Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Penjernih Suasana

Eshika merasa darah di atas kepalanya benar-benar mendidih.

Ah, bagus kamu ya, Tam.

Udah nyuruh aku beliin kamu bakso, eh kamu malah enak-enakan pelukan sama Tere di depan unit.

Kenapa cuma di depan pintu hah?

Bawa situ masuk dalam unit kamu.

Pelukan pelukan deh sepuas kamu.

"M ...bak?"

Eshika melengos saja. Tak menghiraukan Inayah yang berjaga di meja resepsionis yang menyapa dirinya. Membuat wanita berparas teduh itu mengerutkan dahi.

"Nggak biasanya Mbak Eshika kayak gitu."

Melampiaskan rasa kesalnya, Eshika berjalan dengan semakin menghentak-hentakkan kakinya. Mungkin biar merasa seperti sedang menginjak-injak badan Tama dan Tere kali ya.

Kamu liat aja, Tam.

Kamu pikir omongan aku kemaren cuma omong kosong?

Aku bakal beneran ngomong ke Mama.

Awas aja.

Tangan Eshika terulur ketika ia sudah di tepi jalan raya. Menghentikan laju satu taksi. Membuka pintunya tanpa basa-basi. Duduk dan menyebutkan alamat tujuannya.

Sepanjang perjalanan, Eshika melihat ponselnya.

Lihat!

Dia bahkan nggak ada ngubungi aku?

Hah!

Bagus deh! Bagus!

Dengan kesal, Eshika lantas memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolahnya. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Wajahnya yang memerah menjadi bukti jelas kalau dia memang sedang menahan amarah yang siap meledak saat itu juga.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Eshika tiba di rumah Mawar. Ia membayar taksi itu dan turun. Sejenak ia hanya memandangi pagar tinggi yang mengelilingi rumah Tama. Ketika ia mendekati pintu pagar, terlihat penjaga pos yang kaget melihat dirinya.

"Loh? Mbak Eshika?"

Eshika tersenyum ketika satpam yang bernama Restu itu membuka pintu untuknya. "Mama ada, Pak?"

Restu mengangguk. "Ada kok, Mbak. Nyonya ada di dalam."

"Makasih, Pak. Aku masuk ya."

"Iya, Mbak. Silakan."

Tak menunggu lebih lama, Eshika pun masuk ke rumah besar itu. Ia celingak-celinguk dan mendapati seorang asisten rumah tangga menghampiri dirinya.

"Eh, Mbak pengantin pulang ke rumah mertua."

Eshika nyengir kaku mendengar godaan itu. "Eh, Mbak Tari. Mama di mana ya?"

"Nyonya di dapur, Mbak," jawab Tari. "Kayaknya lagi mau siap-siap masak buat makan malam."

"Oh ...." Eshika manggut-manggut. "Aku ketemu Mama dulu ya, Mbak."

"Iya, Mbak."

Eshika kembali melangkah. Berjalan menuju ke dapur. Bahkan ketika Eshika belum tiba di sana, suara Mawar yang sedang bercakap-cakap dengan asisten rumah tangganya terdengar.

"Ma ...."

Eshika langsung menghampiri Mawar dan memanggil mertuanya itu. Seketika membuat Mawar menoleh dan melepaskan pisau di tangannya.

"Eh, ada Eshika!" seru Mawar. "Astaga. Kok mendadak datang, Esh?"

Eshika mencoba untuk tersenyum, walau kaku. "Emang nggak boleh ya, Ma, aku datang mendadak?"

"Hahahaha." Mawar membawa Eshika beranjak dari sana. Mengajaknya untuk duduk di kitchen island. "Nggak gitu dong, Sayang. Soalnya kan kemaren kita baru ketemu."

Eshika manggut-manggut. Bener juga sih. Tapi, ya masalahnya ya itu. Selepas pergi dari apartemen, Eshika kan bingung harus ke mana. Ya kali duduk bengong di halte bis. Sebenarnya dia bisa juga sih jalan ke mall gitu, tapi Eshika sedang capek. Apalagi baru semalam dia pergi jalan sama Tama.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam.

Baru semalam kita jalan, Tam. Dan baru semalam kamu bilang cantikan aku dibandingkan Tere, tapi siang ini kamu malah pelukan sama dia. Dasar cowok ya.

Mawar mengamati wajah Eshika. Dahinya sedikit mengerut ketika bertanya.

"Kamu datang ke sini sendirian?"

Eshika menatap Mawar.

"Nggak bareng Tama?"

Gadis itu menarik napas panjang.

Pertanyaan tepat ini, pikirnya. Sekalian aja aku bilangin ulah Tama sama Mama. Biar mampus dia dimarahin.

Lantas, Eshika menggeleng.

"Loh? Kenapa?"

Tabuh berbunyi di benak Eshika. Seolah mengiringi detik-detik Eshika akan mengadu pada Mawar dan mereka kemudian akan sama-sama mengumpati cowok itu.

"Soalnya tadi ada temen di unit, Ma," jawab Eshika. "Mana dia pake acara meluk-meluk Tama gitu."

Mata Mawar melotot besar. "Temen?" tanya Mawar terbata. "Meluk Tama."

Eshika mengangguk. "Ya aku pergi dong, Ma. Nggak mau mengganggu kemesraan mereka. Tapi, aku nggak tau juga sih ya, Ma. Entah temen, gebetan, atau pacar barunya Tama."

Mertua Eshika itu terlihat mendadak susah napas. Ia tampak menggeram ketika bertanya lagi.

"Siapa temennya itu?"

"Tere," jawa Eshika.

"Tere?!" jerit Mawar histeris. Syok.

Membuat Eshika serta merta keheranan melihat reaksi Mawar yang seperti ayam kelonjotan karet.

"Kenapa, Ma?" tanya Esihka bingung. "Mama kayak yang kenal dia."

Dan ketika Eshika berkata seperti itu, mendadak saja ia teringat percakapan kemaren. Di saat dirinya menguping pembicaraan antara Tama, Tere, Reki, Heri, dan juga Bima.

"Masalahnya aku yang nggak mau kamu peduliin! Bukannya Mama aku kemaren udah bilang ya? Kamu itu bukan tipe Mama. Jadi, otomatis aja kamu juga bukan tipe aku."

Demi meyakinkan dirinya, Eshika bertanya. "Mama pernah ketemu dia?"

Tampak kesal, Mawar mengangguk. "Ya pasti dong Mama pernah ketemu dia. Orang hari apa gitu ya ... ehm ...." Mawar tampak berpikir. "Kayaknya hari Kamis. Ah! Bener! Hari Kamis kan dia datang ke rumah."

"Eh? Ngapain dia ke sini, Ma?"

Mawar mengeluarkan ponsel dari kantung celemeknya. "Jadi, sebelum Mama nelepon kamu itu, Esh, Mama udah ditelepon sama Tama duluan."

"Tama nelepon Mama? Kenapa?"

"Mau ngabarin Mama kalau Tere mau datang menjenguk dia."

Wajah Eshika membeku.

"Jadi ya gini. Kamis itu Tama nelepon Mama. Intinya dia ngomong kalau ada cewek mau menjenguk dia, namanya Tere. Nah, dia bilang ke Mama kalau dia bohong sama itu cewek. Dia ngomongnya lagi ada di rumah. Eh, makanya deh itu Tere datang ke sini. Mama bilangin dong ya, Tama istirahat. Mama juga ngomong kalau Mama nggak suka sama cewek yang suka datang ke rumah cowok padahal nggak kenal juga. Kesannya kayak cewek nggak tau malu gitu. Ya enak dong kalau alasan datangnya bagus. Eh, ini kan mau ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas udah punya istri."

Eshika terdiam mendengarkan penjelasan Mawar.

"Sekarang kalau dipikir-pikir kok aneh ya?"

"Aneh kenapa, Ma?"

Mawar menatap Eshika. "Padahal kemaren itu kan jelas-jelas Mama dan Tama bilang ke Tere kalau Tama ada di sini. Tapi, kok Tere bisa tau kalau Tama ada di apartemen ya?"

Deg!

Mendadak sesuatu kembali melintas di benak Eshika. Ketika Tere mendatangi dirinya pasca bertemu dengan Mawar di sekolah.

Eshika menggigit bibirnya. Sepertinya aku sendiri deh yang nggak sengaja ngomong ke Tere.

Mawar menghela napas.

"Kali ini Tama memang harus kasar jadi cowok," kata Mawar. Ia tampak menunjukkan ponselnya pada Eshika. "Lihat. Padahal keliatan banget kan Tama udah kesel banget sama Tere?"

Eshika menyambut ponsel Mawar. Menampilkan kolom percakapan antara Mawar dan Tama di aplikasi Whatsapp. Di sana terlihat pada hari Kamis, Tama mengirimi Mawar foto Tere dengan pesan seperti ini.

[ My Sun ]

[ Ma. ]

[ Aku beneran minta tolong. ]

[ Aku nggak mau buat Eshika ngamuk. ]

[ Ini kami lagi dalam suasana damai sentosa, Ma. ]

[ Ini yang namanya Tere sering banget buat masalah sama Eshika akhir-akhir ini. ]

[ Aku juga udah capek ngomong sama ini cewek. ]

[ Beneran begoknya nggak ketulungan deh. ]

[ Nanti kalau dia datang ke rumah, Mama bilangin apa kek. ]

[ Pokoknya biar dia pergi gitu. ]

Balasan dari Mawar pun membuat Eshika jadi bingung.

[ Makanya, Tama. ]

[ Udah Mama bilangin dari dulu. ]

[ Berhenti deketin semua cewek! ]

[ Kena batunya kan kamu sekarang? ]

[ Mama pikir Laura benar-benar yang terakhir. ]

[ Ternyata ini malah ada Tere? ]

Eshika kembali menggulirkan jari jempol di layar. Membaca balasan Tama.

[ Ma, aku beneran nggak ada apa-apa dengan Tere. ]

[ Laura pun seandainya kalau Mama ngasih tau rencana pernikahan aku sama Eshika jauh-jauh hari, paling nggak hari Senin aja. Aku nggak bakal nerima dia di hari Rabu dan mutusin dia di hari Jum'at. ]

[ Lagipula aku masih mikir, Ma. ]

[ Masa aku mau nikah eh masih punya pacar? ]

[ Pokoknya yang Tere ini Mama yang ngurusin ah. ]

[ Aku lagi diare, Ma. ]

Eshika tertegun. Selesai membaca pesan itu membuat perasaan bergejolak di dalam dadanya. Perlahan, ia mengembalikan ponsel itu pada Mawar.

"Padahal Mama pikir Laura itu udah yang paling menjengkelkan loh. Eh, ternyata masih ada si Tere."

Eshika terdiam. Melirik sebentar pada Mawar.

"Bukannya apa ya, Esh. Malam Sabtu itu, semalam sebelum kalian nikah, si Laura datang ke rumah. Minta Tama balikan." Mawar menepuk dahinya. "Kamu bayangin ya. Itu Tama lagi ngapal nama kamu sama orang tua kamu malah mendadak Laura datang. Untung pas nikah dia nggak salah nyebut nama."

Perkataan Mawar membuat semua terasa berputar-putar di benak gadis itu. "Jadi, dia mutusin Laura gara-gara mau nikah sama aku, Ma?"

"Iya." Mawar mengangguk. "Sebenarnya itu memang salah Mama juga sih. Harusnya Mama ngasih tau dia tentang hal itu ya paling nggak hari Senin. Bener kata Tama. Tapi, ya Mama sama Papa takut dia kabur, Esh. Makanya kami baru ngasih tau Jum'at pagi."

Glek.

Eshika merinding mendengarnya. Mengetahui itu, tidak heran bila kemudian di hari pernikahan mereka tampang Tama seperti ingin menelan orang hidup-hidup. Sudah dipaksa menikah, eh ... menikahnya dadakan lagi. Bahkan Eshika heran, kenapa Tama bisa bertahan melewatinya.

"Makanya itu Tama ngamuk-ngamuk. Sebenarnya Mama agak sedih juga sih ya ngeliat Laura. Soalnya setelah Mama bilangin dia buat nikahi kamu besok malamnya, eh Jum'at siangnya dia mutusin Laura." Mawar tampak mengerutkan dahi. "Sebenarnya, bukan Laura aja sih yang Mama kasihani. Semua cewek yang dipacarin Tama itu semuanya perlu dikasihani!"

Entah mengapa, kali ini Eshika merasa geli.

"Itu anak ya, Esh. Nggak tau deh udah berapa orang mantan pacarnya," gerutu Mawar. "Udah bisa dibuat satu kelurahan khusus mantan pacar Tama. Beneran."

"Banyak banget ya, Ma?"

Mawar geleng-geleng kepala. Memijat pelipisnya. "Nggak tau deh Mama, Esh. Udah nggak kehitung lagi. Padahal ya kan anak itu dulu nggak akrab loh sama cewek, dari kecil kan temen ceweknya cuma kamu. Eh, masuk SMA kenapa malah jadi kayak hewan buas lepas dari kerangkeng sih?"

"Hihihihi."

Eshika tertawa.

"Mana dia pacaran lebih dari seminggu aja bisa hebat banget. Kayak yang pacaran bulan purnama aja. Tiga hari selesai. Ah!" Mawar menahan kepalanya dengan kedua tangannya. "Pusing kepala Mama mikirin itu anak."

"Jangan dipikirin dia, Ma. Dia aja nggak mikirin dirinya sendiri."

"Ck. Makanya itu, Esh," lanjut Mawar seraya meraih tangan Eshika. "Kamu yang sabar ya dengan Tama. Memang sih dia kadang buat darah tinggi, tapi sebenarnya dia itu anak yang baik."

"Ehm ...."

"Iya kan?" tanya Mawar.

Akhirnya, Eshika mengangguk. "Iya sih, Ma."

"Apa selama kamu kenal Tama, kamu pernah dikasari sama dia? Dipukul? Atau pernah diumpati? Diomongin pake kata-kata kasar?"

Eshika dengan mantap menggeleng. "Walau sering ngerjain aku, sebenarnya Tama nggak pernah gitu kok sama aku, Ma."

"Karena itulah Mama yakin waktu Popi nyuruh kalian nikah. Dia itu memang kayak belum dewasa, tapi namanya cowok kan memang lama dewasanya, Esh. Kamu harus sabar-sabarin yang ngadepin Tama."

"Eh ... iya, Ma." Eshika mengangguk pelan.

"Jadi," lanjut Mawar kemudian. "Kamu mau makan malam di sini? Biar pulang ntar abis makan aja. Biar Tama ngusir Tere dulu. Mama yakin banget bukan Tama yang mau Tere datang ke unit."

Bayangan Tere yang berusaha memeluk Tama melintas di benak Eshika. Wajah panik Tama saat itu entah mengapa justru membuat Eshika emosi.

"Mama yakin banget itu Tere yang kegatalan mau meluk Tama. Kalau Tama mau meluk juga, itu kayak Tama pas meluk kamu waktu tidur itu, Esh."

"Mama!" jerit Eshika sambil lirik-lirik ke kanan kiri. Melihat respon asisten rumah tangga yang kebetulan ada di dapur.

Mawar tergelak. "Yang Mama bilangin itu bener, Esh."

"Tapi ...." Eshika melirih pelan. "Ya tetap aja deh, Ma. Sebenarnya kemaren itu Tere juga udah datang ke unit. Tapi, pas aku tanyain ke Tama. Dia nggak bilang Tere datang. Dia cuma bilang Reki, Heri, dan Bima yang datang."

"Eh? Berarti udah dari kemaren dia datang?"

Eshika mengangguk.

Tangan Mawar melambai di depan wajah. "Ya wajar dong, Esh, Tama nggak ngomong kalau Tere datang. Yang pas hari Kamis itu kan dia juga nggak bilang, yang kemaren juga nggak bilang, itu karena dia nggak mau kamu jadi ngamuk-ngamuk ke dia. Dia cuma nggak mau kamu jadi mikirin yang macam-macam." Mawar mengangguk-angguk. "Memang agak susah sih ya. Dibilang kamu jadi kepikiran, nggak dibilang kamu juga jadi kepikiran."

Eshika merenungi perkataan Mawar. Ehm ... iya juga sih ya?

"Lagipula, Mama yakin. Tama pasti udah sekuat tenaga dia buat ngusir Tere," geram Mawar. "Memang kadang mah cuma cewek yang bisa balik balas cewek. Makanya ..." Mata Mawar menyipit. "Biar ntar Mama yang pentung kepala Tere."

Eshika mengulum senyum.

"Ya Mama kan juga nggak bisa berbuat apa-apa. Tama udah nolak, kalau pas kebetulan dapat cewek yang kegatelan gimana coba? Ya kali Tama disuruh pake topeng."

"Hihihi."

Mawar diam-diam mengembuskan napas panjang. Lega melihat wajah Eshika yang terlihat pelan-pelan mulai cerah lagi.

Tama ini harus dikasih ceramah! Awas aja.

"Jadi ...." Mawar tersenyum lembut. "Mau makan di sini? Ya? Biar pulangnya ntar malam aja?"

Eshika tersenyum. Sedikit menempel manja pada Mawar. "Kalau nginap di sini nggak apa-apa kan ya, Ma? Masa Mama mau ngusir anak mantu sih?"

"Ih!" Mawar menepuk tangan Eshika. "Ya kalau mau nginep ya nginep. Tapi, bantuin Mama masak."

Eshika mengangguk. "Aku letakin tas ke atas dulu, Ma."

Mawar mengangguk.

Tanpa basa-basi, Eshika kemudian bergegas beranjak dari sana. Menaiki tangga dan menghilang di lantai atas. Melihat itu, Mawar segera menelepon Tama. Saat telepon itu diangkat, Mawar segera saja menceramahi Tama.

"Kamu ini ya, bisa-bisanya nunjukin ke istri penampilan live kamu dipeluk cewek lain?"

"Ma!" jerit Tama di seberang sana. "Sumpah, aku nggak banget maksud kayak gitu."

Mawar menggeram.

"Eshika di rumah, Ma?"

"Iya. Kenapa?"

"Ya mau aku samperin dong, Ma."

"Oh. Buruan."

*

Di atas, Eshika segera menuju ke kamar yang biasa ia tempati kalau sedang menginap di rumah itu. Sudah cukup untuk menjadi bukti tentang kedekatan Eshika dengan keluarga itu.

Eshika meletakkan tasnya, lalu membuka lemari pakaian. Dan ketika itulah ia mengembuskan napas panjang. Menyadari bahwa ternyata pakaiannya di sana sudah tidak ada.

Apa aku angkut semua pas aku udah lama nggak main ke sini ya?

Karena ya bukannya apa. Semenjak SMA dan semenjak Tama semakin usil, Eshika memutuskan untuk tidak sering-sering datang ke sana lagi. Ya pada akhirnya mungkin tanpa sadar Eshika sudah mengangkut pakaiannya dari sana.

Ehm ....

Eshika mendehem. Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ketika ia melihat notifikasi, ia kaget. Tama menghubunginya dari tadi. Berkali-kali.

Mengulum senyum, Eshika kemudian menekan nomor Tama. Dan Eshika kaget, tak sampai dua detik, telepon itu diangkat.

"Esh?"

"Tam ...." Eshika menarik napas panjang. "Kamu lagi di mana?"

"Ehm ... aku lagi unit. Kenapa?"

"Aku lagi di rumah Mama," kata Eshika.

"Oh ... kamu mau balik ke sini? Biar aku jemput kalau iya."

Eshika menggeleng. "Nggak. Kita nginap di sini aja yuk, Tam."

"Oh ... O-oke ..."

"Kamu ke sini deh. Sekalian aku minta tolong."

"Tolong apa, Esh?"

"Baju aku di sini udah pada nggak ada. Nggak ada apa pun lagi di lemari," kata Eshika. "Kamu tolong bawain pakaian aku ya?"

"Oke, Esh! Aman. Bentar lagi aku ke sana ya."

"Iya. Bye."

"Bye."

Eshika mengulum senyum. Lalu, mendadak saja ia teringat sesuatu.

Eh?

Kalau aku nyuruh Tama bawain pakaian aku, itu artinya dia bakal buka lemari aku kan?

Mata Eshika melotot. Baru menyadari hal tersebut dan tau bahwa semua sudah terlambat untuk ia klarifikasi dengan cowok itu.

Dia ntar bakal lihat pakaian dalam aku dong?

Glek.

A-apa Tama juga bakal kepikiran buat bawain pakaian dalam aku?

"Aaargh!"

Eshika menutup wajahnya.

Mampus aku!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro