Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Mandi Keramas

Eshika menatap jam dinding dan mendapati bahwa saat itu hampir jam enam sore. Tepat di saat Eshika selesai menyetrika satu kaos Tama yang terakhir.

"Ugh!"

Ia memijat pinggangnya. Tapi, sejurus kemudian ia tersenyum melihat seragam mereka yang telah rapi tergantung di stand hanger. Menurunkan sedikit pandangannya, di lantai telah tersusun rapi empat tumpuk pakaian dirinya dan Tama.

"Dan sekarang ..."

Eshika melihat ke tumpukan pakaian yang tersisa.

Glek.

Pakaian dalam.

Gadis itu dengan segera mengambil bra dan celana dalamnya. Dengan menggunakan tingkat kepanasan yang rendah, Eshika menyetrika celana dalamnya.

Ia tersenyum geli.

Biar rapi dan licin, pikirnya lucu.

Selesai dengan bra dan celana dalam miliknya, Eshika beralih pada ... ehm, pakaian dalam Tama.

Gadis itu menggigit bibirnya.

"Ehm ... atau aku suruh aja Tama sendiri aja ya buat ngelipat punya dia?" tanya Eshika pelan. "Tapi ...."

Eshika lantas meraih ponselnya. Berencana untuk menghubungi Tama yang pergi ke distronya.

Tadi setelah makan siang yang dilanjutkan oleh sesi baca novel berdua, ketika sekitar jam setengah lima, Tama memutuskan untuk pergi ke distro. Cowok itu bilang mau melihat-lihat sebentar. Sebenarnya sih tadi Tama mengajak Eshika untuk pergi juga. Ya siapa tau Tama juga berniat untuk mengajak dirinya jalan-jalan di akhir pekan kan ya? Tapi, dasarnya Eshika itu sadar tidak sadar sudah menjadi seorang istri. Eh, alamiah saja ia terpikir jemuran yang harus disetrika. Alhasil, Eshika lebih memilih menolak ajakan Tama dan justru berkutat dengan pakaian-pakaian mereka. Dan sekarang, setelah menyetrika pakaian, ia justru bingung dengan pakaian dalam Tama. Karena itulah Eshika pikir akan lebih baik kalau dia menghubungi Tama dan menanyakan pada cowok itu pakaian dalamnya yang belum dilipat mau diletakkan di mana.

"Halo .... Esh?"

Eshika mengerjap. Ternyata teleponnya sudah diangkat.

"Eh, Tam."

"Kenapa nelepon?"

"Ehm ... itu ..." Eshika melirik tumpukan celana dalam Tama. Eh, dia sekarang mendadak bingung harus ngomongnya seperti apa ke cowok itu.

"Kenapa, Esh? Ada masalah di unit?"

"Nggak, Tam, nggak," jawab Eshika cepat. Takut Tama justru khawatir dan bergegas pulang.

"Oh .... Aku tau aku tau."

Suara Tama di seberang sana mengalihkan pikiran Eshika. Ia lantas bertanya. "Tau apa?"

"Kamu mau nitip dibeliin sesuatu ya pas aku balik? Apa? Makanan?"

Eh?

Eshika melongo.

Terdengar suara Tama.

"Hahahaha. Udah. Jujur aja. Kamu mau aku beliin apa?" tanya Tama kemudian. "Mumpung aku masih di distro nih, soalnya mungkin bentar lagi aku jalan balik deh. Jadi sekalian jalan."

Sebenarnya sih Eshika tidak terpikir untuk minta dibelikan makanan sama Tama, tapi tetap saja. Cewek mana yang tidak mau kalau ditanya seperti itu? Sontak, otak Eshika berpikir.

"Enaknya malam ntar makan apa, Tam?" tanya Eshika kemudian. "Ayam tadi emang masih ada sih. Tapi, khawatir nggak cukup."

Tama mendehem. "Kamu mau makan apa?"

"Aku udah lama nggak makan sate madura, Tam."

"Kamu mau makan sate madura?" tanya Tama.

"Iya."

"Oke, ntar aku beliin," kata Tama. "Sate ayam atau kambing?"

"Separuh ayam separuh kambing."

"Hahahaha." Tama tergelak. "Kalau gitu mending beli sate ayam satu porsi, terus kambingnya juga satu porsi. Tinggal kita tukeran aja ntar."

"Nah! Itu bener juga," ujar Eshika tersenyum geli.

"Oke. Ntar aku beli pas balik. Btw, udahan dulu ya. Ini aku mau ketemu anak-anak bentar."

Bodohnya, Eshika mengangguk. "Oke oke. Balik ntar hati-hati."

"Oke."

Dan ketika telepon itu terputus, Eshika menutup mukanya.

Kok aku ngomong hati-hati ke Tama?

Aduh!

Tama bakal mikir apa coba ya?

Eshika mengembuskan napas panjang. Dan sejurus kemudian ia kembali terpikir sesuatu yang tadi mendorong dia untuk menelepon Tama.

"Terus celana dalam dia gimana ceritanya?"

Eshika menggigit bibir bawahnya.

"Ya udah deh. Karena dia juga mau beliin aku sate, ehm ... biar aku aja lipatin."

Tangan Eshika terulur. Meraih sepotong celana dalam Tama yang bertipe low-rise briefs. Dengan rasa penasaran, Eshika mengangkat celana dalam itu di depan wajahnya. Ia membolak-balikkannya beberapa kali.

"Ehm ...."

Mendadak saja ia merinding melihat bagian depan celana dalam itu yang sedikit 'melar' kalau kata Eshika tadi.

"Ini tempat untuk ...."

Bulu kuduk Eshika meremang.

"Ter-ternyata isi punya cowok juga nonjol ya?" tanya Eshika pada dirinya sendiri. Lantas dengan wajah memanas, ia mulai berkutat dengan celana dalam Tama. "Aku kirain cuma punya cewek aja yang nonjol."

Eshika meraih yang lainnya dan menemukan tipe briefs.

"Ehm ... ternyata cowok juga punya banyak tipe celana dalam ya?" Eshika mengulum senyum dan selanjutnya justru tertarik untuk memeriksa sebanyak apa tipe celana dalam yang Tama punya.

Lalu, Eshika berdecak ketika melihat celana dalam Tama yang telah ia lipat di tumpukan yang berbeda sesuai dengan tipenya.

"Waw!" Eshika terkesiap kagum dan tak percaya apa yang matanya lihat. "Ditambah dengan bokser tidur dia, ternyata Tama punya lima tipe celana dalam yang berbeda."

Eshika geleng-geleng kepala.

Bersedekap dan dahinya berkerut.

"Kalau cewek punya bra beda tipe memang karena beda fungsinya sih ya. Terutama karena payudará cewek juga banyak tipenya. Terus kalau cowok?" tanya Eshika pelan. "Juga beda fungsinya atau cuma buat gaya-gayaan doang?"

Lalu, ia tertawa.

"Hahahaha. Masa gaya-gayaan di celana dalam. Kan kayak Tama bilang, nggak keliatan juga." Mata Eshika sampai basah, terutama ketika ia terpikir hal lain. "Atau karena itu cowok juga banyak tipenya?"

Tawa Eshika meledak dengan kencang.

Ia memeluk perutnya yang terasa sakit.

"Aduh! Ya ampun. Kalau Tama tau aku lagi gibahin celana dalam sama itu dia, wah wah wah. Bisa kena hajar aku."

Geli, akhirnya Eshika memilih untuk mulai merapikan pakaian yang telah ia setrika tersebut. Dimulai dari pakaiannya sendiri hingga kemudian beralih pada pakaian Tama.

Ia membuka pintu lemari pakaian Tama. Menyusun seragam dan pakaian sehari-hari cowok itu di tempatnya masing-masing. Dan pas bagian celana dalam, eh dia spontan tertawa lagi.

Hahahaha.

"Tapi ...," lirih Eshika ketika meletakkan tumpukan celana dalam Tama yang terakhir di tempatnya. Ia mengusap bagian depan celana dalam itu. "Memangnya semenonjol apa ya itu Tama sampai-sampai celana dalamnya melar kayak gitu?"

Mata Eshika mengerjap-ngerjap.

"Duh! Kok otak aku mendadak meśum gini sih?"

Rasa panas menjalari pipi Eshika. Lantas, ia menutup pintu lemari Tama.

"Argh! Kayaknya aku harus mandi keramas pake air dingin ini mah!"

*

"Jadi ini, Mas. Kayaknya sih sekarang model hero masih jadi trend. Terus pelanggán juga mulai minat ke kaos-kaos polos yang simpel. Yah paling ada satu dua kata di depan. Kecil gitu. Model full corak kayaknya memang udah nggak terlalu diminati lagi."

"Makanya ini dari tim produksi sih rencananya mau buat model gini, Mas. Simpel, tapi kita mainnya di gradasi warna. Kayaknya lebih narik minat anak muda deh."

"Ehm ...."

"Mas?"

"Mas Tama?"

Tama tergugu. Mengangkat wajahnya dari satu tangan yang menopang di atas meja. Menurunkan kembali tangannya. Ia menatap ke sekitar.

"Ada apa ya, Val?" tanyanya pada Noval yang menatap padanya dengan bengong.

Noval menarik napas. "Dari tadi Wida dan Edo ngomong nggak Mas dengerin ya?"

Tama merasa bersalah.

"Sorry. Aku emang lagi nggak fokus," aku Tama dengan ketiga orang tim utama distro miliknya.

Noval, Wida, dan Edo kompak mengembuskan napas panjang. Ketiganya saling bertukar pandang. Lalu, kompak melihat Tama.

"Pasti mikirin cewek kan, Mas?"

Tama sedikit cemberut. "Sem-sembarangan aja."

"Hehehehe."

"Tumben nggak mau ngaku."

"Ck. Pasti agak berat masalahnya kali ini."

Tama menarik napas sejenak. "Ini bukannya masalah yang berat."

"Terus?"

Tama tampak menimbang sejenak sebelum berkata pada Wida. "Da, kamu kalau ulang tahun mau dikasih kado apa?"

Mata Wida mengerjap-ngerjap. "Mas Tama dari tadi mikirin kado buat aku?"

"Eh?"

Noval dan Edo tertawa terbahak-bahak. Memukul kepala Wida dengan pena.

"Dasar ini cewek!" kata Noval. "Itu pasti Mas Tama mau nanya rekomendasi kado dari kacamata cewek."

Edo manggut-manggut. "Mas Tama mau ngasih kado ke siapa?"

"Aduh! Aku nanya bukannya dijawab malah balik ditanyain," gerutu Tama. "Udah deh udah. Biar aku mikir sendiri."

"Eh, si Bos malah ngambek," kata Wida geli. "Mau aku kasih tau nggak nih, Mas?"

Tama yang semula telah berdiri dan siap beranjak justru duduk kembali. "Apa?"

Melihat respon Tama seperti itu, ketiga orang tersebut tertawa. Tapi, tak lama karena Wida kemudian berkata.

"Sebenarnya ya, Mas, cewek itu nggak masalah mau dikasih kado apa. Yang penting tulus dari hati."

"Bohong!" tukas Edo.

Noval mengangguk. "Bukannya cewek suka kalau dikasih perhiasan gitu? Yang mahal-mahal?"

"Kalau cowoknya mampu, ya ceweknya juga ngarep kali. Tapi, kalau cowoknya nggak mampu?" Wida mencibir. "Ya tetap aja dia lebih suka pemberian yang tulus. Eh, tapi ini sih untuk cewek yang normal ya. Bukan cewek yang matre. Kalau matre mah beda lagi."

Tama manggut-manggut. Mengusap dagunya.

"Oke, ntar aku pikirkan kado yang tulus itu seperti apa."

Noval, Edo, dan Wida bengong.

Ini Mas Tama sebenarnya ngerti nggak sih maksud Wida?

Tama bangkit dari duduknya.

"Aku balik dulu ya. Thanks."

Mereka angguk-angguk kepala melihat kepergian Tama dari ruang rapat mereka. Lalu, beberapa menit kemudian Edo terkesiap.

"Ya ampun! Terus ini rancangan buat kaos bulan depan gimana?"

Noval nyengir. "Udah. Nanti aku diskusi sama Mas Tama via ponsel aja."

Sedangkan Tama, setelah pulang dari distronya yang ia beri nama 'Boys' itu, ia langsung melajukan mobilnya untuk membeli sate pesanan Eshika.

Aduh ....

Eshika udah mulai tambah manja kan?

Pikiran itu membuat Tama semakin tak mampu menahan senyumnya. Pun ketika ia memesan sate di tempat langganannya. Membuat bingung pelayan di sana. Tapi, Tama tak menghiraukannya.

Mana yang seharian ini dia nempel terus lagi sama aku. Pake acara baring di paha aku, eh sekarang malah minta dibeliin sate.

Ya Tuhan.

Jadi pengen balas manja juga ke dia.

Tama mengulum senyumnya ketika dua porsi sate pesanannya sudah diantarkan oleh pelayan dan Tama langsung membayarnya. Seraya bersiul-siul, Tama kembali masuk ke mobil. Melajukannya menuju ke apartemennya.

Dan ngomong-ngomong soal kado ulang tahun, Tama mendadak pusing lagi.

"Ehm ... bulan depan Eshika ulang tahun," lirih Tama. "Sebagai suami, bukannya aku memang harus ngasih dia kado ya?"

Tama mengusap dagunya lagi.

"Kira-kira Eshika mau apa? Ehm ...."

Tama membayangkan Eshika dan menyadari bahwa cewek itu bukan tipe cewek yang neko-neko. Praktis bisa dibilang Eshika itu tidak punya banyak keinginan dan tidak punya banyak gaya. Dia bukan tipe cewek yang harus ganti sepatu tiap sebulan sekali. Atau yang setiap enam bulan sekali ganti model rambut.

Ehm ...

Tama bingung.

Ketika ia sampai di gedung apartemennya, otak Tama masih berpikir.

Kalau pun ada yang Eshika suka, itu sepertinya boneka.

Ya, dia kan punya banyak boneka di kamarnya. Padahal dia sudah besar.

Tama melangkah keluar dari lift. Ketika ia ingin memasukkan sandi pintu, Tama terkekeh geli.

"Aduh! Lupa deh. Kunci aku kan udah diganti."

Tama menempelkan jari jempolnya dan pintu terbuka. Cowok itu langsung masuk. Melepaskan sepatunya dan meletakkannya langsung di lemari sepatu sebelum masuk ke dalam.

Kepala cowok itu celingak-celinguk ketika melewati ruang tamu. Kemudian ia memanggil.

"Esh? Eshika ..."

Langkah kaki Tama terhenti. Menunggu beberapa saat dan menyadari bahwa panggilannya tidak mendapat balasan.

"Dia di mana?"

Tama kembali melangkah. Kali ini menuju ke kamar Eshika. Tangannya terangkat dan mengetuk pelan.

"Esh? Kamu di kamar?" tanyanya. "Ini sate kamu udah aku beliin."

Dan Tama tersenyum melihat bungkusan sate di tangan kirinya.

Tapi ....

"Eh?"

Tama mengerut bingung.

Tidak mendapat balasan dari Eshika membuat cowok itu pada akhirnya membuka pintu kamar Eshika dan mendapati kamar itu kosong.

"Eh? Dia ke mana? Kok di kamar juga nggak ada? Apa dia pergi?"

Tama keluar dari kamar Eshika.

"Ya udah deh," kata Tama kemudian. Mengangkat sate di tangannya dan berkata. "Mending aku simpan dulu satenya di dapur."

Tama pun lantas beranjak ke dapur. Masih dengan bersiul-siul, ia melangkah pelan. Tapi, seketika saja siulan dan langkah kakinya terhenti. Tepat ketika mendapati pintu kamar mandi terbuka.

Eshika keluar dari kamar mandi.

Hanya berbalut sehelai handuk putih yang melingkari tubuhnya yang basah. Handuk itu hanya mampu menutupi dadá hingga setengah paha Eshika. Tetesan-tetesan air tampak mengalir di tubuhnya. Dan rambut gadis itu tampak kusut karena habis keramas.

Glek.

Tama membeku.

Darahnya terasa mengalir dengan begitu deras. Ia ingin pergi, tapi kakinya terasa tidak mampu bergerak lagi.

"Tama?"

Terdengar suara Eshika menyebut nama Tama ketika ia menyadari keberadaan cowok itu.

Glek.

Tama kembali meneguk ludahnya. Bersiap dengan kemarahan Eshika karena dirinya yang ketahuan melihat cewek itu dalam keadaan mengenakan handuk saja. Tapi, ternyata Tama kecele.

Eshika tampak melangkah pelan. Handuk di tubuhnya justru memperparah keadaan. Membuat gerakan melangkah Eshika terlihat lebih sensuál di mata Tama.

Tama ingin beranjak, tapi keburu Eshika sudah menghampirinya.

Eshika menengadah.

Tama merasa tubuhnya panas dingin melihat bagaimana leher jenjang Eshika terekspos nyata di matanya. Dan begitu menggoda dengan aliran air di sana.

"Kamu bawain sate aku?"

Tama mengangguk. Mengangkat tangan kirinya. Menunjukkan bingkisan itu.

Eshika memajukan wajahnya. Memejamkan mata dan menghirup aromanya.

"Ehm ... wangi banget."

Tama lagi-lagi meneguk ludahnya.

Kamu juga wangi banget, Esh, pikir cowok itu di dalam hati.

Sekuat tenaga Tama berusaha mengendalikan dirinya. Tapi, itu sulit sekali.

Ya ampun, Tam.

Itu cuma sehelai handuk.

Kamu sentakin dikit aja.

Udah.

Nggak ada lagi yang nutupin tubuh Eshika.

Tama menarik napas dalam-dalam.

Eshika itu istri aku. Kalau aku sampai ngapa-ngapain dia, sebenarnya itu nggak salah juga sih.

"Ehm ..."

Deheman Eshika membuyarkan lamunan Tama.

"Aku pake baju dulu, Tam. Abis itu kita makan ya?"

Tama mengangguk kaku. Terutama ketika dilihatnya Eshika tersenyum pada dirinya.

"Makasih, Tam."

Tama menunggu beberapa saat hingga kemudian Eshika beranjak dan terdengar suara pintu kamar Eshika yang tertutup. Dengan gemetar, Tama beranjak meletakkan sate di atas meja makan. Terlihat ia yang susah berjalan.

Memejamkan mata, Tama menekankan kedua tangannya di atas meja makan. Ia menggeram rendah. Lalu menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri.

Aku mesti ke kamar secepatnya.

Tapi, bentar.

Jangankan mau jalan ke kamar, ini mau gerak dikit aja rasanya ngilu.

Rahang Tama menegang.

Ketika ia membuka mata, ia memutuskan bahwa ia perlu mandi keramas. Ia harus menenangkan dirinya secepat mungkin.

Dan ya ... terutama ketika ia melihat ke bawah.

Ups!

Penyebab Tama mendadak jadi susah berjalan terlihat dengan jelas sekali.

Tama mengumpat.

Sial!

Aku beneran on gara-gara Eshika.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro