Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Menyimpan Rasa

14

Menyimpan Rasa

"Mereka sama-sama menyimpan rasa, untuk seseorang yang berharga bagi mereka. Untuk kemudian hari mereka wujudkan rasa itu."

***

.

Jakarta, Juli 2018

"ALL CREW, HOST, CAMERA, STAND BY, BUMPER IN, IN FIVE, FOUR, THREE, TWO, ONE, APPLAUSEE...!" Suara Fahmi sang floor director menggema seantero studio. Ruangan pun riuh dengan tepuk tangan.

Selain memberikan cue untuk memulai dan mengakhiri acara, seorang floor director juga bertugas mengatur ketertiban studio tempat pengambilan gambar. Bisa dibilang di dalam studio adalah wilayah kekuasaannya. Sebab, jika terjadi sesuatu di luar masalah teknis, para floor director lah yang bertanggung jawab.

Setelah acara usai, Fahmi turun dari panggung utama. Tak lupa sapaan ramahnya pada seluruh crew dan pihak yang terlibat di studio. Selain tampan dan berbakat, ia memang terkenal dengan kesopanan dan keramahannya hingga membuat banyak orang kagum terhadapnya.

Fahmi berjalan menuju seorang pria berkaos hitam yang sedang mengobrol dengan sutradara yang menangani acara tadi. "Fat!" Ia menepuk bahu pria itu hingga menoleh. "Udah selesai?" tanyanya lalu menunjuk arloji di tangan.

Fathir melihat arlojinya sendiri. "Astagfirulloh," gumamnya pelan. Lantas beralih pada pria paruh baya berkepala plontos di hadapannya. "Nanti kita lanjut lagi ya Pak Wis, saya mau duhur dulu," ujarnya.

"Oh, oke kalau begitu," balas Pak Wis.

"Bapak enggak mau ikut?"

"Nanti sajalah, masih lama ke ashar. Hahaha," tawanya lalu melengos pergi. Fahmi dan Fathir hanya geleng-geleng kepala lantas beranjak dari studio.

"Thir! Fathiiirr!" teriakan seorang perempuan menghentikan langkah kedua pemuda tersebut.

Bruk!

Fathir terbelalak, perempuan itu langsung menubruk tubuhnya begitu ia berbalik.

"Gue punya kabar bagus!" seru perempuan itu masih memeluk Fathir erat.

Fathir menarik napas. "Jooo.... lepas, nggak?!"

Perempuan bertubuh mungil itu langsung beringsut menjauh lalu menyatukan telapak tangan di depan wajah sambil menunduk, "Soriiiii..., aku lupa! Serius! Kebablasan! Janji nggak lagii!"

Fathir mendengus keras. Ia tampak kesal. Sementara Fahmi hanya meringis di sampingnya. Dia sudah biasa melihat pemandangan itu. Jovankaㅡsalah satu produser di N TVㅡmemang seringkali memeluk seseorang saat perasaannya sedang melambung tinggi. Ia saja pernahㅡhampirㅡjadi mangsa, untung saja ia gesit menghindar. Sejak saat itu ia selalu jaga jarak dan melihat situasi jika perempuan itu menghampirinya. Tapi pada Fathir, ia benar-benar sering melakukannya.

"Janji, janji, tapi tetap saja diulangi," ketus Fathir.

Fahmi melirik Fathir yang memasang wajah masam. Kentara sekali ia kesal, sejauh ini ia tahu Fathir berusaha menjaga diri; tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Ia memang sudah banyak berubah sejak tiga tahun terakhir. Ia pun tidak malu bertanya tentang agama padanya. Ia selalu bilang, ingin menjadi seseorang yang lebih baik. Karena itulah, mereka jadi dekat. Padahal dulu saat kuliah, meski mereka satu fakultasㅡbahkan satu kelas, mereka tidak begitu dekat. Karena kegemaran dan aktivitas yang mereka ikuti sangat bertolak belakang.

"Jangan marah doong, aku kan udah minta maaf," Jovanka mengerucutkan bibir, menunduk sedih.

Fathir tidak habis pikir sama sekali, perempuan itu sebenarnya lebih tua darinya. Selisih dua tahun. Tapi dari penampilan dan sikap, benar-benar seperti anak kecil. Tinggi 158 dengan tubuh ramping, wajah imut, suara cempreng, sembrono, keras kepala, blak-blakan. Hampir tidak ada yang bisa dibilang dewasa. Kecuali saat ia di lapangan. Ia adalah produser yang handal.

Menghela napas sejanak, Fathir berucap, "Berita bagus apa emangnya?"

Jovanka langsung memasang wajah cerah. Cepat sekali perubahan ekspresinya, pikir Fathir. "Bos udah nge-acc adventure ke Pulau Anambas!" serunya dalam satu tarikan napas. Matanya berbinar dan tampak semangat saat mengatakannya.

"Serius kamu?" Fathir pun tampak terkejut dan senang.

Jo mengangguk semangat, tubuhnya bahkan hampir meloncat saking senangnya. Fathir langsung beringsut ke belakang Fahmi melihat gelagat gadis itu yang tampak geregetan ingin memeluk seseorang.

Melihat reaksi Fathir, Jo cemberut lagi. "Kebiasaan kamu tuh, harus diilangin, Jo!" sungut Fathir sebal.

"Nggak bisaa! Apalagi kalo ada kamu, bawaannya pengen meluk terus!" ujarnya tanpa malu.

Fathir melotot dan Fahmi kembali tertawa. "Udah belum ngobrolnya? Kalo masih lama aku duluan," ujar Fahmi.

"Emang kalian mau ke mana?" tanya Jo penasaran. "Kalian bukan mau nge-date kan?" Matanya menatap curiga.

"Gila aja!" protes Fathir tak terima. Jo terkekeh dibuatnya. Saking seringnya mereka bersama, orang-orang selalu bercanda kalau mereka adalah gay. Dan status mereka yang jomlo pun menjadi penguat candaan mereka.

"Kita mau ke masjid, Jo," sahut Fahmi.

"Ohh, mau ibadah, ya. Ya udah kalau gitu nanti kita bicarain lagi ya, Thir! Pokoknya aku mau kamu! Byeee...!" Jo melambai sambil nyengir lebar, pergi begitu saja.

Jika orang lain mendengar kalimat Jo tadi, pasti akan salah paham. Tapi ia tahu maksud Jo adalah ia ingin dirinya yang menjadi DOP (Director of Photography) programnya. Rencana adventure ke Anambas pun menang usulan dari darinya. Fathir menghela napas. "Ya Allah, dosa apaaa aku ini...."

Fahmi lagi-lagi tertawa, "Udah ah, yuk. Nanti makin siang."

Fathir mengangguk dan mereka pun keluar menuju masjid terdekat. Sebab, mushola yang ada di studio ini sangat tidak nyaman. Jarak masjid dengan studio hanya sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki.

"Gimana rasanya jadi DOP?" Fahmi memulai obrolan.

"Hmm. Seru sih, gue jadi bisa belajar banyak dari para sutradara dan produser," seyumnya lebar. Sudah hampir dua bulan Fathir menjalani jabatan barunya sebagai director of photographyㅡdi mana ia dan sutradara berkolaborasi menentukan pencahayaan dan pembingkaian adegan sesuai permintaan produserㅡdan hasil kerjanya memang memuaskan. "Walau kadang ada beberapa sutradara yang rewel dan itu ngeselin banget! Si Jo tuh, misalnya," curcol Fathir.

Fahmi tertawa. "Gak papa, lumayanlah jadi modal buat kamu. Kali aja nanti kamu bisa ikutin jejak mereka. Atau bahkan jadi produser."

"Aamiin...!" Fathir mengaminkan dengan sungguh-sungguh. Sebab, menjadi seorang produser adalah impian terbesarnya sejak duluㅡselain menjadi fotografer. "Tapi kadang gue kangen pas masa-masa jadi camera operator sih, gue lebih seneng megang kamera daripada jadi yang mengepalai kayak gini," ringisnya pelan. "Apalagi kalo ada acara di luar kayak hiking, adventure gitu, ugh! Seneng banget gue, mendaki sambil jadi camera man itu sensasinya, Bro! Mantap deh!"

Fahmi tersenyum tipis. "Emang jiwa pendaki banget ya, tapi sekarang kamu malah terkurung di sini," ringisnya.

"Nah itu dia! Kapan-kapan gue mau ambil cuti buat daki lah. Hahaha." Mereka terus mengobrol hal-hal menyenangkan, jarang sekali keluhan yang keluar dari mulut mereka. Sebab, mereka mencintai dan mensyukuri pekerjaan mereka saat ini.

"Hobi yang jadi pekerjaan emang enak ya," ujar Fahmi saat mereka sampai di beranda masjid.

"Yap, dan gue bersyukur banget," ujar Fathir. Ingatannya kembali ke tiga tahun silam di mana ia bertemu Fahmi pertama kali saat sedang mencari pekerjaan di Jakarta. "Kalo gue gak ketemu lo, gak tahu deh gue jadi apa sekarang," tawanya.

Fahmi hanya tersenyum kecil. "Sudah takdir Tuhan, Fat."

"Iya, Tuhan ngirim lo buat bantu gue," cengirnya.

"Tapi kamu mencapai posisi sekarang ini berkat usaha dan kerja keras kamu sendiri."

Fathir tersenyum. Benar, kecintaannya pada dunia fotografi lah yang membawanya bisa sampai sejauh ini. Bakat yang ia kembangkan sejak dulu tidak berujung sia-sia. Ah, ia jadi rindu masa-masa di COPY ketika kuliah. Ia juga rindu sosok yang tiba-tiba muncul di benaknya.

"Awsh...! Sakit, tahu!" protes Fathir saat mendapat sikutan di perut dari Fahmi.

"Lagian, malah bengong! Mikirin apa, sih?"

Fathir nyengir lebar. "Ada dehh...!"

Fahmi berdecak. "Lagian ya, aku heran, kenapa kamu gak kerja di perusahaan ayah kamu?" Karena setahu Fahmi, orang tua Fathir cukup sukses dalam dunia bisnis. Ayahnya adalah pemilik rumah sakit dan sudah banyak cabangnya.

"Duh, tolong ya. Lo ngancurin mood gue banget, tahu!" Fathir menggerutu.

Fahmi tertawa. "Iya deh, iya. Yuk, ambil wudhu!" ujarnya dan mereka pun menuju tempat wudhu pria. Pukul satu siang, masjid masih lumayan ramai. Melihat sekeliling, tidak ada yang sedang berjamaah.

"Fat....ㅡ"

"Allohu Akbar, Allohu Akbar ...." Tiba-tiba Fathir langsung menyenandungkan iqomah, ia sudah tahu gelagat Fahmi yang akan menyuruhnya jadi imam. Mana mau ia mengimami sobatnya yang lebih paham agama dari dia.

Usai iqomah, ia menyilakan Fahmi dengan senyum tanpa dosa.

"Ck! Lain kali kamu yang jadi imam!" Fahmi berdecak tak habis pikir.

Fathir tersenyum sok manut, Fahmi hanya bisa menggelengkan kepala dan mulailah mereka sholat berjamaah.

Begitulah mereka selama tiga tahun ini. Waktu yang berlalu dan takdir telah mengubah segalanya. Dan mereka tidak pernah tahu, takdir apa yang sedang menunggu mereka di masa depan.

Usai sholat, Fathir merebahkan tubuh di karpet masjid. Menjadikan dua telapak tangan sebagai bantal, lalu memejamkan mata. Merasakan kedamaian yang selalu ia dapatkan saat berada di tempat suci ini. Ia menyukainya. Kadang merasa heran, bagaimana dulu ia begitu jauh dari tempat ini. Bahkan dari pemiliknya.

Fatimah ..., bahkan setelah sekian lama pun. Mengapa aku masih tak bisa melupakanmu? Di saat seperti ini, selalu kamu yang muncul dalam benak. Seolah menegaskan bahwa kamulah yang telah membuatku berubah sejauh ini.

Rindu. Itulah yang selalu dirasakannya. Ia tak pernah tahu kabar gadis itu, selama empat tahun ini mereka lost contact. Fatimah bukan tipe perempuan yang suka bermain di sosmed. Hal itu menyulitkan Fathir untuk bisa menghubunginya. Ia kemudian meraih ponsel yang ia letakkan di sampingnya. Membuka sebuah blog bernama Tinta Langit dengan tampilan bernuansa biru langit dan awan, membuat betah mata pengunjung.

F. Jauza adalah nama yang digunakan pemilik blog tersebut. Ya, blog itu adalah milik Fatimah. Fathir sering membuka blog itu saat sedang merindukannya. Bahkan ia sudah membaca semua postingan di sana. Fatimah sering menulis puisi, prosa, atau terkadang cerita mini. Fathir menyukai semua itu. Perlahan, sudut bibirnya tertarik ke atas.

Memperhatikan Fathir yang senyum-senyum sendiri, Fahmi geleng-geleng kepala lalu berdecak. "Nanti disangka nggak waras, kamu!"

Fathir terkekeh. Kayaknya ia memang sudah tidak waras. "Aduh, aku malas balik ke studio. Udah pe-we gini," keluhnya kembali memejamkan mata.

Bukannya menggubris Fathir supaya bangun, Fahmi malah ikut-ikutan merebahkan tubuh di sana diiringi embusan napas panjang.

Fathir hanya tersenyum kecil. Lalu hening untuk sejenak. Tidak ada obrolan, hingga membuat Fathir hampir saja terlelap jika Fahmi tak bersuara.

"Fat," ujar Fahmi.

"Duh, ya. Gue udah leyepan, tahu!" gerutu Fathir sebal.

Fahmi hanya terkekeh. "Kalo kamu tidur, aku tinggalin. Biar saja, satu studio heboh nyariin kamu."

"Tega bener," ringis Fathir. Lalu kembali hening. Ia menunggu Fahmi bicara, tapi pria berkacamata itu tak juga bersuara. Ia pun menoleh ke samping. "Kenapa? Lo mau ngomong apa?" tanyanya heran karena Fahmi malah termenung.

Fahmi diam cukup lama. Lalu ia pun bertanya, "Kamu, masih berhubungan dengan Fatimah?"

Fathir cukup tersentak dengan pertanyaan Fahmi. Dia ... tahu?

Fahmi menoleh pada Fathir sejenak, lalu tersenyum. "Gak perlu kaget begitu, aku tahu kok dulu kamu sering mendekatinya."

Benar, seharusnya ia tak seterkejut ini. Ia pun tahu, dulu Fahmi cukup dekat dengan Fatimah. Bahkan mungkin lebih dekat dari yang ia kira. Hanya, yang membuatnya terkejut ialah, Fahmi yang juga masih mengingatnya. Bukankah itu artinya, Fatimah memiliki peran penting dalam hidupnya?

Tiba-tiba, Fathir merasa perutnya dipelintir. Sepertinya, Fahmi memiliki perasaan pada Fatimah. Oh, bukankah itu sudah jelas sejak dulu? Fathir merutuki diri sendiri.

"Kok, malah bengong?"

"Hah? Apa? Hahaha aku? Sama Fatimah?" Terkesiap, ia mencoba tertawa. "Enggak kok, kita udah gak pernah saling kasih kabar. Terakhir ketemu dan ngobrol, pas wisuda. Perpisahan," cengirnya lebar. Menutupi pedih yang tiba-tiba muncul.

"Begitu ... syukur deh," ujar Fahmi lagi kemudian bangun.

Sementara Fathir menaikkan sebelah alisnya bingung. Apa maksudnya dengan 'syukur deh'?

"Yuk, balik!" Fahmi berdiri, meregangkan tubuhnya sebentar lalu berjalan ke arah pintu keluar.

Fathir mengekor di belakangnya. "Lo sendiri? Masih suka kontekan sama Fatimah?" tanyanya sedikit ragu. Fahmi berhenti lalu memicing ke arahnya. "Biasa aja kali, gue kan cuma nanya."

"Hahaha. Enggak, aku juga gak pernah kontekan sama dia," ucap Fahmi dan entah kenapa membuat Fathir merasa lega.

"Gimana buku baru lo? Sukses?" tanya Fathir setelah beberapa saat berjalan tanpa ada obrolan.

"Alhamdulillah sih ... katanya mau bikin cetakan ke dua," Fahmi meringis. Sama sekali tak menyangka jika bukunya akan laku di pasaran.

"Wihh! Mantap dong! Lo gak setres apa, Mi? Gue kerja di sini aja capeknya udah luar biasa," Fathir geleng-geleng.

Fahmi tertawa. "Justru aku lebih suka nulis, Fat. Jadi floor dorector itu semacam stress relief buat aku. Pekerjaan yang aku sukai ya itu, menulis."

Fathir hanya mengangguk-angguk. Persis seperti Fatimah. Mereka berdua memang cocok. Batinnya meracau.

"Kayaknya si Jo ngebet banget ya sama kamu," ucap Fahmi tiba-tiba. Pandangannya tertuju pada gadis di depan yang melambaikan tangan pada mereka, tepatnya pada Fathir. Ia sedang menunggu Fathir.

Fathir juga menatap ke arah Jo, tanpa ekspresi. Ia tahu, bahkan semua orang di stasiun TV ini mungkin tahu, karena sikap Jo yang blak-blakan. Jo bahkan sempat mengungkapkan perasaannya padanya. "Dia kan, non, Mi."

"Kalau dia bukan non, kamu mau terima dia?"

Fathir tersenyum kecil dan menggeleng. "Nggak."

"Kenapa?"

Fathir mendelik, sebal. Tentu saja ia tidak mau. "Meskipun gue cowok yang gak baik-baik amat, gue tetep mendamba perempuan yang menjaga diri. Yang nggak ngumbar aurat ke pria lain."

Fahmi tersenyum. Ia merasa senang mendengarnya, ya ... ia adalah saksi perubahan teman seperjuangannya ini.

Fathir kemudian terdiam. Dan mungkin bukan hanya karena itu, tapi karena di hatiku telah terpatri nama seseorang begitu kuatnya. Aku pun tidak mengerti. Aku seperti tidak bisa melihat wanita lain yang lebih istimewa daripadanya. Rasa ini ... masih tersimpan begitu apiknya.

Ya ... mereka sama-sama menyimpan rasa, untuk seseorang yang berharga bagi mereka. Untuk kemudian hari mereka wujudkan rasa itu.

***

TBC.

.

Assalamualaikum... Haii update lagi, maaf ya jadi lama up akhir-akhir ini 😥 tapi pasti di up terus kok 😆 makasih yang udah nungguin 😙 sengaja up di sabtu malam, buat nemenin kalian yang malmingan di rumah aja hihihi.

Semoga suka😊

Salam hangat,
Tinny Najmi

.

Subang,
19 Januari 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro