46. Terlihat Berbeda
Pelajaran terakhir telah selesai. Bel pulang pun telah berbunyi. Setelah beberapa orang siswa keluar dari kelas, Alex bergegas menghampiri meja Eshika dan Velly. Tanpa basa-basi, Alex berkata sehingga membuat Tama di kursinya meradang.
"Yuk, kita langsung jalan sekarang aja."
Kedua cewek itu mengangguk.
Dan zuuut!
Reki mengerjap saat melihat Tama telah melesat ke meja Eshika. Takjub. Entah sejak kapan Tama bisa secepat The Flash.
"Kalian mau ke Gramedia pake apa?" tanya Tama tanpa basa basi.
Alex menatap Tama. Terlihat wajahnya yang mulai menampakkan raut tak suka. Tapi, jelas ia mencoba untuk bersabar menghadapi Tama.
"Aku bawa helm dua, by the way."
Tama memutar bola matanya. "Mau tarik tiga bareng Velly?"
Seketika saja pertanyaan itu membuat Alex tersadar.
Tama menepuk bahu Alex. "Udah nggak zaman lagi sekarang pake motor tarik tiga," katanya. "Beneran deh. Tren tarik tiga itu pas masih awal tahun dua ribuan kayaknya."
"Ehm ...." Velly mendehem. "Aku bisa naik taksi kok."
"No!" kata Tama cepat. "Cowok mana yang nggak sopan ngebiarin cewek naik angkot padahal ada kendaraan?"
"Maksud kamu, Tam?"
Tama melihat ke arah Reki yang berjalan menuju mereka. Lalu berkata pada Alex. "Berhubung Eshika ini mudah masuk angin, Lex, kayaknya mending Eshika naik mobil aku deh."
"Eh?"
Eshika bangkit dari duduknya.
"Maksud kamu apa, Tam?" tanya Alex tidak suka.
"Ntar kalau Eshika sakit, kamu mau tanggungjawab sama Mami?" tanya Tama. "Kalau kulit Eshika terbakar sinar matahari gimana? Kalau dia keringatan gimana? Kalau dia kehirup debu gimana?" Tama menodong pertanyaan pada Alex hingga Alex terlihat semakin kesal. "Terus gimana ceritanya Eshika naik motor padahal dia pake rok gini?"
Eshika melihat roknya. Sebenarnya yang dibilang Tama bener juga sih.
"Nah, buat kamu, Vel," kata Tama, "kamu bisa nebeng ke Alex atau Reki."
Reki langsung melongo.
Apa-apaan sih si Tama? Kenapa dari tadi semau dia aja buat keputusan?
Alex mendengus. "Kamu lagi nyoba buat misahin aku sama Eshika atau gimana sih, Tam?"
"Ehm?"
"Gini .... Kamu bilang nggak enak Eshika naik motor aku karena pake rok, tapi kenapa Velly nggak kamu ajak juga naik mobil kamu?"
Tama melihat Velly dan menjawab. "Aku nggak ada hubungan sama Velly. Urusan aku itu sama Eshika. Dia ini tanggungjawab aku."
"Tanggungjawab?"
Tama mengerjap-ngerjap. Beralih pada Eshika yang melotot padanya.
"Ah! Intinya, terserah kalian bertiga gimana rundingannya. Vel, anggap aja ini kehormatan buat kamu milih di antara dua cowok."
"Eh?" Velly menganga tak percaya.
Lalu, tanpa basa-basi Tama dengan segera meraih tangan Eshika. "Ayoh. Kita ketemuan di Gramedia. Hati-hati di jalan."
Dan langsung saja Tama menarik tangan Eshika keluar dari kelas tanpa menghiraukan Alex yang gusar, Velly yang serba salah, dan Reki yang bingung.
Reki menatap Velly. "Kamu mau bareng aku atau Alex?"
Melihat wajah Alex yang menyiratkan kekesalan, maka sangat wajar kalau Velly lalu bertanya pada Reki. "Kamu bawa helm cadangan kan?"
"Bawa." Reki mengangguk. "Kalau nggak ya ngapain aku nawarin kamu. Jadi, bareng aku?"
Velly angguk-angguk kepala. Dengan takut-takut ia mengekori Reki yang beranjak keluar dari kelas. Dari kejauhan, mereka bisa melihat bagaiman Tama yang menarik tangan Eshika masih belum melepaskan tangannya. Menuntun gadis itu ke mobilnya.
Tama membuka pintu mobil, mempersilakan Eshika untuk masuk sebelum menutupnya. Bergegas, ia pun segera masuk pula. Duduk di balik kemudi.
Tama masih mengenakan sabuk pengamannya ketika terdengar Eshika berkata.
"Kamu sebenarnya kenapa sih, Tam? Seharian ini perasaan aku kamu kayak yang bad mood gitu. Dari tadi pagi wajah kamu udah keliatan kacau. Marah-marah. Eh, tadi? Kamu malah gitu sama Alex?"
Tama melirik ke spion, bermaksud untuk memundurkan mobilnya. "Makanya itu, udah tau aku lagi kayak bad mood, itu Alex juga kenapa masih mau mancing-mancing aku buat marah?"
"Eh? Alex mancing-mancing buat kamu marah?"
Tama mengangguk seraya membelokkan mobilnya dan melaju. Sekilas ia melihat Reki dan Velly yang berkendara dan disusul oleh Alex.
"Mancing kamu marah gimana?"
"Ya mancing aku marah!" tukas Tama. "Gimana ceritanya istri orang malah diajak jalan? Dia mau jadi pebinor atau apa?"
"Eh?"
Tama tergugu. Ia meremas kemudi, menyadari bahwa ia baru saja keceplosan. Melirik, ia mendapati ucapannya membuat Eshika terdiam tak bersuara.
Tama mengulurkan tangan. Merendahkan suhu pendingin di mobilnya. Gara-gara keceplosan, cowok itu merasa gerah sekarang. Ia bahkan merutuk. Menyesali dirinya yang mengenakan jaket hitam di siang hari. Tapi, bukannya apa sih ya. Kayaknya jaket dan cowok itu sudah jadi pasangan dari lahir. Jarang ada cowok yang tidak suka pakai jaket. Entah kenapa.
Mengembuskan napas panjang, Tama lantas bertanya-tanya akan apa yang Eshika pikirkan saat ini.
Ehm ....
Dia mikir apa ya pas aku ngomong gitu?
Astaga ...
Ini nih benar-benar gawat.
Gara-gara kepala bawah aku pusing makanya kepala atas aku juga ikut-ikutan pusing.
Argh!
Sedangkan Eshika, mendengar perkataan Tama jelas saja membuat cewek itu syok. Tidak menyangka bahwa hal itu ternyata mengusik ketenangan Tama.
Diam-diam, senyum kecil terbit di bibir Eshika. Perasaannya entah mengapa berbunga-bunga.
Melirik ke sebelah, Eshika mendapati wajah Tama yang memerah. Tapi, gadis itu memutuskan untuk tidak menggoda Tama. Karena walau bagaimanapun juga, ia tak bisa menggoda Tama di saat jantungnya berdebar-debar tak karuan seperti saat ini. Alhasil, sepanjang perjalanan Eshika dan Tama sama-sama tidak ada yang bersuara.
Tama menarik napas panjang. Ketika pada akhirnya mobilnya telah sampai di pelataran parkir. Tanpa kata-kata dan tak merasa perlu membawa tasnya, Tama keluar dari mobil. Diikuti oleh Eshika.
Seraya menyandang tasnya, Eshika berkata. "Kita langsung ke dalam aja yuk, Tam."
Tama mengangguk. "Oke."
Mereka berdua pun masuk. Berjalan bersisian dan mendapati sesekali tangan mereka bersentuhan.
Ugh!
Rasanya Tama mau sekali meraih tangan itu dan menggenggamnya selama perjalanan mereka. Tapi, kalau mendadak Eshika mengamuk bagaimana? Bisa auto malu Tama.
"Eh! Kalian udah sampe ternyata!"
Tama dan Eshika tampak sedikit terkejut melihat kedatangan Velly diikuti oleh Alex dan Reki. Melihat itu, Eshika segera bergegas mengambil tempat di dekat Velly. Memegang tangan sahabatnya itu. Sedikit membuat Tama iri pada Velly.
Setelahnya mereka segera menuju ke rak-rak novel. Tama hanya bisa menyipitkan mata ketika Eshika yang ditarik oleh Velly justru diekori oleh Alex.
Ini cowok beneran deh ya. Ke mana Eshika diikuti juga.
"Tam ...."
Reki menepuk pundak Tama.
"Tam ...."
Tama sedikit menggerakkan pundaknya. Menghindari tepukan Reki. "Apa sih?"
"Kamu milih novel apa buat tugas Bahasa Indonesia?"
"Ck. Aku udah selesai buat tugas itu."
"Eh?" Reki terkesiap tak percaya. "Kamu? Seorang Tama? Sudah selesai buat tugas sebelum aku?"
Tama melirik kesal pada Reki. "Emangnya kenapa?"
"Wah. Aku harus buru-buru bertobat. Sepertinya sebentar lagi kiamat."
Tama merutuk. "Sialan!"
Reki cengar-cengir. Lalu iseng saja Reki mengikuti arah pandang Tama. Cowok itu terlihat meletakkan satu tangannya di atas rak seraya menggunakan jemarinya untuk mengusap-usap dagunya. Dengan mata tajam yang menatap pada satu titik.
"Kenapa kamu ngeliat Alex gitu amat?"
Tama tak memindahkan tatapannya.
"Kamu naksir Alex atau gimana?" tanya Reki geli.
"Sembarangan. Kalau pun aku suka cowok, mendingan aku suka kamu deh, Ki."
Reki sontak memukul novel Sun ke kepala Tama hingga cowok itu mengaduh antara sakit dan juga geli.
"Nggak lucu banget, Tam."
Tama tergelak. "Lah kamu sendiri yang mulai. Pake acara ngomong aku naksir Alex lagi."
Reki cemberut. "Terus kalau bukan karena naksir dia, kamu ngapain dari tadi ngeliatin Alex terus? Mana natapnya tajam dan nggak pake kedip lagi. Yang kayak dari mata kamu bisa ngeluarin laser buat menghujam jantung dia aja."
Mengusap dagunya, Tama berkata. "Percaya aku deh, Ki. Aku beneran berharap mata aku bisa ngeluarin laser buat ngiris itu cowok hidup-hidup."
Tangan Reki yang sedang menyusuri novel di rak mendadak berhenti. Ia menoleh dan bertanya dengan heran.
"Kamu lagi ada masalah apa dengan Alex?"
Tama tak menjawab.
Dan kebisuan Tama membuat Reki berpikir. Matanya membesar.
Sial! Antara Eshika dan Velly? Masuk akal banget kalau Tama mendadak jadi sering kesal sama Alex.
Reki menarik pundak Tama.
"Apa sih, Ki?"
"Sejak kapan, Tam?" tanya Reki.
Tama menggerakkan kembali pundaknya. "Sejak kapan apanya?"
"Sejak kapan kamu suka Eshika?"
Seketika saja Tama membekap mulut Reki seraya melotot besar-besar. Dan pelototan Tama dibalas juga oleh pelototan Reki. Sebisa mungkin Reki melepaskan diri dari Tama.
"Sial!" tukas Reki tak percaya. "Jadi ini yang ngebuat kamu mundur dari dunia perpacaran?"
Tama rasa-rasanya ingin membenturkan kepala Reki ke rak buku terdekat. Panik kalau kalau ada yang mendengar ucapan Reki.
Reki berkelit ketika Tama berusaha menangkap dirinya. Berjalan cepat melewati rak-rak novel yang membatasi. Dari atas rak novel dua orang remaja itu saling melempar pelototan.
"Ngomong macam-macam, awas aja kamu, Ki," ancam Tama.
Reki mencibir. "Aku beneran nggak nyangka kalau cewek yang jadi alasan kamu mutusin Laura yang sekseh itu ternyata Eshika."
"Reki ...."
Reki kembali menjaga jarak yang aman dari jangkauan tangan Tama. "Wah! Ternyata beneran ya. Kamu naksir Eshika."
"Ya ampun ini cowok mulutnya bawel amat sih!" geram Tama berusaha menangkap Reki.
Reki kembali berkelit. "Jadi, tell me, Tam. Eshika udah tau belum kalau kamu suka dia?"
Letupan emosi semakin menjadi-jadi mendidihkan otak Tama. "Hati-hati kalau ngomong, Ki. Ntar dia dengar."
Sahabat Tama itu menunjukkan raut kaget. Pura-pura syok.
"Wah! Ternyata dia belum tau. Hahahaha. Wani piro buat upah aku tutup mulut, Tam? Ngerjain tugas Bahasa aku mau?"
Tama menggeram. Merasa benar-benar kesal dengan Reki sekarang. Sedang Reki susah payah menahan gelak melihat kemurkaan Tama. Kedua orang remaja itu tampak berusaha menahan kaki mereka agar tidak berlari di sana. Alhasil mereka seperti robot yang berjalan cepat.
Velly tergelak dari kejauhan.
"Itu Tama sama Reki kenapa coba?"
Eshika melihat Tama yang tampak kesal berusaha menangkap Reki, tapi Reki berhasil mengelak. Tanpa sadar, ia tersenyum geli.
Ehm ... kayaknya Tama udah baikan ya sekarang?
Sedang Alex tak menghiraukan dua cowok itu. Ia terlihat meraih satu novel, menyodorkannya pada Eshika.
"Menurut kamu gimana dengan novel ini?" tanya Alex.
Eshika menyambutnya. Membaca judul serta nama penulisnya dan langsung berkata. "Jangan yang ini deh kayaknya deh, Lex."
Alex melihat novel itu. "Kenapa?"
Seraya mencari novel lainnya, Eshika menjawab. "Soalnya novel The Lord of The Rings. The Fellowship of The Rings itu udah dipake sama Tama."
Wajah Alex langsung terangkat mendengar jawaban Eshika.
"Bahkan kayaknya dia udah selesai bedah itu novel," lanjut Eshika tanpa sadar bahwa ucapannya membuat Alex membeku di tempatnya.
Kenapa Eshika bisa tau Tama milih novel ini? Kenapa juga dia bisa tau kalau Tama udah selesai buat tugasnya?
Dengan benak yang bertanya-tanya, Alex memalingkan wajah. Melihat ke arah di mana Tama dan Reki masih saling berburu dan menghindar. Tanpa sadar cowok itu menggertakkan rahangnya. Seketika saja Alex merasa begitu kesal dengan Tama.
*
Tama menarik Reki. Menahan pundak temannya itu dengan mata mendelik saat mereka keluar dari Gramedia.
Memegang perutnya, Reki berusaha untuk menahan tawanya. Lalu ia mengatupkan tangan di depan dada. Tapi, tak ayal. Tawanya tetap terlontar.
"Awas kamu ya," ancam Tama.
Velly melintasi mereka. "Kalian kok mendadak yang mesra banget sih."
"Hahahaha." Reki tergelak. Sontak memeluk Tama dan Tama seketika melepaskan tangannya dari Reki.
"Gila ya!"
Reki semakin tertawa. "Biasa, Vel. Tama lagi kumat manjanya."
"Ih!" Tama bergidik. "Lama-lama aku pentung juga itu kepala pake barbel lima kilo."
"Hahaha. Kan kita nggak jadi ke gym-nya, Tam."
Tama mendengus.
"Ehm ... abis ini, gimana kalau kita makan dulu?" tanya Velly.
Eshika mengangguk. "Yuk. Aku juga lapar."
Maka mereka pun memasuki satu gerai makanan siap saji. Dan ketika mereka akan mengantri memesan, spontan saja Tama menepuk dahinya.
"Tas aku tinggal di mobil," katanya. "Aku nggak bawa dompet."
Reki baru saja akan menawari diri sebelum didahului oleh Eshika.
"Ini aja, Tam." Eshika memamerkan dompetnya. Lantas menarik satu kartu debit dari dalam sana. Ia tersenyum geli ketika berkata. "Aku punya kartu unlimited."
Tama manggut-manggut. Menyeringai dan tau persis kartu debit apa yang ditunjukkan oleh Eshika.
Ya itu kartu debit Tama sendiri.
Dasar.
Eshika tersenyum. "Kamu mau pesan apa, Tam?" tanyanya. "Yang biasa aja?"
"Yup," kata Tama kemudian.
Dan interaksi itu entah sadar atau tidak dilakukan oleh Eshika dan juga Tama, yang pasti dua orang cowok lainnya justru menangkap hal itu.
Alex terlihat diam saja saat melihat bagaimana kemudian Tama dan Eshika sudah memesan makanan mereka berdua. Terlihat luwes ketika mereka sambil bicara satu sama lain. Terutama ketika Tama geleng-geleng kepala saat Eshika menawarkan padanya menu yang baru.
Reki angguk-angguk kepala. Merasa yakin bahwa selama ini Tama diam-diam memang sudah melancarkan pendekatan pada Eshika. Melihat interaksi mereka berdua yang terlihat begitu nyaman, tidak mungkin Tama tidak mendekati Eshika selama ini.
Ehm ... apa sebentar lagi mereka bakal jadian?
Reki bersidekap.
Perkembangan mereka berdua menarik untuk diikuti. Dan kalau mereka sampe jadian ... Reki melirik Alex. Wah! Bisa kebayang aku patah hatinya Alex. Ngejar Eshika dari kelas satu, eh berhasil nggak. Gagal iya.
"Terima kasih," kata Tama pada pelayan tersebut ketika meraih nampan miliknya dan Eshika.
Eshika beranjak dari sana, menyusul langkah Tama seraya berusaha memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas.
Tama meletakkan nampan mereka berdua di meja. Lalu menarik satu kursi untuk Eshika sebelum pada akhirnya duduk di kursi di hadapannya.
Reki yang belum memesan, langsung saja duduk di sana menghampiri mereka. Ia menatap tajam pada Tama.
Tama mendelik.
Reki geleng-geleng kepala.
"Buruan pesan," sentak Tama ingin mengusir Reki yang usil.
Reki mencibir. Bangkit dan dengan cepat bergabung dengan Alex dan Velly yang tengah memesan.
Ketika mereka semua selesai memesan, mereka pun berkumpul di dua meja yang disatukan. Mulai menikmati makan siang mereka yang telah terlambat.
Di samping Eshika, duduk Alex yang sesekali menatap Tama tajam. Dan Tama, bukannya tidak tau hal tersebut, tapi ia cuek saja. Malah sejurus kemudian mendadak satu ide muncul di benak Tama.
Biar Alex tau rasa ya kalau suami sah udah ngamuk kayak gimana ceritanya, geram Tama.
Tama meraih potongan ayamnya. Paha ayam itu dalam waktu cepat ia kuliti, menyisakan dagingnya saja. Lalu, ia mengulurkannya. Meletakkan kulit itu di nampan Eshika dan berkata seraya memamerkan senyumnya.
"Biasanya kamu langsung ngambil kulit ayam aku nggak pake permisi. Berasa aneh aja sekarang kalau kamu nggak ngambil kulit ayam aku."
Eshika melongo.
Matanya mengerjap.
Ya ampun. Ternyata selama ini Tama merhatiin ya kalau aku suka ngambilin kulit ayam dia?
Mengabaikan ekspresi Eshika, sejurus kemudian Tama kembali menikmati makannya. Tapi, eh mendadak saja tangan Eshika terulur seraya berkata.
"Kamu mau daging aku kan ya?" Eshika mencibir. "Kayak yang aku nggak tau aja. Tuh."
Kali ini mata Tama yang mengerjap-ngerjap.
Eh? Sejak kapan Eshika tau aku suka nyomot daging dia?
Dan di saat mereka berdua saling bermain dengan pikiran masing-masing, ada tiga orang yang memandang mereka dengan dahi berkerut-kerut.
Tunggu.
Ini Eshika dan Tama kok bisa gini?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro