Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Cemburu Tanpa Sadar

"Esh ...."

Tama mengetuk pintu kamar Eshika sekali seraya memanggil nama gadis itu. Cowok itu tampak bersandar di pintu dengan satu tangan yang berkacak di pinggang.

Tama dengan pikiran yang setengah kosong, terlihat memandangi lantai. Kemudian ia mengetuk lagi seraya mulutnya yang turut memanggil.

"Esh ...."

"Kreeekkk ..."

Pintu terbuka dengan tiba-tiba. Tama kaget. Tubuhnya yang kehilangan sandaran mendadak limbung seketika.

"E e e eh, Tam!"

Tama berusaha menahan tubuhnya dan bersamaan dengan itu Eshika juga mengulurkan tangan. Membantu Tama untuk tidak terjatuh.

Tama terengah-engah. Napasnya terasa kacau ketika menyadari bahwa Eshika menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.

Eshika sedikit menarik wajahnya untuk melihat Tama. Tangan gadis menahan dadá Tama.

"Kamu nggak apa-apa?"

Tama menarik diri. Tangannya naik dan menunjuk Eshika. "Coba kalau mau buka pintu itu pake permisi kek. Ini malah buka tiba-tiba. Ngebuat orang kaget aja. Ya ampun."

Eshika cemberut. "Permisi sama siapa?" tanyanya. "Lagian ya kan. Aku ini mau keluar, bukannya mau masuk. Jadi, permisi buat apa?"

Tama mengatupkan mulutnya mendengar perkataan Eshika. "Tapi, ya seenggaknya kasih aba-aba kalau mau buka pintu, Esh. Biar aku nggak nyandar-nyandar di pintu."

"Lagian kamu sih ... ngapain juga pake acara nyandar-nyandar di pintu?" tanya Eshika. "Kayak yang kurang kerjaan aja."

Tama cemberut mendengar perkataan Eshika.

"Ngapain kamu manggil aku?" tanya gadis itu kemudian. Bersidekap. Dengan raut wajah yang masih tampak kurang bersahabat.

"Ah!" Tama menatap Eshika. "Ada tugas apa di sekolah?" tanyanya kemudian.

Diam-diam Tama menarik napas dalam-dalam. Bukannya apa sih ya. Tadi itu sebenarnya murni saja Tama cuma mau ngecek keadaan Eshika. Sudah normal lagi atau belum. Dan ternyata, seperti yang ia lihat sekarang. Sepertinya Eshika masih bad mood.

Eshika menengadahkan wajahnya. Balas menatap Tama. "Kamu mau masuk besok?"

"Ehm ...." Tama mendehem. "Kayaknya sih iya. Soalnya rada suntuk juga di rumah seharian nggak ada ngapa-ngapain."

Eshika manggut-manggut. Beranjak ke meja belajarnya. Tama mengikuti gadis itu ketika Eshika mencari-cari bukunya. Sejurus kemudian, ada tiga buku yang berpindah ke tangan Tama.

"Ah!" Eshika teringat sesuatu. Seraya memegang punggung kursi belajarnya, Eshika berkata. "Sebenarnya tadi juga kita dapat tugas buat bedah novel terbaru."

"Terus?"

"Ya terus kamu mesti cari novelnya dulu dong baru bisa dibedah."

Tama manggut-manggut. "Kamu udah tugas itu?"

"Belum." Eshika menggeleng. "Sebenarnya sih ya ...," kata Eshika seraya beranjak pindah untuk duduk di pinggir tempat tidur. Membiarkan Tama yang pada akhirnya duduk di kursi belajarnya. "Tadi itu Velly sama Alex ngajak buat hunting Gramedia."

Tama yang semula tampak membolak-balikkan buku Eshika yang berada di tangannya, seketika saja menghentikan kegiatannya itu. Matanya melirik Eshika.

"Terus?"

"Terus apa?"

"Kamu pergi?"

"Ya nggak dong, Tam," jawab Eshika. "Jelas-jelas aku balik ke sini tepat waktu."

Tama terdiam. Kembali membolak-balikkan buku Eshika.

"Lagipula," lanjut Eshika. "Aku kan ingat kalau aku nggak boleh pergi ke mana-mana kalau nggak bareng kamu."

Satu sudut bibir Tama terasa naik sedikit. Membuat cowok itu mendehem pelan.

"Ya makanya sih tadi aku bilang ke mereka kalau aku nggak bisa pergi kalau nggak ada kamu."

"Eh?"

Wajah Tama terangkat. Tak percaya dengan apa yang Eshika katakan barusan.

"Kamu ngomong gitu sama mereka?"

Eshika mengangguk. Melihat Tama yang menatapnya heran. "Iya dong, Tam. Soalnya tadi mereka rada ngebet juga mau ke Gramedia. Mungkin mereka pikir biar bisa ngerjain tugasnya hari Minggu besok kali ya?"

Tama terdiam.

"Ngomong-ngomong, hubungan kamu sama Alex udah sejauh mana?" tanya Tama kemudian. Kembali, ia membolak-balikkan buku Eshika. "Perasaan aku dia selalu berusaha deketin kamu."

Eshika meraih ponselnya di atas nakas. Cuek saja ketika menjawab. "Dulu dia emang pernah nembak sih."

Tama melirik lagi melalui sudut matanya.

"Tapi, udah langsung aku tolak."

Kembali Tama membolak-balikkan buku Eshika.

"Tapi, nggak tau juga kenapa dia masih mau nyoba deketin aku."

Tama melirik lagi.

"Walau sebenarnya aku beneran kadang risih juga sih kalau dia berusaha deket-deket mulu. Buat nggak nyaman."

Kemudian, Tama kembali membolak-balikkan buku Eshika.

"Apalagi tadi," lanjut Eshika seraya melihat ponselnya. "Aku sih sebenarnya tau alasan dia ngajak hunting Gramedia. Lagian Velly juga sih. Mentang-mentang karena aku nggak punya pacar, jadi dia semangat banget buat memanfaatkan momen tugas Bahasa ini buat ngedeketin aku sama Alex."

Tama menarik napas dalam-dalam.

Perlu aku racun juga ini si Velly ceritanya. Atau dia mau cara eksekusi yang lain? Ditembak? Digigit ikan hiu? Atau apa? Emang temen nggak ada akhlak. Gimana coba ya? Masa temennya malah dikomporin buat selingkuh? Enak juga kalau nyari selingkuhan lebih cakep dari suami sah. Eh! Ini ke mana-mana ya cakepan aku lagi dibandingkan Alex.

"Tapi, Esh ...." Tama kemudian terdengar kembali bersuara. Ia menutup buku Eshika di tangannya. Mendadak satu ide melintas di benaknya.

Mau ngejadiin tugas Bahasa Indonesia sebagai alasan buat ngajak Eshika jalan? Hah? Nggak bakal sukses kamu, Lex.

"Apa, Tam?"

Tama tersenyum dengan penuh pemakluman yang dibuat-buat. "Sebenarnya masuk akal juga sih kalau tadi Velly dan Alex ngajak kamu buat nyari novelnya hari ini."

"Eh?"

"Coba kamu pikir deh. Kan semakin cepat tugas dikerjai jadinya semakin bagus. Sebagai pelajar, kita memang harus mengerjakan tugas sesegera mungkin. Biar kalau ada tugas lainnya yang diberikan guru, kita nggak jadi kelabakan. Sistem kebut semalam itu selain bukan menunjukkan sikap pelajar yang disiplin, juga berpengaruh buruk buat kesehatan."

Eshika melongo. Matanya berkedip-kedip bodoh. Bingung.

Sejak kapan juga Tama mendadak bijak kayak gini? Menjadi begitu peduli dengan tugas sekolah? Ehm ... apa gara-gara disuruh beres-beres rumah ngebuat otak dia agak geser?

"Jadi," lanjut Tama. "Gimana kalau malam ini kita pergi ke Gramedia?"

"Ya?"

"Ya buat nyari novel," kata Tama sok polos. "Buat tugas Bahasa Indonesia kan? Biar kita bisa cepat mengerjakan tugasnya."

Mata Eshika mengerjap-ngerjap.

Tama bangkit dari duduknya. "Oke. Kalau gitu jam setengah tujuh kita jalan ya."

"Ehm ... diare kamu gimana?" tanya Eshika kemudian.

Tama menarik napas dalam-dalam.

Lain kali kalau mau pura-pura sakit, aku bakal nyari sakit yang agak keren ah. Ini nggak enak banget dikit-dikit dibahas diare.

"Tenang aja," kata Tama tersenyum. "Udah mulai mampet kok."

Lalu, cowok itu pun berlalu dari kamar Eshika. Dengan tak lupa membawa buku Eshika tentunya.

Seraya menutup pintu kamarnya, Tama tersenyum. Beranjak meletakkan buku Eshika di meja belajarnya.

Ia menarik napas panjang. Berkacak pinggang.

"Semoga dengan ini Eshika udah nggak bete lagi," kata Tama berharap.

Lantas, tak membuang waktu, Tama pun mandi. Tidak lupa keramas dengan shampoo wangi. Dan tak butuh waktu lama untuk cowok itu selesai bersiap-siap.

Sejurus kemudian, Tama menghabiskan waktu di kamarnya seraya berseluncur di dunia maya. Mengecek beberapa akun sosial medianya. Dan karena tak ada yang penting, Tama beranjak ke depan cermin.

Tama geleng-geleng kepala melihat wajahnya sendiri.

Pantas banget banyak cewek yang naksir ini mah.

Lalu, ia senyum geli.

Malam itu, Tama memilih untuk memadukan celana jeans bewarna hitam dengan kaos oblong bewarna hitam juga. Lalu, ia meraih jaket kulitnya. Eh. Ternyata warna hitam juga.

Tama menarik napas dalam-dalam.

Ini aku mau ngajak Eshika ke Gramedia atau melayat ke rumah duka sih ya?

Untung banget ini kulit aku nggak gelap-gelap banget. Kalau nggak ya cuma gigi aku aja yang keliatan.

Memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hampir jam setengah tujuh. Sesuai dengan kesepakatan mereka tadi. Ehm ... atau kesepakatan Tama saja sih sebenarnya.

Tapi, ketika Tama baru saja menarik pintu kamarnya untuk terbuka, mendadak cowok itu teringat sesuatu. Urung keluar, Tama membiar pintu terbuka ketika meraih ponselnya dari dalam saku celananya.

Sejurus kemudian, ia menekan kontak Popi di sana. Sedangkan Tama mengira-ngira dalam otaknya untuk menentukan sedang jam berapa di Amerika sana.

Ehm ... sepertinya sudah pagi bukan ya?

"Halo? Tama?"

Telepon Tama diangkat Popi di seberang sana. "Halo, Mi. Udah bangun, Mi?"

"Ya ampun. Ini udah pagi, Tam. Ya udah bangun dong Mami."

"Hehehehe." Tama nyengir. "Mami sehat?"

"Sehat, Tam. Lahir batin sehat," jawab Popi. "Kalian gimana? Sehat?"

"Sehat kok, Mi."

"Eshika gimana? Nggak nakal dia?"

Tama mengulum senyum. "Nggak nakal kok, Mi. Eshika baik-baik di sini. Hidup aku justru enak ada Eshika. Dia rajin masak juga."

"Hahahaha. Kalian nggak berantem kan?"

"Ya nggak dong, Mi."

"Jadi ..." Terdengar Popi menarik napas di seberang sana. "Ngapain nelepon Mami? Ada yang mau dibilang atau apa?"

Tama tampak menggaruk kepalanya sejenak sebelum berkata dengan gugup. "Ini, Mi. Kami kan ada tugas Bahasa tu. Disuruh bedah novel."

"Terus?"

"Makanya ini rencananya aku sama Eshika mau pergi ke Gramedia, Mi," lanjut Tama. "Jadi, aku nelepon ya mau minta izin ke Mami."

Terdengar suara Popi berderai. Membuat Tama bingung.

Aku ada ngomong yang lucu ya?

Beberapa detik, Popi hanya tertawa-tawa di sana. Hingga kemudian Popi akhirnya berkata di sela-sela tawanya.

"Ya ampun, Tam. Ngapain kamu nelepon Mami buat minta izin?"

Mata Tama mengerjap-ngerjap.

"Eshika itu istri kamu," terang Popi. "Mau kamu bawa dia ke Kutub Utara juga ya itu terserah kamu. Mami nggak punya hak buat ngelarang kamu mau bawa Eshika ke mana kamu mau."

Tama melongo.

Eh? Bener juga ya yang dibilang Mami? Ini kan istri aku.

Tama menepuk dahinya.

Aduh! Kok aku begok banget sih? Buat malu diri sendiri di depan Mami.

"Hahahaha. Yang ada malah ntar Mami yang minta izin kamu kalau Mami mau ngajak Eshika pergi sama Mami."

Senyum lebar terbit di wajah Tama.

"Jadi," lanjut Popi, "kalian mau pergi bentar lagi?"

"Iya, Mi."

"Ya udah, pergi hati-hati ya. Ke mana kamu bawa Eshika, yang penting jagain dia."

Tama tersenyum. "Iya, Mi. Pasti bakal aku jaga baik-baik Eshika."

Setelah berbasa-basi mengatakan satu dua hal lainnya, Tama pun menarik napas lega setelah memadamkan telepon itu.

Huh!

Dia mengembuskan napas panjang.

Ini nih gara-gara nikah mendadak, jadi masih belum berasa nikahnya. Mana ada ceritanya suami minta izin mertua buat ngajak jalan istrinya.

Ck.

Memang belum berpengalaman jadi suami orang aku mah.

Tama terkikik geli.

Sambil memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya, Tama keluar dari kamar. Menutup pintu dan mendapati Eshika sudah menunggu dirinya seraya bersandar di dinding

"Esh?"

Eshika mengerjap. "Tam ...."

Tama mengamati penampilan Eshika. Membuat cowok itu langsung melarikan pandangannya ke arah lain.

"Kita berangkat sekarang?" tanya cowok itu.

Eshika menganggukkan kepalanya. "Ayo."

*

Eshika menarik napas dalam-dalam. Hanya bisa menundukkan kepala ketika ia dan Tama kelaur dari unit apartemen Tama.

Entah mengapa, dari tadi jantungnya kembali berdebar-debar. Terutama ketika ia mendengar percakapan antara Tama dan Popi tadi. Diam-diam membuat Eshika mencuri pandang pada Tama ketika lift membawa mereka turun ke bawah.

Kalau dipikir-pikir, lirih benak Eshika, Tama ini memang perhatian banget loh ya. Sampai-sampai dia spontan aja minta izin ke Mami.

Senyum terbit di wajah Eshika.

Lalu, mata Eshika menyadari bagaimana bayangan dirinya dan Tama terpantul kabur oleh dinding lift. Eshika memandangi penampilannya.

Apa pakaian aku norak ya?

Sebenarnya Eshika sendiri tadi tidak yakin ia harus mengenakan apa. Jadi pada akhirnya Eshika memilih satu dress dengan panjang tiga perempat yang berpotongan sederhana. Dress dengan lengan pendek itu bewarna pink pastel. Nyaris tidak bercorak kecuali bunga-bunga kecil di beberapa tempat. Untuk alas kaki, gadis itu memilih menggunakan sandal tali biasa dengan sedikit hak. Dan untuk tempat dompet dan ponselnya, ia membawa satu tas ransel kecil. Rambutnya yang panjang sengaja ia urai dengan satu jepit kecil di sisi kanan kepalanya.

Eshika menarik napas.

Sepertinya pakaian aku emang norak sih ya? Karena kalau nggak, ya nggak mungkin dari tadi Tama kayak yang nggak mau ngeliat aku.

Seketika saja perasaan Eshika tidak mengenak.

Apa aku sebaiknya ganti pakaian aja?

"Ting!"

Pintu lift terbuka. Tama pun beranjak dari sisinya. Langkah Eshika bergerak dengan pelan. Ketika mereka akan ke parkiran, Eshika berkata.

"Tam ...."

Tama menoleh. Tepat ketika ia akan membuka pintu mobil. "Ya?"

"Penampilan aku norak ya?" tanya Eshika kemudian. "Ya sebenarnya nggak penting juga sih. Cuma ya aku nggak mau juga diliat orang-orang gara-gara penampilan aku norak."

Tama mengernyit. Dahinya berkerut. "Maksud kamu apa, Esh?" tanya Tama hati-hati.

Pelan-pelan, Tam. Jangan buat Perang Dunia Ketiga mendadak meledak pertama kali di tempat parkir.

Eshika tampak cemberut. "Nggak ... aku cuma mikir. Apa pakaian aku norak? Aku nggak mau malu diliatin orang-orang ntar."

"Eh?" Tama melongo. "Norak?" tanya Tama seraya melihat Eshika dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. "Kalaupun ada kata untuk mendeskripsikan penampilan kamu malam ini ..."

Glek.

Tama meneguk ludahnya. Kenapa mendadak Eshika berpenampilan manis kayak gini sih? Berasa kayak boneka barbie yang minta dielus-elus.

Eshika melihat Tama. Menunggu lanjutan kata-kata cowok itu.

" ... maka itu bisa dipastikan bukan kata norak," lanjut Tama dengan susah payah.

Eshika mengerutkan dahi. "Terus?"

"Ya ... apa pun selain norak."

Eshika menggigit bibirnya. "Soalnya dari tadi kamu yang kayak nggak mau ngeliat aku, Tam. Apa penampilan aku buat kamu mau ketawa ya?"

"Eh?"

Tama melotot. Sedetik kemudian ia malah berkedip-kedip.

Dia mikir penampilannya norak gara-gara aku yang dari tadi berusaha nggak ngeliat dia?

Glek.

Dia nggak tau gimana efek penampilan dia ke aku?

Tama menarik napas dalam-dalam.

"Esh ..., aku berusaha nggak ngeliat kamu dari tadi bukan karena penampilan kamu norak," kata Tama. "Percaya deh. Jadi, lebih baik kita pergi sekarang yuk."

Tapi, ketika Tama berencana untuk masuk ke dalam mobil, Eshika justru bergeming.

"Kenapa, Esh?"

Eshika terlihat cemberut. "Aku naik ke atas dulu. Biar aku ganti baju."

"Eh?" Mata Tama melotot. "Jangan!"

"Kenapa jangan?"

"Ya kan kamu udah cantik pake dress gitu," jawab Tama. "Buat apa lagi diganti."

Jantung Eshika terasa berhenti berdetak. Terdiam, ia menatap Tama yang tampak salah tingkah.

"Beneran, Tam?"

Tama mengerjap-ngerjap.

Ya Tuhan. Kenapa coba aku pake ngomong gitu?

Tapi, pada akhirnya Tama mengangguk.

"Dibandingkan dengan Tere?" tanya Eshika. "Mana yang cantik?"

"Eh? Ngapain juga kamu bandingin kamu sama Terejana gitu?" tanya Tama. "Ya nggak level kamu lah."

Eshika tersenyum kecil. Dan itu membuat Tama bernapas lega.

Sepertinya Perang Dunia Ketiga harus tertunda untuk sejenak.

"Jadi kita pergi, Esh?"

Eshika mengangguk. Tak menunggu lebih lama, ia langsung masuk ke dalam mobil. Tepat ketika Tama bersiap melajukan mobilnya, mendadak saja ia mendengar Eshika berkata di sebelahnya.

"By the way. Aku sebenarnya suka loh lihat kamu pake baju hitam. Keliatan lebih keren."

Ah, sudah! pikir Tama.

Kayak yang nggak cukup buat jantung aku nggak karuan gara-gara penampilan dia malam ini, kenapa dia malah sampe muji aku gini?

Tama menarik napas dalam-dalam.

Mobil ini pake asuransi kan ya? Khawatir ntar aku nabrak karena gagal jantung pas nyetir gara-gara ulah Eshika.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro