Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Salah Duga

"Ya elah, Tam. Ini aku baru aja masuk ke Carrefour. Masih mau ngambil troli. Dan kamu udah nelepon aja."

Eshika menggerutu ketika mendapati ponselnya berdering. Dan ketika ia melihat siapa yang menelepon, ia sontak saja menggerutu. Tama menelepon dirinya. Tepat ketika kaki kirinya melewati ambang pintu Carrefour. Yang benar saja.

"Emangnya kenapa sih?" tanya Eshika sebal. Tapi, ia masih menyempatkan untuk tersenyum ketika mendapati seorang petugas membantu dirinya menarik troli belanja. "Terima kasih."

Di seberang sana terdengar suara Tama.

"Cari sayurnya yang seger ya, Esh."

Bola mata Eshika berputar. "Perasaan tadi kamu maunya masak sup gitu deh."

"Ya, tapi kan perlu wortel, kol, dan buncis."

Eshika geleng-geleng kepala. "Mau paket komplit beneran?"

"Ya dong, Esh. Biar aku bisa sehat beneran. Aku ini diare. Banyak ngeluarin cairan tubuh. Jadi, perlu asupan gizi dan vitamin yang banyak."

Walau tau tak berguna, tapi Eshika tetap saja mencibir. Detik selanjutnya ia berkata. "Iya iya iya. Terus apalagi?"

"Ehm .... Jangan lupa beli buah-buahan ya? Stok di rumah udah habis kayaknya."

"Iya. Buah apa aja? Jeruk?"

"No. Pepaya is better. Pepaya aja. Kiwi juga. Ehm ... kalau kamu mau beli jeruk juga boleh sih. Oh! Ada strawberry nggak? Anggur hitam?"

"Beli semua?" tanya Eshika tak percaya.

"Ya ... emang kenapa?"

"Banyak ya isi di debit yang aku bawa?"

"Meremehkan. Buat ngasih nafkah kamu sebulan aja itu lebih dari cukup," tukas Tama. "Kamu nggak tau omset distro aku berapa?"

"Nggak," jawab gadis itu malas.

"Dasar!" rutuk Tama. "Oh iya. Ada buah pisang kan ya? Beli juga."

Eshika mendorong troli dengan malas. "Ntar aku liat. Ini masih di tempat tepung-tepung."

"Oke. Terus sampo aku, Esh. Kayaknya sampo aku abis."

"Aku nggak tau sampo kamu merk apa, Tam."

"Ntar aku pap di WA."

Langkah kaki Eshika terhenti. Tampak sedang menyadari sesuatu. "Tam?"

"Apa?"

"Ini sebenarnya kamu beneran sakit atau lagi ngerjain aku biar belanja sih?"

"Eh! Aku mencret-mencret dibilang ngerjain kamu?"

Bibir Eshika mengerucut. "Yah maksud aku, mungkin diare kamu emang beneran. Tapi, apa hubungannya kamu diare sama nyuruh aku beli shampoo?"

Terdengar helaan napas Tama di seberang sana. "Ya elah, Esh. Kan namanya juga sekalian pergi. Apa salahnya coba sekalian beliin aku shampoo?"

Eshika terdiam.

"Ya udah. Kalau gitu nggak usah."

"Eh?"

"Bye."

"Ta---"

"Tiiittt ...."

Eshika melihat ke layar ponselnya dan mendapati panggilan itu telah berakhir. Memainkan bibirnya dengan kesal, gadis itu menggerutu. "Kenapa juga aku sampe heran? Mode anak manja pas sakit heh? Dasar."

*

Tama membawa kedua tangannya ke bawah kepala. Menopang kepalanya untuk berbaring lebih tinggi. Tak melakukan apa-apa, cowok itu memilih untuk mengamati langit-langit kamarnya.

Sejurus kemudian, ia melirik ke ponselnya yang terletak di atas kasur. Tak jauh dari tubuhnya. Tapi, ponsel itu gelap. Menandakan bahwa tak ada notifikasi apa pun yang masuk. Membuang napas, Tama memilih untuk kembali mengamati langit-langit kamarnya.

"Ting."

Seringai terbit di bibir Tama.

Pasti mau nanya merk shampoo aku kan?

Hahahaha.

Dengan segera, Tama meraih ponselnya. Membuka pesan yang masuk dan ia justru kecele.

[ Terejana. ]

[ Tam, kamu masih sakit? ]

[ Udah mendingan? ]

Tama mengembuskan napas panjang. Ternyata malah Tere yang menghubungi dirinya. Tak merasa perlu untuk membalas, Tama meletakkan kembali ponselnya. Tapi, tak lama kemudian, ponselnya berdenting lagi.

"Ting!"

Dahi Tama mengernyit.

Nggak mungkin Tere kan ya?

Tapi, ternyata memang Tere.

[ Terejana ]

[ Tam. ]

[ Aku udah masak di rumah. ]

[ Aku ke tempat kamu ya? ]

[ Mau jenguk. ]

Mata Tama melotot.

What?! Mau jenguk?

Kengerian seketika membayang di benak Tama.

Kamu jenguk aku, Re, bukannya nambah sembuh. Yang ada aku malah tambah sakit.

Sial!

Hanya memikirkan Eshika yang bertemu dengan Tere di apartemennya saja sudah membuat ia panas dingin, apalagi kalau benar-benar kejadian.

Tak memiliki pilihan lain, akhirnya secepat kilat Tama membalas.

[ Terejana ]

[ Nggak perlu, Re. ]

[ Aku udah makan kok. ]

[ Aku udah nggak apa-apa. ]

Dan Tama nyaris membelalakkan mata ketika Tere langsung membalas pesan itu.

[ Terejana ]

[ Nggak apa-apa, Tam. ]

[ Bisa untuk makan malam kok. ]

[ Biar kamu nggak repot nyari makan ntar. ]

Tama meneguk ludahnya.

Ya salam. Kurang jelas apa sih sebenarnya peringatan dari aku tadi pagi? Ini cewek kenapa masih ngotot juga? Begok atau tolol sebenarnya nih si Terejana?

Kedua jempol tangan Tama langsung bergerak di keyboard virtual layar ponselnya. Mengetik dengan kecepatan kilat.

[ Terejana ]

[ Nggak usah. ]

[ Makan malam aku ada kok. ]

[ Lagian ya? ]

[ Kurang jelas ya omongan aku tadi di kelas? ]

[ Kamu nggak perlu berusaha buat ngasih perhatian ke aku. ]

[ Aku udah benar-benar diperhatikan. ]

[ Kamu cuma buang-buang waktu aja, Re. ]

[ Sampai kiamat dunia juga aku nggak mau pacaran sama kamu. ]

[ Kamu bukan tipe aku. ]

Mata Tama mengerjap.

Sejak kapan aku punya tipe cewek idaman? Perasaan dari yang tinggi ke pendek, kulit terang kulit gelap, selagi sedap dipandang semuanya aku jadiin pacar.

"Ting!"

[ Terejana ]

[ Oh .... ]

[ Kamu lagi di rumah ya, Tam? ]

[ Ya udah. ]

[ Aku ke rumah bentar lagi ya. ]

Mata Tama sukses melotot.

Mampus ini mampus!

Tere ketemu Mama?

Glek.

Kali ini Tama bangkit duduk. Tubuhnya mendadak meriang. Dan sekarang Tama merasakan bukan perutnya yang berpura-pura sakit, tapi jantungnya yang berdetak ketakutan.

Mampuslah aku.

Dengan cepat Tama akhirnya menekan nomor telepon Mawar. Menunggu panggilan itu diangkat dengan gemetar.

"Tam?"

"Ma!" Tama meneguk ludahnya. "Aku mau ngomong."

"Apa?"

"Mama di rumah?"

"Iya. Kenapa? Kamu dan Eshika mau main ke rumah? Ih ... kebetulan. Mama juga kangen dengan Eshika."

Mata Tama memejam. "Nggak, Ma, nggak. Aku mau ngomong."

"Ngomong? Ngomong apaan?"

Panik, Tama berkata. "Jadi, gini. Aku kan diare."

Ya Tuhan.

Mohon jangan kutuk hamba karena membohongi Mama.

"Kamu diare?"

"Iya, Ma. Kayaknya salah jajan ma Reki tadi pagi."

"Jadi, gimana keadaan kamu sekarang? Mau pulang?"

Gemas, Tama meremas bantalnya. "Bukan gitu, Ma. Jadi, aku kan diare. Nah, ini aku lagi istirahat. Mama nggak perlu khawatir. Tadi aku juga udah makan siang sama sup jagung hati ayam. Eshika yang masak."

"Ya ampun. Memang tepat banget pilihan Mama kan, Tam? Ckckckck. Kamu harusnya bersyukur punya istri kayak Eshika."

Tama kembali meneguk ludahnya.

Ya, Ma. Beruntung banget. Sampe beruntungnya kayaknya cuma aku di dunia ini suami yang dikasih gorengan cabe rawit sama istrinya.

"Iya, Ma, iya. Tapi ...."

"Tapi ...?"

"Gini, Ma." Tama menarik napas dalam-dalam. Memutuskan untuk tidak lebih banyak membohongi Mawar. "Di kelas, ada cewek yang suka sama aku."

"Apa kamu bilang? Siapa? Laura? Kamu bilang kamu nggak ada lagi hubungan apa pun dengan cewek-cewek lain, Tam!"

Tama memejamkan matanya. Menyingkirkan sejenak ponsel itu ketika Mawar berteriak di seberang sana. Beberapa detik kemudian, akhirnya Tama berani menarik kembali teleponnya ke dekat telinganya.

"Ma, sumpah! Aku nggak ada dekat dengan cewek lain. Dengan yang satu ini aja udah aku tolak sebelum dia nembak."

"Terus?"

Tama meringis mendapat respon datar Mawar, tapi ia tetap berkata. "Dan Eshika bener-bener nggak suka sama cewek ini."

"Ya ampun, Nak. Istri mana yang suka sama cewek yang naksir suaminya?!" tanya Mawar menukas. "Kamu yakin kamu diare? Bukannya mendadak idiοt?"

"Ka-karena itulah, Ma," lanjut Tama menabahkan hati mendekat kemarahan Mawar dari tadi. "Dia rencananya mau jenguk aku. Tapi, aku bilang nggak usah. Udah kasar banget aku ngomongnya, Ma."

"Terus?"

"Dia pikir aku sekarang lagi ada di rumah. Jadi, dia kayaknya mau datang ke rumah."

"Oke. Bakal Mama bilangin jelas-jelas ke cewek itu kalau dia datang ke rumah."

Tama mengembuskan napas lega. "Makasih, Ma. Aku nggak kebayang aja kalau Eshika ketemu Tere terus ngamuk-ngamuk."

Tapi, entah mengapa, ucapan Mawar selanjutnya terasa begitu aneh di telinga Tama. Mungkin karena Tama memang dekat dengan orang tuanya, sehingga Tama bisa seolah melihat Mawar bicara di hadapannya dengan bibir yang tersenyum tipis. Tentu saja, terdengar berbeda di telinga ketika orang berkata sambil tersenyum.

"Mama nggak nyangka, ternyata kamu cepat belajar juga ya, Tam."

"Eh? Maksud Mama?"

"Ya itu memang dasar rumah tangga. Yang bakal menyakiti perasaan pasangan, harus kita usir jauh-jauh."

Mata Tama melotot. Mulutnya bergerak-gerak, tapi tolol. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk membantah perkataan Mawar.

"Nggak sia-sia Mama mendidik kamu selama ini, Tam."

"Ehm ..., Ma ...."

"Oke. Kamu istirahat aja ya? Cepat sembuh."

Tama masih terbengong-bengong, bahkan setelah telepon itu berakhir. Memandang layar ponselnya yang menggelap, Tama meringis.

Dasar rumah tangga?

Sial.

Mengapa sekarang aku ngerasa perut aku mual?

*

Drop everything now...

Meet mein the pouring rain...

Eshika menarik napas dalam-dalam. Tergopoh-gopoh menghentikan laju troli berisi belanjaannya, ia merogoh saku celananya. Mengambil ponselnya yang kembali berdering.

Sampai kamu lagi yang nelepon, auto aku kasih sup merica kamu, Tam.

Tapi, ketika ia membaca nama kontak yang menelepon dirinya, mata Eshika mengerjap. Tentu saja itu karena bukan Tama yang menghubungi dirinya. Melainkan orang tua Tama. Lebih tepatnya lagi Mama Tama. Alias Mawar.

Glek.

Eshika kembali mengerjap-ngerjapkan matanya. Bingung. Kenapa Mama nelepon aku?

Mendehem sejenak. Ia lantas mengangkat telepon itu.

"Halo, Ma?"

Terdengar suara Mawar di seberang sana. "Halo, Menantu Mama."

Glek.

Eshika merasa bulu kuduknya meremang seketika.

"Kamu lagi di mana sekarang? Di kamar?"

"Oh .... Nggak, Ma. Kini aku baru aja selesai belanja. Baru mau balik."

"Belanja?"

"Iya ...."

"Oh, ini pasti gara-gara Tama diare kan?"

Wajah Eshika membuka.

Mama tau Tama diare? Ya Tuhan. Itu cowok beneran ngadu ke Mama? Sial. Apa dia juga ngomong ke Mami?

Lidah Eshika mendadak kelu.

"Ma ..., itu ..."

"Tadi Tama nelepon Mama."

Mata Eshika membesar.

Tuh kan bener. Dia ngadu ya?

"Ngomong kalau dia diare dan kamu yang ngurusin dia. Masakin dia dan sekarang kamu belanja buat dia."

Mata Eshika mengerjap-ngerjap. "Ya, Ma?"

"Kamu memang anak baik, Esh. Mama jadi tenang kalau punya menantu kayak kamu. Bisa ngurusin Tama."

Eshika mengusap tekuknya. Merasa salah tingkah.

"Apa Tama baik-baik aja ke kamu?"

Mata Eshika kembali mengerjap-ngerjap. Bingung harus menjawab apa.

"Astaga!" seru Mawar. "Dia jahatin kamu ya, Esh?"

"Eh?"

Eshika tergugu.

Tama udah baik banget loh, Esh, ngabarin ke Mama kalau dia diare, tapi nggak pake acara ngomong asal-usul penyebab diarenya. Ya masa kamu tega menjelek-jelekkan dia. Apalagi dia malah ngomong kamu yang baik-baik.

Eshika menarik napas panjang.

"Nggak kok, Ma. Tama baik kok ke aku. Apa mau aku langsung dituruti."

Yah, setidaknya Eshika justru mengingat kejadian tadi pagi di sekolah. Di mana Tama langsung menolak Tere ketika ia mengatakan hal itu.

"Kalau ada apa-apa, ya dia ngelindungi aku juga."

Eshika terdiam sejenak ketika pikirannya terbayang saat Tama melindungi dirinya saat diserang Laura di kantin. Ia menghela napas panjang.

Setidaknya apa yang aku bilang sih memang bener.

"Syukurlah. Mama senang dengarnya."

Perkataan Mawar menyadarkan lamunan Eshika.

"Kalau Tama masih suka buat kesal, kamu bilangin ya Esh. Kadang anak itu nggak tau kalau nggak dikasih tau. Ya namanya juga cowok kan ya?"

"Eh ... iya, Ma."

"Kalau kamu butuh bantuan apa-apa, kamu bilangin aja ke Mama. Ya?"

"Iya, Ma, iya."

"Ya udah. Kamu pulang hati-hati ya. Naik taksi kan?"

"Eh ... itu." Eshika menatap mobil Lexus UX bewarna silver yang berada beberapa meter di depannya. "Aku bawa mobil Tama, Ma."

"Wah! Tama ini ternyata diem-diem perhatian juga sama istri. Ah! Mama jadi tenang kalau begini. Hati-hati di jalan ya, Sayang."

"Iya, Ma, iya."

"Nanti kalau Tama udah sembuh, kalian main ke rumah. Oke?"

"Baik, Ma."

Dan ketika telepon itu terputus, Eshika bukannya beranjak ke mobil, melainkan terpekur. Ia geleng-geleng kepala.

Tama perhatian?

Ya ampun.

Kenapa kepala aku mendadak berkunang-kunang?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro