32. Yang Tidak Dimengerti
Tama merasakan jantungnya berdebar-debar. Bagaimana pun juga, memeluk Eshika seperti ini tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Yah, tadi memang karena situasi darurat sih ya. Tapi, efeknya tentu berbeda bagi tubuh Tama.
Merasakan bagaimana tubuh Eshika menempel erat di tubuhnya, entah mengapa memberikan sensasi tersendiri bagi cowok itu. Mencoba untuk menenangkan dirinya, Tama berbisik.
"Esh .... Kamu nggak apa-apa?"
Tama meneguk ludahnya. Dalam hati merutuk bagaimana aroma manis Eshika pelan-pelan menginvasi indra penciumannya. Memenuhi rongga paru-parunya. Dan seolah ingin memperburuk situasi dan keadaan, Tama justru mendapati kedua tangan Eshika semakin mengerat di lehernya. Dan itu sedikit banyak mengingatkan Tama akan fakta bahwa kedua tangannya juga erat berada di seputaran pinggang ramping Eshika. Hal itu dengan sangat hebat membuat perut Tama terasa bergejolak. Bagai diobok-obok Joshua, penyanyi cilik zaman dulu itu loh.
Glek.
Tapi, jawaban Eshika kemudian lantas membuyarkan semua pikiran Tama.
"Tam .... Kaki aku lemes lagi."
Dengan keadaan yang terbatas, Tama mencoba melirik ke bawah. Di mana kaki Eshika sedang menggantung di udara. Cowok itu mengernyit mendengar perkataan Eshika.
"Eh?"
Anggukan kepala Eshika membuat Tama segera beranjak. Dengan penuh kehati-hatian Tama lantas mendudukkan Eshika di tempat tidur. Pun begitu pula ketika Tama mengangkat kedua kaki Eshika ke atas kasur.
Pelan-pelan, Tama memeriksa kaki Eshika. Meraba jari-jari kakinya.
"Di mana lemesnya?" tanya Tama.
Eshika mengerjap-ngerjap. Mencoba mencermati rasa kakinya. Sejurus kemudian, wajahnya terlihat tidak yakin.
Mendapati tak ada jawaban dari Eshika, membuat Tama mengangkat wajahnya. Ia menatap Eshika, menunggu jawaban gadis itu. Tapi, tak ada jawaban apa pun dari bibir Eshika. Jangankan menjawab, bibir Eshika pun justru terkatup rapat.
Tama menarik napas dalam-dalam. Masih menunggu Eshika untuk menjawab pertanyaannya dalam diam. Namun, yang terjadi seterusnya justru beberapa saat tanpa ada yang bersuara di antara mereka.
Akhirnya Tama bersedekap, sedangkan Eshika duduk seraya mencubit-cubit kedua tangannya bergantian. Menyadari bahwa Tama di hadapannya sekarang tampak sedang berpikir keras. Hingga cowok itu terlihat mengusap-usap dagunya berulang kali. Mengangkat kepalanya, Tama lalu bertanya pada Eshika.
"Kamu ini beneran lagi nggak ngerjain aku, Esh?" Tama sedikit beranjak mendekati Eshika. "Tadi kamu bilang kaki kamu lemes, katanya mungkin yang karena kamu masih belum kenyang makan. Eh, pas udah aku gendong kamu ke dapur, kamu cuma makan tiga sendok. Kamu bilang kamu udah kenyang dan kaki kamu udah nggak kenapa-napa lagi."
"Ehm ... itu ...."
"Terus sebagai bukti kaki kamu nggak kenapa-napa," lanjut Tama kembali bicara. "Pas aku kejar, eh ternyata kamu kuat buat berlari ya. Bahkan lebih dari itu, kamu kuat buat nahan pintu tadi."
"Ya ... menurut kamu aja, Tam. Masa aku pasrah aja pas kamu kejar," sungut Eshika. "Ya aku kabur dong. Kan aku nggak mau kena tangkap kamu."
Mata Tama menyipit. "Dan itu membuktikan kalau kaki kamu nggak kenapa-napa kan?"
Eshika bersiap untuk bicara, tapi Tama masih belum berhenti.
"Terus tadi itu apa? Pas aku udah berhasil nangkap kamu, eh kamu pake acara bilang kaki kamu lemes lagi. Kaaan?" Mata Tama semakin menyipit dengan sorot menyelidik dan menuduh. Jari telunjuknya terangkat, menunjuk gadis itu. "Kamu beneran mau ngerjain aku."
Eshika cemberut. Bibir bawahnya maju beberapa sentimeter. Menangkap jari telunjuk Tama. Geregetan, menurunkan jari itu dengan sedikit geram.
"Beneran nggak, Tam. Aku jujur. Terserah deh kamu mau percaya atau nggak. Lagipula, aku nggak ada alasan juga buat ngerjain kamu sekarang."
Dahi Tama berkerut mendengar jawaban Eshika yang bernada setengah gerutuan itu. Ia jadi penasaran. "Emang kamu butuh alasan apa buat ngerjain aku?"
"Huh!" Eshika mengembuskan napasnya pendek. "Ya iya dong aku butuh alasan. Dan alasannya cuma satu. Yaitu kalau kamu ngerjain aku duluan."
"Eh?"
Eshika menarik tubuhnya yang sedari tadi bersandar di kepala tempat tidur. "Aku ngerjain kamu itu kalau kamu ngerjain aku. Aku nggak pernah cari gara-gara duluan," gerutunya lagi. "Itu bukan aku banget yang suka nyari masalah."
Tama terdiam. Kemudian justru melarikan tatapannya kembali pada kedua kaki Eshika yang berada di atas kasur.
"Jadi, sekarang gimana?" tanya Tama kemudian. "Masih lemes kaki kamu?"
Bola mata Eshika tampak berputar-putar acak seraya berusaha merasakan sensasi kakinya sendiri. Ia menggeleng.
"Udah nggak lagi sih, Tam."
Tama mengulurkan tangan. Menyentuh jari-jari kaki Eshika. Membuat gadis itu bergidik dan menggigit bibirnya.
"Beneran udah nggak apa-apa lagi?" tanya Tama mencoba meyakinkan.
Eshika menutup mulutnya rapat-rapat. Meremas seprai di bawahnya, ia mengangguk-angguk.
Tama menarik napas lega. "Syukurlah kalau gitu," desah cowok itu. "Aku mendadak khawatir juga kalau kamu kayak gini gara-gara repot ngurusin aku."
"Eh?" Wajah Eshika terangkat. Begitu pula dengan kedua tangannya. Ia menggeleng. "Nggak kok. Ini bukan capek gara-gara ngurusin kamu. Beneran."
"Tapi---"
"Beneran. Sumpah. Ini tuh bukan kayak kaki lemes karena capek atau kelamaan berdiri," kata Eshika bingung dan tak yakin. "Tapi, kayak yang mendadak aja berasa lutut aku kosong gitu. Anehnya, terus dia nggak apa-apa lagi."
Tama menatap Eshika lekat-lekat. Mencoba mencari apa ada setitik saja bukti yang bisa dijadikan kemungkinan bahwa gadis itu tengah berdusta pada dirinya. Tapi, Eshika terlihat begitu meyakinkan dirinya.
"Tapi, kalau pun bukan gara-gara itu," kata cowok itu kemudian, "tetap aja kayaknya kamu istirahat aja dulu ya?"
Mata Eshika membesar. "Kamu mau ke mana?" tanyanya ketika terlihat Tama menunjukkan tanda-tanda akan berdiri dari tempat tidurnya.
Tangan Tama terangkat, menunjuk ke luar. "Mau beresin bekas kita makan di ruang nonton tadi. Sekalian bekas anak-anak datang tadi. Di sana berantakan banget. Ya kamu taulah gimana kalau anak-anak lagi pada ngumpul. Semua makanan keluar dan remah-remah ada di mana-mana."
"Ooo ...." Eshika melirih. Lalu, berpura-pura tidak tau, Eshika justru bertanya. "Emangnya, tadi siapa aja teman-teman yang datang, Tam?"
Tama terlihat sedikit mengerutkan dahi. "Kamu nggak tau siapa aja yang datang tadi?" tanyanya.
Eshika menggeleng. "Soalnya tadi juga selama ada teman-teman, aku baca cerita sih di ponsel. Seru banget ceritanya. Jadi, ya nggak merhatiin gitu."
Tama manggut-manggut.
"Jadi, siapa aja yang datang?" ulang Eshika bertanya.
"Oh ... itu tadi Reki, Heri, sama Bima," jawab Tama kemudian.
Kedua mata Eshika menatap Tama. "Cuma mereka bertiga?"
Tama mengangguk. "Iya, cuma mereka bertiga. Emang kamu pikir ada yang lain?"
"Ehm ...." Eshika mendehem. "Tapi, kok berasa rame ya? Kayak lebih dari tiga orang yang datang."
"Ya iyalah rame. Mereka bertiga kan setara dengan anak-anak satu RT," celetuk Tama.
Eshika terdiam mendengar Tama yang keukeuh dengan jawabannya.
Kenapa Tama nggak jujur kalau Tere juga datang?
"Eh? Kamu kenapa?" tanya Tama menyadari perubahan pada raut wajah Eshika. Tangannya lantas bergerak menyentuh kaki Eshika. "Kaki kamu lemes lagi?"
"Nggak," jawab Eshika ketus. Sedikit menarik kakinya untuk terlepas dari jangkauan tangan Tama. "Sekarang malah rasanya kaki aku kepengen nendang orang."
"Eh?"
Eshika cemberut. Geleng-geleng kepala. "Aku mau istirahat aja deh, Tam. Mau tidur."
Bingung, tapi Tama mengangguk. Ia bahkan terheran-heran ketika mendapati Eshika dengan misuh-misuh membaringkan tubuhnya. Tapi, sebelum Tama ingin pamit keluar dari kamar gadis itu, terdengar Eshika berkata.
"Beresin ruang nonton tuh yang bersih-bersih. Semprot pake pewangi ruangan. Aku nggak mau ada kecium aroma parfum orang di sana. Ntar hidung aku alergi. Jadi bersin-bersin. Terus flu."
Tama melongo.
Benaknya bertanya-tanya.
Parfum mana yang masih kecium pas orangnya udah nggak ada?
Akhirnya, seraya geleng-geleng kepala, Tama pun keluar dari kamar Eshika. Menutup pintu itu dengan pelan. Meninggalkan Eshika seorang diri di kamar dengan perasaannya yang mendadak saja jadi kacau.
"Mentang-mentang itu Tere yang datang? Makanya nggak bilang? Mau ngelindungi Tere biar nggak kena amuk sama aku?" tanya Eshika menggeram pada dirinya sendiri. "Awas aja kamu ya, Tam. Sampe beneran kamu deket dengan Tere. Bakal aku remas-remas kamu kayak cucian. Kalau perlu aku rendam kamu semalaman pake deterjen. Biar otak kamu bisa bersih dikit kalau ngeliat cewek modelan dia."
*
Tama dengan wajah yang masih bingung meraih satu per satu perkakas kotor yang berada di atas meja ruang menonton. Menumpuknya di atas nampan. Ia menoleh ke arah kamar Eshika.
Kenapa anak itu mendadak keliatan kayak yang bad mood gitu ya?
Padahal sebentar yang lalu, dia keliatan nyantai aja. Bahkan pas aku kejar tadi juga dia nggak marah. Eh, tapi dalam hitungan menit, mood dia bisa langsung berubah kayak gitu? Wah wah wah.
Tama geleng-geleng kepala saking tak percayanya.
Kayaknya aku nggak ada buat salah deh. Tapi, kenapa dia tiba-tiba jadi kayak yang mau nelan orang gitu?
Tangan Tama mengangkat nampan dan berjalan ke dapur dengan otak yang masih berpikir-pikir.
"Apa dia lagi mau dapat bulanan ya?" tanya Tama pada dirinya sendiri. "Bukannya cewek kalau mau dapat tamu bulanan, emosinya jadi nggak terkontrol gitu?"
Menyadari hal itu, entah mengapa mendadak saja Tama tersenyum geli. Ia meletakkan piring-piring ke kotor ke wastafel. Geleng-geleng kepala seraya bergumam.
"Repot juga ya tiap bulan mesti ngerasain perubahan emosi cuma gara-gara kelakuan hormon."
Tama sedikit memutar tubuh seraya menyalakan kran air. Ia melihat ke arah kamar Eshika walau jelas terhalang.
Menarik napas dalam-dalam, Tama kemudian mengambil sabun cuci piring. Menuang secukupnya ke spons bewarna kuning hijau dan mulai meremasnya perlahan secara berulang kali. Beberapa detik kemudian, tangan cowok itu penuh dengan busa.
"Mending aku lakukan aja apa yang dia suruh deh. Daripada kena amuk cewek yang lagi PMS. Iiih!" Tama bergidik membayangkannya. "Sekalian aja anggap lagi olahraga. Lagian, selama berapa hari ini juga rumah Eshika terus yang bersihin. Sekali-kali biar dia istirahat."
Tama selanjutnya dengan penuh telaten mencuci semua perkakas kotor itu. Serta tak lupa untuk meletakkan setiap barangnya ke tempat yang semestinya. Setelah mencuci piring, ia pun tak lupa untuk membersihkan kotorán yang ada di wastafel.
Selesai mencuci piring, Tama beralih dengan meja makan. Mengelapnya dengan perlahan hingga semua kotorán di atas sana terkumpul semua. Membuangnya ke dalam tempat sama.
Semenit kemudian, Tama meraih lap dan sapu. Beranjak ke ruang menonton dan mendapati ruang itu seperti kapal pecah. Berantakan sekali. Sampai-sampai bisa membuat kepala Tama berdenyut-denyut karenanya.
Cowok itu merapikan beberapa toples berisi cemilan yang tadi diangkut oleh teman-temannya. Meletakkannya di atas meja setelah terlebih dahulu meja itu dilap bersih. Saking bersihnya, Tama bahkan bisa becermin di meja kaca bening itu.
Tama menyapu, membersihkan sofa dari remah-remah makanan, lalu mengendus-endus. Menghirup udara di sekeliling ruangan itu.
Dahinya mengernyit berulang kali saat berusaha mencium. Sekadar untuk mengecek, apa ada aroma parfum yang tertinggal atau tidak. Namun, tidak ingin mengambil risiko, Tama tetap meraih pewangi ruangan. Menyemprotkan benda itu ke sekeliling ruangan. Dua detik selanjutnya, Tama merasa seolah-olah sedang berada di taman aneka bunga. Wangi sekali. Hanya butuh musik dangdut, eh terus Tama bisa joged-joged ala FTV di televisi.
Tama tergelak.
Duduk di sofa dan merentangkan kedua tangannya dengan lebar.
"Memang kalau rumah bersih kayak gini perasaan jadi lebih nyaman," kata Tama memuji dirinya sendiri untuk hasil kerjanya yang terlihat sempurna tanpa cela.
Semoga aja ngeliat rumah bersih kayak gini Eshika jadi hilang betenya.
Ya bukannya apa ya?
Kalau bisa menjalani hidup damai sentosa, kenapa juga harus menjalani hidup dengan marah-marah.
Tapi, memikirkan itu membuat Tama terpikir sesuatu.
"Itu soal kaki ...," gumam Tama dengan suara rendah. "Eshika beneran nggak lagi ngerjain aku ya?"
Ehm ....
Tama mengusap-usap dagunya.
Apa Eshika selicik aku sampe-sampe kepikiran buat pura-pura sakit?
Ehm ....
Tapi, kalaupun Eshika pura-pura sakit, tujuan dia apa?
Cuma buat nyuruh aku beres-beres rumah?
Ehm ....
Atau dia memang cuma pengen aku gendong?
Eh?
Tama tersentak dari duduk santainya.
Kemungkinan yang satu itu membuat ia sontak merasa salah tingkah.
Eshika memang pura-pura kakinya lemas biar aku gendong?
Senyum mulai terbit di bibirnya.
Ia mendengus. Meraih bantal sofa. Memeluknya.
Ah! Nggak mungkin banget kan ya.
Eh, tapi ....
Ya masa dikejar bentar terus kakinya lemes lagi? Padahal dia baru aja selesai makan?
Ah!
Dan di saat itulah perkataan ibunya mendadak terngiang-ngiang lagi di benaknya.
"Apalagi buat kamu yang biasa ngeliat Eshika mandiri mendadak mendapati dia yang manja sama kamu."
Ah, beneran ini! pikir Tama.
Tadi pagi dia udah nyari-nyari alasan buat bisa tidur bareng aku. Mana pake acara meluk-meluk aku lagi. Terus juga nggak mau pake bantal kalau bukan lengan aku.
Tama menahan napasnya di dadá. Berusaha untuk tidak mendadak tertawa. Sedang tangannya meremas-remas bantal sofa dengan gemas.
Ihhhh!
Kalau mau digendong mah nggak usah sok bohong-bohong ngomong kaki lemas segala sih, Esh.
Hahahaha.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro