Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

58. Kecurigaan

Argh!

Alex ini emang sialan!

Sebangsa cowok terlahir tanpa urat malu kayaknya!

Norak banget pake acara maksa-maksa Eshika kayak gitu.

Cih!

Padahal udah kena tolak sampe dikasih doorprize tamparan di pipi juga, eeeh ... ternyata masih bertingkah ya?

Tama uring-uringan lagi dong siang itu.

Astaga!

Mengapa cobaan pernikahan seberat ini, Tuhan?

Tunggu.

Pasangan suami istri yang lainnya juga dapat cobaan kan ya? Bukan cuma aku dan Eshika aja kan yang dapat cobaan terus menerus kayak gini?

Kalau nggak, berarti emang sial banget deh aku.

Tama tanpa sadar menggeram.

Tapi, aku beneran nggak bohong loh ya, Lex. Kalau mau ngerasain kemarahan suami sah, boleh juga. Coba aja kamu ntar macam-macam.

Tama sudah bertekad.

Apa pun yang terjadi, ia akan mengerahkan kekuatan luar dalamnya untuk menjaga Eshika dari godaan Alex yang terkutuk.

Aamiin.

"Kamu kenapa, Tam?"

Satu suara lembut yang bertanya pada dirinya seketika membuyarkan lamunan menegangkan yang menguras emosi Tama. Ia menoleh dan mendapati Eshika bertanya dengan raut wajah penasaran.

Saat ini, mereka berdua tengah berjalan di koridor. Diskusi kelas mereka mengenai rencana jalan-jalan ke Puncak telah selesai beberapa saat yang lalu. Namun, selepas itu mereka tidak langsung pulang. Eshika dengan sengaja berdiam diri terlebih dahulu untuk menunggu kelas dan sekolah sedikit lebih sepi sebelum pada akhirnya mengajak Tama untuk pulang. Bagaimanapun juga, ternyata Eshika tidak ingin kembali menjadi pusat perhatian seperti pagi tadi.

Itu terasa memalukan bagi gadis itu. Menjadi pusat perhatian membuat Eshika resah.

"Wajah kamu kayak yang mendadak kelihatan bete gitu," lanjut Eshika seraya sedikit melongokkan wajah untuk bisa melihat lebih dekat wajah Tama di sebelahnya. "Kenapa? Lagi bad mood sama siapa?"

Tama manyun. Membuang wajahnya ke arah lain. "Apaan sih ...."

"Ehm ...." Eshika mendehem pelan. Berpikir dan merasa tau penyebab Tama mendadak seperti ini. "Kamu marah ya gara-gara aku mau ikut ke Puncak?"

Tama dengan segera memutar wajahnya lagi. Menghadap Eshika. Langsung saja ia menukas. "Tuh tau. Kenapa masih pake acara nanya lagi?"

"Aku minta maaf, Tam."

Tama terdiam seraya mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. Dari kejauhan ia menekan smartkey itu dan ketika mereka sampai, kuncil mobil telah terbuka. Mereka pun masuk.

Sembari memasangkan sabuk pengamannya, Eshika kembali berkata. "Tapi, makasih ya."

"Makasih?" tanya Tama.

Makasih buat apa?

Karena memberikan peluang untuk Alex biar bisa mendekati kamu lagi? Wah! Kalau iya, kamu emang patut banget ngucapin makasih ke aku, Esh.

Eshika tersenyum. "Kamu udah khawatir sama aku. Aku nggak ngira aja kalau kamu kenal banget sama aku. Sampe aku yang rentan cuaca dingin pun kamu ingat."

Ah! Sudah deh.

Emosi yang meletup-letup di dadá Tama seketika saja menjadi percikan warna warni kembang api. Tanpa sadar, senyum malu-malu terbit di bibir Tama. Ia berusaha mendehem demi menahan senyumnya agar tidak tambah lebar seiring waktu.

"Tapi ...."

Tama menoleh ketika Eshika menggantung ucapannya. Ia bertanya.

"Tapi?"

"Tapi, kamu nggak perlu khawatir sih. Aku bakal pake jaga diri baik-baik. Bawa obat-obat, terus pake jaket yang tebal."

Tama spontan mencibir. "Jaket kamu kan nggak ada yang tebal kali, Esh."

Eshika mengerjap. "Eh, bener juga sih."

"Oke deh," kata Tama seraya menyalakan mobilnya. "Kita langsung jalan aja gimana?"

Mata Eshika kembali mengerjap. "Jalan?" tanyanya bingung. "Jalan balik kan?"

Tama tersenyum ketika mobilnya telah keluar dari gerbang. "Bukan. Maksud aku kita jalan bentar buat nyari jaket kamu."

"Eh?"

"Persiapan buat ke Puncak," kata Tama. "Kamu harus cari jaket dan kaos lengan panjang lainnya. Lebih cepat kita nyari itu lebih bagus."

Eshika manggut-manggut. Sedetik kemudian matanya melirik dengan sorot geli. "Kamu udah nggak bete lagi dong ya sekarang? Nggak apa-apa kita jalan?"

Malu sih, tapi cowok itu mengangguk dengan sedikit tersipu. Lantas Tama balas melirik pada gadis itu.

"Udah nggak dan ya ... nggak apa-apa kita jalan bentar. Kebetulan aku juga udah lama nggak mutar-mutar belanja."

Sedang di parkiran sekolah, ketika mobil Tama telah dipastikan melaju meninggalkan sekolah, terlihat Reki yang berusaha keluar dari tanaman semak-semak penghias taman parkir. Berusaha melepaskan lehernya dari rengkuhan Velly.

Reki mendengus ketika berhasil melepaskan lehernya semenit kemudian. Ia menatap tak percaya pada Velly seraya meraba lehernya berulang kali.

"Gila kamu ya?" tanya Reki melotot. "Ada keturunan atlet MMA atau gimana sih? Berasa mau patah leher aku. Kecil-kecil ternyata atlet angkat berat ya?"

Velly mencibir seraya setengah membungkuk keluar dari tanaman semak tempat mereka bersembunyi tadi.

"Segitu aja udah kesakitan," gerutu Velly. "Dasar cowok lemah."

Kali ini Reki berkacak pinggang. Menundukkan pandangannya dan menatap Velly tajam.

"Mau ngerasain kekuatan aku heh?!" tantang cowok itu. "Mau nyoba? Jangan aja ntar nggak kuat nahan ya?"

Velly balas melotot. Lalu, ia melarikan tatapannya ke arah lain.

Reki kembali misuh-misuh. Seraya membersihkan tubuhnya dari daun-daun yang menempel karena sempat bersembunyi di semak-semak, ia bertanya.

"Emang apa sih faedahnya kita ngumpet kayak tadi? Kalau kita tepergok satpam sekolah ...." Reki melotot lagi. "Kita berdua bisa dianggap ngelakuin tindakan asusila di sekolah tau?"

Velly menggigit bibirnya. Sepertinya baru menyadari hal yang satu itu.

"Sorry .... Aku nggak mikir sampe ke situ tadi, Ki ...."

Reki sekali lagi mengusap tangannya. "Emangnya kenapa coba?"

"Sebenarnya ...." Velly terlihat ragu-ragu untuk beberapa saat. "Aku itu penasaran sama Eshika dan Tama."

Dahi Reki mengernyit. "Penasaran sama Eshika dan Tama," kata Reki mengulang perkataan Velly. "Tapi, kamu malah ngebawa aku buat ngumpet di semak-semak? Ehm ... korelasinya ada di mana, Vel?"

Bola mata Velly berputar malas. "Can't you just stop ngomong semak-semak dari tadi, Ki?"

"Lah! Kenyataannya kan emang gitu. Tadi kita di semak-semak," kata Reki seraya mengangkat tangannya. Menunjuk ke semak-semak tempat mereka bersembunyi tadi.

"Iya iya iya. Aku tau tadi kita di semak-semak," kata Velly hampir menggeram. "Tapi, ya nggak usah dibahas terus kali. Berasa aku jadi kayak cewek apaan gitu yang ngebawa cowok polos ke semak-semak."

Reki mencibir.

"Seperti yang aku omong, Ki," lanjut Velly. "Ini itu murni karena aku penasaran sama Eshika dan Tama."

Reki melirik Velly. "Penasaran kenapa?"

Velly mendongak. Berusaha menatap wajah Reki ketika ia bertanya. "Kamu nggak berasa ada yang aneh sama mereka berdua gitu?"

Mata Reki mengerjap.

"Aneh kenapa?"

Velly mengembuskan napasnya dan terasa samar membelai dada Reki. "Ya aneh. Mereka terlihat yang kayak akrab gitu."

Kali ini mata Reki tidak hanya mengerjap, melainkan berkedip berulang kali.

Kemasukan debu kali ya.

"Makanya aku berasa curiga sama mereka deh."

Reki berdecak. Dalam hati ia berpikir.

Ehm ... ini berarti Eshika belum ada cerita apa-apa ke Velly soal perasaan dia ke Tama ya? Ckckckck. Apa ini pertanda kalau Eshika memang nggak ada perasaan apa pun ke Tama? Eh! Nggak mungkin ah Tama bertepuk sebelah tangan. Apalagi kalau ngeliat sikap Eshika ke Tama akhir-akhir ini. Nggak mungkin banget itu cewek nggak suka sama Tama.

Velly mendesak Reki. "Kamu ngerasa aneh juga kan ya? Iya kan? Iya kan? Ngerasa ada yang aneh sama mereka berdua kan?"

Kaki Reki tersurut kaku ke belakang ketika Velly mendesak dirinya. "Aku emang ngerasa aneh," kata Reki. "Tapi, aku ngerasa aneh karena kayaknya kamu yang aneh sekarang ini. Bukan mereka."

Velly menghentikan langkah kakinya. "Eh? Maksud kamu?"

"Maksud aku," jawab Reki seraya beranjak. Pelan-pelan mengambil alih untuk mendesak Velly hingga kali ini gadis itu yang tersurut ke belakang. "Kecurigaan kamu itu nggak mendasar sama sekali. Pake acara ngomongi Tama dan Eshika aneh segala." Reki mendelik. "Aku bilangin ke Tama loh kalau kamu ngomongi dia aneh. Biar dia lempar kamu sampe nyangkut di ring basket, baru kamu tau rasa."

Mulut Velly manyun seketika.

"Aaah ...." Reki manggut-manggut dengan wajah yang mencurigakan. Seolah baru saja menemukan rahasia penting. "Aku penasaran, apa perasaan Eshika kalau tau sahabat dia sendiri ngomongi dia aneh di belakang?"

Mata Velly melotot.

"Wah! Ternyata sahabat zaman sekarang seperti ini!" Reki menangkupkan kedua tangannya ke pipinya sendiri. Menampilkan raut wajah seolah syok. "Aku tak percaya."

Velly menggertakkan rahangnya. "Aku bukannya ngomongi Tama dan Eshika aneh."

"Eh, Maimunah. Tadi you sendiri yang ngomong mereka berdua itu aneh. Ih!" Reki merinding. "Mudah lupa ingatan kamu ya. Ckckckck." Kali ini Reki berdecak. "Itu artinya kamu benar-benar nggak bisa diharapkan kalau pas ujian. Gawat. Masih muda aja udah pikun."

"Iiih!" geram Velly. "Kok kamu nyebelin sih sekarang, Ki?"

"Aku nyebelin semenjak kamu nyeret aku ke semak-semak!" tukas Reki.

Velly melotot.

"Lihat aja ya. Besok aku kasih tau ke anak-anak kalau mainan kamu itu di semak-semak."

Velly menjerit dan berusaha untuk memukul cowok itu. Reki mengelak seraya tergelak-gelak.

"Hei! Hei! Hei!"

Velly dan Reki sama-sama terdiam di tempat masing-masing.

Terlihat seorang satpam berseru pada mereka.

"Ngapain kalian di sini? Belum pulang?"

Velly cemberut. "Ini baru mau pulang kok, Pak," katanya seraya beranjak dengan menggerutu.

"Maaf ya, Pak. Maklum anak muda, Pak. Kalau berantem bisa buat heboh dunia."

Satpam paruh baya itu terkekeh kecil seraya geleng-geleng kepala.

Sepeninggal satpam itu, Reki dengan segera berlari.

"Maimunah! Kamu mau balik?"

Velly cemberut. Tanpa menoleh ia menjawab. "Aku bukan Maimunah."

"Lah! Tapi, kok malah nyahut?"

Langkah kaki Velly terhenti. Sedangkan Reki kembali terpingkal parah di sebelah motornya.

"Kamu ini ...." Velly menggeram seraya mengepalkan kedua tangannya.

Berusaha untuk menghentikan tawanya. Reki mengulurkan helm cadangan yang selalu ia bawa.

"Mau bareng nggak? Aku anterin."

Mata Velly menyipit.

"Bayar atau gratis?"

"Hahahaha. Yang kemaren aja kamu masih ngutang," tukas Reki seraya melihat Velly yang kembali memutar arah beranjak pada dirinya.

Velly mengambil helm itu. Setengah menyentaknya dari tangan Reki. "Kemaren aku mau bayar, tapi kamu aja nggak punya kembalian," katanya seraya mengenakan helm tersebut.

"Eh, dikira aku beneran tukang ojek depan gang apa?" tanya Reki seraya mengunci helm yang ia kenakan. Lantas ia dengan segera menyalakan motornya.

Di belakang, Velly terlihat kesusahan untuk naik. Bagaimana pun juga, motor Reki tergolong besar. Terutama untuk Velly yang mungil.

Tangan Velly meraih pundak Reki sebelum ia melompat dan akhirnya duduk di belakang cowok itu. Dengan dahi berkerut ia bertanya.

"Entah kamu tukang ojek atau bukan, tapi ini perasaan aku aja atau gimana ya?"

Melalui spion, Reki melihat wajah Velly yang terlihat sedikit tidak nyaman.

"Kenapa?"

"Aku ngerasa motor kamu jadi agak lebih tinggi dari biasanya."

"Perasaan kamu aja atau mungkin kamu yang makin pendek," kata Reki seraya menurunkan kaca helmnya.

Ketika motor Reki melaju, Velly hanya bisa cemberut karena perkataan Reki, tapi di balik kaca helmnya, Reki tersenyum miring.

Padahal kemaren aku buat nggak terlalu tinggi banget deh kayaknya. Hahahaha.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro