan tenaganya. Sontak menjatuhkan kedua benda itu bersamaan. Menimbulkan bunyi yang cukup untuk menyadarkan Tama dari lamunan sekejap matanya.

Sejenak ia masih tidak yakin dengan apa yang terjadi. Pikiran seperti hilang dari dalam kepala Tama. Semua terasa bagai terombang-ambing. Tama bahkan tidak yakin bahwa ia masih menginjak Bumi.

Ini pasti kenyataan.

Soalnya bunyi piringnya kedengaran jelas banget.

Tama kembali mencoba meyakinkan pemikirannya.

Ini nggak mungkin mimpi.

Masa mimpi sambil nyuci piring?

Kan nggak seksi sama sekali.

Glek.

Tama meneguk ludahnya yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokannya. Seolah sedang menyumbat di dalam sana.

Terbengong dia mencoba melihat Eshika. Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya dan tampak salah tingkah. Gugup.

Mata Tama mengerjap-ngerjap.

"Esh ...."

Parah sekali, Tuhan. Tama pikir ia bisa menyebut nama gadis itu dengan lancar seperti biasanya. Namun, alih-alih mampu menyebut nama Eshika, Tama justru mendapati suaranya terdengar seperti cicit tikus yang kejepit bokοng kucing.

Cit ... cit ....

Eshika tampak gelisah. Bola matanya berpindah-pindah dengan tak fokus, hingga kemudian ia tampak memberanikan diri melihat Tama dan berkata dengan lirih.

"A-a-aku mau cium kening kamu, Tam." Ia meneguk ludah. "Ka-kayak kamu yang biasa cium aku."

Tama berusaha untuk tetap menahan diri mendengar perkataan Eshika. Tapi, itu sulit mengingat rona di pipi Eshika membuat gadis itu terlihat menggemaskan di mata Tama.

"Ta- tapi ...."

Tama memerintahkan lidahnya untuk bisa bergerak. "Tapi?" tanyanya terbata.

"Tapi, aku kependekan. Jadi, nggak sampe buat cium kening kamu."

Mata Tama mengerjap-ngerjap lagi.

Kening atau pipi nggak jadi masalah kok, Esh.

Dua-duanya juga boleh kok.

Beneran deh.

"Jadi," lanjut Tama dengan susah payah. "Kamu mau cium kening aku?"

Eshika terdiam beberapa saat.

Melihat Eshika yang diam, Tama segera menekuk lututnya dengan sepenuh hati seraya berkata.

"Nih ... biar ka---"

Tapi, Eshika memotong ucapan Tama.

"Ma-maaf, Tam, kalau kamu nggak suka. Aku mau mandi dulu."

Eshika berlari meninggalkan Tama menuju ke kamarnya. Meninggalkan cowok itu yang seketika saja melongo.

"Ngapain minta maaf, Esh?!" jerit Tama frustrasi. "Kalau kamu minta lagi sih ya nggak apa-apa, tapi jangan minta maaf."

Ugh!

Tama mendadak saja ingin mengejar Eshika dan lantas memeluk gadis itu. Ingin berkata: Kalau kamu kurang tinggi, nggak apa-apa. Kamu bisa kok cium pipi aku aja seterusnya. Atau kalau pipi masih ketinggian, ada bibir aku kok yang agak rendahan.

Tama menggeram manja di depan wastafel.

"Andaikan tangan aku nggak lagi penuh busa kayak gini," katanya frustrasi walau dengan geli, "udah aku terkam juga kamu, Esh."

Tama meraih piring yang terlepas dari tangannya. Meraba benda itu berulang kali untuk mengecek keadaannya.

"Untung udah teruji di ITB dan IPB ini piring, jadi nggak gampang pecah."

Lantas, Tama menoleh ke ambang pintu dapur seraya tetap mencuci piring itu. Ia bergumam rendah.

"Ah, Eshika curang ah. Masa kiss pipi pas aku lagi nyuci piring kayak gini sih. Ugh. Kan jadi nggak bisa balas kiss deh. Ya maksudnya biar kita bisa kiss kiss bareng gitu."

Ah, sudahlah!

Tama melempar-lempar busa di tangannya. Tampak tersenyum malu-malu.

"Ah ... tuh kan ... aku jadi mau lagi."

*

Eshika menempelkan punggungnya di pintu. Satu tangannya mendekap dada dan satu tangannya yang lainnya menahan daun pintu.

Lalu, tangan itu terlepas dari daun pintu.

Aku nggak ngira kalau Tama bakal ngejar aku sampe ke kamar kan ya?

Eshika lantas mengusap wajahnya berulang kali.

Ya ampun. Tadi apa yang aku pikirkan? Kenapa aku bisa segitu nekatnya? Gimana coba pikiran Tama sekarang?

Eshika melongo.

Dia nggak mungkin mikir aku cewek gampangan kan ya?

Eshika menggigit bibir bawahnya.

Nggak mungkin banget dia sampe mikir aku kayak gitu kan?

Tapi ....

Eshika merosot ke lantai.

Tapi, Tama sering kok cium kening aku dan aku nganggapnya ...

Apa dia bakal ngerasa seperti yang aku rasa? Setiap kali dia cium kening aku?

Eshika benar-benar frustrasi.

Ia bangkit dan beranjak untuk berbaring di tempat tidurnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan bantal.

Eshika menjerit pelan.

Tapi, mau gimana lagi?

Aku kayak yang nggak ada otak banget tadi itu.

Memangnya untuk semua hal manis yang Tama lakukan ke aku, terus aku bisa apa coba?

Cewek normal mana yang nggak bakal tersentuh?

Tanpa dia bersikap manis aja aku udah gimana gitu tiap dekat dia. Apalagi kalau dia semanis ini?

Aku udah beruntung banget nggak meleleh kayak es krim yang kepanasan coba.

Hiks ....

Eshika menarik napas dalam-dalam setelah menurunkan bantal dari atas wajahnya. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Bagaimana pun juga, untuk gadis seusia Eshika yang tidak memiliki pengalaman apa pun terhadap cowok, memberanikan diri untuk benar-benar mencium Tama jelas menjadi hal yang mengganjal di pikirannya. Hal yang sama yang akan dirasakan oleh gadis-gadis lainnya.

"Tapi, aku rasa ini nggak bakal jadi masalah," kata Eshika tersenyum kecil. "Aku cium suami aku sendiri loh. Nggak ada yang salah dengan cium suami sendiri. Terutama karena suami aku bersikap manis banget."

Kali ini, Eshika dengan benar meletakkan bantal di bawah kepalanya. Berbaring menyamping dan lagi-lagi bermain dengan pikirannya sendiri.

"Aku tau Tama pasti nggak mudah bisa nerima perubahan kehidupan dia karena terpaksa menikahi aku," lirih gadis itu. "Dari yang dipuja-puja cewek di mana-mana, eh mendadak jadi melepaskan semuanya."

Senyum di bibir Eshika mengembang dengan sempurna.

"Aku pikir mulai dari sekarang aku benar-benar harus baik deh ke Tama. Kalau cewek-cewek pada tau sifat asli Tama yang manis kayak gimana ... uh! Mereka pasti tambah nekat mau dapetin Tama."

Bibir Eshika mengerucut.

"Mau gimanapun juga, Tama itu suami aku. Nggak boleh ada yang sampe deket-deket dengan dia."

*

Tama gelisah.

Bukan gelisah seperti suami yang mendadak ditinggal istrinya pergi selingkuh sama laki-laki yang tidak jelas asal usulnya. Jelas bukan selingkuh yang seperti itu.

Tama berguling-guling di atas kasurnya. Berguling dari sisi kanan hingga mentok ke sisi kiri. Lalu balik lagi ke sisi kanan. Begitulah berulang kali hingga membuat kepalanya sedikit pusing.

"Argh!

Tama menggeram seraya bangkit dari aksi guling-gulingnya yang bodoh itu. Kedua tangannya naik ke atas kepala. Mengacak-acak rambutnya hingga berantakan.

"Aduh, Tuhan."

Ia meraih guling, memeluknya seperti seekor hamster memeluk biji bunga matahari dan kemudian, tubuhnya justru terjatuh lagi ke atas kasur.

"Aku kan tadi itu rencananya mau manjain Eshika. Makanya aku nyuruh dia jalan-jalan, belanja, sampe masak buat dia," gumam Tama. "Aku tuh mau manjain Eshika. Tapi, kenapa malah berasa aku yang lagi dimanjain? Kenapa mendadak malah aku yang dibuat berbunga-bunga kayak gini?"

Tama semakin mengeratkan pelukannya pada guling itu. Andai saja guling itu ada rasa dan bisa bicara, sudah barang tentu guling itu akan menjerit kesakitan.

"Ini mah nggak adil namanya," gumam Tama malu-malu di atas gulingnya.

Dan ketika ia masih berpikir soal ciuman tadi, tangan Tama spontan mengusap-usap pipinya berulang kali.

"Iya, Eshika nggak adil nih. Masa pipi kanan aja yang dicium? Kan pipi kiri aku jadi cemburu." Tama mengulum senyum geli. "Kening aku juga cemburu loh .... Ups!" Tama membenamkan wajahnya ke guling. "Apalagi bibir aku."

Ah, sudahlah!

"Eh, tapi ngomong-ngomong aku juga belum pernah cium pipi dia sih?" Tama terkesiap. "Apa sekarang pipi dia juga ngerasa iri ya sama kening dan bibirnya?"

Hihihi.

Otak Tama benar-benar sudah tidak tertolong lagi.

"Hari ini aku manjain Eshika hal yang remeh banget sih sebenarnya. Cuma masakin dia makan malam, eh aku langsung dapat hadiah cium pipi." Sesuatu berputar-putar di kepala Tama. Menyimpulkan sesuatu. "Apa kalau aku manjain dia lagi, aku bisa dapet cium pipi lagi? Atau lebih dari cium pipi?"

Tama seketika saja meraih ponselnya.

Membuka aplikasi alarm yang selama ini seolah tidak pernah ada di ponselnya.

"Besok mau bangun pagi ah. Mau buatin dia sarapan," kata Tama tersenyum seraya berharap di dalam hati. "Siapa tau aku dapat sarapan plus plus dari Eshika."

Hihihi.

Maka, Tama yang tidak terbiasa tidur cepat pada akhirnya memutuskan untuk memaksa matanya memejam. Ia bertekad untuk bisa bangun pagi.

Ingin membuatkan sarapan untuk Eshika.

Tapi, alarm itu benar-benar tidak berfungsi ketika ternyata telinga Tama memang tidak terbiasa dengan alarm. Dan bisa dipastikan, ketika dering alarm berbunyi untuk keenam kali setelah pengulangan otomatis setiap sepuluh menit sekali, Tama baru tersentak bangun dari tidurnya.

"Sial!"

Tama mengumpat. Dengan cepat mencuci muka dan beranjak keluar dari kamarnya. Tapi, baru selangkah dari ambang pintu kamarnya, hidung Tama justru mengendus aroma.

"Ah ...."

Kaki Tama melangkah lemas menuju ke dapur.

Ia kecewa karena terlambat bangun dan telah mendapati Eshika menyiapkan sarapan untuk mereka.

Gadis itu terlihat sudah mengenakan seragamnya. Dari seberang kitchen island, Eshika melihat pada Tama yang menghampiri meja makan. Ia tersenyum manis pada Tama.

"Kamu udah bangun, Tam?"

Tama mengangguk lesu. Menarik kursi untuk duduk.

"Kamu capek ya, Tam?" tanya Eshika kemudian. "Tidur kamu nggak nyenyak?"

Tama menggeleng. "Cuma ...." Cowok itu memutuskan untuk tidak melanjutkan perkataannya, melainkan hanya geleng-geleng kepala lagi. Dan Tama mengalihkan pembicaraan mereka. "Apa sarapan pagi ini?" Cuping hidung Tama bergerak-gerak mendengus aroma lezat di udara. "Semacam ada bau-bau keju gitu."

Eshika beranjak seraya membawa satu piring pada Tama. "Aku buatin roti gandum bakar kesukaan kamu. Pake keju dan krimer kental manis."

"Wah!"

Hilang sudah rasa kecewa Tama. Tergantikan oleh rasa senang karena gadis itu menyiapkan sarapan kesukaannya.

"Kamu nggak mau mandi dulu, Tam?" tanya Eshika.

Tama menahan napasnya. "Pilihan berat, Esh."

"Gimana kalau habis mandi akan ada 2 porsi lagi?"

Tama tertawa. Dengan cepat meraih roti di piringnya dan melahapnya sekejap mata. Tapi, tatapannya kemudian sekilas tertuju pada roti lainnya yang masih ada di island.

Eshika yang menyadari itu lantas mengembangkan kedua tangannya. Seolah-olah ingin menghadang Tama agar tidak bisa beranjak ke sana untuk mengambil roti itu. Dan Eshika menatap lurus pada Tama seraya tersenyum samar.

Tama tertegun di kursinya. Menatap bingung ketika melihat Eshika berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang terkembang.

Astaga, Tuhan.

Ini semacam kode atau apa?

Glek.

Astaga, Tam.

Kalau kamu yang masakin dia makan malam aja bisa dapat hadiah cium pipi. Kenapa Eshika yang nyiapin sarapan buat kamu nggak kamu kasih hadiah juga.

Tama mendorong kursinya mundur.

Bangkit dari duduknya.

Sementara itu Eshika justru maju dengan tetap merentangkan kedua tangannya. Dalam hati gadis itu bertekad untuk benar-benar menyelamatkan roti itu dari incaran Tama. Pokoknya sebelum Tama selesai bersiap untuk ke sekolah, Eshika tidak akan membiarkan Tama mendapatkan roti yang kedua.

Tapi ....

Eshika membeku. Tepat ketika ia merasakan bagaimana Tama yang maju bukannya beranjak untuk mengambil roti, melainkan untuk memeluk tubuhnya.

"Tama ...."

Tapi, belum cukup dengan satu pelukan, cowok itu justru mengangkat tubuh Eshika hingga ia spontan mengalungkan tangan di leher Tama. Ia terkesiap tertahan ketika Tama membawa tubuhnya melayang dalam satu putaran.

"Kalau mau minta peluk," bisik cowok itu seraya menjejakkan lagi kaki Eshika di lantai. Napas Tama membelai-belai rambut di sekitaran telinga gadis itu. "Kamu bilang aja. Nggak usah pake kode ya. Nggak apa-apa kok."

Eshika melongo.

Wajahnya panas. Antara bingung, tapi juga merona.

Emangnya yang minta peluk siapa?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro