Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Menerima

17
Menerima

"Terimalah dirimu sendiri, jangan terus menerus menjadikan masa lalu sebagai alasan untukmu menolaknya. Kamu berhak mendapat apa yang kamu mau. Kamu bisa membuat masa depanmu sendiri, bersamanya. Yakinlah pada hatimu."

***

Garut, Agustus 2018

Pria berkacamata itu tampak beberapa kali menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan, sibuk menenangkan diri dan menormalkan detak jantungnya yang berdebar-debar. Rasanya, ia lebih gugup dari sebelumnya.

Hari ini, Fahmi dan orang tuanya sedang menuju rumah Fatimah untuk melakukan lamaran secara resmi. Sekaligus silaturahmi dua keluarga. Ya, setelah menjalani taaruf singkat yang hanya berlangsung sekitar sepuluh hari, akhirnya Fahmi mendapat jawaban atas segala usaha dan do'a-do'a yang ia panjatkan di setiap sepertiga malamnya.

Fatimah menerima pinangannya. Rasanya saat itu adalah hari paling membahagiakan untuknya. Seharian itu ia tak bisa berhenti tersenyum sampai-sampai mendapat tatapan aneh dari semua teman kantornya. Tak terkecuali Fathir. Pria itu tak berhenti bertanya saking penasarannya. Namun, Fahmi tak memberitahunya apa pun. Entah apa yang menahannya, ia hanya merasa tidak siap mendapat tatapan terluka atau kecewa atau mungkin amarah dari sahabatnya itu. Sebab Fahmi tahu, pria itu masih menyimpan rasa pada calon istrinya.

Calon istri, huh? Fahmi merasa geli dengan pemikirannya sendiri. Tapi itu memang benar, 'kan? Fatimah adalah calon istrinya saat ini. Dan jika segalanya berjalan sesuai rencana, ia pasti akan memberitahu sahabatnya itu, nanti.

"Masih jauh gak, Mi?" tanya wanita paruh baya yang amat ia sayangi entah untuk ke berapa kalinya.

Fahmi menghela napas. "Bentar lagi, sabar dong Ma ....."

"Mama udah nggak sabar lihat calon mantu mama!" ujarnya sumrimgah. Dari dulu, ia memang yang paling gencar menyuruh anak bungsunya ini segera menikah. Karena semua anaknya laki-laki, jadi ia ingin sekali memiliki anak perempuan. Sementara semua menantu dari sebelumnya tidak ada yang ia sukai.

"Mama kan udah pernah ketemu sama Fatimah, dulu," sahut Fahmi mengingatkan.

Mamanya berdecak. "Itu kan udah lama, Mi! Mama udah lupa wajahnya. Gak nyangka ternyata kamu beneran suka sama anak itu. Risa pasti kegirangan banget kalau tahu," kekehnya.

Fahmi mendengus, Risa sudah tahu karena ia pun mendapat kontak Fatimah dari sepupunya itu. Risa memaksa dia memberitahu tujuannya atau ia tidak bisa mendapat kontak Fatimah. Jadilah gadis itu kegirangan setengah mati setelah Fahmi akhirnya mengalah dan memberitahu maksudnya.

"Kamu kan udah kenal dia dari dulu, kok baru ngelamar sekarang?" tanya namanya lagi.

"Dulu kan, Fahmi belum punya penghasilan Ma, masa mau nikahin anak orang tanpa punya apa-apa. Mau dikasih makan apa dia, gak mungkin dikasih makan cinta doang 'kan, Ma?" sahut Fahmi.

"Ya iya sih ... cuman mama heran aja sama kamu. Bisa-bisanya nyimpen rasa selama itu dan nunggu sampai saat yang tepat. Yakin banget dia jodohmu, kalau diduluin orang, gimana?"

"Fahmi nggak yakin kalau dia jodoh Fahmi, jodoh kan urusan Tuhan. Cuma, hati Fahmi yakin sama dia sejak dulu sampai sekarang. Kalaupun aku datang saat dia sudah menikah, ya sudah, aku tidak bisa apa-apa, tapi nyatanya, dia belum terikat dengan siapa pun. Berarti hati Fahmi nggak salah menyimpan rasa selama ini." Fahmi mengulum senyum.

Pria paruh baya yang sedari tadi diam dan fokus menyetir diam-diam tersenyum mendengar jawaban Fahmi, anak laki-laki kebanggaannya. Ia tidak seperti kakak-kakaknya yang susah diatur dan bandel. Fahmi bahkan melebihi ekspektasinya terutama dalam beragama. Ia sangat bangga pada anaknya ini.

"Abis ini ke mana?" tanya papanya.

Fahmi melihat jalanan sejenak. "Di depan nanti ada alfamart, abis itu belok kanan, nanti ada rumah minimalis bercat hijau. Di situ rumahnya," jelas Fahmi. Ia semakin deg-degan rasanya.

Papanya mengikuti arahan Fahmi. Hingga Fahmi melihat rumah bercat hijau muda yang tampak asri, ia menyuruh sang papa menepikan mobil. Mereka pun turun bersamaan. Langkah demi langkah mereka tapaki, untuk menjalin silaturahmi sebagai anggota keluarga.

"Assalamu'alaikum...!"

"Wa'alaikumussalam warahmatulloh...," terdengar jawaban seorang wanita dari dalam. Fahmi bisa menebak kalau itu adalah Umi.

Benar saja, pintu dibuka dan tampaklah wajah sumringah Umi, wanita paruh baya yang tidak jauh beda dengan mamanya itu memang sangat menyukainya, tidak sabaran seperti mamanya. Apa mungkin memang wanita kodratnya begitu? Pikir Fahmi geli.

Mereka dipersilakan masuk, lalu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Acara resmi berjalan lancar. Susana pun langsung hangat karena kedua orang tua mereka akrab dengan mudah. Mereka tertawa-tawa layaknya teman lama. Orang tua Fahmi terus berceloteh menanyai Fatimah, mereka rupanya masih ingat dengan Fatimah yang waktu itu pernah bertemu saat wisuda Fahmi. Tidak menyangka jika Fahmi serius menyukai perempuan itu.

Fahmi memperhatikan Fatimah yang sepanjang obrolan wajahnya dihiasi senyum, tampak anggun dan cantik. Yang hanya melihatnya saja bisa membuat ia ikut tersenyum.

"Aduh!" Fahmi meringis saat seseorang mencubit pinggangnya keras-keras. "Apa sih, Ma? Sakit tahu!" protesnya.

"Pandanganmu itu lho, Nak! Dijaga, jangan diliatin terus. Belum halal," tegur mamanya. Fahmi tersenyum kikuk dan menahan malu, jadi ia ketahuan. "Sepertinya kita harus cepat-cepat nentuin tanggal," imbuh mamanya lagi. Disambut kekehan semua orang.

"Bulan depan saja, gimana?" usul Umi setuju.

Fahmi melongo, ia melirik Fatimah yang juga sepertinya tak bisa berbuat apa-apa. Saat pandangan mereka bertemu, Fatimah langsung mendunduk tersipu. Fajmi jadi gemas dibuatnya.

"Gimana Mi, Fat?" tanya sang papa.

"Fahmi mah oke aja," jawab Fahmi berusaha tenang.

"Kalau Fahmi mah maunya minggu depan! Udah gak sabar kayaknya dia," celetuk mamanya diakhiri tawa. Fahmi mendengus dan membantah perkataan sang mama.

"Kalau kamu gimana, Sayang?" tanya Umi pada anak gadisnya.

Fatimah tersenyum. "Fatimah ikut saja yang terbaik," jawabnya.

"Alhamdulillah ...," mereka serempak mengucap syukur dan kembali mengobrol rencana-rencana pernikahan. Seharian itu mereka habiskan untuk menyusun rencana. Mengacuhkan dua insan yang jadi topik utama.

Fahmi dan Fatimah dibiarkan berdua di teras, hanya terjadi obrolan-obrolan kecil dan mengenang semasa kuliah dulu. Mereka masih merasa canggung satu sama lain karena lama tidak bertemu. Hingga Umi memanggil Fatimah dan menghampiri mereka.

"Kenapa Mi?" tanya Fatimah.

"Kamu ke pasar gih, beli bahan masakan. Umi lupa belum belanja. Nanti kita makan siang bersama," ucapnya lalu beralih pada Fahmi sambil tersenyum. "Temenin Imah, ya?"

Fatimah dan Fahmi saling lirik sekilas. "Nggak usah, Mi, Imah bisa sendiri," tolak Fatimah halus. Masa mereka hanya pergi berdua, pikirnya.

"Udah, nggak papa, biar ada yang bantu ingetin. Kamu 'kan pelupa," tukas uminya.

"Tapi, kanㅡ"

"Lagian di pasar kan nanti ramai, nggak cuma kalian berdua. Ya, Nak Fahmi? Mau 'kan nemenin Fatimah?" tanya Umi penuh harap.

Fahmi menggaruk kepala yang tak gatal. Ia bukannya tidak mau, hanya saja ....

"Cuma bentar, lagian di sini kalian juga nggak ngapa-ngapain 'kan? Mending keluar sekalian jalan-jalan."

"Ya udah Mi, Fahmi temenin," pangkas Fahmi pada akhirnya. Daripada calon ibu mertuanya ini terus menerus berceloteh, sebaiknya ia turuti. Tidak ada salahnya bukan? Seperti kata Umi, mereka tidak hanya berduaan di sana. Tujuan mereka juga belanja, bukan jalan-jalan. Fahmi meyakinkan diri.

Umi tersenyum senang. "Bentar, Umi ambil uang sama catatan yang harus dibeli apa aja," ucap uminya langsung bergegas ke dalam.

Fatimah menggerutu dalam hati, sifatnya yang pelupa dijadikan alasan, padahal tetap pakai catatan. "Maaf ya, Kak. Jadi ngerepotin, Umi emang begitu," ucap Fatimah merasa tidak enak.

"Nggak papa, Fat. Lagian bosan juga kalau diam terus," sahutnya tersenyum.

Umi datang membawa secarik kertas berupa catatan apa saja yang harus dibeli, juga beberapa uang pada Fatimah. Fahmi sudah mengusulkan kalau ia yang akan membayar, tapi ditolak mentah-mentah oleh Umi. Fahmi pun tak bisa memaksa, ia menuruti semua keinginan calon ibu mertuanya ini.

Selama perjalanan di mobil, baik Fahmi ataupun Fatimah hanya diam. Keduanya berada dalam pikirannya masing-masing. Sebenarnya Fatimah tidak terlalu suka ke pasar, apalagi saat akhir pekan seperti ini. Pasar akan sangat ramai dan tak jarang harus berdesakan.

Selama di pasar Fahmi terus di dekat Fatimah, tidak mau kehilangan jejak apalagi kalau sampai Fatimah kenapa-napa. Fahmi juga sebenarnya tidak terlalu suka masuk pasar. Selain karena ramainya, pasar juga merupakan tempat berkumpulnya para setan dan di sana pula mereka beranak pinak. Pasar pun menjadi tempat yang dibenci Allah. Sebab, umumnya pasar adalah tempatnya orang curang, menipu, transaksi riba, sumpah palsu, menyalahi janji, tidak ingat Allah dan aktivitas lainnya yang serupa.

Maka tidak heran kalau di pasar banyak copet dan aktivitas-aktivitas yang kurang baik. Fahmi dengan setia mengekor Fatimah yang ke sana ke mari untuk mendapat bahan yang uminya inginkan.

"Biar aku saja yang bawakan," Fahmi menawarkan diri untuk membantu.

"Nggak papa, Kak. Nggak berat, kok," tolak Fatimah halus.

"Jangan suka menolak kebaikan orang lain, masa aku diam saja melihat kamu bawa-bawa jinjingan yang nanti semakin banyak."

Fatimah tersenyum tidak enak, "Ya sudah," ucapnya.

Fahmi pun tersenyum dan setiap Fatimah membeli sesuatu, ia yang akan membawanya. Tidak jarang ibu-ibu di jongko memujinya dan mengira mereka adalah pengantin baru.

Ia tersenyum sendiri, dalam hati ia berpikir mungkin nanti akan begini kalau mereka sudah menikah, rasanya pasti jauh lebih menyenangkan karena tidak ada lagi batasan di antara mereka.

"Astagfirulloh," ucap Fahmi sejurus kemudian menyadari pemikirannya yang melenceng.

Mendengar itu, Fatimah menoleh heran. "Kenapa, Kak?"

"Eh? Enggak, enggak. Bukan apa-apa kok," jawab Fahmi tersenyum lebar. Lalu menghela napas, sepertinya di sini memang banyak setan.

Fahmi kembali membawa belanjaan Fatimah. Gadis itu sedang melihat daftar yang kini sudah tercoreng semua.

"Udah semua?" tanya Fahmi yang ikut melihat kertas di tangan Fatimah.

Fatimah mengangguk. "Kayaknya udah,"

"Pulang sekarang?"

Fatimah kembali mengangguk lantas berjalan terlebih dahulu ke luar pasar dengan Fahmi yang setia mengekor.

Fatimah melihat Fahmi yang berkeringat, mungkin pria itu tidak biasa ke pasar. Dua tangannya juga penuh membawa jinjingan, ia pasti kesusahan mengusap keringat sendiri. Fatimah jadi kasihan melihatnya.

"Kak Fahmi haus nggak? Mau beli minuman?" tanya Fatimah saat mereka sampai di dekat parkiran. Di sana terdapat berbagai jenis jajanan pedagang kaki lima.

"Hmm, boleh. Aku haus," ujarnya.

Fatimah melihat sekitar. Ada berbagai macam minuman di sana, dan ia sepertinya sedang ingin es cendol. "Kak Fahmi mau apa? Es cendol, suka?" tanyanya menoleh kembali pada Fahmi.

"Suka," jawab Fahmi sambil tersenyum. Dan Fatimah malah tersipu dan langsung mengalihkan pandangan. Fahmi sampai heran sendiri melihatnya, padahal maksudnya ia memang menyukai es cendol. Ia menahan senyum, Fatimah tidak berubah sejak dulu.

"Hmm, Kak Fahmi tunggu di mobil aja, aku yang beli."

Fahmi menggeleng. "Aku temani."

Fatimah sudah siap mendebat namun segera dipotong Fahmi. "Di sini banyak orang jahat, Fatimah. Aku gak tenang ninggalin kamu sendiri. Lagi pula enak kalo makannya di luar."

Fatimah tak bisa berkata-kata, ia pun menyerah dan mengikuti maunya pria itu. Mereka lantas menikmati es cendol di bangku yang disediakan si penjual. Rasa dingin dan manis menjalar ke tenggorokan mereka.

"Alhamdulilah ...," ucap Fahmi begitu ia meneguk minuman manis dan segar itu.

Fatimah merogoh sesuatu dari tas lalu memberikan sapu tangan pada Fahmi tanpa kata. Fahmi tersenyum. "Terima kasih," ucapnya kemudian mengelap keringat yang mengucur di dahi.

"Manten anyar, ya?" tanya si penjual kepo sambil cengar-cengir.

Fahmi yang sedang minum hampir saja tersedak. Ia pun tersenyum, "Bukan, Mang. Masih calon, insya Allah bulan depan halal. Doanya ya, Mang," ucap Fahmi berusaha sopan.

"Ohh calon, kirain teh udah halal, meni mirip tuda katingalina," cengirnya lalu kembali melayani pembeli.

Fatimah hanya bisa tersenyum. Es miliknya masih banyak, sementara milik Fahmi sudah tandas. "Yuk, Kak," ajak Fatimah hendak beranjak.

Fahmi menaikkan alis melihat gelas Fatimah yang masih banyak isinya. "Ngak dihabiskan?"

Fatimah menggeleng. "Kenyang," ucapnya mengusap perut. Porsinya memang terlalu banyak untuk Fatimah.

"Tidak baik membuang-buang makanan atau minuman, Fatimah. Di luar sana banyak yang susah hanya untuk mendapat air minum, kita malah buang-buang makanan seperti ini," tegur Fahmi serius.

Fatimah menunduk, lalu kembali duduk. Hatinya merasa tersentuh, ia mengerti, tapi perutnya sudah tidak bisa menampung. Alhasil, ia pun meminum es cendol dengan perlahan.

Melihat itu, Fahmi mendesah. "Sini, biar aku saja yang habiskan," ucapnya tiba-tiba mengulurkan tangan.

Fatimah menoleh tidak yakin. "Tapi, kan ...."

"Nggak papa, lagi pula aku masih haus. Dari pada kamu tersiksa begitu demi menghabiskan ini," ujar Fahmi lagi kembali meminta gelas di tangan Fatimah.

"Tapi ini kan ...."

"Nggak apa-apa Fatimah ... aku pakai sendok dan sedotan punyaku," ujarnya mengambil alih gelas dari tangan Fatimah. Menyimpan sedotan dan mengganti memakai bekasnya tadi.

Fatimah menatap Fahmi yang melahap es cendol miliknya tanpa ragu. Ia tersenyum dan terenyuh. Mendadak ia merasa beruntung karena ia yang telah dipilih laki-laki ini.

Fahmi selesai menghabiskan ea cendol dan menaruh gelas di meja. Lalu membayar dan beranjak pulang.

"Makasih ya, Kak," ucap Fatimah pelan saat mereka di mobil.

"Hm?"

"Untuk yang tadi," ucap Fatimah lagi sambil menunduk.

Fahmi tersenyum. "Jangan dibiasakan seperti itu ya."

Fatimah mengangguk. Mobil pun melaju meninggalkan pasar. Mereka kembali ke rumah yang langsung disambut Umi dan dihadiahi ejekan karena mereka pergi sangat lama. Fahmi dan Fatimah hanya saling tersenyum kikuk, padahal mereka kira hanya pergi sebentar tadi.

"Biasalah Mi, orang yang lagi di mabuk cinta kan memang begitu," celetuk seseorang.

Fahmi dan Fatimah menoleh ke sumber suara, hingga Fatimah menutup mulut tak percaya. "Risa?!" pekiknya. Risa membalas dengan senyuman lebar. Fatimah pun menghampiri dan memeluk sahabat yang sudah lama tak ia jumpai itu.

"Kok bisa ada di sini? Kapan ke sini? Sama siapa?" tanya Fatimah beruntun.

Risa tertawa. "Kalem dong, Fat. Kayak bukan kamu aja, segitu kangennya ya sama aku?" godanya.

Fatimah merenggut. "Iyalah kangen! Emang kamu enggak?"

Risa terkikik melihat ekspresi teman lamanya itu. "Yang pasti kangen banget, kangen godain kamu sama sepupuku yang jelek itu."

Fahmi langsung mendengkus dan keluarganya sudah tergelak. Risa benar-benar mencairkan suasana. Susana makan siang pun semakin ramai. Ia bilang kalau ia datang sendiri dari Bandung, hanya karena ingin melihat interkasi sahabat dan sepupunya itu.

Fatimah merasa bahagia saat ini, bersama keluarganya, sahabatnya, bahkan orang yang akan menjadi suaminya. Mereka adalah orang-orang yang menyayanginya dengan tulus. Apalagi yang ia khawatirkan?

Terimalah dirimu sendiri, jangan terus menerus menjadikan masa lalu sebagai alasan untukmu menolaknya. Kamu berhak mendapat apa yang kamu mau. Kamu bisa membuat masa depanmu sendiri, bersamanya. Yakinlah pada hatimu.

Fatimah tersenyum mengingat kata-kata dari Fauzan, kalimat yang akhirnya membuat ia memutuskan untuk menerima Fahmi. Ya, ia harus bisa mencintai dirinya sendiri untuk bisa mencintai orang lain. Menerima dirinya dan memaafkan masa lalunya. Terus melangkah kedepan bersama orang yang menyayanginya. Ia tidak akan menyesali keputusannya.

***

Tbc.

.

Catatan:

Dalil tentang pasar.

1. Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar. (HR. Muslim 671).

2. Kata an-Nawawi,
Karena pasar, umumnya dalah tempatnya orang curang, menipu, transaksi riba, sumpah palsu, menyalahi janji, tidak ingat Allah, dan aktivitas lainnya yang semakna. Masjid adalah tempat turunnya rahmat. Sementara pasar kebalikannya. (Syarh Shahih Muslim, 5/171).

3. Sahabat Salman al-Farisi mengatakan,
Jika kamu bisa, janganlah menjadi orang yang pertama masuk pasar, dan yang terakhir keluar pasar. Karena pasar adalah tempat berkumpulnya setan dan di sana mereka menancapkan benderanya . (HR. Muslim 2451)

4. Dalam riwayat lain, dari Abu Utsman, dari Salman radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
Pasar adalah tempat setan bertelur dan beranak pinak. Jika kamu bisa, jangan menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan yang terakhir keluar pasar. (HR. Ibnu Abi Syaibah 33987)

----

Assalamualaikum...! Apa kabar? Lama tak jumpa! 😅 kayaknya penghuni lapak ini udah pada lumutan atau jamuran wjwkwj

Yah, pokoknya buat yang masih setia nunggu, happy reading! Semoga suka 😊

Salam kangen

Tinny Najmi.

Subang, 09 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro