Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

63. Kecupan Di Pipi

Tama membuka kulkas.

Setelah pulang sekolah tadi, Tama dengan sengaja mampir sebentar ke supermarket. Sekadar untuk belanja beberapa sayuran yang ia inginkan. Sementara itu karena ia sudah lapar dan menyadari kalau perutnya tidak akan bisa bertahan kalau dirinya memutuskan untuk masak, maka Tama pun akhirnya memilih untuk makan ayam geprek.

Dan cowok itu baru saja selesai makan untuk kemudian ia menyusun beberapa belanjaannya tadi. Tak butuh waktu lama, semuanya telah tersusun rapi di dalam kulkas.

Tama membuang bekas makan siangnya ke tempat sampah dan seraya mencuci tangannya di wastafel, ia termenung akan sesuatu.

Eshika pasti stres banget ya kan?

Semenjak nikah sama aku, dia harus langsung beradaptasi buat tinggal di sini.

Nggak ada orang tua, nggak ada siapa pun.

Mutlak dia harus bergantung sama aku.

Padahal sejarah hubungan kami juga akhir-akhir ini nggak terlalu bagus.

Yah walaupun kami memang saling kenal dari dulu, tetap aja.

Mendadak tinggal dengan cowok yang sebelumnya nggak pernah tinggal bersama, pasti ngebuat ia tertekan.

Dan nggak cukup dengan itu, ia justru menerima banyak hal buruk karena aku.

Parahnya lagi, abis nikah dia malah kayak yang kehilangan waktu untuk dirinya sendiri.

Sibuk ngurusin aku yang pura-pura sakit sampe lupa buat senang-senang bareng temannya.

Tama meraih lap dan mengelap tangannya hingga kering. Beberapa hari yang lalu ia begitu tertawa-tawa bisa mengerjai Eshika dengan diare pura-puranya. Tapi, sekarang entah mengapa hal itu membuat Tama justru merasa bersalah. Menyadari bahwa ia tak seharusnya melakukan hal seperti itu pada Eshika.

Aku nggak seharusnya ngebuat dia susah.

Ngebuat dia capek.

Gimana ntar kalau dia sampe nyesal nikah sama aku coba?

Kan bisa gawat persoalannya.

Tama mengangkat wajahnya.

Kalau mendadak dia menggugat cerai aku karena stres? Karena capek? Karena merasa tertekan? Ngerasa nggak bahagia?

Wah.

Mata Tama seketika saja mengerjap-ngerjap panik. Ia mondar-mandir seraya berkacak pinggang. Berpikir. Tapi, tak ada apa pun yang melintas di benaknya.

Gimana coba ngebuat dia bisa ngerasa senang tinggal bareng aku?

Biar dia nggak ada sedikit pun kepikiran buat ninggalin aku?

Kalau pun dia suka juga sama aku, tapi kalau aku nggak bisa buat dia senang ya bakal kena depak juga mah aku.

Ya dia segitu manisnya. Banyak cowok yang suka sama dia.

Namanya juga cewek. Kalau ada cowok yang bisa ngebuat dia senang lahir dan batin, ngapain juga milih hidup sama cowok yang buat dia sengsara?

Kalau cewek begok mah mungkin bisa jadi tetap milih hidup sengsara.

Tapi, kan Eshika nggak begok mah.

Tama beranjak dari dapur. Menuju ke kamarnya dan meraih ponselnya. Dengan segera mengusap layarnya. Dibutuhkan banyak keberanian untuk akhirnya Tama menekan kontak itu.

"Tama?"

Tama meneguk ludahnya. "Halo, Ma? Apa kabar?"

"Ehm .... Baik, Tam," jawab Mawar di seberang sana. "Kayaknya juga baru berapa hari deh kita ketemu, Tam. Ada apa?"

Tama menarik napas.

Bener juga sih. Baru berapa hari gitu kan ya, tapi ... mau gimana lagi?

"Nggak apa-apa sih, Ma."

Mawar menerka. "Lagi ribut sama Eshika?"

"Nggak dong, Ma," kata Tama cepat. "Orang sekarang Eshika lagi senang-senang juga sama temannya. Mereka lagi jalan."

"Dia pergi jalan bukan karena lagi ngambek sama kamu kan ya?"

"Ma!" jerit Tama. "Nggak percaya banget sama anak sendiri. Kalau ragu, coba deh telepon Eshika sekarang."

Mawar tertawa. "Kalau kamu berani ngomong gitu, berani emang lagi nggak ada masalah dong ya?"

Tama cemberut. "Mama nih nggak boleh berburuk sangka sama anak sendiri."

"Iya iya. Hihihi. Maaf ya," kata Mawar geli.

Tama menarik napas panjang. Mencoba mencari alasan untuk bertanya. "Tenang aja, Ma. Aku juga nggak mau buat masalah. Ya siapa tau aja kalau aku nggak nyari masalah keadaan unit bisa sama damainya dengan keadaan rumah."

"Ehm ... di rumah juga kadang-kadang ribut kok," kata Mawar. "Namanya juga orang bekeluarga. Ribut itu juga biasa, asal ya nanti diperbaiki. Gimana lagi. Kadang bisa stres dan akhirnya malah buat keributan di rumah."

Mata Tama menyipit. Ternyata lebih cepat kena sasaran, pikirnya.

"Tapi, kayaknya aku nggak pernah ngeliat Mama stres deh."

"Eh? Mana ada manusia yang hidup nggak pake stres, Sayang," kata Mawar lagi-lagi merasa geli. "Kamu tau? Tiap Mama nggak masak itu tandanya Mama lagi stres parah."

"Oh ya?"

"Iya. Makanya sebagai gantinya Papa yang masak. Mama nggak disuruh ngapa-ngapain. Kalau nggak cukup, udah deh besoknya Mama disuruh belanja. Dan kalau Mama masih juga stres ya diajak liburan. Tapi, ya itu kalau Papa lagi nggak sibuk."

Tama menarik napas. Terjadi dari semenjak Mawar bicara tadi, cowok itu sudah beranjak ke meja belajarnya. Mencatat apa yang dikatakan oleh ibunya tersebut di sebuah buku.

"Kalau Papa sibuk?" tanya Tama kemudian penasaran.

"Paling Papa pijitin Mama. Ya gitulah ...."

Tama mengernyit. Merasa ada yang aneh dengan nada suara Mawar. Tapi, Tama tak menghiraukannya. Yang penting, tujuannya telah tercapai.

"Eh! Ngapain Mama jadi ditanya-tanya sih?" tanya Mawar kemudian.

"Mama aja yang kebiasaan ngobrol," kata Tama seraya berpikir. Berusaha mencari topik lain agar Mawar tidak merasa tengah ditanya macam-macam oleh dirinya. "Ehm ... Ma, bulan depan kelas kami rencananya mau main ke Puncak. Nginap dua malam."

"Oh .... Kamu dan Eshika ikut?"

"Ikut. Ntar kalau mau berangkat, kami main bentar ke rumah."

"Oke. Mama tunggu."

Sejurus kemudian, telepon itu berakhir.

Sekarang Tama berdiri dengan senyum terkembang dengan catatan di tangannya. Ia angguk-angguk kepala.

Ya mungkin aku nggak bisa melakukannya tiap saat dan sesempurna Papa sih ya, tapi seenggaknya jangan sampe nggak aja.

Maka, Tama kemudian mengirimkan pesan pada Eshika.

[ Eshika ]

[ Esh .... ]

[ Kalau kamu balik sorean atau hampir malam, nggak usah beli makan di luar ya. ]

[ Malam ini biar aku yang masak. ]

Dan Tama pun melenggang ke dapur. Meraih celemek dan bergumam.

"Ini waktunya untuk Chef Tama beraksi."

*

Eshika dan Velly masih berputar-putar mengelilingi tiap toko yang ada di mall ketika cewek itu merasakan ponselnya sedikit bergetar. Ia segera meraih ponselnya dari dalam saku seragamnya. Ketika ia tau bahwa itu adalah pesan dari Tama, Eshika sedikit menarik diri dari Velly sedang memilih warna lipstik.

[ Tama ]

[ Esh .... ]

[ Kalau kamu balik sorean atau hampir malam, nggak usah beli makan di luar ya. ]

[ Malam ini biar aku yang masak. ]

"Eh?"

Eshika mengerjap membaca pesan Tama.

[ Tama ]

[ Kamu masak buat makan malam ini? ]

[ Nggak usah, Tam. ]

[ Paling lama jam enam aku udah balik kok. ]

"Ini bagus nggak, Esh?"

Eshika melihat Velly yang menunjukkan satu lipstik pada dirinya. "Ehm ... bagus sih. Cocok-cocok aja sama kulit kamu."

"Memang aku ngerasanya juga gitu. Kayaknya aku mau ngambil ini satu deh."

Velly kemudian beranjak tepat saat pesan Tama masuk lagi.

[ Tama ]

[ Nah. Kamu balik jam segitu pasti capek. ]

[ Masa langsung masak? ]

[ Nggak apa-apa malam ini aku yang masak. ]

Eshika melangkah pelan di antara rak-rak pajangan yang berjajar rapi. Seraya mengulum senyum.

Ya ampun, Tama.

Udah nyuruh aku jalan. Pake dikasih uang jajan. Eh, malah ditambah mau masakin aku buat makan malam coba.

[ Tama ]

[ Kamu ada mau aku beliin sesuatu pas balik? ]

Hanya itu yang bisa diketik Eshika sebagai balasan untuk pesan Tama tadi. Ia menghela napas dalam-dalam.

[ Tama ]

[ Nggak usah. ]

[ Lagi nggak kepengen apa-apa kok. ]

[ Yang penting kamu hati-hati aja. ]

Dan ketika Eshika ingin membalas pesan itu, Velly kembali menghampiri dirinya. Tampak memamerkan satu lipstik pada Eshika.

"Ini ada lipstik warna pink mauve. Pasti cocok banget sama kamu," katanya.

Eshika meraih lipstik itu. Mengusapnya dua kali pada kulit punggung tangannya. Tampak cantik.

"Bagus kan ya?" tanya Velly kemudian.

Eshika mengangguk. "Kayaknya aku mau beli satu deh."

"Beli dua juga nggak apa-apa," kikik Velly geli.

Dan sementara Eshika menikmati waktunya bersama Velly, di unit apartemen Tama benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Dengan mengenakan celemek yang biasa Eshika pakai, cowok itu mengeluarkan beberapa sayuran dari dalam kulkas.

Sebenarnya, Tama sama dengan cowok lainnya. Ketika ia memegang pisau, tangannya terlihat kaku. Ya wajar sih. Dibandingkan dengan memegang pisau, Tama lebih sering memegang bola basket. Tapi, bukan berarti dia tidak bisa masak. Untuk masakan sederhana seperti capcay sih Tama juga ahli kok.

Jadi, ketika jam menunjukkan sepuluh menit lewat dari pukul enam sore, Tama memadamkan kompornya. Ia tersenyum puas melihat hasil masakannya.

Ini pasti enak banget loh.

Aku kan masaknya pake cinta.

Hihihi.

Lantas Tama mengambil ponselnya. Mengambil foto masakan itu dan dengan segera mengirimkannya pada Eshika. Ia tersenyum. Membayangkan bagaimana perasaan Eshika ketika menerima pesannya yang satu itu.

Dan ternyata, Eshika benar-benar tidak bisa menahan gejolak hatinya saat membaca pesan Tama yang menyertai foto hasil masakannya.

[ Eshika ]

[ Masakan enak penuh gizi. ]

[ Biar yang capek habis belanja tetap sehat. ]

Seketika saja Eshika berseru pada Velly yang masih melihat-lihat pakaian dalam.

"Vel! Kita balik yuk!"

*

Eshika terburu-buru membuka pintu unit apartemen. Melepas cepat sepatunya dan bergegas masuk. Meletakkan barang belanjaannya di kamar dan langsung keluar. Menuju ke dapur dan mendapati Tama yang baru saja selesai menata makan malam di atas meja makan.

Tama tampak kaget. "Loh? Kok udah balik? Cepet banget."

Eshika mendekati Tama. Berbinar-binar melihat cowok itu. "Soalnya aku udah lapar sih. Ngeliat pesan kamu, aku jadi mau makan cepat-cepat."

Tawa spontan menyembur dari mulut Tama. "Ya elah. Aku pikir kenapa juga." Ia tersenyum. "Mau makan sekarang?"

Eshika mengangguk.

Mendapati anggukan itu, Tama menarik kursi dan Eshika langsung duduk. Sementara itu Tama duduk di kursi lainnya.

Cowok itu menyendok nasi putih ke piring Eshika. Tak lupa dengan capcay ayam bakso yang telah ia masak tadi. Menyerahkan piring itu pada Eshika.

Selagi Tama menyiapkan piring untuk dirinya sendiri, Eshika meraih sendok dan garpunya. Tapi, tatapan gadis itu tak lepas dari mengamati Tama.

"Ayo dimakan," kata Tama.

Suara Tama sukses mengembalikan kesadaran Eshika dari keterpanaannya terhadap cowok itu. Gugup, Eshika hanya bisa mengangguk dan mulai menikmati makan malamnya.

"Gimana rasanya?" tanya Tama dengan mulut yang mengembang di sebelah kanan karena kunyahannya.

Bahkan sebenarnya Tama bisa melihat ada senyum di mata Eshika ketika menjawab.

"Ini enak banget, Tam," puji Eshika. "Rasanya aku bakal nambah deh."

Tama mengulum senyum. "Nambah boleh, tapi jangan sampe kekenyangan. Nggak bagus."

"Iya ...."

Dipandang seperti itu membuat Tama merasa jengah. Sebisa mungkin ia menghindari tatapan Eshika. Bukannya apa. Ia takut hilang kendali kalau beradu pandang dengan gadis itu sementara Eshika menatapnya dengan penuh binar.

Hingga makan malam itu selesai, mereka berdua nyaris tidak berbincang banyak hal. Ketika Tama bangkit untuk mengumpulkan piring kotor, ia bertanya.

"Gimana tadi jalannya? Enak?"

Eshika masih saja terus menerus memandangi tiap gerak-gerik Tama. "Enak kok."

Tama menyalakan air di wastafel hingga membasahi piring kotor di sana. Dengan sabun cuci piring secukupnya, cowok itu membuat busa di spons yang ia pegang di tangan kanannya. Wajah cowok itu berpaling.

"Pasti kamu capek kini ya? Mendingan kamu bawa mandi, terus langsung istirahat di kamar."

Eshika mengangguk sekali tanpa bersuara sedikit pun.

Dan Tama kemudian meraih piring pertama tepat didengarnya suara kursi yang bergeser. Semula Tama pikir Eshika akan segera pergi ke kamarnya. Bersiap untuk mandi, tapi ia keliru.

Eshika mendekati Tama.

Gadis itu terlihat meneguk ludahnya.

Tama udah sering banget loh ngelakuin kayak gitu ke aku. Apa itu artinya aku juga boleh ngelakuin hal yang sama ke Tama?

Kaki Eshika terasa kaku ketika gadis itu telah berdiri tepat di sebelah Tama. Menyadari kehadiran Eshika, cowok itu lantas menoleh. Menatap Eshika yang menengadah padanya.

"Kenapa, Esh?"

Tapi, tak ada jawaban yang didapat Tama untuk pertanyaannya. Melainkan satu sentuhan di tangannya.

Tama melihat dengan bingung ketika mendapati kedua tangan Eshika memegang tangannya di sekitaran siku. Tapi, kebingungan Tama seketika berubah menjadi ketidakpercayaan saat menyadari bagaimana tubuh Eshika yang meninggi saat gadis itu menjinjitkan kakinya.

Satu kecupan di pipi Tama membuat piring terlepas seketika dari tangannya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro