Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Pencuri Ciuman

"Esh .... Kayaknya ini makin malam deh. Kita masuk yuk?"

Setelah beberapa lama dalam keheningan, akhirnya Tama kembali bersuara. Ia sedikit menoleh pada Eshika yang bersandar pada dirinya. Tangannya yang mengusap lengan atas Eshika berhenti. Mengguncang lembut gadis itu dengan perasaan yang mendadak berubah menjadi waspada karena tak ada respon dari Eshika.

"Esh ...?"

Mata Tama mengerjap. Gawat!

"Eshika ...."

Kali ini Tama sedikit menurunkan wajahnya pelan-pelan. Lalu ketika ia melihat wajah Eshika, matanya terpejam dramatis.

Loh kok malah tidur?

Tama menarik napas dalam-dalam. Mengembuskannya dengan terlalu panjang.

Ini berarti aku dari tadi tuh kayak yang lagi nimang anak kecil gitu? Sampe dia ketiduran gini?

Celingak-celinguk, Tama memandang sekitar. Hening. Tidak ada tanda-tanda akan adanya keberadaan seseorang. Meraba saku celananya, Tama mengumpat.

Sial! Ponsel aku tinggali di kamar.

Tama berusaha sekali lagi untuk membangunkan Eshika.

"Eshika ..., bangun yuk?" tanya Tama. "Kita pindah ke kamar."

Mata Tama berkedip-kedip menyadari ucapannya barusan.

Kita pindah ke kamar?

Glek.

Maksud aku ya bukan gitu juga, Tuhan.

Tama menarik napas dalam-dalam. Jantungnya terasa berdegup kencang. Dan itu seketika membuat ia panik.

Nanti Eshika bangun gara-gara dengar suara debar jantung aku lagi.

Untuk beberapa saat kemudian, Tama akhirnya memilih diam sambil menunggu keajaiban. Siapa tau Eshika akan terbangun. Eh, ternyata yang ada malah tambah nyenyak.

Tama mengangguk sekali. Menyadari bahwa dirinya tidak memiliki pilihan lain selain menggendong Eshika untuk masuk ke dalam.

Maka dengan penuh kehati-hatian, Tama sejurus kemudian bangkit seraya menggendong Eshika. Wajah gadis itu terlihat begitu lelap dalam tidurnya.

Mungkin kecapekan gara-gara marah sama aku seharian ini, pikir Tama lucu.

Menjaga agar langkah kakinya teratur dan tidak terlalu mengguncang tubuh Eshika, Tama beranjak masuk ke rumah. Pelan-pelan memanggil seorang asisten rumah tangga yang kebetulan berpapasan dengannya di lantai bawah untuk mengikuti dirinya ke atas. Asisten rumah tangga tersebut membantu Tama membuka pintu kamar Eshika. Termasuk menyikap selimut yang menutupi kasur di kamar tersebut.

"Makasih, Mbak," kata Tama kemudian.

Tak menghiraukan asisten rumah tangga tersebut, Tama lantas pelan-pelan membaringkan tubuh Eshika di atas kasur. Terdengar lenguhan kecil gadis itu ketika tubuhnya telah terbaring dengan nyaman di sana.

Tama bangkit. Mengembuskan napas panjang. Dan ketika ia berencana untuk keluar, matanya melotot melihat bagaimana pintu kamar yang telah tertutup.

Wah!

Dikira aku bakal tidur di sini bareng Eshika?

Glek.

Lalu, Tama memutar tubuhnya. Menatap Eshika yang terbaring dan menyadari dirinya menjadi sesak napas dengan cara yang membuat tubuhnya bergetar.

Matanya mengerjap.

Kalau aku buka pintu, terus keluar, kira-kira bakal nganggu tidur Eshika nggak ya? Ehm ... sepertinya sih ada kemungkinan kayak gitu.

Jadi, Tama berjalan berjinjit-jinjit menuju ke pintu. Tapi, bukan untuk keluar dari sana. Melainkan untuk dengan pelan-pelan memutar kunci.

Aku bukannya mau ngapa-ngapain Eshika loh, tapi ini jaga-jaga biar Mama nggak sembarangan masuk terus nggangu Eshika tidur.

Sedetik kemudian, Tama sudah duduk di sisi tempat tidur. Memandangi Eshika dan berkata di dalam hati.

Kalau kamu anteng tiap hari kayak gini, Esh, kamu tu berasa kayak jadi Eshika yang dulu loh. Yang manis. Yang imut. Tapi, sekarang sih banyak bawelnya.

Sejurus kemudian, Tama sudah berbaring telungkup di sisi Eshika. Bertopang dagu hanya memandangi wajah tidur Eshika. Tapi, entah mengapa wajah tanpa ekspresi Eshika membuat Tama diam-diam tersenyum.

"Kamu marah-marah soal Tere yang meluk aku," lirih Tama, "bukan karena cemburu kan ya?"

Tangan Tama terulur. Menyibak anak rambut yang menempel di pipi Eshika.

"Soalnya ... dari kamu yang nggak nyuruh aku dekat-dekat dengan Tere, aku pikir kamu cemburu loh, Esh." Tama menarik napas dalam-dalam. "Tapi, kayaknya nggak mungkin banget deh ya kamu cemburu. Kan kamu nggak ada perasaan apa-apa ke aku."

Jemari Tama kembali bergerak. Kali ini pelan-pelan sekali, antara ingin menyentuh dan tidak, ia menyusuri pipi Eshika. Lalu, pada satu titik di sana ia termenung. Melihat pipi Eshika membuat ia teringat kejadian dulu sekali. Saat ia dan Eshika baru tamat Sekolah Dasar. Hingga menerbitkan senyum di wajah Tama.

Dan sekarang, menatap wajah Eshika berlama-lama membuat perasaan aneh menyusup pada pria itu. Entah mengapa jantungnya yang berdebar-debar terasa begitu menyenangkan. Lebih dari itu, Tama mendadak mendengar satu desakan yang mencoba menghasut akal sehatnya. Lantas tak butuh waktu lama untuk kemudian terjadi perdebatan di benak cowok itu.

Tama mengepalkan tangannya. Sedikit menggeser tubuhnya.

Ini bakal berisiko besar, Tam. Kamu tau kan ya?

Tama menarik napas dalam-dalam.

Tapi, risiko ini setimpal dengan apa yang akan aku dapatkan.

Mengulurkan tangan kanannya melintasi tubuh Eshika, Tama menjadikan tangannya itu untuk menopang dirinya untuk tidak menimpa gadis itu. Dan sekarang, melihat wajah Eshika benar-benar berada di bawah wajahnya, membuat napas Tama terasa terhenti di pangkal tenggorokannya.

Kamu yang mulai loh, Esh. Kalau kamu nggak pake acara tidur di pelukan aku, aku nggak bakal ngelakuin ini.

Tama menatap pada bibir Eshika.

Meneguk ludahnya.

Pelan-pelan menurunkan wajahnya.

Seiring semakin dekatnya wajah Tama menuju wajah Eshika, maka debar jantung cowok itu semakin memekakkan telinganya.

Lalu, Tama tercekat. Tatkala ia merasakan bagaimana pada akhirnya bibirnya menyentuh bibir Eshika.

Tama menarik napas dalam-dalam seiring dengan memejamnya mata cowok itu. Untuk beberapa saat, Tama hanya bisa merasakan sensasi tak terucapkan ketika kelembutan bibir Eshika menyapa setiap indra perasanya. Mengirimkan sejuta warna-warni yang membuat Tama tersenyum tepat di bibir Eshika. Membuat Tama terlena akan ciuman itu.

Dan ketika itulah ia menyadari sesuatu.

Sepertinya aku nggak bakal bisa tidur malam ini.

*

Eshika menggeliat. Merasa sedikit sesak dalam tidurnya. Dan itu menarik kesadarannya kembali ke dunia nyata.

Mata gadis itu mengerjap-ngerjap beberapa kali. Lalu akal sehatnya merasakan bahwa ia merasa ada yang sedikit berbeda. Dan ketika matanya terbuka, Eshika langsung melotot. Nyaris bisa membuat kedua bola matanya melompat ke luar dari rongganya ketika melihat bagaimana pagi itu ia mendapati bahwa ia tengah menyurukkan wajahnya di dada Tama.

Ya ampun!

Aku ketiduran bareng Tama lagi?

Ugh!

Kok bisa sih?

Apa semalam tanpa sadar aku ngelakuin hal yang sama?

Meluk dia dan nggak sadar kalau udah tidur?

Eshika menggigit bibirnya. Dan Eshika jelas tau bahwa saat itu ia kembali berbantalkan lengan Tama. Tapi, ada yang sedikit aneh di sini. Itu adalah ketika Eshika menemukan sumber rasa sesak yang ia rasakan tadi. Ya ... ternyata itu adalah tangan Tama yang merengkuhnya dengan erat. Nyaris membuat Eshika tidak bisa bergerak dalam tidurnya.

Bangun-bangun, aku langsung disuruh olahraga jantung begini, pikir Eshika. Ya ampun. Aku nggak kuat, Tuhan. Aku nggak sanggup.

Menyadari bagaimana wajahnya mendarat di dadá Tama, sedangkan satu telapak tangannya juga turut mendarat di sana, seketika membuat wajah Eshika terasa panas. Dan lagi-lagi, saat itu suara Tama kembali terngiang di benaknya.

"Begini, Esh. Kalau aku mau meluk seseorang, ini yang bakal aku lakukan."

Bibir Eshika bergerak melengkung membentuk senyuman.

Itu artinya Tama emang mau meluk aku kan ya?

Kali ini aja dia meluk aku seerat ini.

Mata Eshika mengerjap.

Tapi, kenapa Tama mau meluk aku?

Dan ketika itulah otak pintar Eshika mengingat sesuatu. Menampilkan beberapa kilasan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Ketika di hari Senin, tragedi di warung bakso di mana Laura bersikeras membujuk Tama untuk balikan, tapi cowok itu dengan tegas menolak dan berkata.

"Ya. Aku ada suka ke seorang cewek."

Eshika menggigit bibirnya.

Bukannya dia mutusin Tama karena pernikahan kami ya? Apa itu artinya ....

Nggak mungkin nggak mungkin.

Tapi, sejurus kemudian terngiang satu perkataan Tama yang lainnya. Yaitu ketika Tere berusaha memeluknya kemaren.

"Ya ampun, Tere! Lepasin! Udah aku bilang juga aku udah ada cewek lain yang aku suka!"

Dan kali ini, entah mengapa memikirkan itu membuat Eshika bertanya-tanya.

Apa Tama memang lagi suka seseorang?

Glek.

Jantung Eshika semakin tidak karuan lagi.

Apa cewek yang dia maksud itu adalah aku?

Tapi ....

Eshika menggeleng sekali.

Nggak mungkin nggak mungkin.

Tapi ...

Kembali ingatan Eshika membawa dirinya ke belakang.

"Sorry, Re. Cukup sekali aku ngabisin delapan piring gorengan yang isinya cabe rawit semua. Lagipula, aku lagi males pacaran kini. Terutama sama kamu."

Eshika menggigit bibirnya.

Yang kayak Tama takut aja sama aku.

Ehm ....

Eshika sedikit mengangkat wajahnya. Menatap wajah Tama yang damai saat tertidur. Senyum malu-malu terbit di bibir gadis itu.

Apa Tama suka aku ya? Tapi, nggak mungkin banget kan Tama suka aku?

Tapi, kalau kayak gini, gimana bisa aku nggak mikir dia suka aku coba? Udah dari ngasih perhatian, ngelindungi aku, sampe meluk aku erat kayak gini. Nggak mungkin banget kan kalau dia nggak ada perasaan apa pun ke aku?

Tertegun menyadari pikirannya, Eshika menarik napas dalam-dalam. Membawa aroma maskulin Tama ke dalam indra penciumannya. Membuat senyumnya semakin melebar di tiap detiknya. Dan tak hanya itu, Eshika pun dengan semakin manja menyurukkan wajahnya di dadá Tama. Bahkan ditambah dengan tangannya yang juga balas merengkuh cowok itu.

Ini suami aku juga. Nggak ada masalah kalau aku meluk Tama kayak gini. Orang Tama juga meluk aku kok.

Lalu ... Eshika tertegun. Merasakan bagaimana dadá tempat ia bersandar mendadak bergerak halus. Mata Eshika mengerjap. Sedetik otaknya memutuskan untuk menarik diri. Melepas dari pelukan Tama. Tapi, yang tidak disangka adalah bagaimana justru tangan Tama menarik dirinya semakin erat pada tubuh cowok itu. Tanpa sadar membuat Eshika kaget, lantas spontan saja mendesahkan nama cowok itu.

"Tama ...."

Suara lirih itu membuat tangan Tama kaku seketika. Lalu, terdengar suara cowok itu bertanya.

"Kamu sudah bangun, Esh?"

Eshika mengangguk di dadá Tama. "Udah kok, Tam."

"Terus kenapa nggak bangunin aku?"

"So-soalnya ...." Eshika menarik napas dalam-dalam, mendamaikan jantungnya. "Aku berasa nggak mau bangun."

Tangan Tama terasa menyantai kembali di sekeliling tubuh Eshika. "Kamu masih mau tidur?"

"Nggak sih." Kepala Eshika menggeleng. "Cuma merasa ini nyaman."

Eshika kembali menarik napas dalam-dalam.

"Aku nggak nyadar kalau aku lagi-lagi meluk kamu pas tidur. Tapi .... Eh?" Mata Eshika menatap berkeliling. "Ini di kamar aku, Tam."

Terdengar kekehan pelan Tama. "Memang di kamar kamu."

"Berarti kamu dong yang kali ini yang ngebuat kita tidur bareng."

Tama terbatuk. "Kamu nggak ingat?"

"Apa?"

Tangan Tama terasa mengelus lengan Eshika. "Malam tadi kan kamu ketiduran di ayunan. Terus aku yang gendong kamu ke sini."

Eshika terdiam. "Aaah."

"Kita mau balik jam berapa?" tanya Tama kemudian. "Pagi atau siang?"

Eshika tampak berpikir sejenak. "Kalau pagi aja gimana? Takut nggak tekejar buat beres-beres rumah."

"Oke."

Terasa dagu Tama menyentuh puncak kepala Eshika ketika Tama mengangguk.

"Kita sarapan bentar, terus kita langsung balik aja," kata Tama. "Gimana?"

"Oke ...."

Lantas ... Tama terkekeh lagi.

"Kenapa?"

"Terus kapan kita bangunnya, Esh?" tanya Tama geli. Ia menoleh ke jam dinding. "Ini juga udah mau jam tujuh loh. Kalau kita nggak bangun sekarang, kita mau balik kapan?"

Wajah Eshika terasa panas. Ia dengan segera melepaskan diri dari Tama, bangkit duduk dengan warna merah di kedua pipi.

Tama turut bangkit, mengulum senyum dan mengulurkan tangan. Merapikan rambut Eshika yang berantakan.

"Ehm ...."

Eshika terlihat salah tingkah. Dan melihat itu, Tama justru membuat gadis itu semakin merona.

Tama memeluk Eshika. Mengusap punggung Eshika. Suaranya terdengar lirih dan pelan di telinga gadis itu.

"Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak?"

Eshika mengangguk. Ia mengurai pelukan itu. "Aku nggak ada ngigau atau apa gitu kan?"

Tama mengulum senyum. Terlihat lega ketika menjawab. "Nggak kok. Cuma khawatir aja kalau-kalau kamu mimpi buruk."

"Mimpi buruk?" Dahi Eshika berkerut-kerut. "Nggak mimpi buruk sih. Malah kayaknya mimpi indah."

"Eh?"

Eshika mengulum senyum. Tama menatap lekat-lekat pada gadis itu.

"Kamu mimpi apa?" tanya Tama.

Eshika terdiam. Mengangkat tangan dan menahan jemarinya di depan bibir dan berkata.

"Nggak mimpi apa-apa kok."

"Mencurigakan," gumam Tama seraya mengerutkan dahi.

Eshika terkekeh. Beranjak turun. "Buruan! Katanya kita mau balik pagi gini," kata gadis itu dengan senyum lebar. "Kamu siap-siap, biar aku turun ke bawah dulu. Kita sarapan dulu ya?"

Tama sedikit menggeser duduknya di tempat tidur. Ia mengangguk.

Eshika meraih daun pintu. Mengernyit mendapati pintu yang terkunci, tapi tanpa kata-kata ia langsung memutar anak kunci tersebut. Tangannya menekan daun pintu seraya berkata pada Tama. Tepat ketika ia membuka pintu.

"Aku siapin sarapan kita dulu, terus kita langsung balik." Eshika menatap Tama. "Gimana?"

Tapi, Tama tidak menjawab. Melainkan terlihat kaku wajahnya. Membuat Eshika dengan wajah bingung memutar kepala dan sontak terkejut kaget.

Mawar berada di depan pintu kamar itu.

Eshika menggigit bibirnya.

Astaga.

Tepergok lagi!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro