Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Tepergok

Mawar melepaskan sabuk pengaman yang ia kenakan dan meletakkannya dengan hati-hati di sisi mobil. Sejenak wanita paruh baya itu meneliti penampilannya. Mengusap rambutnya perlahan. Memastikan bahwa tatanan rambutnya rapi tanpa cela.

Sejurus kemudian ia menarik napas. Meraih satu eco bag yang berisi beberapa kotak bekal.

Kemaren, setelah ia mendengar kabar kalau Tama sakit, sebenarnya Mawar sudah ingin melihat keadaan putra semata wayangnya itu. Bagaimanapun sering berulahnya Tama, tapi Mawar menyadari bahwa sebenarnya Tama adalah anak yang baik. Seumur hidupnya, Tama benar-benar mematuhi perkataan orang tuanya. Tidak pernah membantah. Mengingat betapa menakutkannya pergaulan anak muda zaman sekarang, ugh! Mawar benar-benar bersyukur. Tama tidak pernah berbuat kekacauan. Ya sekali dua kali dipanggil guru BK sih wajar menurut Mawar. Tapi, tetap saja. Itu bukan karena masalah yang serius. Satu-satunya masalah yang menyebabkan Tama sering dipanggil guru BK adalah karena urusan yang melibatkan cewek atau kalau Tama mendadak bolos dari pelajaran. Selain itu? Merokok, mabuk-mabukan, atau bahkan tawuran, benar-benar tidak pernah dilakukan putranya itu. Tapi, jangan bilang kalau Tama semacam pria yang kemayu atau penakut atau lemah fisik. Nyatanya Tama lebih suka menyalurkan tenaganya untuk olahraga dan berkompetisi. Mengikuti berbagai perlombaan di bidang olahraga. Ia sama sekali tidak suka membuang waktu dan tenaganya dengan percuma.

Makanya ketika Popi datang mengutarakan maksudnya pada Mawar, tentu saja Mawar dengan senang hati menyetujui permintaan Popi. Terlepas dari usia Tama yang masih muda, Mawar tidak bersikap subjektif kalau mengatakan sebenarnya Tama itu anak yang bertanggungjawab. Tentu saja, Mawar tidak akan menyetujui permintaan itu apabila Tama memang tidak bisa diandalkan. Karena sudah jadi rahasia umum, Mawar begitu sayang dengan Eshika. Sudah barang tentu ia tak ingin melihat gadis itu menderita karena menikah dengan putranya.

Dan ternyata, di luar dugaan Mawar. Sekarang hubungan Tama dan Eshika di mata wanita paruh baya itu berkembang lebih cepat dibandingkan dengan dugaannya. Bagaimana perasaan Mawar tidak senang ketika mendengar Eshika yang merawat Tama? Belum lagi ketika cewek itu dengan benar-benar berniat belanja ke supermarket demi mengurus Tama?

Karena itulah, khawatir kalau-kalau nanti justru Eshika yang jatuh sakit, akhirnya Mawar memutuskan untuk pagi-pagi sekali datang ke gedung apartemen Tama.

Bahkan ketika jam belum menunjukkan setengah 6 pagi, Mawar sudah berada di lift menuju unit apartemen Tama.

Sesampainya di depan pintu unit Tama, Mawar dengan segera memasukkan kata sandi pintu Tama. Tentunya Mawar tidak ingin membunyikan bel dan mengganggu tidur anaknya. Lagipula Eshika mungkin juga butuh istirahat lebih lama.

Mawar tersenyum saat masuk dan dengan segera menuju ke dapur. Dengan cekatan dan tak butuh waktu lama, hidangan sarapan tersaji. Begitu pula untuk beberapa makanan yang langsung disisihkan oleh Mawar. Untuk makan siang Tama dan Eshika nanti.

Setelah semua siap, yang mana hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk Mawar menyiapkan semuanya, ia beranjak. Mawar pergi menuju ke kamar Eshika.

"Tok! Tok! Tok!"

Beberapa saat, Mawar menunggu. Tapi, tidak ada suara sahutan dari dalam ketika ia memanggil nama Eshika. Penasaran, Mawar pun membuka kamar Eshika.

Wanita paruh baya itu melihat kasur yang sedikit berantakan, namun tidak ada Eshika di sana. Bingung, Mawar dengan segera keluar dan menuju ke kamar mandi. Tapi, jangankan mendapati keberadaan Eshika, yang ada justru kamar mandi itu masih dalam keadaan kering. Yang mana menjadi tanda kalau tidak ada yang menggunakan kamar mandi itu dalam waktu dekat.

Menuju balkon, Mawar mengernyit mendapati pintu kaca balkon yang lebar itu masih dalam keadaan terkunci.

"Eh?"

Mawar semakin bingung.

"Eshika ke mana ya? Kok pagi-pagi gini udah nggak ada?"

Perasaan tak enak dengan cepat merayapi pikiran Mawar. Membuat ia memelototkan mata dengan dugaan di benaknya. Kedua tangan Mawar terkepal. Mulut Mawar mengerucut geram.

"Jangan-jangan Tama rewelnya kebangetan lagi. Makanya Eshika pergi dari sini!" geram Mawar. "Dasar ya! Itu anak emang nggak ada baik-baiknya sama istri! Padahal beruntung banget dia dapat istri kayak Eshika!"

Menahan amarahnya, Mawar dengan segera berjalan. Beranjak menuju kamar Tama. Kemarahan wanita paruh baya itu siap meledak. Ia akan mengomeli Tama habis-habisan. Kalau perlu, tidak peduli diare atau epilepsi, Mawar akan menyuruh Tama menjemput Eshika saat itu juga.

Mawar segera menekan daun pintu kamar Tama. Seraya dengan bentakannya yang siap menggeleger.

"Tama! Ke mana Eshika---"

Ucapan Mawar terhenti di tengah jalan. Mulut wanita itu terbuka lebar menganga. Sedang matanya membesar seketika. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang matanya lihat saat itu.

Terpisah jarak yang tak seberapa, Mawar melihat pemandangan yang terpampang di atas kasur. Tak tau harus bereaksi seperti apa. Dan di saat itulah, terdengar lenguhan panjang Tama. Hingga sejurus kemudian, cowok itu melirih pelan. Tapi, cukup kuat untuk didengar oleh Mawar.

"Esh ..., tangan aku kram."

"Ehm ... aku masih ngantuk, Tam."

"Geser dikit. Mana bantal?"

"Tauk deh."

Mawar membeku di tempatnya. Meneguk ludahnya dan bingung.

Ini gimana? Aku bangunin mereka atau gimana?

Sekejap saja, Mawar rasanya ingin kabur hingga ke Antartika.

Masa aku ngeliat anak aku tidur dengan istrinya?

Ya Tuhan.

*

Tama merasa ada tiga hal yang ganjil. Pertama, rasa-rasanya tadi dia bermimpi sedang siap bertarung dengan raksasa wanita yang membentak-bentak dirinya. Bentakan itu terasa begitu nyata, hingga mampu menarik separuh kesadaran Tama.

Kedua, ia merasakan ada helaian-helaian rambut yang menggelitik hidungnya. Nyaris membuat ia geli dan ingin bersin. Tapi, terlepas dari itu ternyata rambut itu memiliki aroma yang membuat ia nyaman.

Ketiga ... nah, ini yang sangat ganjil. Tidur itu harusnya membuat tubuh terasa lebih segar. Tapi, entah kenapa Tama tidak merasakan hal itu di salah satu bagian tubuhnya. Tepatnya di tangannya. Dan itulah yang membuat Tama melenguh. Tangan kirinya terasa kram dan begitu kaku. Seperti aliran darah di pembuluh yang berada di sepanjang tangannya itu tersumbat sesuatu.

Tama sedikit bergerak. Dan menyadari ada satu wajah yang menyuruk di dadanya. Membuka perlahan, ia melihat wajah itu.

Ternyata Eshika, pikir Tama.

Tapi, ketika Tama ingin menarik tangannya, kepala Eshika turut bergerak mengikutinya. Seolah tidak ingin kehilangan bantal hidupnya itu.

"Esh ..., tangan aku kram."

Setelah mengumpulkan sedikit tenaganya, akhirnya Tama mampu bicara. Walau dengan suara yang lirih.

"Ehm ..." Eshika melenguh panjang. "Aku masih ngantuk, Tam."

"Geser dikit. Mana bantal?"

"Tauk deh."

Mendapat jawaban Eshika, tangan Tama yang satu lagi bekerja. Meraba kasur di sisi kanannya dan mendapati tak ada bantal di sana. Tak menyerah, Tama mendorong tubuhnya ke sisi kiri seraya membawa tangannya yang masih bergerilya mencari bantal.

"Geli, Tam."

Terdengar suara lirih Eshika ketika tangan Tama melintasi perut gadis itu. Dan ketika itulah, tangan Tama berhenti bergerak. Terdiam di atas perut Eshika.

Entah mengapa, tapi mendadak saja jantung Tama berdebar dengan kencang.

Tunggu dulu. Ini?

Tama membuka lebar-lebar matanya. Dan ia melihat Eshika yang benar-benar tidur di pelukannya.

Glek.

Tama menarik napas dalam-dalam.

Bingung. Heran. Panik. Semua bercampur menjadi satu. Tapi, Tama belum sepanik itu sampai pada akhirnya mata Tama membentur sepasang mata yang menatap tanpa kedip ke arahnya.

Mawar menatap Tama dengan tatapan yang sulit untuk diartikan oleh cowok itu. Membuat mata Tama membesar seiring detik yang berjalan.

Mampuslah aku.

Tangan Tama yang berada di perut Eshika naik. Meraih tangan cewek itu. Mengguncangnya lembut.

"Esh .... Bangun, Esh, bangun."

"Ehm .... Tam, aku masih ngantuk."

Beneran mampus aku kali ini. Nggak mungkin bakal tetap hidup sampai matahari terbenam ini ceritanya.

Tama meneguk ludahnya.

"Ka-kalau kamu masih ngantuk, pindah tidur di kamar kamu aja."

Eshika menggeliat. Tapi, sejurus kemudian terasa tubuh Eshika yang semula rileks berubah langsung menjadi kaku.

Mata gadis itu membuka.

"Tam?"

Tama menunduk. "Ba-bangun, Esh."

Eshika dengan cepat bangun. Melotot melihat bagaimana dirinya yang baru saja bangkit dari lengan Tama.

Tama pun turut bangkit.

"Tam, kita---"

"Ma, ini nggak seperti yang Mama pikirkan."

Eshika memutar tubuh. Menutup mulut dengan kedua tangannya ketika melihat Mawar berdiri di tengah-tengah kamar. Menatap mereka berdua tanpa kedip.

"Mama!"

Suara Eshika terdengar menyiratkan kengerian. Gadis itu sama paniknya dengan Tama. Meneguk ludahnya berulang kali. Dan menyadari bagaimana gaun tidurnya yang selutut itu tersingkap hingga memperlihatkan pahanya.

Mawar terdengar menarik napas dalam-dalam. Tapi, belum sempat ia bicara, Tama berkata dengan cepat.

"Ini salah aku, Ma. Malam tadi aku demam, makanya Eshika ngerawat aku. Kayaknya karena sering ke toilet dan kelamaan di sana ngebuat badan aku demam. Terus karena aku yang maksa, akhirnya Eshika sampai ketiduran di kamar aku. Tapi, beneran, Ma. Aku nggak ada ngapa-ngapain dia. Sumpah!"

Napas Tama terasa kacau setelah bicara panjang lebar. Di sebelahnya, Eshika menatap Tama tak berkedip. Tertegun dengan pembelaan Tama.

Mawar kembali menarik napas dalam-dalam. Setelah mendengar perkataan Tama, wanita paruh baya itu beralih pada Eshika. Gadis itu sontak menundukkan kepalanya. Tapi, Mawar bisa melakukan apa? Otaknya jelas bisa berpikir.

Memangnya Eshika nggak bisa nolak kalaupun Tama maksa? Setau aku, gadis ini kalau udah kesal nggak bakalan mau dipaksa-paksa. Apalagi dipaksa Tama buat ngerawat dia. Sampe mau tidur di kamar Tama? Mana sanggup Tama maksa Eshika. Mereka pikir aku baru sehari dua hari kenal mereka berdua? Sudah jelas Eshika itu bukan tipe gadis yang suka dipaksa. Jadi, kalaupun Eshika sampai tidur di kamar Tama, penjelasannya tentu cuma satu. Eshika memang dengan sukarela mau ke kamar Tama. Mau merawat Tama. Dan memang dia yang mau tidur dengan Tama.

Mawar mengembuskan napasnya secara perlahan. Merasa perlu meredakan gejolaknya terlebih dahulu.

Lagipula, apa sih salahnya kalau Tama dan Eshika tidur bareng? Mereka kan udah sah menikah secara hukum dan agama. Justru yang salah itu kalau aku yang melarang mereka buat tidur bersama. Kalau Tama justru tidur sama cewek lain gimana? Kalau Eshika justru tidur dengan cowok lain gimana?

Aduh!

Mawar pikir tekanan darahnya mendadak turun drastis.

"Ma ...."

Mawar kembali menatap Tama.

"Aku tau aku salah, Ma. Aku nggak ba---"

Mata Mawar melotot. "Me-memangnya kamu salah apa?"

Tama meneguk ludahnya.

Ya ampun, Ma. Aku ngomong gini biar cepat dihakimi dan cepat dihukum. Bukan biar aku bisa mempermalukan diri aku di hadapan Mama dan Eshika.

Menahan ringisannya, Tama berkata.

"Aku salah karena aku ngajak Eshika buat tidur di sini. Karena aku khawatir butuh dia tengah malam tadi. Jadi---"

"Nggak salah!" potong Mawar.

"Eh?"

Tama dan Eshika kompak terkesiap kaget. Sama-sama menatap Mawar yang terlihat berusaha tersenyum, walau pada akhirnya senyum itu terlihat aneh.

Tangan Mawar terangkat.

"Kalian sudah menikah. Yang salah ya Mama. Ngapain juga Mama nggak punya sopan santu menerobos masuk ke rumah kalian. Bahkan langsung masuk ke kamar kamu kayak gini, Tam. Harusnya Mama sadar kalau anak Mama udah nikah."

Mata Tama dan Eshika mengerjap-ngerjap.

Keduanya langsung menggeleng.

"Nggak, Ma, nggak."

"Mama nggak salah, Ma."

"Ini rumah Mama juga. Mama bebas masuk."

"Ya ...." Mawar mengembuskan napas panjang. "Kalaupun Mama masuk, harusnya tetap nggak boleh langsung nyelonong masuk ke kamar ya?"

Glek.

Wajah Tama dan Eshika sontak memanas mendengar pertanyaan Mawar. Pertanyaan yang satu itu sedikit banyak membuat mereka sama-sama ngeri.

Memangnya Mawar berpikir mereka melakukan apa?

"Ma ...."

Hampir bangkit dari tempat tidurnya, Tama berusaha kembali bicara. Bagaimanapun juga, ia tak ingin membuat ibunya itu berpikiran yang tidak-tidak pada dirinya dan Eshika.

"Mama memang jadinya berpikir sih," kata Mawar. "Kami kemaren memang bilang kalau kami tidak akan menuntut cucu dalam waktu dekat."

Ya salam.

Wajah Tama dan Eshika sama-sama mengelam. Terutama ketika Mawar berkata, wanita paruh baya itu ternyata turut berjalan ke arah mereka. Dan tepat ketika Mawar duduk di tepi tempat tidur, ia kembali melanjutkan perkataannya.

"Karena itu kan mengingat kalian masih muda. Kalian masih ingin sekolah, kuliah, terus mengejar cita-cita kalian. Menimbang hal itulah kenapa kami nggak menuntut cucu dari kalian. Walau pada kenyataannya, orang tua mana coba yang nggak mau punya cucu?"

Tama dan Eshika kompak sesak napas. Perkataan demi perkataan yang dilontarkan oleh Mawar membuat mereka mendadak menderita asma akut.

Mengabaikan wajah keduanya yang sudah merah padam, Mawar justru kembali bicara. "Tapi, apa menurut kalian kami ini kelewatan ya?" tanyanya. "Bukannya apa sih. Tapi, kalian sudah menikah. Kalian berhak untuk saling memeluk."

"Uhuuukkk!"

"Ma!!!" jerit Tama. "Bisa dihentikan? Kasian Eshika."

Eshika hanya bisa menangkup kedua pipinya yang terasa memanas.

"Tam, Mama ngomong gini demi kebaikan kalian berdua," kata Mawar mendelik. "Mama cuma nggak mau kalian jadi ... apa sih ngomongnya?" Mawar tampak berpikir sejenak. "Merasa pernikahan ini hanya semacam status yang membuat hidup kalian kaku."

Tama mengangguk-angguk. "Tenang aja, Ma. Kami nyantai aja kok. Mama nggak perlu khawatir."

Dahi Mawar berkerut. Matanya sedikit menyipit. "Tapi, Mama harap kalian tetap bisa sedikit berpikir waras ya."

"Sedikit berpikir waras?" tanya Tama.

Diam-diam Tama melirik ke sebelahnya. Melihat bagaimana Eshika yang tampak membeku parah karena malu. Dan kalau mau dipikir-pikir, dari tadi, sejak Eshika menyadari kehadiran Mawar, gadis itu benar-benar tidak bicara.

Tama yakin!

Eshika pasti panik dan gugup dalam waktu bersamaan.

Argh!

"Iya ..., sedikit berpikir waras."

Ucapan Mawar membuat fokus Tama kembali berpusat pada ibunya itu. "Maksud Mama?"

Mawar tampak menggeser sedikit duduknya. Melirik Eshika yang menolak untuk menatap dirinya, lalu kembali pada Tama. Sejenak wanita paruh baya itu mengusap tekuknya. Seolah sedang menimbang, apakah ia benar-benar harus mengatakannya atau tidak. Tapi, jawaban ia temukan. Bagaimanapun juga, ia memikirkan masa depan keduanya. Menikah dan memiliki anak itu dua tanggungjawab yang berbeda. Dan Mawar khawatir, kalau-kalau Tama dan Eshika kebablasan.

Mawar meraih tangan Eshika. Mau tak mau membuat Eshika menatap mertuanya itu.

"Esh ...."

"I-iya, Ma?"

Mawar berusaha untuk tersenyum. "Sejujurnya, kami tau masa depan kalian masih panjang. Dan kami bisa menunggu kalian siap secara mental dan materi untuk kalian memiliki anak."

Mata Eshika melotot.

Di sebelahnya, Tama mengap-mengap.

"Jadi," lanjut Mawar. "Janji dengan Mama ya? Sebelum masa itu tiba, jangan pernah mau ya kalau Tama ajak ehem ehem tapi nggak pake kondom."

Tama menjerit histeris.

"MAMA!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro