Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

53. Maaf

Velly bersenandung kecil seraya celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri bergantian. Kemudian beralih pada ponselnya.

"Lagi nunggu jemputan?"

Velly menoleh dan mendapati Alex yang mendekati dirinya. Cowok itu tampak menepikan motor dan mencopot helm dari kepalanya. Melihat pada Velly yang mengangguk, tapi sejurus kemudian menggeleng.

"Eh?" Alex bingung.

"Maksud aku, aku lagi nungguin ojol aku," klarifikasi Velly seraya tertawa kecil. "Hehehehe."

"Oh ...."

Velly melirik kanan kiri, menyadari bahwa tidak mungkin Alex mendadak menghampiri dirinya kalau bukan karena ada niatan tertentu. Soalnya bukan apa ya. Alex termasuk jarang menegur dirinya. Dan kalaupun Alex menegur, itu bisa dipastikan bahwa berkaitan dengan satu nama. Yaitu, Eshika.

Jadi, daripada mengira-ngira Alex mau mengatakan apa, akhirnya Velly duluan yang bertanya.

"Kenapa, Lex?"

Alex menarik napas dalam-dalam. Terlihat sedikit bertopang pada helm yang ia letakkan di atas tangki minyak motornya.

"Ada yang mau aku tanyain."

Tuh kan ..., pikir Velly.

"Ya tanyain aja. Tentang apa?"

"Eshika," jawab Alex.

Tebakan aku benar, tukas hati Velly.

"Mau nanya apa soal Eshika?"

Wajah Alex terlihat seolah sedang menimbang, tapi sejurus kemudian ia benar-benar mengeluarkan rasa penasarannya.

"Eshika udah punya cowok?'

Velly mengerutkan dahi. Lalu menggeleng. "Setau aku sih dia belum ada cowok. Tapi ...."

"Tapi?"

"Tapi, dia memang pernah cerita kalau lagi naksir seseorang."

Wajah Alex terlihat berubah sejurus kemudian. "Maksud kamu Tama?"

"Tama?" Velly menelengkan wajahnya ke satu sisi. "Kayaknya sih bukan."

"Masa kamu kayak yang nggak yakin gitu," protes Alex. "Kan kamu temennya Eshika."

"Masalahnya Eshika nggak pernah cerita soal cowok itu. Dia nggak pernah ngasih tau aku sekarang itu lagi naksir siapa. Yang pasti adalah dia memang ngomong kalau dia lagi naksir seseorang. Siapa seseorang itu aku juga nggak tau, Lex."

Alex mengembuskan napas panjang. Lalu ia kembali bertanya lagi. "Bukan Tama?"

"Ehm ...."

Kali ini deheman Velly terdengar lebih panjang dari biasanya. Membuat Alex menatap Velly dengan tatapan menyelidik.

"Tama ya?"

Tapi, Velly menggeleng. "Nggak tau sih. Eshika beneran nggak ada ngomong apa pun ke aku soal nama cowok itu. Yah, walaupun ...."

"Walaupun apa, Vel?"

"Walaupun memang akhir-akhir ini aku ngerasa mereka berdua makin lama makin adem, makin akur, dan aura di antara mereka kayak beda banget gitu."

Perkataan Velly seketika membuat Alex menggertakkan rahangnya.

"Nggak tau kenapa sih. Memang mereka sekali dua kali masih sering adu mulut, tapi mereka berdua kayak beda aja gitu ngeliatnya." Velly menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mungkin perasaan aku aja kali ya? Karena gimanapun juga, kayaknya nggak mungkin banget Eshika bisa naksir Tama." Velly tergelak kecil.

Alex membeku, tak menghiraukan tawa Velly.

"Kalau Tama naksir Eshika sih aku masih masuk akal. Lagian kan Eshika emang deket sama keluarga Tama. Tapi, kalau Eshika sampe naksir Tama ... ehm ... aku sedikit ragu sih."

"Kamu tau, Vel?" tanya Alex tanpa menunggu jawaban Velly. "Eshika nolak aku lagi."

"What?"

Mata Velly melotot. Ia meneguk ludah dan benaknya mulai mempertanyakan, ojolnya kok belum sampai-sampai sih?

"Ehm ... sorry sorry sorry, Lex. Beneran aku minta maaf," kata Velly cepat ketika sadar dengan responnya yang membuat wajah Alex berubah merah seketika.

Ugh!

Pasti cowok itu malu sampai kena tolak Eshika dua kali.

Dalam hati Velly meringis.

Tenang aja, Lex. Belum separah Tere yang ditolak berkali-kali sama Tama dalam waktu beberapa hari sih.

Eh?

Kok agak mirip ya? tanya hati Velly curiga.

Alex mengembuskan napas panjang. "Apa mungkin ini memang perasaan aku aja ya? Tapi, aku ngerasanya Tama kayak yang lagi deketin Eshika gitu."

Mata Velly berkedip-kedip. "Ehm ... mereka kan emang deket sih, Lex. Ya walau mereka sering berantem, sebenarnya mereka itu deket," kata Velly dengan raut bingung untuk menjelaskan fakta itu pada Alex. "Orang Mama Tama datang yang pertama dicari juga bukan Tama, tapi ya pasti Eshika."

Alex terdiam sejenak. "Menurut kamu gimana ya, Vel?"

"Gimana apanya, Lex?" tanya Velly seraya lirik-lirik ke kanan ke kiri.

Gila!

Itu ojol kok nggak muncul-muncul sih?

Mana kaki udah pegal, eh ini pake acara ngobrol soal perasaan pas di gerbang lagi.

"Soal Eshika ini, Vel. Aku beneran suka sama dia."

Velly meneguk ludah.

Ya kalau Eshika nggak suka kamu juga mau digimanain? Masa mau dipaksa suka sih? Kan nggak lucu kali.

Velly mendehem.

"Ehm ... gimana ya, Lex, ngomongnya? Soalnya Eshika itu gitu-gitu dia orangnya keras kepala juga sih."

Wajah Alex tampak mengeras. "Aku nggak bakal nyerah. Apalagi kalau semisalnya cowok itu adalah Tama."

Velly mendadak merinding melihat wajah Alex.

Ini ojol aku mana? Nyasar atau kesedot Segitiga Bermuda sih?

Lalu, Alex menatap Velly.

"Bulan depan kita ada jadwal jalan-jalan sebelum ujian semesteran kan?"

Velly mengerjap.

Perubahan topik yang dilakukan Alex benar-benar membuat gadis itu bingung. Otaknya berpikir. Dan ia mengangguk.

"Sepertinya ...."

Alex menyeringai. "Oke ..., kalau gitu aku duluan ya?"

"Oh. Ah ...." Velly mengangguk. "Oke ...."

Velly terlihat tak bisa berkata apa-apa setelah melihat kepergian Alex. Yang pasti, cewek itu mengembuskan napas lega. Lalu, ia merutuk seraya mengambil ponselnya dari saku seragamnya.

Eh, ada pesan dari Si Mas Ojol.

[ Mbak, saya mendadak mules. ]

[ Maaf ya. ]

[ Tolong cancelin dong. ]

Velly menggeram.

Sialan.

Dari tadi aku nungguin orang pup ternyata ya.

Misuh-misuh, Velly melihat Reki yang baru saja mengendarai motornya dari tempat parkir. Ketika cowok itu lewat, enteng sekali Velly mengulurkan tangannya.

Reki menarik rem. Membuka kaca helm dan mengerutkan dahi. "Kamu pikir ini semacam ojek pangkalan gitu? Main diberhentiin aja."

"Aku nungguin ojol dari tadi, Ki. Dan ternyata dia malah pup. Aku nungguin orang pup sekitaran sepuluh menitan coba."

Mau tak mau, Reki spontan tertawa mendengar keluhan Velly. Lalu, ia meraih satu helm yang tergantung di stang motornya. Memberikannya pada Velly.

"Berapa ongkos dari sini ke rumah kamu?"

Velly menerima helm itu dengan menyipitkan matanya. "Kenapa?"

"Ya bayar dong. Masa gratis."

Reki tergelak terbahak-bahak sementara Velly duduk di belakangnya.

*

Tama melajukan mobilnya dengan kecepatan yang teratur. Tidak ingin menimbulkan goncangan sedikit pun yang bisa membangunkan Eshika dari tidurnya.

Di sebelahnya, Eshika terlihat memeluk dirinya sendiri. Sesekali, Tama mengulurkan tangan. Meraba dahi Eshika.

Sebenarnya tidak terlalu hangat. Walau memang tidak seperti suhu tubuh orang sehat pada umumnya. Tapi, ya mungkin juga karena Eshika capek makanya ia merasa lebih sakit lagi.

Ketika mereka tiba di gedung apartemen, Tama dengan lembut membangunkan Eshika. Mata Eshika mengerjap pelan. Menatap Tama dengan tatapan sayu.

"Udah sampe, Tam?"

Tama mengangguk. "Ayok. Kita ke atas biar kamu bisa cepat istirahat."

Tama dengan sigap keluar. Membawa kedua tas mereka dan memapah Eshika keluar dari mobil.

"Kamu masih sanggup buat jalan?" tanya Tama.

Mata Eshika mengerjap-ngerjap. "Ya?"

"Kalau semisalnya kamu nggak kuat buat jalan," kata Tama. "Ya biar aku gendong aja."

Eshika melotot. Menggeleng. "Nggak, Tam. Nanti diliatin orang-orang."

"Oh ..., bener juga."

Tama merutuk pelan. Tidak menyadari apa yang baru saja ia katakan dan akibat yang bisa ditimbulkan dari idenya itu.

Maka dari itu, Tama kemudian memegang Eshika sepanjang perjalanan. Bahkan Eshika terlihat sedikit merebahkan kepalanya di lengan Tama.

Tama langsung membawa Eshika ke kamar setelah membantunya melepas sepasang sepatunya. Eshika duduk di tepi tempat tidur.

"Kamu ganti pakaian duluan ya, aku ambilin air hangat buat kamu."

Eshika mengangguk.

Tama dengan cepat keluar dari kamar Eshika dan menutup pintunya. Ia sendiri segera mengganti seragamnya dan bergegas mengambil segelas air hangat untuk Eshika.

Cowok itu mengetuk pintu terlebih dahulu untuk masuk. Bukannya apa. Khawatir kalau mendadak ia masuk dan ternyata Eshika belum selesai mengenakan baju, Tama bisa memastikan kalau tubuhnya nanti yang mendadak panas seketika.

"Masuk, Tam."

Tama masuk. Mendapati Eshika yang sudah duduk kembali di tempat tadi. Mata Tama bisa melihat bagaimana Eshika sudah mengenakan satu stel pakaian tidur lengan panjang. Tapi, yang membuat senyumnya mengembang pelan-pelan adalah kenyataan di mana Eshika yang memilih tetap mengenakan jaketnya.

Tama menyodorkan air hangat tersebut. Eshika meminumnya beberapa teguk.

"Kamu mau makan apa?" tanya Tama seraya meletakkan gelas itu ke nakas dan menutupnya. Lalu, ia menepuk dahinya sekali sembari menoleh pada Eshika. "Maksudnya biar nanti aku cariin."

Eshika menggeleng.

"Mau tidur aja?" tanya Tama.

Gadis itu mengangguk.

Maka Tama beranjak. Membantu gadis itu untuk berbaring dan lantas meraih bedcover. Ketika Tama akan menyelimuti Eshika, gadis itu berkata.

"Kamu mau pergi lagi?" tanya Eshika pada Tama.

Tama menarik napas. Menggeleng. "Nggak. Mana mungkin aku pergi kalau kamu lagi sakit gini."

"Kamu di sini aja ya, Tam."

Tama mengangguk. "Iya. Aku nggak bakal pergi."

"Bukan," kata Eshika menggeleng. "Maksud aku temeni aku tidur."

What?!

Mata Tama melotot melihat bagaimana Eshika yang sedikit menggeser tubuhnya. Mata sayu Eshika menatap dirinya dengan penuh pengharapan.

Glek.

Tama meneguk ludahnya.

"Rasanya badan aku dingin banget, Tam."

Tama menarik napas dalam-dalam.

Ya bener, Esh. Saat ini badan kamu dingin, sedangkan aku karena omongan kamu mendadak aja merasa panas.

Tapi, Tama menuruti permintaan Eshika.

Ia membaringkan tubuh. Tepat di sebelah Eshika, lantas ia menarik Eshika ke dalam pelukannya. Tak lupa menutupi tubuh mereka dengan bedcover.

Eshika langsung berbaring seraya memeluk Tama.

"Gimana sekarang?"

Bibir Eshika tersenyum. "Badan kamu hangat, Tam."

Ya iyalah hangat. Gimana nggak hangat kalau kamu meluk aku gini?

Mengembuskan napas, Tama kemudian benar-benar memeluk Eshika. Bahkan tangan cowok itu terkadang mengelus punggung Eshika dan ups! Matanya mengerjap beberapa kali ketika merasakan tali bra di punggung gadis itu.

"Tam ...."

"Iya?"

"Kamu masih marah sama aku?"

Elusan tangan Tama mendadak berhenti. Ia tertegun dengan pertanyaan itu. Bingung harus menjawab apa.

Kepala Eshika bergerak. Tapi, bukan untuk menjauh. Melainkan untuk semakin menyuruk di dadá Tama.

"Aku nggak mau kamu marah sama aku, Tam."

Tama merasa nyawanya mendadak saja keluar dari tubuhnya.

Mendengar suara Eshika yang memanja padanya, oooh! Tentu saja membuat sisi primitif Tama bangkit. Seolah ingin mendekap dan mengelus-elus Eshika dengan begitu lembut seraya berkata.

"Maaf ya, Esh. Aku nggak marah lagi kok."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro