21. Cerita Masa Lalu
Assalamu'alaikum...! haii long time no see! Ada yang kangen..?? Oke, aku tahu sudah beberapa minggu sejak terakhir kali aku update. Maafkanlah author amatiran ini yang sok sibuk, hik. Kemaren-kemaren juga terjadi musibah, hp author jatuh menghantam aspal, dengan posisi tengkurep tanpa pelindung, layarnya tak bisa diselamatkan hiks ... #curcolJadi begitulah, author kesulitan lanjut update karena gaada koneksi internet. Juga karena satu dan hal lainnya.
Baiklah, cukup cuap-cuapnya, kayak bakal ada yang peduli aja, wkwkwk. Author balik bawa Fatimah sama Fahmi. Bagian ini ceritanya habis prolog ya, nasih ingat prolog? Masih dong .... kalau nggak, silakan baca ulang hihi.
Oke, selamat membaca!
Warning 18+
Mohon sikapi dengan bijak, ya!
----
21
Cerita Masa Lalu
"Terlalu berharap pada manusia ... memang tidak pernah berakhir baik."
***
Jakarta, Oktober 2018
Fahmi menatap Fatimah yang masih tertidur; tidak damai seperti biasanya. Ia usap kepala wanitanya dengan lembut, ingatannya memutar ulang kejadian semalam: bagaimana ketakutannya Fatimah saat disentuh olehnya. Ia menjerit histeris seolah tak mengenalinya.
"Fatimah, ada apa denganmu?" batin Fahmi penuh keingintahuan.
Tepat ketika itu, Fatimah membuka mata. Perlahan, ia menangkap wajah Fahmi yang sedang menatapnya. Fahmi tersenyum, sementara Fatimah masih bergeming. Kemudian, ia teringat kejadian semalam, dadanya sesak disertai rasa sesal.
"Mas ...," suara Fatimah bergetar.
"Kita salat malam dulu, yuk," ajak Fahmi yang kemudian beranjak dari ranjang.
Lelehan bening perlahan kembali jatuh dari mata Fatimah. Ya Allah ..., mengapa? Ia pikir, ia sudah benar-benar sembuh. Ia pikir, ia sudah tidak takut lagi, ia pikir ia sudah melupakan kejadian di masa lalu itu. Tapi rupanya, ia begitu ketakutan saat Fahmi menyentuhnya. Saat itu, semua ingatan kejadian buruk berputar kembali. Ia tahu, ia kembali mengalami re-experiencing. Itu artinya, ia belum sembuh dari trauma. Jika ia terus seperti ini, maka ia tidak bisa menjadi istri seutuhnya bagi Fahmi.
Fatimah mengusap air mata begitu melihat Fahmi keluar dari kamar mandi. Tanpa menatap suaminya, ia bangun dan melangkah ke kamar mandi. Saat ia keluar, Fahmi sudah menunggunya untuk salat bersama. Ia lantas berdiri di belakang sang suami. Mereka pun larut dalam ibadah dan bermunajat pada Sang Maha Kuasa.
Usai salat, Fahmi berbalik dan mengulurkan tangan yang segera diraih Fatimah. Ia cium tangan suaminya penuh takzim. Lalu, air matanya kembali berjatuhan. Ia terisak tanpa melepas tangan Fahmi. "Maafkan aku Mas ... maafkan aku ...," isak Fatimah tanpa henti.
Fahmi mengusap kepala Fatimah yang masih memakai mukena. Lalu mengangkat wajahnya secara perlahan. Ditatapnya wajah sang istri yang berurai air mata. Ia pun mengusap air mata di wajah wanitanya yang enggan menatapnya.
"Fatimah ... lihat aku," ujar Fahmi. Perlahan, Fatimah pun mendongak dan menatap wajah Fahmi yang teduh. "Aku memaafkanmu, jika kamu mau memberitahuku, apa yang terjadi padamu?"
Fatimah kembali menunduk, lalu Fahmi merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap punggung wanitanya secara perlahan. "Aku tidak marah padamu, Imah. Aku hanya ingin tahu penyebab sikapmu semalam. Sebagai suamimu, bukankah sudah sewajarnya aku tahu segala hal tentangmu? Apa yang tidak aku ketahui, Fatimah ...? Mengapa kamu begitu ketakutan saat aku menyentuhmu?"
Untuk beberapa saat, tidak ada jawaban dari Fatimah. Ia hanya menikmati pelukan dan usapan hangat dari Fahmi. Lelehan bening yang hangat dari matanya juga tak mau berhenti. Ia merasa begitu bersalah, ia tidaklah sempurna. Tidak sepantasnya ia mendapat suami yang begitu sempurna seperti Fahmi.
Perlahan, Fatimah menarik diri lalu menatap Fahmi dengan mata sembabnya. "Aku akan memberitahumu ... dan aku akan menerima keputusanmu setelah mengetahuinya. Jika Mas ingin menceraikanku pun, akan aku terima," ucapnya.
Kening Fahmi mengerut tidak paham, rautnya pun tampak tidak suka mendengar penuturan istrinya. "Kenapa aku harus menceraikanmu?"
"Karena mungkin ... aku tidak bisa menjadi istri yang seutuhnya buatmu, Mas," jawab Fatimah tersenyum lirih.
.
Garut, Agustus 2011
"Daah...! Hati-hati ya, Fat!" seru teman-temannya yang malam itu baru pulang ngaji dari madrasah.
"Kalian juga!" Fatimah membalas lambaian tangan teman-temannya. Setiap habis Magrib sampai ba'da Isya, ia dan anak-anak kampung yang lain memang rutin ngaji di madrasah.
Malam itu ia harus pulang sendiri, karena Rinaㅡteman pulang yang searah dengannyaㅡabsen. Sebenarnya Fatimah tidak takut pulang sendiri, ia hanya sedikit takut jika ada beberapa pemuda yang sedang minum-minum di gardu.
Saat hendak melewati gardu, Fatimah terus merapal doa meminta pertolongan supaya Allah melindunginya dari hal-hal jahat. Ia pun mengabaikan panggilan dari para pemuda yang bermaksud menggodanya. Ia menghela napas lega setelah melewati gardu. Namun, saat ia hendak melewati perkebunan yang cukup sepi dan lumayan jauh dari rumah penduduk, ia melihat beberapa pria dewasa yang sedang tertawa-tawa sambil berjalan sempoyongan. Saat itu, di kampungnya memang belum terlalu banyak rumah, ia harus melewati kebun mahoni dan kebun salak untuk sampai ke rumahnya.
Fatimah langsung menunduk takut dan berjalan cepat saat salah satu dari mereka menatapnya. Namun, saat ia hendak melewati tiga pria itu, tangannya dicekal.
"Mau ke mana, Neng? Sendirian aja."
Fatimah berusaha melepas tangannya walau ia tahu sia-sia. "Sa-saya mau pulang. Tolong lepas," ucapnya ketakutan.
Tiga pria yang sedang mabuk itu saling pandang dan menyeringai. "Mending maen dulu sama kita-kita, mau nggak?" tukasnya disetujui temannya yang lain sambil tertawa-tawa.
"Tolong lepas, saya mau pulang!" Fatimah masih berusaha melepaskan diri tapi tetap, tenaga pria itu jauh lebih kuat darinya. Ia semakin ketakutan saat ketiga pria itu menarik paksa dirinya agar ikut bersama mereka. Fatimah pun berteriak minta tolong sekeras mungkin. Berharap ada orang yang mendengarnya.
"Diem! Gak usah teriak-teriak!" Pria berbadan besar itu membekap mulut Fatimah. "Teriaknya ntar aja kalo lagi maen sama kita-kita, hahaha."
Air mata sudah meluncur deras di wajah Fatimah. Ia melakukan perlawanan sebisanya, namun tetap saja, tubuhnya yang kecil dan lemah tak bisa melawan kekuatan tiga pria dewasa yang bertubuh kekar itu. Ia hanya bisa berdoa pada Tuhan untuk menyelamatkannya.
Teriakan dan tangisan Fatimah tak didengar oleh ketiga pria pemabuk yang kini membawanya ke kebun mahoni. Semakin jauh dari perumahan. Setiap kali Fatimah melawan, ia dipukul. Mereka tak segan-segan melakukan kekerasan padanya.
"Tolong ... jangan lakukan ini pada saya, saya mohon ...." Fatimah mengiba diiringi isak tangis. Berharap jika mereka mengasihani dan melepaskannya. Namun percuma, sebanyak apa pun ia memohon dan mengiba, ketiga pria itu seperti buta mata dan tuli pendengarannya. Mereka hilang akal karena mabuk.
"Tenang Neng geulis, kita gak bakal ngapa-ngapain, ntar Neng juga bakal ngerasa kenikmatan," ujarnya diiringi gelak tawa yang membuat Fatimah semakin ketakutan. Baginya, ia seperti mengalami mimpi buruk. Tak pernah sedikit pun terpikirkan dalam benaknya jika ia akan mengalami hal mengerikan seperti ini.
Ia tidak mau, ia sangat takut, ia lebih memilih mati dibunuh daripada harus hidup terhina. Tubuhnya gemetar hebat saat dua pria menahan tangannya, sementara pria yang lain melucuti dan merobek pakaiannya secara paksa.
"Tolong, jangan! Jangan lakukan ini! Saya mohon jangan ...!" Fatimah terus menjerit sambil menangis meski tahu sia-sia. Bibir dan hatinya tak henti mengucap nama Allah, memohon pertolongan-Nya.
Mata pria itu gelap, dipenuhi nafsu setan yang membuatnya menggila. "Urang yakin, ini bocah masih perawan. Kalian minggir, urang heula nu ngasaan. Gue dulu yang nyicipin."
"Enak aja! Urang oge hayang ngasaan rasana parawan. Gue juga pengen nyicipin rasanya perawan," balas temannya tidak terima. Namun pria yang sudah di hadapan Fatimah itu mendelik tajam, membuat temannya mau tidak mau menurut.
"Lepasin," titah pria berbadan besar itu dan Fatimah terjatuh di atas tumpukan daun mahoni yang mengering. Ia memeluk tubuh telanjangnya ketakutan sambil terus terisak.
"Tolong ... jangan ...," Fatimah merintih, suaranya bahkan hampir hilang karena terus berteriak dan menangis.
Pria itu menyeringai keji, ia menidurkan Fatimah agar ia bisa menindih tubuhnya, namun Fatimah tak menyerah begitu saja. Ia menendang pria berbadan besar itu sekuat tenaga hingga terjengkang. Pria itu menggeram kesal sementara Fatimah berusaha bangun. Namun tetap sia-sia, pria itu dengan cepat menahan dan memukulnya hingga Fatimah kembali terjatuh. Terus begitu hingga Faimah mendapat banyak lebam di tubuhnya dan ia sudah kehabisan tenaga untuk melawan.
Pria itu tersenyum mengejek. "Sudah tidak bisa melawan, huh? Jadilah anak manis yang penurut, Bocah."
Fatimah terus menangis tanpa henti saat pria itu menduduki tubuhnya. Dan saat wajah pria itu tepat di hadapan wajahnya, ia meludahinya. Pria itu sudah kehabisan kesabaran dan memukul wajah Fatimah hingga tak sadarkan diri. Ia tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, sampai ketika ia terbangun di kamarnya dengan pakaian lengkap dan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
***
Fahmi diam dan menyimak tanpa menyela sedikit pun selama Fatimah bercerita, tangannya terkepal kuat. Ia merasa sangat ... marah.
"Lalu?" tanya Fahmi setelah Fatimah beberapa detik terdiam. Masih menunduk.
"Setelah itu, aku mengalami trauma. Aku ketakutan setiap melihat laki-laki, bahkan jika itu adalah Abah atau A Ozan. Umi bilang, aku diselamatkan oleh seseorang sebelum kehormatanku terampas. Namun, aku yang saat itu sedang trauma tidak bisa menemui orang itu karena dia seorang laki-laki. Sampai sekarang pun aku tidak tahu siapa orang itu, karena setelah itu aku disibukkan dengan pengobatan dan terapi, semua keluargaku pun tak ada yang mau mengungkit soal itu lagi.
"Itu adalah masa-masa terberat dalam hidupku. Aku tidak bisa lagi bergaul dan bersosialisasi dengan baik. Karena setiap melihat laki-laki, aku akan menjerit ketakutan, karena itu aku lebih banyak mengurung diri. Satu tahun aku menjalani terapi bersama seorang psikiater, menunda kuliah. Ia memang banyak membantu, hingga aku mulai bisa menerima kenyataan dan kembali membiasakan diri bersosialisasi. Aku mulai tidak takut pada Abah ataupun A Ozan, tapi aku masih takut jika berdekatan dengan laki-laki ...."
Fahmi sekarang mengerti sikap Fatimah selama ini di kampus yang tampak selalu murung, menjauhi keramaian dan menghindari kaum Adam. Ia pun menyadari, ia melihat Fatimah lebih 'hidup' setelah gadis itu sering bersama Fathir.
Fatimah pun menyadari, ia mulai bisa berbaur dan bersosialisasi dengan baik berkat pria itu, pria yang telah mengetuk pintu hatinya, menghancurkan dinding yang selama ini menjadi pembatas ia dan orang-orang di dunia luar. Namun, tidak hanya menghancurkan dinding, pria itu juga menghancurkan rumah di dalamnya.
Fatimah memberanikan diri menatap Fahmi, suaminya itu masih bergeming; menatapnya tanpa berkedip, tanpa ekspresi.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?"
Deg.
Fatimah merasa seperti ada palu menghantam dadanya begitu kuat. Ia menunduk, meremas jari. Apakah Fahmi kecewa padanya? Bodoh. Siapa pun pasti akan kecewa, seharusnya saat berta'aruf dia tidak menyembunyikan hal ini, seharusnya ia memberitahukan hal ini pada Fahmi sejak awal. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Berpikir kalau traumanya sudah hilang dan ia bisa membangun hubungan bersama Fahmi. Namun kenyataannya ....
"A-aku ... minta maaf," Fatimah menunduk dalam. "Aku pikir aku ...—"
"Aku kecewa," ucap Fahmi menghantam tepat di ulu hati Fatimah. Air matanya mulai kembali jatuh.
Rasanya ... kenapa begitu menyakitkan?
Tentu saja, Fahmi pasti kecewa. Ia terlalu berharap kalau Fahmi bisa menerima dirinya apa adanya. Ah ... siapa pula yang mau pada gadis sepertinya? Fahmi juga pasti menginginkan sosok perempuan yang utuh, bukan? Bukan perempuan seperti dirinya.
Terlalu berharap pada manusia ... memang tidak pernah berakhir baik.
"Ma-maaf ...," Tenggorokan Fatimah seperti tercekat untuk berkata. "Kau ... bisa menceraikanku."—Fatimah mendongak menatap wajah suaminya dengan senyum lirih—"Aku tahu diri ..., aku ... memang tidak pantas untukmu."
***
Tbc.
Subang,
12 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro