Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Harapan yang Pupus

18
Harapan yang Pupus

Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Mungkin inilah takdirku, meretas kerinduanku terhadapmu yang tidak mungkin terjadi.

***

Jakarta, September 2018

Satu bulan mempersiapkan pernikahan memang cukup menyita waktu dan energi, tapi sepertinya semuanya berjalan lancar. Satu minggu sebelum pernikahan, undangan sudah siap disebarkan. Fahmi pun mengundang beberapa orang teman kantornya, hanya ada satu orang yang belum ia temui sejak dua hari lalu. Fathir.

Sejak menjadi DOP program Landscape Indonesiaㅡyang diproduseri oleh Joㅡdi Anambas, ia menuai pujian karena membuahkan hasil yang luar biasa; rating yang bagus dan pujian dari penonton tentang pengambilan gambar, jadilah ia dipindah ke program tersebut, yang berarti Fathir akan sering berada di luar studio karena Landscape Indonesia adalah program yang memperlihatkan alam Indonesia. Jelas, Fathir bahagia bukan kepalang, ia jadi bisa ikut menjelajah ke sana ke mari. Jiwa pencinta alamnya tak pernah luntur sedikit pun sejak dulu.

Fahmi memutuskan menelpon sobatnya itu. Setelah deringan ketiga, baru diangkat oleh Fathir.

"Lagi di mana?" tanya Fahmi setelah mereka saling berucap salam.

"Lagi di perjalanan ke studio. Kenapa? Tumben nelpon, kangen gue ya lo?" tanyanya diiringi gelak tawa.

Fahmi hanya mendengus dan tersenyum kecil. "Masih lama? Ada yang mau aku sampein, nanti langsung ke taman, oke?"

"Wah ada apaan nih? Jadi penasaran...."

"Mentang-mentang udah pindah program, jadi jarang ke studio," ledek Fahmi yang hanya dibalas tawa dari Fathir.

"Lima belas menit lagi gue nyampe," ujar Fathir.

Fahmi mengiyakan lalu menutup telepon setelah mendengar Fathir menjawab salamnya.

Mendengar reaksi Fathir, sepertinya orang itu belum mendengar kabar pernikahannya. Baguslah, pikirnya. Ia akan merasa tidak enak jika Fathir harus mendengar dari orang lain. Fahmi menghela napas lalu tertawa kecil, merasa heran sendiri kenapa ia begitu peduli pada perasaan pria itu.

Fahmi menunggu Fathir di taman yang ada di studioㅡyang lebih sering disebut tempat nongkrong bagi anak-anak N TV, tempatnya memang asri dan nyaman buat nongkrong. Di sana terdapat beberapa bangku dari kayu dan pohon-pohon besar yang rindang. Setelah sekitar lima menit menunggu, ia melihat Fathir berjalan menghampirinya. Mereka bertegur sapa sejenak seperti biasa jika bertemu.

"Jadi, ada apaan? Kayaknya penting banget sampe mau ngomong langsung segala," ujar Fathir.

Fahmi tersenyum, "Jangan kaget, ya."

Fathir menaikkan sebelah alis, penasaran. Lalu ia melihat Fahmi menyodorkan sebuah kartu undangan.

"Lo mau nikah, Mi?" seru Fathir heboh dengan mata melotot.

"Iya," jawab Fahmi mengulum senyum.

"Gila! Kok lo gak bilang-bilang gue? Tahu-tahu nyebar undangan. Curang ah, lo!" protes Fathir lalu menerima undangan dan semakin terkejut melihat nama yang tertera di kartu undangan. Fahmi Ahza Pradipta dan Fatimah Jauza Syafa. Ia hanya mengenal satu nama perempuan itu. Nama yang selalu tersimpan rapi di dalam hatinya.

"Fatimah yang gue kenal? Anak PAI di UNINUS?" tanya Fathir memastikan.

Fahmi mengangguk. Matanya tak lepas dari wajah Fathir. Mengamati ekspresi pria itu dari matanya.

"Gila benar! Kapan loㅡ" ucapan Fathir terhenti karena teringat sesuatu. "Jangan-jangan pas pulang waktu itu loㅡ...."

"Yap. Aku ke Garut, nemuin orang tuanya. Ta'aruf sepuluh hari, alhamdulillah dapat jawaban setelahnya, dan inilah akhirnya," cerita Fahmi ringan dihiasi senyum.

"Jadi pas waktu lo cengar-cengir gak jelas sepanjang hari itu karena lamaran lo udah diterima?"

Fahmi tersenyum lebar. Kini Fathir mengerti alasan dibalik anehnya Fahmi hari itu. "Jahat banget lo ngerahasiain ini dari gue," rengut Fathir cemberut.

"Sorry. Aku cuma gak pengen ngumbar sesuatu yang belum pasti, jadi aku berencana ngasih tahu setelah semuanya jelas."

Fathir menghela napas panjang. "Tapi gue kan sobat lo, pokoknya gue ngambek. Gak mau ngomong sama lo sampe hari-H, titik!" sungut Fathir lalu melangkah pergi.

"Jangan lupa dateng!" seru Fahmi agar didengar oleh Fathir.

Fathir hanya membalas dengan membentuk huruf O menggunakan dua jarinya tanpa menoleh.

Senyuman Fahmi lenyap seiring dengan mata yang meneduh. "Sekeras apa pun kamu berusaha, mata kamu gak bisa bohong kalau kamu sedang terluka, Fat," batinnya. Ia menatap punggung sobatnya yang semakin menjauh dengan tatapan antara iba dan rasa bersalah.

***

Pukul sebelas, Fathir memilih pergi ke masjid yang ada di dekat studio. Ia mengambil wudhu lalu sholat tahiyatul masjid dua rakaat. Setelah itu ia niat beriktikaf sampai menjelang dzuhur.

Ia hela napas yang terasa berat, lalu mengembusannya perlahan. Berharap, jika hal itu bisa mengurangi sesak di dadanya. Sebenarnya, ia sudah mendengar kabar Fahmi yang akan menikah dari Jo, ia juga sudah melihat undangannya dari perempuan itu. Seketika itu juga, ia merasa seluruh harapannya hilang entah ke mana. Semangatnya surut, dan hatinya berdenyut begitu nyeri. Ia pun tak mengerti kenapa ia merasa begitu patah hati. Padahal siapa dirinya? Ia tidak berhak untuk patah hati, bukan?

Saat Fahmi meneleponnya, ia sudah menebak apa yang akan dibicarakan sahabatnya itu. Ia pikir, ia akan baik-baik saja. Ia pikir, rasa sakitnya akan berkurang karena ia sudah merasa sakit sebelumnya. Ia pikir, ia akan bisa menerima dengan mudah. Tapi kenyataannya? Ia tetap merasa sakit hati, dan rasa sakitnya semakin bertambah karena melihat Fahmi begitu bahagia. Berpura-pura baik-baik saja nyatanya tidak selalu mudah.

Ia sadar ia telah kalah. Tertinggal langkah oleh sahabatnya. Sejak dulu, dalam hal apa pun bukankah ia memang selalu kalah langkah darinya? Hingga sekarang pun, ia tetap menjadi pecundang yang selalu kalah.

Fathir kembali menarik napas, ia sebut nama Allah berkali-kali, memohon ampun dan meminta kekuatan untuk jiwa dan raganya. Saat bibirnya basah oleh dzikir, pipinya ikut basah oleh air mata yang menetes perlahan. Jatuh satu demi satu.

Ia teringat ceramah salah satu ustadz saat ia ikut kajian beberapa pekan lalu. Jika kita harus melakukan segala hal karena Allah, untuk Allah. Berharap hanya kepada Allah. Sebab, berharap pada manusia hanya akan berujung kekecewaan. Sementara Allah, Ia tidak akan mengecewakan hamba-Nya.

Di rumah Tuhannya itu, Fathir semakin tersedu. Selama ini, ia berubah menjadi lebih baik karena ingin pantas disandingkan dengan Fatimah, perempuan yangㅡentah kenapaㅡselalu ada di relung hatinya selama ini. Kini, ia sadar ia salah. Tidak seharusnya ia melakukan semuanya karena makhluk, demi makhluk, hingga seperti inilah akhirnya. Ia tahu, jika tidak boleh mengharap kepada selain-Nya. Namun, hatinya tetap saja berharap pada perempuan itu. Mungkin, ini adalah teguran Allah untuknya. Cara agar ia mencari cinta yang sebenar-benar cinta.

Yaa muqollibal quluub. Tsabbit qolbi 'aladdiinik
Wahai Sang Maha Pembolak-balik Hati. Tetapkan hatiku atas agamamu. Jika ia memang bukan untukku, ikhlaskan hatiku, lapangkan dadaku. Aamiin.

Laki-laki itu tenggelam dalam bait-bait doanya, dalam setiap dzikir yang terucap dari bibirnya. Ia berharap, ia benar-benar bisa menerima kenyataan jika harapannya tentang gadis itu sudah sirna. Ia harus kembali meluruskan niat yang bengkok, lalu bertawakkal. Faidzaa 'azzamta fatwakkal 'alallah.

Fathir menarik napas panjang, hingga ia dikagetkan oleh sentuhan seseorang di pundaknya. Ia cepat mengusap wajahnya yang basah lalu menoleh: seorang kakek berjubah dan berpeci putih tersenyum padanya. Di dagunya juga tumbuh jenggot yang berwarna putih. Wajahnya bersih dan nampak ramah. "Aden mau adzan?" tanya kakek tersebut.

Fathir tercenung sejenak, melihat jam yang sudah mau memasuki waktu dzuhur. Lalu ia berpikir apa kakek ini datang dari tadi atau baru saja tiba? Ia akan sangat malu jika ketahuan menangis.

"Bagaimana?" tanya kakek itu kembali.

Fathir berdeham untuk menetralkan suaranya. "Bapak imam di masjid ini?" tanya Fathir.

Sang kakek kembali tersenyum. "Benar, saya biasa jadi imam di sini," ujarnya.

"Oh. Kalau begitu, saya saja yang adzan, Kyai," Fathir merasa kaget sendiri dengan ucapannya. Kenapa ia bisa bicara semudah itu? Kenapa pula ia memanggilnya Kyai? Ah, mungkin karena penampilannya.

Kakek itu tertawa lalu segera menyuruh Fathir adzan sebab sudah masuk waktu dzuhur. Fathir pun mengangguk patuh, ia berjalan ke dekat mimbar dan mulai mengumandangkan adzan untuk menyeru umat Islam menghadap Sang Khalik. Suara beratnya merdu dan enak didengar.

Usai adzan, Fathir melangkah mundur untuk melaksanakan sholat sunnah qobliyah. Ia berdiri di belakang kakek berjubah putih. Lalu jemaah mulai berdatangan, meski tidak banyak, bahkan satu saf pun tidak penuh. Fathir merasa miris sendiri melihatnya. Karena ia pun termasuk orang yang jarang ikut berjamaah. Pekerjaan selalu membuatnya datang terlambat.

"Ayok, Nak. Iqomah," ujar sang kakek pada Fathir.

Fathir mengangguk lalu iqomah. Dimulailah sholat berjamaah dengan hanya tujuh orang jemaah. Beberapa orang baru datang dan ikut masbuk.

Usai dzikir dan sholat ba'diyah, Fathir masih betah duduk di sana. Rasanya ia enggan kembali ke studio. Suasana di sana terlalu sesak untuk saat ini. Masjid sudah sepi, tinggal ia dan sang imam yang masih berdzikir.

"Apa yang kau gelisahkan, anak muda?"

Fathir agak kaget dan langsung mengangkat wajah, kakek itu kini duduk bersila menghadapnyaㅡmasih dengan senyum ramah yang teduh. Fathir terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang sedang ia gelisahkan? Hatinya? Cintanya?

"Apa kau gelisah karena urusan dunia?" tanya sang kakek kembali. Fathir masih diam. Kali ini menunduk dalam.

"Nak, selama pikiran kita berorientasi pasa dunia, maka akan sulit pula lepas dari perasaan-perasaan seperti itu," ujar sang kakek. Fathir kini mendongak. Lalu kakek tersebut melanjutkan, "jodoh, rezeki, takdir setiap orang sudah ditentukan. Kalau kita sudah paham akan hal itu, kita akan tenang meski kehilangan, tidak akan gelisah meski ditinggalkan, tidak akan khawatir dengan masa depan. Karena kita yakin, semuanya sudah diatur. Kita akan sibuk bersyukur, bisa tenang saja dan sibuk memperbaiki diri."

Fathir bergeming. "Saya sudah salah Kyai ...."

"Panggil kakek saja," ralat kakek tersebut.

"Iya, Kek. Selama ini saya memperbaiki diri, tapi niat saya salah. Saya memperbaiki diri karena ingin merasa pantas bersanding dengan perempuan yang saya idamkan. Tanpa sadar, saya berharap padanya, menjadikannya alasan untuk semua perubahan saya. Saya berharap, suatu saat nanti saya akan menjadi pendampingnya seumur hidup. Tapi, saat kenyataan tak sesuai harapan, di situ saya menuai kecewa. Dan saya sadar, tak seharusnya saya berharap pada selain Allah. Sekarang, saya merasa begitu berdosa," tutur Fathir, air matanya kemudian mulai kembali turun.

Ia merasa heran kenapa bisa begitu saja bercerita pada orang yang baru ia kenal beberapa saat lalu. Ia juga heran kenapa sekarang ia mudah sekali menitihkan air mata. Setelah mendalami agamanya, ia jadi gampang baper, mudah sekali menangis. Bahkan melihat anak-anak hafidz quran di televisi saja dia bisa menangis. Padahal dulu ia tak begitu, ia termasuk orang yang jarang menangis meski ia merasa sakit hati sedalam apa pun. Mungkin dulu ia memang tak punya hati. Ia bahkan menyakiti hati perempuan yang disukainya. Fatimah, bagaimana ia menebus rasa bersalahnya pada gadis itu?

Sekarang, ia tak bisa lagi menebus dengan mengganti kebahagiaan darinya. Sebab, ada orang lain yang akan membuatnya bahagia. Orang lain yang lebih pantas bersanding dengannya. Mengingat itu, Fathir kembali merasa sesak. Ia beristigfar berkali-kali dalam hati.

Kakek itu tersenyum teduh melihat Fathir yang malah tertunduk sambil beberapa kali mengusap air matanya. "Kau sudah mengerti dan tahu kesalahanmu. Itu sudah baik, anak muda. Kau tinggal memperbaiki dirimu. Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya," ucapnya kemudian menyentuh bahu Fathir. "Jika keadaan tak sesuai keinginanmu, bersabarlah. Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Allah lebih tahu apa yang kau butuhkan."

Fathir merasa hatinya jauh lebih tenang dan ringan. Melihat senyum dan wajah teduh sang kakek membuat hatinya menghangat. Entah mengapa ia merasa begitu akrab dengan kakek itu.

"Terima kasih, Kek," ucap Fathir tulus.

Kakek itu mengangguk sekali lalu pamit pada Fathir. Namun Fathir juga ikut beranjak dan berjalan keluar bersama kakek itu. "Kakek pulang ke mana? Biar saya antar, tapi mobil saya ada di kantor," tawar Fathir.

"Tidak perlu, rumah kakek dekat dari sini, jalan kaki juga sampai."

Fathir mengangguk. "Baiklah kalau begitu, hati-hati ya Kek. Sekali lagi terima kasih banyak," ucap Fathir tersenyum tulus.

Kakek itu hanya tersenyum lalu segera berjalan ke luar masjid. Fathir melakukan hal yang sama. Ia harus kembali ke studio. Orang-orang mencarinya. Entah sudah ada berapa panggilan tak terjawab di ponselnya.

Fathir menarik napas, ia merasa lebih siap bertemu sahabatnya sekarang. Setelah mencurahkan seluruh keresahannya pada Tuhan dan pada kakek tadi, langkahnya terasa lebih ringan. Hatinya terasa lebih damai. Harapannya pada perempuan itu memang telah pupus. Ia sadar jika tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Jadi, untuk apa ia pikirkan? Meski sakit hatinya mungkin akan sulit sembuh. Seperti yang kakek tadi katakan, ia hanya harus memperbaiki dirinya, kembali.

Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Mungkin inilah takdirku, meretas kerinduanku terhadapmu yang tidak mungkin terjadi.

***

TBC.

Assalamualaikum! Selamat malam Ahad! Ketemu lagi sama F family kkkk 😆
Part ini lagi galau, nikmati saja prosesnya, sebentar lagi menuju klimaks

Selamat membaca!

Salam hangat,

Tinny Najmi.

Subang, 16 Maret 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro