Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Rencana Balasan

[ Eshika ]

[ Jangan pikir masalah ini sampe di sini, Tam. ]

[ Aku bakal bilangin ini ke orang tua kita. ]

[ Dan sampai ada cewek lain yang nemui aku gara-gara kamu, beneran aku nggak main-main. ]

[ Kamu yang bakal jadi sasaran aku. ]

Tama geleng-geleng. Seraya melihat rumus-rumus yang ditulis di papan tulis, Tama menghitung menggunakan jari dengan suara lirih.

"Senin ..., Selasa ..., Rabu ..., Kamis ...."

Ia mengembuskan napas panjang. Menatap ke layar ponselnya di bawah meja. Lalu, geleng-geleng kepala lagi.

Baru nikah empat hari, kenapa masalah yang datang berasa kayak pernikahan yang udah berusia empat abad coba? Tiap hari aja ada masalah yang datang.

Ckckckck.

Tama lagi-lagi geleng kepala.

Kalau tau begini, kenapa coba orang-orang masih ngebet mau nikah?

Sampe mau punya istri empat lagi?

Astaga ....

Apa nggak bakalan gila ya?

Ngurus satu aja ribetnya minta ampun.

Mata Tama terpejam.

Cukup punya istri satu kayak Eshika, Tuhan. Aku belum mau mati dalam keadaan mencret.

Menatap pesan yang dikirimkan oleh Eshika beberapa waktu yang lalu lantas membuat benak Tama bertanya-tanya.

Mau ngadu apa lagi coba Eshika sama Mama? Padahal semua yang terjadi ini bukan salah aku. Emangnya salah aku kalau aku kelewat cakep terus banyak cewek yang naksir? Ck. Lagian kan aku udah mutusin Laura baik-baik. Ke Tere juga udah aku jelasin baik-baik. Tapi, masih aja aku mau diaduin ke Mama.

Tama mengembuskan napas panjang. Dia sama sekali tidak memerhatikan rumus Fisika di papan tulis itu.

Aku cuma mau hidup damai, Tuhan. Cukup sudah aku mengalah buat nikahi itu cewek. Nafkahin dia.

Iiiwh! Sekarang masih mau ngadu?

Ehm ....

Tama mengusap dagunya. Otaknya sedang berpikir. Dan sejurus kemudian, ia terpikirkan sesuatu.

Aku nggak ada salah, tapi dia malah balas dendamnya ke aku. Udah nyuruh aku ngabisin gorengan cabe rawit, aku masih pake acara diancam juga.

Ehm ....

Sepertinya Eshika perlu dikerjai balik ini.

Pelan-pelan, Tama menyeringai.

Jangan dikerjai dengan cara kasar, Tam. Yang lembut aja sampe dia nggak nyadar kalau dia sedang dikerjai.

Hahahaha.

Setán di kepala Tama tergelak-gelak.

Tama menarik napas dalam-dalam. Lalu, ia terdengar mendehem sedikit. Mengabaikan tatapan teman-teman sekelasnya, Tama bangkit dari duduk. Ketika ia berjalan, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan memegang perut. Ia menghampiri Pak Eko yang lantas menghentikan penjelasannya.

"Ada apa, Tam?"

Tama tampak meringis sakit. Meremas perutnya. "Pak, saya mohon permisi ke belakang. Perut saya sakit."

Pak Eko sedikit menurunkan kacamata yang bertengger di batang hidungnya ketika matanya menyipit menatap Tama. Tampak seolah sedang melihat apakah Tama berpura-pura agar bisa kabur dari pelajarannya atau tidak.

Tama menggigit bibir bawahnya. Semakin meremas perutnya.

"Sana! Jangan lama-lama."

Tama mengangguk dan langsung berlari. Eshika yang melihatnya sontak mengedip-ngedipkan mata. Tangannya berhenti menulis.

Di luar, Tama dengan cepat berlari menuju ke toilet. Ia menatap cermin dan bersidekap.

"Kalau aku balik masih dengan wajah segar gini," lirih Tama, "kayaknya bakal kurang meyakinkan."

Hahahaha.

Setán di kepala Tama kembali tergelak-gelak.

Tama dengan cepat menutup pintu toilet dari dalam. Tak lupa memasang palang: toilet sedang dibersihkan.

Memanfaatkan waktu yang sedikit, Tama menarik napas dalam-dalam. Cowok itu ternyata melakukan lari di tempat dengan intensitas yang cepat. Tak hanya itu, ia kemudian mengambil posisi dan langsung melakukan squat jump. Tama layaknya sedang melakukan pemanasan untuk bertanding sepakbola.

Tujuh menit kemudian, Tama menyeringai mendapati beberapa bulir keringat di wajahnya. Napasnya yang terengah-engah membuat ia tersenyum puas.

Hayo, Esh.

Tanggungjawab kamu ya.

*

Eshika menatap buku tulisnya dengan tak tenang. Pikirannya terbayang-bayang oleh Tama. Lalu, melihat ke jam tangannya, perasaannya semakin tidak enak.

Kok dia lama banget ya ke toilet?

Tapi, lima belas menit kemudian, Tama masuk.

Cowok itu terlihat terengah-engah. Bahkan ketika Tama melintasi mejanya, Eshika bisa melihat bagaimana wajah Tama yang penuh keringat. Mau tak mau, cewek itu memutar tubuh. Mengekori Tama yang duduk.

"Kamu kenapa, Tam?" tanya Reki.

Tama tampak meringis. Meremas perutnya. "Nggak tau, Ki. Perasaan perut aku nggak enak aja dari pagi tadi."

Eshika mengerjap-ngerjapkan matanya mendengar jawaban pelan itu. Perasaan tak enaknya semakin menjadi-jadi.

"Eshika! Papan tulis di depan, bukan di belakang!"

Astaga.

Eshika dengan segera memperbaiki duduknya dan kembali menoleh ke depan. Tapi, belum juga ia sempat berkonsentrasi dengan soal yang diberikan, mendadak saja terdengar suara gaduh dari belakang.

Tama dengan cepat mendorong kursinya ke belakang dan kembali menemui Pak Eko.

"Pak, maaf. Saya permisi ke toilet lagi."

Mulut Pak Eko membuka, tapi belum sempat Pak Eko bicara, Tama sudah berlari duluan.

"Dia ...."

"Maaf, Pak!"

Terdengar Reki berkata seraya mengangkat tangannya.

"Tama bilang perut dia sakit," jelas Reki. "Kayaknya dia diare deh."

Pak Eko mengerutkan dahi. "Diare? Emangnya dia abis makan apa? Bakso kebanyakan sambal?"

Mulut Eshika membuka.

Seketika saja ia tak bisa mengerjakan soal Fisika tersebut.

Eshika menggeleng sekali.

Nggak mungkin Tama sakit perut gara-gara gorengan kemaren.

Tapi ....

Eshika menggigit bibirnya.

Kemaren aku kan ngabisin cabe rawit hampir sekilo. Mana itu cabe setán lagi.

Eshika meringis. Tepat ketika Tama masuk kembali ke dalam kelas dengan wajah yang semakin basah.

Ketika melintasi mejanya, Eshika dengan jelas mendengar suara Tama.

"Aduh ..., ya ampun ... aduh..."

*

Tama menarik napas dalam-dalam.

Aduh ya ampun, Tuhan. Demi bisa ngerjain balik Eshika, aku sukses lari-lari bolak-balik kelas toilet kelas toilet hampir tujuh kali.

Cowok itu mengistirahatkan kepalanya di meja.

Walaupun aku nggak abis tenaga gara-gara diare, sekarang aku nyaris abis tenaga gara-gara lari-larian.

Terniat banget ini.

"Tam!"

Tama membuka matanya. Tampak Reki menyodorkan satu cangkir teh hangat pada temannya itu.

Dengan lemas yang tak dibuat-buat, Tama menyambut teh hangat itu. Meminumnya perlahan.

"Masih mules?" tanya Reki.

Mata Tama terpejam lagi. Mengangguk.

"Nggak mau ke kantin?" tanya Reki. Tapi, ia malah tertawa. "Eh. Orang diare mana ada yang selera makan ya?"

Tama mendengkus kecil. Saat ini boro-boro ke kantin, Tama saja merasa kakinya benar-benar tidak bisa melangkah lagi.

Benaknya menghitung. Berapa menit ia lari di tempat? Berapa banyak ia squat jump? Berapa banyak dia push up?

Ckckckck.

Jadi, yang diinginkan Tama saat ini murni adalah istirahat. Mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

Tapi, walaupun melelahkan. Setidaknya ia sedikit senang. Jelas, Eshika yang ditegur Pak Eko tadi adalah salah satu bukti bahwa gadis itu berpikir dirinya benar-benar diare.

Ehm ....

Tinggal sedikit lagi, Tam. Kita buat itu cewek tanggungjawab karena ngerjain kita kemaren.

Tama berusaha menahan senyumnya mendengar bisikan setán di kepalanya.

Ketika jam istirahat selesai, Tama bisa merasakan bagaimana Eshika yang masuk ke kelas langsung melihat pada dirinya. Dengan sengaja, Tama mengeluarkan suara ringisan pelan. Sekali lagi meremas perutnya.

"Kamu nggak apa-apa, Tam?"

Tama mengerjap. Mendapati Tere menghampiri dirinya membuat Tama membelalakkan mata.

Ya salam.

Tere muncul boro-boro rencana aku berhasil. Yang ada mungkin ntar aku dikasih jus cabe rawit lagi sama Eshika. Terus dia akan semakin membumbui aduannya pada Mama. Benar-benar gawat.

Tama meneguk ludahnya. "Please, Re. Aku cuma mau istirahat aja. Please banget. Perut aku tambah mules ngeliat kamu."

Tama tak peduli entah sekasar apa perkataannya. Yang ia pikirkan hanya satu: nyawanya yang terancam kalau Tere benar-benar masih berniat mendekati dirinya.

Tertegun beberapa detik, akhirnya dengan menahan malu Tere kembali ke mejanya. Sedang Tama berusaha menahan desakan hatinya untuk melihat reaksi Eshika.

Ketika pelajaran selanjutnya dimulai, Tama pun mengulangi rencananya. Berpura-pura diare dan terburu-buru ke toilet. Dan ketika ia akan permisi untuk ketiga kalinya, Bu Ida berkata.

"Kamu diare, Tam?"

Tama mengangguk. "Iya, Bu. Perut saya sakit banget."

Bu Ida menarik napas dalam-dalam. "Kalau gitu, lebih baik kamu pulang saja. Kasian ini teman-teman kamu jadi terganggu."

"Pulang, Bu?" tanya Tama mengerjap-ngerjapkan matanya.

Perasaan tadi skenario aku bukan minta pulang cepet sih.

"Atau kalau nggak," lanjut Bu Ida, "kamu istirahat aja dulu di UKS. Siapa tau nanti mendingan."

Aaah ... itu lebih baik, pikir Tama.

"Baik, Bu," kata Tama. "Habis ini saya ke UKS."

Bu Ida mengangguk dan membiarkan Tama keluar dari kelasnya.

Dan setelah keluar dari kelas, Tama tidak bersusah payah ke toilet, melainkan langsung menuju ke UKS.

Cowok itu mengetuk sekali dan mendapati bahwa UKS sedang kosong. Maka tanpa permisi ia masuk tanpa lupa menutup pintu dan membaringkan tubuh di salah satu ranjang pasien yang berada di pojok ruangan.

Tama tersenyum.

Ehm ... enak juga sekali-kali tidur di UKS.

"Ting!"

Tama mengernyit mendapati ponselnya yang bergetar. Ia meraihnya dan membaca pesan yang masuk dengan menyeringai.

[ Eshika ]

[ Tam .... ]

[ Perut kamu sakit? ]

[ Kamu diare? ]

Membawa tubuhnya berbaring menyamping, Tama membalas pesan itu.

[ Eshika ]

[ Terus kalau bukan diare apa namanya? ]

[ Kontraksi melahirkan?]

Tama sebisa mungkin menahan tawanya. Hahahaha.

Ayoh, Esh, ayoh. Sini masuk ke perangkap aku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro