Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Keributan

"Tok! Tok! Tok!"

"Tam ...."

"Tama ...."

Tama melenguh panjang. "Ehm ...."

"Tam? Kamu udah bangun belum sih?"

Mata Tama membuka. Tampak menatap kosong ke sekeliling. Mengangkat tubuhnya yang tidur tengkurap di atas bantal yang ia peluk erat, Tama butuh waktu beberapa detik untuk mengumpulkan kesadarannya yang masih tercerai-berai.

"Ehm ...."

"Tam?"

Tama menoleh ke pintu. Mendengarkan dengan saksama bahwa itu adalah suara Eshika.

"Eshika ...," lirihnya pelan. "Eshika?" Dahinya mengernyit. "Kenapa anak itu?"

Dengan lemas, Tama pada akhirnya beranjak ke pintu. Membukanya dan menyipitkan mata saat melihat Eshika telah rapi berdiri di depan pintu. Sedangkan Eshika terbengong-bengong melihat Tama.

"Ya ampun, Tam."

"Kenapa, Esh?" tanya Tama dengan wajah kantuknya.

Eshika melotot tak percaya mendengar pertanyaan Tama. "Kamu bilang kemaren kamu hari ini udah mau sekolah," kata Eshika. "Tapi, kok kamu belum siap-siap sekarang? Malah baru bangun tidur? Yang bener aja, Tam"

Tama menepuk dahinya. Baru menyadari hal itu. Tapi, bagaimana lagi ya. Nyatanya memang seperti itu. Ia bahkan baru bangun tepat ketika Eshika menggedor pintu kamarnya.

Cowok itu kemudian menutup mulutnya ketika menguap sekilas. "Kayaknya aku hari ini belum masuk deh, Esh. Tanggung."

"Tanggung?" Mata Eshika semakin membesar. "Kemaren juga sok-sok mau jadi pelajar disiplin."

Tama nyengir. Ia menggaruk kepalanya. "Tanggung ngotorin seragam sekolah, Esh." Kali ini mata Tama telah melihat dengan jernih. "Ngerepotin kamu nyuci ntar."

Bibir Eshika manyun. "Bilang aja kamu memang belum mau sekolah."

"Sesekali aku masih ke toilet, Esh. Biar ntar pas aku udah sembuh beneran deh aku ke sekolah lagi," ujar Tama membela diri. "Daripada ntar aku jadi sakit lagi gara-gara maksain diri padahal belum sembuh beneran. Kan yang repot ntar kamu lagi."

"Ehm ...," dehem Eshika dengan intonasi kecurigaan.

"Aku tuh cuma nggak mau buat kamu repot, Esh. Beneran deh." Tama tersenyum. "Ya?"

Eshika menimbang sejenak. Seraya bersidekap, ia sedikit menoleh ke arah dapur. "Ya udah kalau gitu. Itu sarapan kamu udah siap di meja."

Tama mengangguk."Makasih banyak, Esh."

"Aku pergi dulu," kata Eshika. "Kamu istirahat aja."

Tama mengangguk lagi dengan patuh.

"Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aja aku."

"Aman," kata Tama.

Sejurus kemudian, Tama hanya berdiam diri sejenak di ambang pintu kamarnya. Melihat Eshika yang kemudian pergi. Hingga suara pintu unitnya yang terkunci menjadi tanda kalau gadis itu telah pergi.

Menguap, seraya mengusap perutnya, Tama berjalan perlahan menuju ke dapur. Sesampainya di meja makan, ia menghirup aroma sarapan yang telah disediakan oleh Eshika.

Menarik kursi, ia duduk bertopang dagu melihat sepiring nasi goreng, beberapa iris buah-buahan, dan segelas susu hangat yang telah tersaji dengan rapi dan tanpa cela. Tanpa sadar membuat Tama menggumam rendah.

"Ini pasti di kehidupan sebelumnya aku menyelamatkan dunia dari Perang Rudal deh ya. Mendadak nasib aku seenak ini. Hahahaha. Udah nggak sekolah, disuruh istirahat, eh disiapkan makanan bergizi. Ckckckck. Tau kayak gini, sebenarnya nikahi Eshika juga nggak buruk-buruk banget sih."

Tangan Tama meraih gelas susunya. Melihat minuman itu dan tersenyum.

"Bahkan sebenarnya ehm ... menyenangkan."

*

Eshika pagi itu datang ke sekolah sedikit terlambat sebenarnya. Ya bukannya apa. Sebenarnya tadi ia sudah beberapa menit menunggu Tama untuk sarapan, eh ternyata cowok itu malah tidak jadi sekolah. Tapi, ya wajar juga sih. Mungkin diare Tama belum sembuh beneran.

Benak Eshika berpikir.

Apa gara-gara malam tadi aku ngajak dia makan pizza ya makanya perutnya balik mules lagi?

Eshika menggigit bibirnya.

Ah, Tama. Kalau emang belum bisa makan pizza kan harusnya dia ngomong. Ck. Apa dia berasa nggak enak nolak permintaan aku malam tadi?

Ehm ....

Aku malah jadinya yang nggak enak buat dia belum sembuh-sembuh juga dari diarenya. Lagian, mana Tama akhir-akhir ini baiknya makin buat aku nggak tenang perasaan.

Dan ingatan Eshika teringat tentang malam tadi. Membuat senyum terbit di bibirnya. Terutama ketika ia teringat saat Tama memuji penampilannya.

Yaaa ... mana Tama jadi cowok juga nggak pelit duit. Hihihi. Bukan berarti aku bakal ngabisin duit Tama sih, tapi berasa enak aja karena dia orangnya nggak itung-itungan soal duit. Ehm ... mungkin karena dia udah bisa nyari duit sendiri ya? Makanya nggak terlalu itung-itungan soal duit.

Kaki Eshika melangkah berbelok di koridor. Dari tempatnya berjalan, kelasnya mulai terlihat.

Sebenarnya kalau mau dipikir-pikir, dinikahi Tama juga nggak buruk-buruk amat sih. Kalau sikap ngejengkelin dia nggak kumat, sebenarnya dia lumayan bertanggungjawab juga jadi cowok.

Eshika manggut-manggut.

Yaaah ... malah lumayan menyenangkan juga sih.

*

[ Tama ]

[ Esh .... ]

[ Pulang sekolah ntar bisa minta tolong? ]

Satu pesan dari Tama masuk ketika bel istirahat kedua baru saja berbunyi. Dan kalau Eshika perhatikan, Tama terkadang memang memperhatikan waktu saat akan menghubungi dirinya.

[ Tama ]

[ Minta tolong apa, Tam? ]

Eshika beralih sebentar dari ponselnya ke Velly yang sudah berdiri dari kursinya. Mencolet lengannya.

"Yuk ke kantin."

Eshika menggeleng. "Aku masih kenyang, Vel. Kamu aja ya."

"Beneran?" tanya Velly meyakinkan. "Ntar pas belajar malah lapar lagi."

"Hahahaha. Nggak."

"Oke. Ehm ... nggak mau nitip?"

"Nggak perlu."

"Ya udah. Aku ke kantin dulu."

Eshika mengangguk pada Velly. Membiarkan Velly menghilang dari pandangannya dan kembali pada ponselnya.

[ Tama ]

[ Beliin aku bakso Pakde dong, Esh. ]

[ Mendadak kepengen makan bakso. ]

Eshika mengulum senyum. Secepat mungkin membalas pesan itu.

[ Tama ]

[ Kamu sebenarnya sakit atau ngidam sih? ]

[ Kok malah pengen makan bakso? ]

Sejenak, Eshika meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya meraih ke botol air minumnya. Meneguk isinya beberapa kali tegukan.

[ Tama ]

[ Hahahaha. Kayak yang aku lagi hamil aja. ]

[ Tapi, beneran deh. ]

[ Lagi kepengen makan bakso Pakde. ]

[ Telur aku dua ya. ]

"Bruuut!"

Air minum di mulut Eshika tersembur dari mulutnya. Ia tersedak berulang kali. Tangannya bergetar ketika mengambil tisu dari dalam tempat pensilnya. Mengelap mulutnya yang basah.

Matanya mengerjap. Membaca pesan Tama membuat pikiran aneh mendadak menjajah isi otaknya.

Ini maksud Tama apa sih?

[ Tama ]

[ Soalnya kalau telurnya cuma satu, aku nggak kenyang makan baksonya, Esh. ]

Tangan Eshika menggenggam ponselnya dengan begitu erat.

Ya ampun, Tama. Ngomong kek kalau yang kamu maksud itu telur bakso.

Eshika menggeram.

Udah buat kau mikir yang nggak-nggak tau?

[ Tama ]

[ Esh? ]

Eshika menarik napas dalam-dalam. Lalu membalas pesan Tama.

[ Tama ]

[ Oke deh. ]

[ Ada yang lain? ]

Beberapa saat, Eshika menunggu Tama mengetik. Balasan cowok itu seperti ini.

[ Tama ]

[ Nggak ada yang lain. ]

[ Kamu mau bawain baksonya aja aku udah seneng banget. ]

[ Balik ntar hati-hati. ]

[ Bye. ]

Eshika pun membalas.

[ Tama ]

[ Oke. Selamat istirahat. ]

[ Bye. ]

Eshika bertopang dagu pada satu tangan. Melihat bagaimana pemberitahuan online Tama kemudian menghilang. Ia keluar dari kolom percakapan mereka dan kemudian justru berselancar di dunia maya.

Hingga jam sekolah kemudian berakhir, Velly tampak heran saat melihat Eshika yang sekeluar dirinya dari gerbang sekolah langsung berbelok menuju ke warung bakso.

"Yes!" sorak Velly. "Hari ini aku ditraktir bakso sama Eshika!"

Eshika mencibir. "Lain kali, Vel. Kali ini aku mau beliin titipan orang."

"Eh?"

Velly tak percaya dengan apa yang ia dengar. Membuat gadis itu melongo di tempatnya ketika dilihatnya Eshika yang tanpa merasa bersalah meninggalkan dirinya seorang diri di tengah jalan, sedangkan ia menuju ke warung bakso. Dengan langkah kesal, Velly menyusul Eshika.

Eshika menoleh. "Apa kamu mau baksonya dibungkus aja, Vel? Kalau iya, aku traktir deh."

"Heran ya." Velly bersidekap. "Kamu yang kayak repot aja akhir-akhir ini."

Eshika mengatupkan mulutnya. Tak menghiraukan perkataan Velly, cewek itu justru bertanya lagi. "Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah."

Velly tampak berpikir sejenak. "Ya maulah."

"Tambah satu lagi ya, Pakde, buat Velly."

Lima menit kemudian, Eshika membayar pesanan itu. Gadis itu memberikan satu plastik bakso pada Velly, sedangkan ia membawa satu kantung lagi yang berisi dua porsi bakso.

Eshika menepuk pundak Velly. "Dah! Makan baksonya yang nyaman ya di rumah. Jangan buru-buru makannya, ntar keselek lagi. Hihihihi. Aku mau balik dulu."

"Eh .... Esh ...."

Velly misuh-misuh melihat Eshika yang langsung saja ngacir menuju taksi yang ternyata telah ia pesan dari tadi. Membuat ia dengan cepat melarikan diri dari Velly.

*

"Ting tong!"

Suara bel yang berbunyi membuat Tama mengangkat kepalanya dari bantal sofa yang menopang kepalanya. Ia mendengarkan sekali lagi dengan saksama, demi meyakinkan diri kalau telinganya tidak salah mendengar.

Tak membuang waktu, Tama pun beranjak ke depan seraya bertanya-tanya siapa lagi yang datang ke unitnya siang itu. Dan mata Tama seketika saja melotot membesar melihat bahwa di depan pintunya sekarang ada Tere!

Gawat ini!

Terdengar suara Tere.

"Tam. Aku tau kamu ada di dalam. Bukain pintunya, Tam. Aku mau ngomong sesuatu. Penting banget, Tam."

Kedua tangan Tama naik ke kepalanya. Ia meremas rambutnya. Merasa dorongan mendadak ingin membunuh orang.

Aduh ya ampun ini cewek!

Ngapain dia pake acara datang lagi ke sini sih?

Mau ngapain lagi?

Apa beneran udah nggak punya urat malu lagi ini cewek?

Kurang kasar apa lagi coba aku ngomongi dia?

Argh!

"Tam, pokoknya kamu harus keluar. Aku nggak bakal balik sebelum kamu mau nemuin aku. Kamu beneran pegang kata-kata aku, Tam. Aku nggak bakal balik sebelum kamu keluar. Sebelum kita bisa bicara."

Kedua tangan Tama kemudian mengepal dengan kesal. Mendadak keringat timbul di wajahnya. Menyadari sesuatu yang penting.

Bentar lagi Eshika pasti balik. Kalau dia ketemu Tere gimana?

Ya Tuhan.

Alamat bakal meledak beneran ini perang.

Seluruh bulu kuduk Tama seketika meremang. Ia tidak mampu membayangkan bagaimana jadinya kalau Eshika dan Tere bertemu. Di lain pihak, kalau mereka bertemu itu pasti membuat Tere bertanya-tanya, mengapa Eshika bisa ada di sini? Di gedung apartemen Tama.

Tama menggeram.

Dan mengingat bagaimana sifat Tere, itu bisa dipastikan nggak bakal jadi hal yang bagus sama sekali buat Eshika. Kalau mendadak ada gosip lainnya yang ngebuat orang-orang pada ngomongi dia, pasti dia bakalan ngamuk beneran.

Berat, tapi Tama berpikir harus cepat bertindak. Mengusir Tere secepat yang bisa ia lakukan. Akhirnya, Tama membuka pintu.

Tapi, ada satu hal yang tidak diantisipasi oleh Tama sebelumnya. Mengenai betapa nekat dan tidak tau malunya Tere.

Ketika Tama membuka pintu, maka di saat itulah Tere menghambur pada Tama. Seolah-olah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Tere secepat mungkin memeluk Tama. Kemudian ia terdengar berkata.

"Tam, aku mohon, Tam. Dengarkan aku dulu."

Tama melotot. Kedua tangannya dengan cepat berusaha mendorong tubuh Tere. Tapi, kedua tangan Tere mengunci di balik pinggang Tama.

"Re! Kamu gila?!" sentak Tama. "Lepasin aku!"

"Nggak, Tam. Nggak." Tere menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku nggak bakal lepasin kamu sebelum kita berdua ngomong."

"Lepasin!" sentak Tama. "Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Nggak perlu meluk aku kayak gini! Argh!"

Tere semakin mengeratkan pelukannya. Menempelkan wajahnya di dada Tama. Membuat cowok itu semakin murka karenanya.

"Tam, please. Aku cinta banget sama kamu, Tam."

Tama menggeram. "Ya ampun, Tere! Lepasin! Udah aku bilang juga aku udah ada cewek lain yang aku suka!"

"Aku nggak percaya. Aku nggak percaya!" teriak Tere.

"Argh!"

Tama menggeram. Berusaha untuk melepaskan dirinya. Dan ketika itulah mendadak mata Tama beradu pada tatapan seseorang yang terdiam di ujung lorong. Tepat ketika terdengar rengekan Tere. Membuat tubuh Tama sontak membeku kaku di tempatnya berdiri.

"Aku tau kamu juga suka aku, Tam. Kamu cuma mau buat aku cemburu doang kan ngomong kalau kamu ada cewek lain yang kamu suka?"

Mata Tama melotot besar. Melihat bagaimana di sana Eshika terdiam melihat ke arahnya. Tangan gadis itu terlihat bergetar. Lalu, Eshika tampak membuang sesuatu ke dalam tong sampah sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya.

Dengan penuh kemarahan, Tama mendorong tubuh Tere. Gadis itu terhenyak. Terdorong dengan cukup keras hingga melepas pelukannya.

Tama menarik napas dalam-dalam. Tangannya bergetar ketika merogoh ponsel dari saku celananya.

"Halo, Mas Tama?"

"Kirim security ke unit aku sekarang, Mbak. Sekarang."

"Baik, Mas."

Tere melotot. "Tama?"

Tama berusaha menenangkan dirinya.

Mengejar Eshika sekarang bakal percuma, Tam. Cewek itu pasti lagi emosi banget. Lebih baik kamu selesaikan dulu masalah yang ada di sini. Kalau kamu nggak selesaikan hal ini, Tere pasti bakal berulah lagi.

Tak butuh waktu lama, hingga kemudian Slamet dan rekannya yang bernama Burhan tampak berlari menuju unit Tama. Tanpa basa-basi, Tama menunjuk Tere.

"Pak, aku mohon. Jangan pernah biarkan ini cewek sampai masuk ke gedung ini lagi. Sumpah! Aku minta tolong banget."

Tere syok. Matanya melotot tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Tama. "Tam! Ka-kamu ngomong apa, Tam?"

Tak menghiraukan perkataan Tere, Tama kembali berkata pada kedua petugas keaman tersebut.

"Bahkan tolong bilang ke penjaga portal untuk memastikan dalam radius 1 kilometer cewek ini nggak keliatan!"

Tere menjerit seraya berusaha meraih tangan Tama. "Tama! Kamu tega sama aku!"

Tama menyentak tangannya. "Kamu beneran buat kesabaran aku abis, Re. Sumpah!" Beralih pada Slamet dan Burhan, Tama kembali berkata. "Aku benar-benar nggak mau ngeliat ini cewek, Pak. Beneran. Aku nggak mau dia bisa menginjakkan kakinya di sini!"

Slamet dan Burhan segera mengerti maksud Tama. Keduanya beranjak menghampiri Tere.

"Mbak, tolong tinggalkan tempat ini."

"Tama!" jerit Tere. "Kamu nggak mungkin kayak gini ke aku, Tam! Aku beneran cinta kamu, Tama! Aku cinta kamu."

Merasa emosinya sudah tidak terkendali lagi, Tama memilih untuk masuk kembali ke unitnya. Membiarkan Slamet dan Burhan yang kemudian mengurusi Tere.

"Argh!"

Tama mengacak-acak rambutnya. Pikirannya sekarang tertuju pada Eshika.

Ya ampun. Itu cewek pergi ke mana sekarang?

Merasa otaknya buntu, meraih kunci mobil dan setelah memastikan bahwa Tere sudah menghilang dari depan pintu unitnya, Tama bergegas keluar. Setengah berlari ia menyusuri lorong lantai unitnya berada. Namun, ketika di ujung lorong, Tama menghentikan langkahnya. Menatap ke tong sampah yang berada di sana, Tama mendadak penasaran dengan benda apa yang Eshika buang ke dalam sana.

Menuntaskan rasa penasarannya, Tama membuka tong sampah itu. Seketika saja ia mencium aroma yang menggiurkan dari dalam sana. Berhati-hati, Tama membuka satu kantung plastik hitam yang Tama yakini adalah benda yang dibuang Eshika tadi. Dan ketika melihat isinya, Tama meneguk ludah ngeri.

Kantung plastik hitam itu ternyata berisi dua porsi bakso yang tentu saja adalah pesanan dirinya tadi.

Tama menggeram.

Sial!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro