Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Jalan Pertama

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Eshika dan Tama sudah memasuki Gramedia. Keduanya langsung saja menyasar ke rak-rak novel yang berjajar dengan rapi di dalam sana. Seraya melihat-lihat novel yang tersusun di sana, Tama bertanya.

"Novel yang gimana, Esh, yang dijadiin tugas?"

Eshika mengulurkan satu tangan. Meraih satu novel Indonesia yang terpajang. "Kata ibu sih bebas. Asalkan buku itu baru terbit. Terbitan mana aja nggak jadi masalah."

"Ehm ...."

Tama bingung.

"Kenapa?" tanya Eshika.

"Aku nggak suka baca, Esh. Apalagi baca novel. Jadi aku beneran buta deh untuk tugas ini," jawab Tama jujur. "Enaknya aku buat tugas pake novel apa ya?"

"Novel terjemahan?" tanya Eshika menggoda. "Nih! Lisa Kleypas, mau?"

Dahi Tama mengernyit. "Aku nggak tau itu cerita apaan."

Eshika tertawa. Meletakkan kembali novel karya Lisa Kleypas, gadis itu justru meraih satu novel milik Sandra Brown.

"Atau ini aja. Mau?"

Tama mengambil novel itu dan membaca blurb-nya. Beberapa saat kemudian, ia menatap pada Eshika.

"Sepertinya ini novel romantis ya?"

Eshika tergelak. Lumayan kuat hingga menarik perhatian pengunjung lainnya. Secepat mungkin Tama meletakkan kembali novel itu di rak.

"Kamu mau ngerjain aku, Esh?"

Eshika menjauhi Tama. "Aku nggak mau ngerjain kamu kok. Beneran. Kan aku cuma nawarin ke kamu. Kalau kamu nggak mau ya udah."

"Dasar," rutuk Tama. "Awas aja kalau kamu ngerjain aku lewat tugas ini."

Lalu, langkah kaki Eshika terhenti di rak novel terjemahan genre fantasi. Gadis itu tampak melihat dari atas bawah. Membuat Tama yang semula menyusulnya dengan rutukan, terhenti juga langkah kakinya. Diam-diam mengamati Eshika yang sedang membaca-baca judul novel di sana.

Sejurus kemudian, Eshika sedikit menundukkan tubuhnya. Mengulurkan tangan untuk mengambil satu novel dengan sampul yang sederhana bernuansa warna hijau. Ia lantas menyodorkannya pada Tama.

"Ini aja deh, Tam. Walau aku nggak baca cerita tipe ginian, tapi kayaknya ini lebih ke fantasi dan petualangan gitu deh. Coba aja baca blurbnya."

Tama menyambut novel yang ditawari oleh Eshika. Membaca judulnya. "The Lord of The Rings. The Fellowship of The Rings. Ehm ...." Tama menggumam pelan seraya membalikkan novel itu untuk membaca blurb di belakangnya. "Di sebuah desa yang tenang di Shire, seorang hobbit muda bernama Frodo Baggins mendapat warisan cincin bertuah yang menyimpan kekuatan dahsyat. Agar cincin utama itu tidak jatuh ke tangan Sauron yang jahat, Frodo mesti mengadakan perjalanan panjang dan penuh bahaya ke gunung api di Mordor, untuk memusnahkan cincin tersebut."

Eshika menatap Tama yang tampak fokus membaca pelan blurb novel terjemahan tersebut. Terlihat Tama menarik napas sekilas sebelum melanjutkan membaca.

"Bersama kedelapan sahabatnya, ia berangkat. Dipimpin oleh Gandalf Sang Penyihir, kesembilan pembawa cincin itu memulai perjalanan. Tapi, Sauron dan para anak buahnya tidak tinggal diam."

Selesai membaca blurb tersebut, Tama menarik napas panjang sekali. Ia mengangkat wajah dan menatap Eshika.

"Ehm ...," dehemnya kemudian sambil manggut-manggut.

"Gimana?" tanya Eshika. "Ini pas kan buat kamu? Kan bau-bau petualangan gitu. Sebelas dua belas sama kamu. Hampir-hampir mirip gitu."

"Eh? Hampir mirip apa?"

"Hampir mirip kayak kamu yang hobi bepetualang ngumpulin cewek-cewek," tukas Eshika.

Tama melongo. "Nggak usah nyindir."

"Bukannya selama ini kamu nganggap itu prestasi?" tanya Eshika.

Tama diam. Tak berkomentar dengan pertanyaan Eshika. Alih-alih, ia justru menimang novel karya J. R. R. Tolkien tersebut. Seolah sedang mempertimbangkan kelayakan novel tersebut untuk menjadi tugasnya.

"Kayaknya aku ambil novel ini aja deh," putus Tama kemudian. "Kalau kamu, mau novel yang mana?"

Eshika mendehem pelan. Kakinya kembali melangkah menyusuri tiap rak novel. Sekilas dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat rak-rak komik.

Mungkin akan lebih mudah seandainya tugas itu adalah membedah buku bacaan. Aku pasti bakal milih komik one shot untuk aku bedah, pikir gadis itu.

Tapi, tentu saja yang di pikiran Eshika tidak bisa ia lakukan. Karena tugasnya tadi sudah begitu jelas tertulis: beda novel terbaru. Bukannya bedah buku bacaan terbaru.

Nah, kalau tugasnya tadi bedah buku bacaan terbaru, Eshika melirik Tama yang mengekorinya. Jangan-jangan Tama bakal membedah buku tabungannya.

Eshika terkikik geli.

Tama menyipitkan mata.

"Kenapa heh? Kamu ngetawain apa?"

Eshika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada."

"Ada. Pasti ada. Nggak mungkin banget kan kamu ketawa tanpa sebab."

Eshika mengulum senyumnya. Memalingkan fokus matanya kembali ke jajaran novel yang tersusun di rak buku. Beberapa detik kemudian, matanya terhenti pada satu novel yang bergambar wanita dewasa mengenakan kebaya merah yang dipadu dengan kain batik. Sampul novel itu terlihat mencekam dengan nuansa merah darah. Eshika terlihat sedikit kesusahan ketika membaca judul novel tersebut.

"Laknat ...," ujar Eshika pelan membaca judul novel itu. Lalu, matanya sedikit turun ke bawah ketika membaca nama pengarangnya. "Lentera Langit."

Sedetik kemudian, mata Eshika sedikit melirik ke sebelah. Aroma parfum Tama menyadarkan gadis itu bahwa cowok itu telah menghampiri dirinya.

"Novel apaan, Esh?" tanya Tama dengan suara rendah.

Eshika meneguk ludahnya. Sedikit kesusahan bernapas dengan keberadaan Tama yang sedemikian rupa dekatnya dengan dirinya.

"Ka-kayaknya horor deh," jawab Eshika. "Tapi, nggak tau juga sih."

"Blurb-nya gimana?"

Tangan Eshika membalikkan novel itu. Menunjukkan blurb-nya. Tapi, ketika Eshika akan membacanya, Tama duluan yang menundukkan wajahnya. Membaca tulisan di sampul belakang novel itu.

"Wanita itu tidak pernah menyadari 'apa' yang mengincar bayi dalam kandungannya," kata Tama kemudian. "Inggrid sangat bahagia dengan dengan kehidupan pernikahannya dengan Mas Andro, pria pujaan hatinya. Ditambah lagi dengan adanya buah hati mereka yang sedang dikandung Inggrid, lengkap sudah kebahagiaan Inggrid. Namun, kebahagiaannya terganggu ketika sosok wanita berkebaya merah mulai menghantuinya. Inggrid mengalami kejadian-kejadian yang membuatnya tidak dapat memercayai pikirannya sendiri. Ditambah lagi, sesuatu yang jahat mengintainya dari kegelapan. Siap merenggut janin yang ada di dalam kandungannya."

Eshika bergidik. Bulu kuduknya terasa meremang. Tapi, Eshika tau. Itu bukan karena blurb novel Laknat yang baru saja selesai dibaca oleh Tama.

"Ehm ...."

Seraya menarik tubuhnya dari depan wajah Eshika, Tama mendehem beberapa saat. Ia lantas berkata.

"Ini kayaknya beneran novel horor, Esh."

Mata Eshika mengerjap. "Eh ... iya deh kayaknya."

Tama menelengkan wajahnya untuk melihat wajah Eshika. "Lihat. Kamu belum baca aja wajah kamu udah ngeri gitu." Ia tersenyum geli.

Eshika melotot. "Ini bukan gara-gara novel horor," gerutu Eshika seraya beranjak menjauhi Tama.

"Eh?" Tama mengerjap-ngerjap. Lalu justru berkata. "Esh ..., mau ke mana lagi?"

Langkah kaki Eshika berhenti. Ia berbalik seraya mengacungkan novelnya. "Ya mau bayar ini novel dong, Tam."

"Iya ya." Tama cengar-cengir.

Mereka berdua bersama-sama berjalan menuju ke kasir. Tampak mengantri sejenak hingga kemudian keduanya meletakkan kedua novel itu ke meja kasir.

Kasir bertanya. "Digabung atau dipisah?"

"Gabung aja, Mbak."

"Total semuanya seratus enam puluh ribu lima ratus."

Eshika menoleh ketika Tama tampak mengeluarkan dompetnya. Ia berkata seraya menarik tas ransel kecil yang ia pakai.

"Biar aku aja, Tam, yang bayar."

"Eh? Ya nggak apa-apa aku yang bayar, Esh. Duit kamu disimpen aja."

Eshika tersenyum seraya mengeluarkan dompetnya. "Aku yang bayar bukan berarti pake duit aku kok."

"Maksudnya?"

Eshika mengacungkan satu debit di tangannya. "ATM kamu masih di aku coba. Hahaha."

"Dasar!" tukas Tama geli. "Aku pikir kamu beneran mau bayar."

Eshika menyerahkan kartu debit itu ke Kasir yang tampak tersenyum geli melihat kejadian itu.

"Kan beli novel bisa dianggap nafkah. Jadi, ya pake duit kamu."

Kasir itu terlihat bengong sejenak.

Nafkah?

Eshika mengambil kartu debit dan novel mereka. Memasukkan kartu debit itu ke dalam tas ranselnya, ia mendapati Tama mengambil kantung berisi novel itu dan membawanya.

"Abis ini kita makan?" tanya Tama. "Sekalian aja makan di luar."

Eshika mengangguk sekali. "Iya. Boleh-boleh aja."

"Soalnya bukan apa," ujar Tama ketika mereka keluar dari Gramedia. "Ntar khawatir aja mendadak ada yang ngeluh kakinya lemes kan ya? Terus jadi alasan buat minta digendong."

Eshika menjerit malu. "Tama!"

Tama menghindar ketika Eshika bersiap untuk memukul dirinya. "Mau makan di mana?"

Pertanyaan itu ternyata sangat ampuh mengalihkan perhatian Eshika yang semula ingin menghajar Tama. Gadis itu terdiam di tempatnya berdiri. Memandang ke sekitar.

"Kamu mau makan apa?" tanya Tama. "Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena udah ngerawat aku selama sakit."

Kedua tangan Eshika naik. Bersidekap dengan tersenyum. "Kalau tau gitu," katanya kemudian. "Lebih baik kamu sering-sering sakit deh."

Tama menatap Eshika hingga membuat gadis itu mengangkat wajahnya. "Apa itu artinya kamu mau sering-sering ngerawat aku?"

"Eh?"

Eshika mengerjap-ngerjap matanya. Detik selanjutnya ia melarikan matanya ke arah yang lain. Pipinya terasa memanas.

Sedang Tama hanya mengulum senyumnya. Matanya yang masih sehat begitu jelas bisa melihat rona-rona bewarna merah muda di pipi gadis itu.

Ntar deh ya, Esh. Sebulan sekali aku bakal pura-pura sakit biar kamu ada alasan buat ngerawat aku. Kurang baik apa coba aku? Hahahaha.

Tama mendehem. "Jadi, mau makan apa?"

Eshika menunduk ke seberang. "Kita makan pizza aja, Tam. Seharian ini aku makan nasi udah banyak banget kayaknya."

Tama mengangguk. "Oke. Dan ehm ...." Cowok itu melirik. "Kamu kan yang bayar?"

"Hahahaha." Air mata terbit di mata Eshika. "Iya dong. Aku kan punya debit nafkah bulanan."

*

Ketika Tama mulai melajukan mobilnya ke jalan pulang, di saat itu Eshika merasakan matanya sudah mulai mengantuk. Sejenak Tama melirik ke jam tangannya. Beberapa menit lagi jam tepat menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi, Eshika sudah mengantuk? Ehm ... mungkin karena seharian ini ia capek ya. Dari yang menyiapkan makan, terus syok takut tepergok teman-teman, hingga kemudian lari-larian karena Tama kejar. Dan tadi, jalan-jalan yang terasa sebentar itu nyatanya lebih lama dari dugaan mereka.

Tama menoleh ke sebelah. Baru saja akan mengatakan sesuatu dan ia menyadari bahwa Eshika sudah jatuh tertidur. Cowok itu tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengganti lagu yang mengalun. Dari lagu-lagu bernuansi beat ke lagu-lagu instumental.

Sepanjang perjalanan, Tama sesekali melirik ke sebelah. Melihat apakah gadis itu telah terbangun dari tidurnya atau belum. Ternyata, tidur Eshika lebih pulas dari yang Tama bayangkan. Dan apa karena itu pada akhirnya Tama dengan sengaja melajukan mobilnya menjadi lebih pelan dari biasanya? Biar Eshika bisa menikmati tidurnya lebih lama lagi?

Ehm ....

Bisa jadi.

Tapi, pada akhirnya, mobil Tama tetap saja berhenti di parkiran gedung apartemennya. Setelah menghentikan laju mobil, tapi tetap menyalakan mesinnya, Tama melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.

Tama berniat untuk membangunkan Eshika, tapi yang terjadi selanjutnya justru hal yang sebaliknya. Tanpa sadar, Tama justru memandang wajah Eshika.

Gadis itu tampak nyaman di tidurnya. Napasnya terlihat teratur. Entah mengapa itu membuat Tama tersenyum.

Kan kalau nggak galak-galak, kamu tuh keliatan manis loh, Esh.

Jemari Tama terulur. Mengusap pelan anak-anak rambut Eshika di sisi wajah gadis itu. Hingga kemudian, Tama dengan berat hati terpaksa menarik tangannya. Tepat ketika terdengar lenguhan pelan Eshika.

Eshika mengerjap-ngerjapkan matanya. Mengucek sekilas matanya dan ia seketika heran ketika menyadari bahwa mobil Tama telah berhenti di parkiran gedung apartemen.

"Eh? Kita udah sampe, Tam?" tanya Eshika dengan suara serak dan nuansa bingung.

Tama mengangguk kaku. "Iya, Esh. Baru aja."

"Ehm ... kenapa nggak bangunin aku?" tanya Eshika seraya memperbaiki duduknya. Meraih sabuk pengamannya.

"Soalnya kamu kayak yang nyenyak banget tidurnya," kata Tama membuka pintu mobilnya. "Jadi nggak tega juga buat ngebangunin kamu."

Eshika tertegun sejenak.

"Hayo," kata Tama kemudian. "Kamu nggak mau tidur di mobil semalaman kan?"

Eshika tergugu. Ia mengangguk dan menyusul Tama turun dari mobil. Mereka segera menaiki lift. Keheningan mewarnai perjalanan mereka hingga pada akhirnya mereka tiba di unit apartemen Tama.

Mereka masuk. Beranjak bersama-sama menuju ke kamar mereka yang berdampingan. Kedua tangan mereka sama-sama terhenti di daun pintu masing-masing.

"Ehm ..., Tam."

Tama menoleh. "Iya?"

"Makasih udah ngajak jalan malam ini," kata Eshika pelan. "Sebenarnya memang butuh sedikit refreshing sih."

Tama mengangguk. "Nggak jadi masalah. Lagian juga jalan malam ini kan kamu yang bayar."

Eshika terkikik. "Tapi, Tam .... Kamu kepikiran nggak?"

"Apa?"

"Ini bukannya pertama kali kita jalan setelah kita nikah ya?"

Dan selanjutnya, tatapan keduanya saling terpaku sama lain. Sama-sama menyadari hal yang baru saja terjadi di antara mereka.

Aneh, tapi begitulah adanya.

Apa mereka sadar bahwa untuk pertama kalinya mereka baru saja jalan sebagai pasangan suami istri?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro