Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

50. Logika Yang Tak Berjalan

[ Rekiii ]

[ Ternyata Alex masih suka ke Eshika, Tam. ]

Pesan dari Reki masuk tepat ketika Tama baru saja selesai memasak dua bungkus mi rebus.

Masakan instan itu ia masak dengan telor dan juga beberapa ekor udang. Dicampur pula dengan beberapa lembar sayur sawi yang ia potong-potong dengan ukuran yang relatif sama panjang. Cowok itu dengan hati-hati menuang mi rebus tersebut ke sebuah mangkok dan menyajikannya dengan satu telur ceplok setengah matang. Sebagai pelengkap, Tama tak lupa menaburkan bawang goreng di atasnya. Ditemani oleh sebotol air soda yang ia beli beberapa malam yang lewat, Tama bersiap untuk menikmati makan siangnya.

Ia sudah duduk melantai seraya menyalakan televisi kembali. Tama bertekad, pokoknya apa pun tayangan televisi yang ia dapatkan pertama kali di saat menyalakan benda itu, maka itulah yang akan ia tonton sampai selesai makan. Tapi, ketika televisi baru menyala, pesan dari Reki membuyarkan semuanya.

Sendok di tangan Tama terjatuh kembali di atas mangkok. Berdenting dan lalu justru jatuh di atas meja. Cowok itu melihat video rekaman itu dengan saksama dan tanpa kedip sedikit pun. Tenggorokannya tampak naik turun dengan cepat. Napasnya seolah memanas seketika. Dan sejurus kemudian, ia justru mengumpat.

"Sialan!"

Tama bangkit.

Tak menghiraukan mi instannya yang mulai mengembang atau televisi yang mulai mengoceh. cowok itu masuk kembali ke kamarnya.

Memilih untuk tidur kembali.

*

Reki mendehem pelan berulang kali melihat kolom pesan Tama di ponselnya. Penasaran karena tidak mendapatkan balasan dari cowok itu.

"Ehm ... aneh," gumamnya penasaran. "Kenapa nggak dibalas ya sama itu anak?"

Heri datang, menepuk pundaknya seraya memperbaiki letak tas ranselnya. Tadi ketika berniat untuk langsung pulang setelah bel pulang berbunyi, Heri justru mendapati Reki yang bergeming di mejanya. Padahal Reki biasanya adalah anak yang paling bersemangat menyambut bel pulang sekolah.

"Siapa yang nggak balas pesan kamu? Cewek?"

Reki dengan segera keluar dari aplikasi Whatsapp. Ia melirik tajam. "Mana ada ceritanya ada cewek yang nggak balas pesan aku."

Bima yang datang mendadak terkesiap. "Sial! Ternyata yang nggak ngebalas pesan Reki itu cowok!"

Muram, tapi Reki mengangguk. "Memang," jawabnya tanpa sadar.

Mendengar jawaban spontan Reki, langsung saja Heri dan Bima saling bertukar pandang dengan ngeri. Membuat mereka bergidik dan tak bersuara lagi. Lalu beberapa detik kemudian, Reki seolah baru menyadari apa makna dari jawabannya. Ia mengumpat.

"Sial! Aku ini nungguin balasan dari Tama!"

Heri dan Bima sontak tertawa-tawa.

"Aduh! Kirain ya kan."

"Hahahaha. Emang kamu ngirim pesan apa ke dia?"

Mendesah, Reki tidak menjawab. "Nggak sih. Cuma nanyain dia sakit apa kali ini. Tama kan sebenarnya bukan tipe orang yang suka bolos."

"Bener," aku Bima. "Dia nggak pernah mau melewatkan satu hari pun di sekolah untuk tebar pesona ke seluruh cewek di sini."

"Plak!"

Reki menepuk dahi Bima. Mendelik.

"Tama sekarang udah tobat ya," kata Reki. "Nggak liat tu udah seminggu ini dia nggak ada pacaran sama siapa pun?"

Mengusap dahinya, Bima manggut-manggut. "Bener juga sih."

"Boro-boro pacaran, Tere aja yang nawarin diri ditolak berkali-kali---ups!" Heri menutup mulutnya, tepat ketika Tere melewati mereka.

Tere melotot. "Jadi cowok jangan suka gosip ya."

"Jadi cewek jangan sampe nggak tau malu ya," balas Heri.

Bima dan Reki tergelak kecil melihat keributan Heri dan Tere. Ketika Tere berlalu, mereka bertiga saling sikut geli. Dan kelakuan mereka itu sepenuhnya tidak luput dari perhatian Eshika yang sedari tadi menyaksikan mereka.

Gadis itu menghela napas panjang. Bangkit dari kursinya dengan lesu. Bahkan ia pergi pulang tanpa berbasa-basi dengan Velly. Gadis itu hanya bengong melihat Eshika yang tidak seperti biasanya.

Sepanjang perjalanan pulang, Eshika kembali melihat ponselnya. Walau otaknya bisa menerka bahwa tak mungkin ada balasan dari Tama, tapi tetap saja. Satu sudut di hati gadis itu nyatanya berharap. Namun, Eshika harus menelan kekecewaan saat melihat bahwa tak ada balasan dari Tama. Dan ternyata, masih belum Tama baca juga pesannya.

Turun dari taksi, Eshika dengan segera menaiki lift. Menuju ke unit apartemen dengan jantung yang berdebar-debar. Benaknya berpikir, ia harus berkata apa pada Tama bila nanti mereka bertemu.

Apa aku harus minta maaf lagi?

Atau apa yang harus aku lakukan biar Tama nggak marah lagi?

Ketika masuk, Eshika menatap sejenak pada pintu kamar Tama, baru ia meneruskan langkah menuju ke kamarnya. Ia dengan segera berganti pakaian. Walau ia merasa sedih, tapi ia berusaha untuk tetap mampu bergerak. Setidaknya ia ingin menyiapkan makan siang mereka. Tapi, ketika Eshika melintasi ruang menonton, langkah kaki gadis itu terhenti. Tertegun mendapati bantal sofa di lantai, televisi yang menyala, dan semangkok mi rebus yang sudah hilang kuahnya. Eshika bergidik melihat mi rebus itu yang telah menjadi puding mi kalau menurut Eshika.

Eshika lantas meletakkan kembali bantal sofa di tempatnya semula, memadamkan televisi dan membawa mangkok beserta sebotol air soda itu ke dapur. Dan ketika ia sampai di dapur, mangkok mi nyaris terlepas dari tangannya. Kakinya gemetar ketika melangkah pelan-pelan menuju ke meja makan. Seakan tidak yakin dengan apa yang matanya lihat saat itu.

"Tama nggak ada nyentuh makanan ini sedikit pun?" tanya Eshika pelan, lebih ke dirinya sendiri.

Dan itulah yang terjadi.

Jangankan memakannya, Tama bahkan tidak menyentuh sedikti pun sarapan yang Eshika siapkan untuk dirinya. Dan itu membuat Eshika merasa dadanya mendadak menjadi sesak.

Tenggorokannya terasa tercekat, matanya terasa memanas, dan langkahnya gemetar saat ia mencoba untuk melangkah. Pelan-pelan menyisihkan makanan itu. Merapikan meja makannya.

Mungkin Tama emang lagi nggak selera makan, pikirnya menghibur dirinya sendiri.

Menarik napas dalam-dalam, Eshika beranjak untuk meminum segelas air dingin. Berusaha untuk menenangkan diri sebelum ia beranjak menuju ke kamar Tama.

Eshika melihat Tama keluar dari kamarnya. Secepat mungkin gadis itu berlari dan menahan Tama. Meraih tangan cowok itu sebelum ia beranjak untuk meraih sepatunya di lemari sepatu.

Tama menoleh dengan dahi berkerut.

"Tam ...," ujar Eshika dengan suara terbata. "Ka-kamu mau makan apa untuk siang ini?"

Mata Tama menatap kosong pada Eshika. Perlahan tangannya bergerak. Meraba tangan Eshika yang memegang satu pergelangan tangannya.

Eshika tertegun, merasakan bagaimana tangan Tama yang akhir-akhir ini memegang tangannya justru bergerak perlahan demi melepaskan genggamannya pada cowok itu. Tangan Eshika terlepas dari tangan Tama.

"Nggak perlu masakin aku makan," lirih Tama pelan.

"Tama ...."

Tubuh Tama bergerak. "Aku pergi."

Eshika hanya bisa terdiam melihat bagaimana kemudian Tama benar-benar mengenakan sepatu dan memperbaiki tas ranselnya sebelum membuka pintu unit apartemen. Pergi meninggalkan Eshika sendirian di sana.

*

"Gila kamu ya, Tam! Aku pikir kamu nggak masuk sekolah karena beneran sakit. Lah! Ternyata kamu sehat-sehat aja begini!"

Reki geleng-geleng kepala. Tangannya bergerak. Melempar sekaleng air soda pada Tama. Cowok itu yang tengah duduk di kursi meja belajar Reki dengan sigap menangkap minuman itu. Tak menghiraukan perkataan Reki, Tama menarik pembuka kaleng minuman itu.

"Bruuuttt!"

"Shit!" gerutu Tama mendapati soda muncrat keluar dan membasahi bajunya.

Reki tergelak. "Hahahaha. Makanya baca doa dulu. Jadi cowok langsung nyosor sih ya kayak gitu."

Mendengus, Tama membiarkan saja busa soda di bajunya itu untuk menghilang dengan sendirinya. Tama tidak ingin menggunakan tenaganya yang sedikit hanya untuk mengurusi busa soda di bajunya.

Cowok itu meneguk pelan minumannya.

"Kamu kenapa?" tanya Reki kemudian. "Tumben-tumbenan kamu bolos sekolah kayak gini."

Tama menarik napas dalam-dalam. "Nggak apa-apa sih. Lagi suntuk aja buat ke sekolah."

Reki meletakkan kaleng minumannya di nakas, beralih pada setoples keripik yang langsung ia santap isinya.

"Ehm? Suntuk ke sekolah?" tanya Reki dengan mulut yang masih mengunyah. "Makanya itu, sekolah yang bener biar ntar ujian tamat. Kalau kamu nggak sekolah sekarang jangan-jangan makin lama lagi kamu di sekolah." Reki tergelak-gelak.

"Sialan," rutuk Tama tanpa minat. Tangan cowok itu memutar-mutar kaleng minumannya, sebelum kembali meneguk isinya.

"Ah, bener!" kata Reki kemudian. "Kenapa pesan aku nggak dibalas? Aku nungguin respon kamu seharian. Ck. Payah kamu mah."

Perkataan Reki membuat Tama menggertakkan rahang. Lalu, Reki meneguk kunyahan keripiknya.

"Kamu suntuk sama Alex, Tam?"

Tama tak menjawab, melainkan meneguk lagi minumnya. "Males banget aku denger nama cowok itu."

"Hahahaha. Ya elah, Tam. Kayak yang baru sekali ini aja kamu berurusan soal asmara. Masa gara-gara sebangsa Alex bisa ngebuat kamu suntuk sih?" Reki mendengus. "Kayak yang keren banget itu cowok."

"Argh!" Tama menggeram. "Bukan masalah itu, Ki."

"Terus? Terus? Apa masalahnya?"

Tama berdecak. "Kamu nggak tau."

"Ya iyalah, Fernando, aku nggak tau. Gimana aku bisa tau kalau kamu nggak ngasih tau aku?" tanya Reki geli.

Tama diam.

"Kasih tau aku deh, biar aku tau."

Tama berdecak.

Ya gimana juga coba aku mau ngasih tau Reki kalau aku ngamuk gara-gara Alex masih aja ngerayu istri aku coba? Mana dia nggak bakal percaya dan aku juga nggak mau bongkar rahasia ini. Aku dan Eshika udah sepakat soalnya. Menjaga rahasia ini rapat-rapat.

Pada akhirnya, Tama hanya mengembuskan napas panjang. Menggeleng pelan.

"Ck. Kamu jangan bilang kalau kamu cemburu sama Alex karena masih mepet Eshika, Tam." Reki meneguk kembali minumnya sebelum lanjut menikmati keripiknya. "Kan di video itu udah aku tunjukin. Si Eshika mah nolak Alex. Untuk apa lagi coba dipikirin?"

Tama menggertakkan rahangnya. "Kamu mah kalau ngomong mudah banget. Soalnya kamu nggak ngalamin apa yang aku alamin."

Reki mencibir. "Dikira cuma kamu aja apa yang pernah ada masalah percintaan?" tanya Reki geli. "Setiap remaja pasti pernah lah ngalamin hal kayak gitu."

Tama diam.

"Terus," lanjut Reki. "Kamu sama Eshika gimana?"

Mata Tama melirik Reki sekilas. "Gimana apanya?"

"Ya kamu taulah maksud aku," desah Reki. "Malam tadi aku liat kamu udah kayak yang mau ngamuk gitu ke Alex. Maksud aku, kamu nggak jadi ngamuk-ngamuk ke Eshika juga kan ya?"

Tama tertegun.

"Eh? Iya, Tam?" Cowok itu geleng-geleng kepala. Tak percaya. "Kenapa juga kamu ngamuknya ke Eshika. Kan dia nggak salah."

"Ya salah dia!" tukas Tama langsung. "Padahal dia bilang dia nggak suka sama Alex, tapi kenapa juga masih mau-mau aja pas itu cowok ngajak ngobrol? Masih mau ngasih harapan atau gimana?"

Reki garuk-garuk tekuknya. Mampus deh aku. Jangan aja aku yang bentar lagi jadi pelampiasan kemarahan dia.

"Ya nggak gitu juga, Tam," komentar Reki hati-hati. "Lagipula, tunggu dulu deh. Emangnya kamu ada hak apa buat ngelarang Eshika buat ngobrol sama Alex?" Dahi Reki mengerut. "Dia tau kamu suka dia? Atau apa?"

Tama terdiam.

"Lah kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa, kamu juga nggak ada hak dong buat ngelarang-ngelarang dia."

Kaleng soda di tangan Tama berbunyi. Kali ini Reki benar-benar meneguk ludah melihat Tama meremas kaleng soda tak berdosa itu dalam satu gerakan.

"Ehm .... maksud aku, Tam. Ya ... sebenarnya Eshika punya hak buat ngobrol ke siapa aja sih ya."

Mata Tama tajam menatap Reki. "Aku udah ngajak dia balik semalam. Kamu tau kan? Mami dia nitipin dia ke aku. Dia itu tanggungjawab aku. Udah tau aku harus ngejaga dia, kenapa juga dia pake acara mau ngobrol bentar sama Alex."

"Ya elah, Tam!" Satu tangan Reki melambai. "Kamu marah cuma karena lima menit Eshika ngobrol sama Alex itu? Atau karena kamu merasa ngejagain Eshika itu buat kamu susah? Atau karena kamu cemburu sama Alex? Sumpah deh, Tam! Kok kamu jadi sebegok ini sekarang?!" tanya Reki geregetan.

Tama cemberut mendengar perkataan Reki.

"Look, man!"

Kali ini Reki menepikan toples keripiknya kembali di atas nakas, seolah bersiap untuk bicara dengan lebih serius.

"Kita ini cowok, jangan samakan dengan cewek. Kita ini makhluk rasional. Segala sesuatu kita pikirkan dengan otak, bukan dengan emosi."

Tama menggerutu.

Kalau kamu di posisi aku, kamu bakal tau rasanya emosi ngebuat otak kamu lumpuh, Ki.

Reki lanjut bicara. "Coba dari tiga pertanyaan aku, mana yang benar? Kamu marah karena lima menit Eshika ngobrol dengan Alex? Karena Eshika nyusahin kamu? Atau karena kamu cemburu sama Alex?"

Tama mendengus tak suka mendengar pertanyaan itu. Hingga kemudian Reki melempar satu bantalnya dan mendarat telak di wajah Tama.

Bantal itu kemudian diremas oleh Tama.

"Jawab dasar bocah!" rutuk Reki.

Tama mendehem. Teringat perkataan-perkataannya pada Eshika kemudian dan ia tersadar bahwa satu hal yang membuat ia begitu emosi adalah karena Eshika selalu lebih memilih Alex. Maka dengan lesu ia menjawab.

"Yang pertama."

Dahi Reki berkerut. "Yang pertama? Karena Eshika meluangkan lima menit dia buat ngobrol sama Alex?"

Tama mengangguk.

"Jadi, Tam. Jalan keluarnya cuma satu. Kalau kamu nggak mau hal kayak gitu kejadian lagi, ya udah pacarin beneran itu Eshika. Baru dah kamu bisa ngelarang dia buat ngobrol sama cowok-cowok pesaing kamu."

Tama menggigit bagian dalam mulutnya. Menahan desakan buat berteriak di depan muka Reki seperti ini.

Aku ini lebih dari pacarnya Eshika, Ki. Aku ini suami sah Eshika!

Tama menatap geram pada Reki. "Aku udah disuruh Mami buat ngejaga dia. Apa itu kurang, Ki?"

"Menurut kamu perintah orang tua berlaku di sini?" balas Reki geram. "Menurut kamu aja, Tam. Walau cewek itu memang tanggungjawab buat dijaga cowok, tapi bukan berarti itu seperti tugas yang harus dilaksanakan. Gimana bisa Eshika mau ngeliat perasaan kamu sedangkan kamu berdalih di balik perintah Mami dia? Harusnya kamu larang dengan bilang itu karena kamu yang nggak suka."

Tama tertegun.

"Ini mah ceritanya kamu kayak anak kecil yang dikit-dikit ngomong: Mami dia, Mami dia, Mami dia ... ckckckck." Reki geleng-geleng kepala. "Kamu pernah mikir nggak sih gimana perasaan Eshika tiap kamu ngomong gitu? Mungkin dia berasa dia adalah beban buat kamu."

"Ya nggak gitu, Ki ...," kata Tama dengan suara pelan.

Reki geleng-geleng kepala. Bangkit dari duduknya. Beranjak ke meja belajar. "Udah ah. Makanya lain kali itu kalau pacaran jangan asal pacaran. Ngabisin waktu buat hal yang nggak penting banget. Pacaran itu cari juga yang bisa ngebuat otak dodol bisa agak pinter dikit kalau mikir."

Tama mendorong tubuh Reki. "Malah ngomongin aku ya."

Satu buku di tangan Reki melayang. Mendarat di kepala Tama. Tanpa kata-kata, Tama dengan segera membalas. Dan tak butuh waktu lama, terjadilah pertarungan ala remaja cowok di kamar Reki.

Yaaah ....

Mungkin itu alasan Tama untuk meluapkan emosinya kali.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro