Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Haluan Takdir

12

Haluan Takdir

"Lagi-lagi takdir putar haluan begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Yang tadinya terlihat sempurna, sekarang rusak. Dan tak 'kan pernah sama lagi." -ardihmd

💦💦💦

.

Bandung, Januari 2014


"Dia tidak mengganggumu lagi, kan?" Risa bertanya sambil memakan jajanan yang baru ia beli di kantin.  Fatimah hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Bagus deh," ujarnya lagi masih dengan mulut penuh siomay.

Memang, setelah seminar selelsai, Fatimah tidak lagi melihat pria itu. Mungkin ia sudah sadar dan berubah pikiran untuk menemuinya. Dan sekarang, ia sedang duduk di bangku taman ditemani Risa yang sibuk memakan jajanannya.

"Udah. Nggak usah dipikirin," ujar Risa lagi yang melihat sahabatnya malah termenung.

Fatimah hanya tersenyum tipis, "Makasih, ya Ris. Maaf juga selalu ngerepotin kamu."

Risa mengibaskan tangannya. "Tidak ada kata maaf dan terima kasih bagi sepasang sahabat, oke?"

Fatimah tersenyum. Ia merasa begitu beruntung bertemu dengan Risa. "Oh!" Fatimah seperti teringat sesuatu. "Apa kamu akan putus dengan Reyhan?"

Risa tersedak. "Ya ampun Fatimah, yang benar saja!" dengkusnya.

Fatimah merenggut. Melipat tangan di dada. "Kenapa enggak? Omongan Kak Fahmi sama sekali gak masuk ke hatimu, huh? Sudahi, atau halalkan, Risa."

Risa menghela napas. "Duh, Fat! Jangan terlalu serius deh, kita pacaran itu buat have fun aja! Apa salahnya menikmati masa-masa lajang sebelum terikat komitmen?"

"Tentu aja salah, Risa ....ㅡ"

"Aduduuh udah deh, kamu lama-lama kayak Fahmi tahu gak?" sungut Risa kesal.

"Fahmi?"ㅡFatimah mengerutkan keningㅡ"Sejak kapan kamu manggil Kak Fahmi tanpa 'Kak'?"

Risa gelagapan lalu tertawa sumbang. "Hahaha. Sejak tadi! Lagi kesel sih sama tu orang, makanya gak sengaja manggil nama doang."

Fatimah menyipit namun Risa cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Kamu langsung pulang nggak?" tanyanya.

"Enggak, nanti ada rapat evaluasi dulu. Abis itu aku harus ketemu Pak Ridwan, nyerahin tugas akhir." Fatimah menghela napas. Ia telat bukan karena malas, tapi karena ia tidak datang berhari-hari ke kampusㅡdemi menjauhi Fathir. Dan hari ini kesempatan terakhir untuk menyelamatkan nilainya.

Risa mengangguk paham. "Ya udah kalau gitu aku temenin sampe kamu rapat, ya!" ujar Risa dengan entengnya. Fatimah tersenyum. Sepertinya sahabatnya begitu takut Fathir akan menemuinya.

"Aku baik-baik aja, Ris. Makasih ya."

Risa berdecak. "Sekali lagi bilang makasih, aku cium, kamu!"

Lalu Fatimah tergelak. Dan mereka kembali bersenda gurau.

Dari tempatnya berdiri, Fathir memerhatikan Fatimah dalam diam. Melihatnya bisa tertawa dan bercanda seperti itu, sepertinya gadis itu baik-baik saja. Lantas, ia tersenyum ketir. Ia begitu takut Fatimah terluka dan terpuruk karenanya. Makanya, ia berusaha keras untuk bisa berbicara dengannya.

Namun nyatanya, gadis itu terlihat baik-baik saja. Ia merasa lega, namun ada sudut hatinya yang berkata lain. Itu artinya, ia tidak terlalu berarti untuknya, bukan?

Ah, memang ... siapa dirinya?

***

Fatimah berada di kampus sampai magrib gara-gara harus menunggu Pak Ridwan. Dosennya itu baru datang saat menjelang magrib. Menyebalkan memang, padahal Fatimah sudah buat janji sebelumnya. Tapi ia tak bisa menuntut apa-apa, karena posisinya ia yang membutuhkan. Fatimah pun memutuskan sholat magrib di masjid kampus sebelum pulang.

Sepanjang sore itu, hatinya bertanya-tanya kenapa Fathir tidak menemuinya lagi. Padahal sejak awal pria itu begitu ngotot ingin berbicara dengannya.

Fatimah tersenyum kecut. Apa yang kamu pikirin sih, Fat? Harusnya kamu bersyukur dia tidak jadi menemuimu.

Ya, aku bersyukur.

Fatimah tidak berlama-lama di dalam masjid, karena ia tidak ingin pulang terlalu larut. Saat keluar dari pintu masjid, seseorang juga baru keluar dari pintu bagian pria. Lantas, mereka berpapasan dan bersitatap. Hati Fatimah mencelos seketika. Ia membuang pandangan dan berjalan cepat.

"Fatimah, tunggu!"

Kenapa dia masih ada di sini?

Fatimah pura-pura tak mendengar dan terus berjalan cepat. Pria itu tak menyerah, ia berlari untuk mengejarnya, hingga sampai di hadapan gadis itu.

Fatimah menunduk. Sama sekali tak ingin menatap pria di hadapannya.

"Sebentar saja," ucap Fathir sambil mengatur napas. Fatimah tetap tak memandangnya. Mendapati hal itu, Fathir tersenyum masam, "Kamu pasti sangat membenciku."

Hati Fatimah terasa berdenyut nyeri, entah untuk alasan apa. Ia pun menatap pria itu. "Ada apa?"

"Aku ingin minta maaf ...," ucap Fathir sungguh-sungguh. Lalu hening.

"Sudah?" tanya Fatimah. "Aku sudah tak memikirkannya. Jangan khawatir," ujarnya tersenyum hambar lantas berjalan melewati Fathir.

Fathir kembali menghadangnya.

"Kenapa lagi?" tanya Fatimah heran.

Fathir malah terdiam. Ia seperti kebingungan berucap. "Uhm ... apa kau sudah memaafkanku?"

Hening sesaat. "Ya," jawab Fatimah. "Tapi aku tidak bisa tidak membencimu."

Senyum Fathir yang sempat terbit, kembali pudar. Ia menatap Fatimah sendu. "Maaf, maafkan teman-temanku juga. Mereka ha ...."

"Mereka hanya penasaran denganku, begitu kan?" Fatimah tersenyum kecut. "Dasarnya, pria memang sama saja."

"Fat..., Fat, tunggu," Fathir menahan Fatimah yang hendak pergi lagi. "Ini memang salahku. Aku akui. Aku sungguh minta maaf. Tapi ....ㅡ" Oh, Ya Tuhan! mengapa mengatakannya sesulit ini?

Fathir terdiam, cukup lama. Dan Fatimah masih menunggu, ingin tahu apa yang ingin dikatakan pria di hadapannya ini.

"Bisakah kita seperti dulu? Aku ingin tetap berteman dan mengenalmu lebih jauh," ujar Fathir pada akhirnya, meski bukan itu yang ingin ia katakan.

Fatimah tertawa tanpa suara. "Maaf, aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu. Permisi," Ia pun melengos dari hadapan Fathir. Lalu memakai sepatunya.

"Aku tidak pernah main-main dengan perasaanmu Fatimah," ujar Fathir menghentikan langkah Fatimah. "Awalnya, mungkin ya. Tapi setelah mengenalmu, aku tahu ... aku benar-benar menyukaimu. Kamu mengajariku banyak hal, kamu juga yang membuatku sadar akan kelalaianku pada Tuhan selama ini. Kamu ... istimewa buatku, Fatimah."

Fathir menghela, lega. "Aku tahu kamu pasti membenciku. Tapi semua yang aku lakukan selama ini bukan pura-pura. Begitu pula dengan perasaanku padamu, aku tidak main-main. Aku memang menyukaimu."

Fatimah membalikkan badan untuk menatap Fathir. Lantas tersenyum kecut. "Lalu? Apa sekarang?" ujarnya lebih sinis dari yang ia maksud.

"Tidak akan ada yang berubah dengan kamu mengatakan semua itu, Kak. Saya permisi. Assalamu'alaikum ...," ujarnya lalu melangkah pergi. Meninggalkan Fathir yang hanya bisa termenung di beranda masjid. Meratapi kesalahan dan merutuki kebodohannya selama ini.

"Wa'alaikumussalam warohmatulloh...," lirih Fathir menjawab. Menatap punggung Fatmah yabg semakin menjauh dari pandangannya.

Tak 'kan ada yang berubah.

Ia jelas tahu itu. Kalimat Fahmi saat seminar pun telah menohoknya ribuan kali. Tidak ada gunanya ia melakukan ini. Namun ia tetap ingin Fatimah tahu jika perasaannya bukan sebuah kepura-puraan. Ia bukan tidak ingin berkomitmen, tapi saat ini bukan waktunya, tidak untuk sekarang.

Fatimah duduk di halte kampus, menunggu angkot. Gara-gara pengakuan Fathir tadi, pikirannya kacau dan tidak fokus. Mau tidak mau, ia jadi terus memikirkannya. Ia tidak mengerti kenapa Fathir melakukan ini padanya. Ia juga tidak mengerti akan perasaannya sendiri. Dadanya terus berdebar dengan cara yang tidak menyenangkan.

"Ngelamun aja, Neng." Fatimah terlonjak kaget karena dagunya dicolek. Ia langsung berdiri dan menatap awas beberapa pemuda yang kini menertawakannya. Ia hendak pergi namun tangannya tiba-tiba ditahan.

"Lepas!" teriak Fatimah meronta. Namun genggaman tangan laki-laki itu begitu erat.

"Wow, wow! Tenang, kita cuma mau nemenin duduk. Dari pada sendirian. Ya gak, gengs?" ujarnya yang disambut tawa kawannya. Sepertinya mereka mabuk.

Fatimah mulai was-was; ketakutan. Mereka sama sekali enggan melepas Fatimah. Seketika bayangan masa lalu berputar kembali di otaknya. Jantungnya berpacu cepat, dadanya sesak dan keringat dingin mulai mengucur di pelipis. "Pergii!!" Ia menjerit sangat keras hingga mengundang perhatian orang-orang di sana. Para pemuda itu pun terkejut akan reaksi Fatimah yang histeris dan ketakutan.

"Hey! Ngapain kalian?!" Seseorang berseru. Lalu berjalan mendekat.

"Woy, woy, udah woy. Cabut!" ujar salah satu pemuda panik karena teriakan Fatimah mengundang perhatian orang-orang di sekitar. Lalu mereka pun kabur.

Fatimah tersungkur di bawah, masih dengan teriakan histeris dan kalimat pengusiran, ia memeluk tubunya sendiri.

"Udah Neng, udah nggak papa. Mereka udah pergi," ujar salah satu bapak-bapak yang tadi mengusir para pemuda itu.

Namun, Fatimah semakin ketakutan, tubuhnya begetar hebat. "Tidak! Pergi!! Tolonggg! Pergii kaliaaan!"

Orang-orang di sana menatap Fatimah kebingungan. Tidak tahu harus berbuat apa karena Fatimah terus berteriak ketakutan.

Fathir yang baru keluar dari kampus dengan motornya, melihat kerumunan itu heran. Lalu ia mendengar teriakan yang sudah sangat ia hafal suaranya. Tanpa pikir panjang lagi, ia mematikan mesin dan berlari ke arah kerumunan. Membiarkan motornya begitu saja.

"Permisi," ujarnya berusaha menerobos. Setelah ia berhasil, ia begitu terkejut melihat Fatimah yang terduduk di bawahㅡmenangis ketakutan. "Ya Allah, Fatimah!" ujarnya kemudian mendekat. "Fat! Kamu kenapa?"

Respons Fatimah di luar dugaan, ia semakin histeris bahkan menendang Fathir yang mencoba mendekat. Fathir menatap gadis itu dengan cemas. "Fat, tenang. Hey! Ini aku, Fathir. Fat....ㅡastagfirulloh! Fatimah!" Fathir berseru panik saat Fatimah tiba-tiba tak sadarkan diri. Ia langsung menahan kepalanya agar tidak membentur tembok. Kekhawatiran memenuhi raut wajahnya.

"Temannya mending di bawa ke rumah sakit aja, Den," ujar salah seorang bapak di sana.

Fathir sejenak ragu, ia tidak yakin jika dibawa ke rumah sakit akan membantu. Fatimah butuh seseorang yang bisa menenangkannya, dan ia tahu itu bukan dirinya. Tapi, ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Jadi, ia putuskan untuk mengikuti saran warga dan membawanya ke rumah sakit terdekat bersama beberapa orang yang ikut mengantar.

Setelah dipastikan Fatimah mendapat perawatan, beberapa orang yang ikut Fathir memutuskan untuk pulang setelah sejenak menceritakan apa yang sebelumnya terjadi.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Fathir setelah dokter selesai memeriksa Fatimah.

"Apa dia punya trauma?" Dokter itu balik bertanya.

Fathir terdiam sesaat. Lalu menjawab lirih, "Ya ... aku rasa."

Dokter itu mengangguk paham. "Mengingat cerita tadi, sepertinya ia syok dan mengalami panic attack. Anda keluarganya?"

"Oh, bukan. Saya teman kuliahnya."

Dokter itu kembali mengangguk. "Mungkin lebih baik jika ada keluarga yang menemaninya sekarang. Bisa jadi ia kembali mengalami panik saat terbangun nanti. Ia butuh dukungan orang terdekatnya."

Setelah memberi beberapa saran, dokter itu pun pamit karena harus menangani pasien lain.

Fathir menemani Fatimah yang belum sadarkan diri. Ia menatap gadis itu sendu. Aku pikir, kamu sudah baik-baik saja. Rupanya, kamu masih tidak bisa melupakan kejadian itu.

Fathir berpikir untuk menghubungi keluarganya atau tidak. Orang tua Fatimah di Garut, ia rasa akan sangat merepotkan dan membuat mereka khawatir. Atau mungkin dia bisa menghubungi kakaknya saja. Tapi ....

Fatimah bergerak gelisah dengan mata masih terpejam, rintihan kecil keluar dari mulutnya. Fathir terkesiap. Ia ingin menyentuh untuk menenangkannya. Tapi tahu itu diluar haknya.

Pada akhirnya, ia beranikan menyentuh puncak kepala Fatimah yang terhalang hijab. "Ssh ... tenanglah, sudah tidak apa-apa," ucap Fathir lembut. Berharap dengan begitu, kegelisahan Fatimah dalam tidurnya reda.

Namun tanpa ia duga, Fatimah terbangun dengan napas terengah. Melihat Fathir, ia langsung panik dan kembali histeris. Ia langsung duduk dan merapat ke dinding. Memeluk lutut, ketakutan. "Pergii!"

"Fatimah ... tenanglah!" Fathir berusaha untuk menenangkannya namun sia-sia. Salah seorang perawat yang melihat itu pun segera berlari untuk memanggil dokter.

Fathir mundur saat dokter datang dan menangani Fatimah. Namun seperti Fathir, usahanya sia-sia. Hingga ia memutuskan untuk memberi obat penenang pada Fatimah.

Fatimah pun kembali tak sadarkan diri. Ia kembali ditidurkan dengan benar. Dokter itu menghela napas, lalu menoleh pada Fathir yang terdiam. "Sudah menghubungi keluarganya?"

Fathir terkesiap dan menjawab belum. Ia tampak linglung.

"Tolong segera hubungi keluarganya. Dia perlu didampingi orang terdekatnya. Saya juga perlu berbicara dengan walinya."

Fathir mengangguk dan dokter pun kembali pergi setelah berpesan untuk menjaga Fatimah. Lalu ia mencari ponsel Fatimah di tas, namun nihil. Ia pikir mungkin ada di saku gamisnya. Fathir mengedarkan pandangan mencari seseorang yang bisa ia minta tolong.

Seorang perawat kebetulan masuk untuk mengecek pasien lain, Fathir memintanya untuk mencarikan ponsel Fatimah di saku gamisnya karena ia harus mencari nomor keluarga yang bisa ia hubungi.

Perawat itu bersedia membantu dan benar memang ponsel itu ada di saku gamisnya. Fathir pun berterima kasih, lalu keluar ruangan. Ia memutuskan untuk menghubungi kakak Fatimah alih-alih menghubungi orang tuanya. Ia hanya takut membuat mereka cemas dan harus datang jauh-jauh dari Garut.

Fathir menelpon Fauzan dari ponselnya. Setelah mendapat jawaban, ia pun mengenalkan diri sebagai teman Fatimah dan menceritakan kondisinya.

"Saya akan sampai tiga puluh menit lagi. Tolong jaga dia sampai saya datang," ujar Fauzan tegas namun nada cemas tak bisa ia sembunyikan.

Fathir pun menyanggupi dan ia menunggu Fauzan. Sementara Fatimah tertidur karena obat penenang. Ia lalu menjalankan perintah Fauzan untuk memindahkan Fatimah ke ruang rawat yang lebih privat; tidak bercampur dengan pasien lainnya.

Tiga puluh menit berlalu, Fauzan belum juga datang. Lalu ponsel Fathir berdering tanda panggilan masuk.

"Halo?"

"Di mana?" tanya Fauzan tanpa basa-basi.

"Ruang anggrek," jawab Fathir lalu sambungan terputus. Ia hanya mendesah dan kembali menunggu.

Tak lama, derap langkah yang terburu-buru terdengar. Ia pun melihat sosok itu, lagi.

Fauzan berhenti saat Fathir berdiri di hadapannya. Ia menatap Fathir dengan kening berkerut, seolah berpikir keras. Dan sebuah ingatan melintas di benak Fauzan.

"Kamu ...."

Fathir tersenyum, "Kita bertemu lagi."

***

Setelah berbicara dengan dokter, Fauzan menunggu Fatimah di ruangannya. Menatap sang adik penuh kasih. Ia mengusap kepala Fatimah lembut, namun tak ada kata yang terucap dari mulutnya selain rasa khawatir yang belum sepenuhnya hilang.

Fatimah kemudian terbangun dari tidurnya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit yang berwarna putih polos. Ia menoleh ke samping dan mendapati Fauzan yang tengah duduk, dengan kepala menunduk yang ditopang oleh kepalan tangannya di kening.

"A ...," panggil Fatimah lirih.

Fauzan mendongak dan perasaan lega menghinggapinya. "Iya, Imah ... alhamdulillah kamu udah bangun," ujarnya tersenyum menenangkan.

Fatimah tampak kebingungan. "Kenapa ...." Ucapannya terhenti saat ingatan kejadian di halte menyapa benaknya. Wajahnya seketika memucat dan menatap awas sekalilingnya. Ia bangun seketika dan duduk memeluk lutut; kembali ketakutan.

Melihat itu, Fauzan langsung duduk di ranjang dab merengkuh sang adik yang mulai terisak. "Sssh..., tenang. Tidak ada yang mengganggumu. Aa ada di sini, akan menjagamu."

Fatimah terisak di pelukan kakaknya. Menumpahkan ketakutan dan perasaan sedihnya. Sedih, karena ia tidak bisa melawan rasa takutnya. Sedih, karena ia kembali menjadi seperti dulu. Hanya karena, perasaannya yang memburuk. Hanya karena, otaknya yang tidak bisa berpikir jernih dan hatinya yang tidak baik-baik saja.

Setelah dirasa Fatimah tenang dan berhenti menangis, Fauzan melepas pelukannya. Ia tersenyum hangat pada sang adik. "Kamu pasti bisa melewati semua ini," ucapnya lirih, mengelus kepala Fatimah. "Kamu akan kuat, Aa yakin."

Fatimah hanya menunduk. Mencoba meyakinkan diri, menanamkan pikiran-pikiran positif ke dalam otaknya.

"A, Imah mau pulang," ucapnya.

Fauzan mengangguk. Lalu ia teringat seseorang yang sedari tadi menunggu, enggan disuruh pulang sebelum Fatimah sadar dan memastikan ia baik-baik saja.

"Ada temanmu di luar. Dia yang menolong dan membawamu ke sini," ucap Fauzan.

Fatimah mengerutkan kening. Tidak tahu siapa yang kakaknya maksud. Lalu pintu terbuka. Sejak tadi, Fathir hanya menyaksikan semuanya lewat kaca jendela pintu yang tidak besar.

Fatimah cukup terkejut mendapati Fathir, tanpa sadar, tangannya meremas lengan Fauzan. Ia juga langsung membuang muka. Fauzan menyadari reaksi Fatimah. Ia menatap adiknya sejenak hingga mendengar sang adik bersuara, "Aku tidak mau bertemu dengannya," ucap Fatimah lirih namun Fathir juga bisa mendengarnya.

Fathir tersenyum ketir. "Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja," ujarnya menatap Fatimah yang enggan menatapnya barang sedikit pun. Hatinya berdenyut nyeri untuk alasan yang sudah ia ketahui.

"Sepertinya kamu sudah baikan. Kalau begitu, saya pamit pulang," imbuhnya lagi mengangguk sopan pada Fauzan lalu beruluk salam, melangkah keluar dan kembali menutup pintu.

Fauzan menatap sang adik yang masih menunduk. Ia ingin bertanya namun ia rasa ini bukan waktu yang tepat. "Ayo, kita pulang," ucapnya pada akhirnya.

Fatimah mengangguk. Setelah meminta izin dokter dan menyelesaikan administrasi, mereka pun keluar dari rumah sakit.

"Aa ambil motor dulu," ujar Fauzan. Ia memang datang memakai motor, karena akan lebih cepat sampai.

Fatimah mengangguk dan menunggu. Ia mengedarkan pandangan dan tak sengaja menangkap sosok yang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan. Fatimah cepat-cepat mengalihkan pandangan. Lalu Fauzan datang dan ia langsung naik di belakang kakaknya.

Setelah melihat kepergian Fatimah, pria itu pun beranjak dari tempatnya berdiri. Lalu mencari ojek untuk ia kembali ke kampus. Ia baru ingat kalau ia meninggalkan motornya di sana begitu saja. Bodohnya! Bagaimana kalau ada yang mencuri motornya?

Fathir tertawa tanpa suara. Saat itu ia tidak memikirkan hal lain selain cepat menolong Fatimah. Namun, gadis itu bahkan tak mau menatapnya sama sekali. Ia berhenti berjalan dan menyentuh dadanya yang terasa sesak mendadak.

Lagi-lagi takdir putar haluan begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Yang tadinya terlihat sempurna, sekarang rusak. Dan tak 'kan pernah sama lagi.

Ya, segalanya tak 'kan pernah sama lagi ....

***

TBC.

.

Haiii assalamualaikum! Yhaa gagak update di malam minggu, kkk.
Alhamdulillah udah sampai sini, doakan lancar terus ya nulisnya 😊
Hope you like it!

Salam cinta 💕

Tinny Najmi.

.

Subang, 16 Desember 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro