55. Sentuhan
Tama lagi-lagi mendaratkan ciuman di puncak kepala Eshika, tepat sebelum cowok itu pelan-pelan berusaha untuk melepaskan diri dari Eshika. Menarik tangannya dan membaringkan Eshika dengan nyaman di atas tempat tidur tanpa dirinya.
Tama memastikan selimut benar-benar menutupi tubuh gadis itu sebelum pada akhirnya ia keluar dari kamar Eshika. Setibanya ia di luar, ia beranjak ke dapur dan melalui kaca balkon ia bisa melihat matahari yang hampir pulang ke peraduannya. Menandakan bahwa hari telah sore.
Cowok itu lantas beranjak untuk membuka kabin di dapur. Menyusuri isinya sejenak dan menentukan pilihannya. Meraih seplastik roti tawar dan membukanya. Ia sempat mengoleskan selai coklat di selembar roti tawar itu sebelum akhirnya mengunyahnya dengan cepat.
Ugh!
Tama kelaparan.
Selesai menghabiskan hampir lima lembar roti tawar, Tama beranjak membuka kulkas dan mengambil minum. Dan di saat ia meneguk air, di saat itulah ia terpikir Eshika.
"Ehm ... dia bangun ntar mau makan apa ya?" tanya Tama. Ia menelengkan wajahnya ke satu sisi. "Sebenarnya Eshika itu kan kalau lagi sakit paling malas makan, sukanya cuma tidur doang."
Tama menundukkan wajahnya. Mengamati isi di dalam kulkasnya dan mendapati ada beberapa sayuran di sana.
"Aku masak sup aja?" tanya Tama. "Ehm ..., kira-kira itu anak mau makan apa ya?"
Aduh!
Tama bingung.
Dan ketika ia masih sibuk melihat-lihat isi di dalam kulkas, telinganya mendadak saja mendengar langkah yang diseret. Ia menoleh.
"Loh, Esh?" Tama bangkit berdiri. "Kamu udah bangun?"
Eshika dengan tangannya yang tenggelam di lengan jaket Tama mengangguk. Tampak menguap sekali. Dengan mata sayu menatap Tama.
"Aku cariin kamu, rupanya kamu udah nggak ada di kamar," katanya lesu.
Eshika beranjak. Menarik kursi dan duduk di meja makan.
"Kamu laper ya, Tam? Mau masak?"
Tama duduk di hadapan Eshika. "Iya. Kamu mau makan apa? Biar aku yang masakin."
"Ehm ...." Napas Eshika berembus pelan. "Aku nggak laper sih, Tam. Cuma lemes aja."
Tangan Tama terulur untuk meraba dahi Eshika. "Kamu masih sakit?"
Eshika menggeleng. "Aku tuh sebenarnya nggak sakit, tapi cuma berasa badan dingin dan capek aja," jelasnya. "Cuma mau yang istirahat aja. Nggak mau ngapa-ngapain selain tidur-tiduran."
Tama menunduk seraya terkekeh kecil. Jari telunjuknya mengusap pelipisnya. Lalu, ia menyeringai seraya bertanya.
"Maksudnya kamu lagi mager gitu?"
"Hihihi." Eshika terkikik. Mengangkat kedua tangannya ke atas meja. Menahan dagunya. "Kayaknya sih iya."
Tama mencondongkan tubuhnya. Mencolek ujung hidung Eshika. "Ya udah. Mager-mageran aja dulu. Dan untuk makan malam? Kamu mau apa? Mau aku masakin atau kita delivery aja?"
Mata Eshika menatap Tama. "Aku kepengen mie ayam, Tam. Kamu mau makan mie ayam nggak malam ini?"
"Ehm ...." Tama menggumam sejenak. "Udah lama juga sih nggak makan mie ayam. Kita pesan aja?"
Eshika mengangguk.
Tama mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dengan segera memesan mie ayam dua porsi untuk makan malam mereka berdua.
"Ada mau minum sesuatu?" tanya Tama melirik pada gadis itu. "Jus? Air jeruk? Atau apa? Bandrek?"
Eshika menggeleng. "Nggak usah. Minum air putih aja."
"Oke ...."
Bertopang dagu, Eshika hanya menatap dalam diam pada Tama yang terlihat serius bersama ponselnya. Kemudian, Tama meletakkan benda itu di meja. Ia mengerjap.
"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Tama gugup.
Eshika geleng-geleng kepala. "Cuma seneng aja ...."
"Seneng apa?"
"Seneng karena kamu udah nggak marah lagi."
Tama merasakan geli sehingga berusaha mati-matian untuk menahan senyumnya. Menjaga agar raut wajahnya terlihat tetap datar, cowok itu berkata.
"Tapi, apa yang aku bilang tadi itu diingat."
Eshika angguk-angguk kepala. "Iya. Aku ingat kok."
Tama mendehem. Mendapat tatapan lembut dari Eshika seperti itu membuat ia menjadi semakin gugup seiring waktu.
Ia bangkit.
Meraih gelas dan memberikan segelas air hangat pada Eshika.
"Nih. Minum dulu."
Kedua tangan Eshika tampak malu-malu keluar dari tepian lengan jaket Tama. Meraih gelas itu dengan kedua tangannya dan meneguk air itu.
"Makasih, Tam."
Tama mengangguk kaku.
Ini perasaan aku aja atau gimana sih?
Tapi, kenapa aku ngerasa Eshika kayak yang ngeliat aku agak beda dari biasanya gitu? Emang beda atau cuma perasaan aku aja sih? Apa itu tatapan dia lagi lemas aja? Tatapan lapar? Atau ... ehm ....
"Kamu tau nggak, Tam?"
Di tempatnya duduk, Tama berusaha untuk tidak membalas tatapan Eshika ketika ia balas bertanya. "Tau apa?"
"Kadang kalau Mami lagi pergi, entah karena ada seminar, tugas pengabdian, atau sekadar ngeliat mahasiswanya yang sedang magang di lokasi ...." Eshika menarik napas. "Dan saat itu aku sakit, aku jadi ngerasanya sepi banget."
Tama mengerjap. "Ehm ... Mami pasti nggak maksud banget buat ninggalin kamu. Pasti dia sedih juga harus ninggalin kamu, Esh."
Eshika mengangguk. "Iya. Aku tau itu. Tapi, Mami punya tanggungjawab buat nyari nafkah untuk aku, juga tanggungjawab ke pekerjaannya. Jadi, mau nggak mau Mami memang harus tetap pergi."
"Ya ... namanya aja singleparent, Mami harus berjuang keras," kata Tama. "Beruntung Mami punya anak pengertian kayak kamu. Mau nerima keadaan Mami."
Eshika tersenyum. "Makanya itu aku suka main ke tempat kamu. Di rumah kamu berasa rame. Ada Mama dan Papa."
"Iya," celetuk Tama. "Kalau ada kamu di rumah, kuburan yang sepi pun mendadak jadi rame." Cowok itu menarik napas panjang. "Mama dan Papa juga senang kok kalau kamu sering main ke rumah."
"Dan sekarang," kata Eshika, "setelah aku nikah sama kamu, aku jadi lebih leluasa dong main ke rumah."
Tama tergelak. Tanpa sadar ikut bertopang dagu di atas meja. Mengambil posisi yang sama dengan Eshika.
"Aku heran kamu baru nyadar hal itu sekarang."
"Tapi, Tam ...." Eshika menarik napas dalam-dalam. "Sekarang aku baru nyadar banget kenapa Mami sampe maksa buat aku nikah sama kamu sebelum Mami pergi ke Amrik."
"Ehm?"
Eshika tertegun sejenak melihat senyum Tama.
"Aku nggak kebayang aja kalau pas aku lagi nggak enak badan gini harus sendirian di rumah," lirih Eshika pelan. "Mana aku kadang manja banget kalau pas lagi sakit." Ia geleng-geleng kepala. "Pasti sengsara banget deh kalau aku sakit sendirian di rumah segede itu."
Perkataan Eshika membuat Tama terkekeh. "Jadi nggak nyesal kan nikah sama aku?" tanya cowok itu.
Dengan mantap, Eshika menggeleng. Menarik tangannya untuk beristirahat di atas meja, ia tampak berpikir sejenak dan menjawab.
"Kalau kamu lagi nggak mode marah-marah dan usil sih, ya nggak nyesel juga."
Tama tergelak. Turut melepas dagunya dari tangannya. Membuat tangannya berada di atas meja dengan jarak yang tak seberapa dari tangan Eshika.
"Ehm ... gaya kamu, Esh. Coba aku tanya, di mana lagi coba kamu bisa dapetin suami kayak aku?" tanya Tama geli. "Aku ini memenuhi kualifikasi sebagai suami idaman para cewek. Nggak semua cewek seberuntung kamu." Tama kembali tergelak. "Kalau nggak percaya, nih aku bilangin ya. Aku cakep iya, bertanggungjawab juga iya, nafkahin kamu lahir dan ba ..." Tama menghentikan kata-katanya. Senyum geli di wajahnya mendadak saja menghilang.
Glek.
Di hadapannya, Eshika tertegun. Sama membekunya ketika Tama menggantung ucapan itu.
Aduh, ya ampun ...
Kenapa juga mulut aku keceplos ngomong kayak gitu sih?
Mana tadi abis manja-manjaan bobok berdua sambil pelukan, eh sekarang mendadak ngebahas soal nafkah batin.
Ya ampun, Tam ..., Tam ...
Segitunya kamu sekarang ngebetnya sama Eshika.
"Ehem!"
Tama mendehem.
Dan entah mengapa, dehemannya itu justru membuat tubuhnya sedikit beranjak. Membuat tangannya yang berada di atas meja menyentuh jemari tangan Eshika.
Tama tertegun. Melirik cepat antara jemari dan wajah Eshika bergantian.
Apa aku ulang aja ya ngungkapnya sekarang?
Pas tepat lagi momennya.
Tama menarik napas dalam-dalam.
Menguatkan dirinya.
Mumpung Eshika nggak lagi tidur lagi, Tam. Hayo! Tancap aja sekarang! Kapan lagi dapat momen sebagus ini? Kesempatan jangan disia-siakan. Kesempatan nggak datang dua kali.
Entah kenapa bisa, Tama sendiri mendadak heran, eh jari-jari tangan Tama seolah memiliki pemikirannya sendiri untuk bergerak dan lalu meraih jari-jari tangan Eshika. Jangankan Eshika, Tama sendiri bingung kenapa bisa-bisanya ia meraih jari tangan Eshika.
Mata Eshika membulat melihat bagaimana Tama meraih jari tangannya. Dan bukan hanya sekadar meraih, melainkan benar-benar menggenggam jemarinya. Hal itu serta merta membuat jantung Eshika berdebar-debar.
"Tama ...."
Tama menatap mata Eshika lekat-lekat. Dan di saat otak cowok itu masih berpikir tentang apa yang akan ia lakukan selanjutnya, eh mendadak saja kali ini tubuhnya kembali bergerak di luar kendalinya.
Ia bangkit.
Dengan menahan jemari Eshika, ia menarik gadis itu untuk berdiri.
Bingung, tapi Eshika menuruti saja tarikan Tama yang menuntunnya berdiri. Tapi, tak hanya itu. Eshika tertegun. Sepasang matanya menatap penuh waspada ketika Tama justru mengikis jarak di antara mereka.
Tama merasakan bagai terhipnotis saat mata bening Eshika menatapnya dengan begitu polos. Dan ia justru mempertanyakan, apakah ada gaya gravitasi dari gadis itu sehingga ia merasa tertarik untuk semakin mendekati Eshika?
Ya Tuhan.
Tidak ada lagi pikiran yang logis saat ini.
Otak Tama seolah lumpuh. Ketika ia semakin mendekat, maka semakin mendongak wajah Eshika. Mata Tama sekarang terfokus pada satu titik.
Bibir Eshika yang sedikit merekah membuka.
Di saat satu tangan Tama menahan jemari Eshika, tangannya yang satu lagi bergerak. Pelan-pelan. Dan tak diduga tangan itu sudah mendarat di sisi leher Eshika. Menyentuhnya dengan lembut. Bahkan jari jempol Tama terasa mengelus sisi rahang Eshika.
Eshika terpana.
Melihat mata Tama membuat ia tak bisa berpikir apa pun. Sentuhan Tama dan bagaimana cara cowok itu menatap dirinya membuat ia benar-benar merasa lumpuh. Bahkan untuk sekadar menyebut nama cowok itu saja ia sudah tak bisa. Lidahnya terasa kelu.
Beberapa saat, Tama terdiam. Seolah sedang menunggu reaksi Eshika akan tindakannya. Tapi, sampai beberapa saat berlalu, tak ada penolakan yang Tama dapatkan.
Tama lantas memberanikan diri.
Menahan napas di dadá, ia perlahan menundukkan wajahnya. Semakin mendekati wajah Eshika yang masih terangkat ke arahnya.
Tama menarik napas terakhir sebelum ia melirik dan mendapati Eshika yang lantas memejamkan matanya. Membuat Tama tanpa sadar turut menutup matanya.
Napas Eshika terasa membelai wajahnya. Cukup menjadi pertanda bahwa posisi mereka saat ini sudah hampir tak berjarak lagi.
Lalu, Tama merasakan jemari Eshika di genggamannya balas menggenggam dirinya. Mengirimkan sinyal bagi cowok itu bahwa Eshika sama gugupnya dengan dirinya saat ini.
Tama semakin menundukkan wajah.
Sedetik kemudian, bibir Tama menyentuh bibir Eshika. Tapi, ketika Tama berniat menekankan bibirnya di bibir Eshika, mendadak saja ada satu bunyi yang membuat keduanya terlonjak kaget.
"Ting! Tong!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro